Senin, 16 Desember 2013

MENGHAPUS SUBSIDI?

Kementerian Keuangan menghidupkanlagi wacana penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Itu berarti, tidak ada lagi BBM bersubsidi. Harga premium dan solar akan mengikuti harga pasar seperti Pertamax. Dengan penghapusan subsidi BBM, beban keuangan pemerintah yang saat ini terlalu berat menjadi sedikit enteng. Betapa tidak? Tahun ini saja, pemerintah mesti menanggung subsidi BBM Rp 199,9 triliun. Itu pun sudah dipangkas sebagian dengan mengerek harga BBM bersubsidi akhir Juni lalu. Tahun depan, bujet subsidi BBM membengkak menjadi Rp 210,7 triliun. Tapi, bukan pekerjaan mudah buat pemerintah menghapus subsidi BBM. Jangankan menghapus, mengurangi subsidi dengan menaikkan harga BBM bersubsidi saja susahnya minta ampun. Penolakan keras datang dari segala penjuru. Apalagi, bukan berarti konsumsi BBM negara kita bisa berkurang begitu harga premium dan solar sudah sesuai harga pasar. Orang pasti tetap menggunakan kendaraan bermotor pribadi lantaran angkutan umum kita masih jauh dari kata aman, nyaman, dan murah. Alhasil, impor BBM tetap tinggi. Potensi neraca perdagangan Indonesia terus mencetak defisit masih ada. Memang betul, di Jakarta, misalnya, sudah ada busway yang boleh dibilang aman dan murah. Tapi, masih jauh dari kata nyaman. Penumpang harus berdesak-desakan di dalam bus lantaran jumlah armada busway yang sangat minim. Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di keretaapi listrik (KRL) Jabodetabek yang sebetulnya sudah jauh lebih nyaman. Semua gerbong sudah berfasilitas pendingin udara, lalu stasiun steril dari pedagang kaki lima. Tapi di jam-jam sibuk, kereta masih penuh sesak penumpang karena gerbong masih kurang. Untuk mendorong pengadaan armada busway dan gerbong KRL, pemerintah semestinya menghapus pajak impor. Jangan malah pajak mobil murah yang jelas-jelas bisa mendongkrak konsumsi BBM yang dihapus. Kalau jumlah armada busway dan gerbong KRL lebih dari cukup, orang tentu mau beralih ke angkutan massal ini. Soalnya, sudah tarifnya murah, busway dan KRL lebih aman dan nyaman. Yang tidak kalah penting, bebas macet. Kalau sudah begini, konsumsi BBM bisa turun dengan sendirinya. Tanpa perlu mengurangi apalagi menghapus subsidi BBM, beban keuangan pemerintah pun bisa sedikit berkurang. Tak hanya itu, kemacetan lalu lintas khususnya di Ibukota RI juga bisa berkurang. Mau?

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 26 November 2013)

BUSWAY

Bulan ini kepolisian gencar melakukan operasi sterilisasi jalur busway. Untuk menimbulkan efek jera, ada denda tilang sebesar Rp 1 juta bagi para pengemudi mobil yang masih nekad menerobos jalur khusus TransJakarta tersebut. Sedang denda untuk pengendara sepeda motor Rp 500.000. Pro dan kontra pun menyeruak. 
Kebanyakan yang kontra menyatakan, penerapan denda tilang yang besar itu hanya akan menyuburkan praktik pungutan liar alias pungli di lapangan. Tapi, kekhawatiran ini dengan gampang dimentahkan. Simpel saja, praktik pungli tidak akan terjadi kalau para pengendara tak menerobos jalur busway. 
Memang, kepolisian dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus mengambil sikap tegas untuk membersihkan jalur busway dari para "pembajak" jalur khusus ini. Cuma, setelah jalur betul-betul steril dari kendaraan pribadi dan angkutan umum yang tidak boleh masuk jalur busway, tugas Pemprov DKI tak otomatis berakhir. Sebab, boleh dibilang kebanyakan jalur busway sebetulnya mubazir, tak banyak armada TransJakarta yang lewat. 
Tengok saja, berapa menit sekali bus TransJakarta mampir di tiap halte. Kadang malah sampai satu jam sekali, dari seharusnya tiap lima menit sekali. Alasan jalur dikuasai kendaraan pribadi memang masuk akal, sehingga laju bus TransJakarta terhambat. 
Tapi sejatinya, masalah utamanya bukan di situ, melainkan karena jumlah bus terlalu sedikit. Alhasil, harapan busway menjadi transportasi yang nyaman masih jauh lantaran selalu penuh sesak penumpang. Apalagi, sebagai salah satu cara mengurai kemacetan Ibukota RI yang sudah akut. 
Buntut dari bus yang masih jauh dari nyaman dan jalur yang tidak steril, jumlah penumpang busway pun turun. Data Unit Pengelola TransJakarta menunjukkan, jumlah penumpang Koridor 1, misalnya, tahun 2011 tercatat 25,6 juta orang tapi di 2012 tinggal 23,4 juta orang saja. Begitu juga Koridor 2, dari 10 juta penumpang di 2011 menjadi 8,8 juta orang pada 2012 lalu. 
Pengadaan ratusan armada baru harus dipercepat, tentu tanpa mengabaikan kualitas bus. Sehingga, jalur busway tidak mubazir alias kosong melompong karena jarang TransJakarta yang lewat. Dampak yang lebih besar lagi, pemilik kendaraan pribadi mau beralih ke TransJakarta. Sebab, transportasi ini benar-benar sudah menjelma menjadi angkutan umum yang murah, aman, dan nyaman. Juga cepat lantaran jalurnya sudah steril betul.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 6 November 2013)

SAHAM NEWMONT

Sebanyak 24% saham PT Newmont Nusa Tenggara milik sejumlah pemerintah daerah (pemda) di Nusa Tenggara Barat (NTB) terancam jatuh ke tangan asing kembali. Sebab ternyata, PT Multi Daerah Bersaing (MDB) menjaminkan saham jatah divestasi perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu untuk mendapatkan pinjaman dari Credit Suisse AG cabang Singapura senilai US$ 360 juta atau sekitar Rp 3,6 triliun. 
Catatan saja, MDB adalah perusahaan patungan antara PT Daerah Maju Bersaing milik Pemerintah Provinsi NTB, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa dengan PT Bumi Resources Minerals Tbk. Berkongsi dengan anak usaha Grup Bakrie itu, ketiga pemda di NTB lewat MDB membeli jatah divestasi saham Newmont tahun 2006, 2007, 2008, dan 2009 dengan total porsi 24% saham. 
Nah, utang ke Credit Suisse itu jatuh tempo 18 September 2013 lalu. Celakanya, MDB tidak punya uang untuk membayar utang tersebut. Begitu juga dengan Bumi Resources Minerals. Untung, perusahaan tambang yang tercatat di papan bursa bersandi BMRS ini berhasil merayu Credit Suisse. 
Alhasil, bank yang berbasis di Negeri Merlion itu memperpanjang masa jatuh tempo menjadi Desember 2013 nanti. Tapi, potensi gagal bayar alias default tetap ada. Sehingga kemungkinan saham Newmont itu kembali ke tangan asing, dalam hal ini Credit Suisse, juga tetap ada. 
Nah, ini saatnya pemerintah pusat turun tangan, "merebut" kembali haknya. Sesuai kontrak karya, Nusa Tenggara Partnership (NTP) B.V. yang kini menggenggam 56% saham Newmont secara bertahap harus melepas sahamnya kepada Pemerintah Indonesia. Apalagi, saat ini pemerintah sedang memperjuangkan pembelian 7% saham divestasi Newmont jatah 2010 melalui Pusat Investasi Pemerintah, setelah melepas jatah divestasi saham tahun-tahun sebelumnya ke pemda. 
Tidak ada alasan buat DPR untuk tidak mendukung langkah pemerintah pusat menguasai 7% saham Newmont, termasuk jika pemerintah pusat berniat mengambilalih saham Newmont dari MDB. Sebab terbukti, pemda di NTB tidak punya duit untuk membeli saham perusahaan yang menambang di Pulau Sumbawa itu. Sehingga, pemda menggandeng swasta yang ternyata juga tidak memiliki uang. 
Tentu, kita tidak ingin kejeblos untuk kedua kalinya. Tapi dengan syarat, hasil keuntungan pemerintah mengempit saham Newmont harus bermanfaat untuk rakyat.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 18 Oktober 2013)

MENGURANGI SUBSIDI

Demi anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) tidak terlalu membengkak tahun depan, Rabu (25/9) lalu, pemerintah dan DPR sepakat memangkas kuota volume BBM bersubsidi menjadi 48 juta kiloliter (kl). Angka ini sama dengan kuota volume premium dan kawan-kawan tahun ini. 
Padahal, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014, pemerintah mematok kuota volume BBM bersubsidi sebanyak 50,5 juta kl. Kuota tersebut sejalan dengan pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor tahun depan sebesar 10%. 
Dengan menggunting kuota volume plus asumsi harga minyak Indonesia menjadi US$ 105 per barel, bujet subsidi BBM tahun depan hanya membengkak menjadi Rp 210,73 triliun. Dalam RAPBN 2014, pemerintah memasang pagu subsidi BBM sebesar Rp 194,9 triliun. 
Alhasil, lonjakan subsidi BBM hanya bersumber dari perubahan asumsi nilai tukar rupiah, dari sebelumnya Rp 9.750 per dollar Amerika Serikat (AS) menjadi Rp 10.500 per dollar AS. Catatan saja, nilai tukar rupiah, volume BBM bersubsidi, dan harga minyak Indonesia menjadi parameter subsidi BBM. 
Yang menjadi pertanyaan besar: kenapa pemerintah dan DPR mengabaikan serbuan mobil murah? Padahal, kehadiran mobil murah akan menyedot BBM bersubsidi lebih banyak lagi. Apalagi, pemerintah tidak mengeluarkan larangan mobil murah menengak premium. Hanya sebatas menakut-nakuti, jika menggunakan BBM subsidi, dalam dua tahun mesin bisa rusak. 
Memang, tahun depan pemerintah akan melakukan sejumlah program pengendalian agar kuota volume BBM bersubsidi tidak jebol. Misalnya, pemakaian radio frequency indentification (RFID) dan penerapan pembayaran nontunai untuk pembelian BBM bersubsidi. Cuma masalahnya, kedua program ini baru sebatas merekam data konsumsi BBM bersubsidi. 
Sejauh ini, pemerintah belum membuat rencana pasti pembatasan pembelian premium dan solar lewat kedua cara ini. Tentu kalau hanya merekam data tanpa ada tindakan lebih, kedua upaya itu tidak bisa mengerem konsumsi BBM subsidi. 
Jadi, pemerintah harus segera membarengi RFID dan pembayaran nontunai dengan program pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Pembatasan bisa berupa hanya boleh mengisi premium dan solar sekali dalam sehari, atau membatasi pembelian berdasarkan volume. Upaya ini pasti bisa mengurangi konsumsi secara signifikan.

(S.S. Kurniawan, Tajuk harian KONTAN 27 September 2013)

Kamis, 26 September 2013

SUBSIDI BBM

Kemarin, Toyota dan Daihatsu meluncurkan mobil murah mereka: Agya dan Ayla. Harga jual Agya mulai Rp 99,9 juta per unit, sedang Ayla lebih murah lagi mulai Rp 76 juta per unit. Daihatsu berjanji, dalam satu hingga dua pekan ke depan, mobil murah mereka sudah sampai di tangan konsumen.
Bagi masyarakat Indonesia, kehadiran Agya dan Ayla jelas kabar yang menggembirakan. Sebab, bagi yang belum punya mobil, kesempatan mereka untuk memiliki kendaraan roda empat makin besar. Tak heran, Daihatsu, misalnya, mematok target penjualan Ayla sebanyak 3.000-4.000 unit per bulan. Alhasil, jalan raya makin sesak dengan mobil. Kemacetan lalu lintas pun bakal kian parah. 
Dan, persoalan yang lebih besar muncul: konsumsi bahan bakar minyak (BBM) akan bertambah. Itu berarti, impor BBM juga akan meningkat. Masalah tidak berhenti sampai di situ. Rapor neraca perdagangan kita bakal terus kebakaran alias memerah. Defisit neraca dagang Indonesia akan kian melebar. Sebab, penyebab utama nilai ekspor negara kita selalu keok melawan impor belakangan ini adalah, gara-gara impor sektor minyak dan gas (migas) terutama BBM yang sangat besar. 
Kondisi ini diperparah oleh nilai tukar rupiah yang terus melemah hingga menembus angka Rp 11.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Plus, harga minyak mentah dunia yang mulai menanjak menyusul rencana AS menyerang Suriah. 
Ujungnya, harga BBM impor semakin mahal kemudian subsidi BBM bakal membengkak. Hitungan pemerintah, dari efek pelemahan rupiah saja, subsidi BBM tahun bisa bertambah Rp 1,49 triliun dari target sebesar Rp 149,7 triliun. 
Itu belum dari dampak kenaikan harga minyak dan kuota BBM bersubsidi yang berpotensi jebol. Data Pertamina menunjukkan, konsumsi BBM bersubsidi selama tujuh bulan pertama tahun sudah mencapai 25,83 juta kiloliter (kl) atau 53,8% dari kuota yang 48 juta kl. 
Tak ada jalan lain buat pemerintah selain mengurangi impor BBM. Kebijakan pemerintah berupa kewajiban penggunaan biodiesel sebesar 10% pada solar bersubsidi sudah tepat. Namun, untuk merangsang produsen biodisel menambah produksinya, pemerintah mesti memberikan subsidi ke mereka. 
Cuma, lebih dari itu, pemerintah juga perlu mengambil langkah ekstrem untuk mengurangi impor BBM: membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Caranya adalah dengan melarang mobil pribadi menenggak premium. Berani enggak, ya?

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 10 September 2013)

SMS SAMPAH

Liburan panjang Lebaran kemarin, sebagian pengguna telepon seluler (ponsel) senang lantaran bisa bebas dari kiriman pesan singkat (SMS) berisi aneka tawaran produk dan jasa, terutama kredit tanpa agunan (KTA). 
Tapi, mulai Senin (19/8) lalu, SMS sampah kembali membanjiri layar ponsel. Dalam sehari, paling tidak ada lima SMS tawaran KTA yang nyelonong masuk. Masih ditambah SMS berisi tawaran produk dan jasa lainnya, mulai dari pinjaman dana dengan jaminan bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB), mobil, sampai racun serangga. Bahkan, belakangan juga marak SMS berisi tawaran teman kencan. Itu belum termasuk SMS penipuan. Betul-betul menyebalkan. 
Yang makin menyebalkan, SMS sampah itu datang tidak kenal waktu, jam dua pagi. Lagi enak-enaknya tidur nyenyak dan mimpi indah, eh, tiba-tiba ponsel berbunyi. Kirain SMS yang datang isinya mahapenting atau super mendesak, enggak tahunya cuma tawaran KTA. 
Tapi, mudah-mudahan, SMS sampah tinggal cerita. Kok? Soalnya, pada 26 Juli 2013 lalu terbit Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatikan (Permenkominfo) Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Jasa Penyediaan Konten Pada Jaringan Bergerak Seluler dan Jaringan Tetap Lokal Tanpa Kabel Dengan Mobilitas Terbatas.
Beleid ini menyebutkan, penyelenggara jaringan dilarang keras mengirimkan SMS penawaran kepada pengguna jaringan yang telah menolak untuk menerimanya. Jadi, SMS sampah tidak bisa lagi nyelonong masuk tanpa permisi. Sebab, penyelenggara jaringan harus meminta izin dulu kepada pengguna jaringan melalui SMS jika ingin mengirim SMS penawaran. 
Cuma masalahnya, Permenkominfo No 21/2013 masih memberi waktu enam bulan kepada penyelenggara jaringan dan jasa penyedia konten untuk menjalankan perintah beleid itu. Makanya, meski aturan main tersebut sudah terbit, SMS sampah masih muncul di layar ponsel kita sampai sekarang. 
Itu berarti, pengguna ponsel masih harus rela dengan terpaksa menerima SMS sampah hingga Januari 2014 mendatang. Sebab, memang tidak gampang menangkal "serangan" dari SMS sampah. 
Ya, mudah-mudahan Permenkominfo No.21/2013 bisa menjadi senjata yang ampuh untuk menangkal SMS sampah. Tentu, harus ada sanksi berat bagi siapa saja yang masih nekad mengirim SMS sampah tanpa permisi. Kalau tidak, beleid ini cuma jadi macan ompong.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 22 Agustus 2013)

WAJAH BARU KOTA JAKARTA

Mulai Senin (19/8), Jakarta kembali ke wujud aslinya. Jalan-jalan Ibukota RI yang dua pekan belakangan cukup lengang, penuh sesak lagi dengan kendaraan bermotor. Kemacetan parah pun kembali menjadi pemandangan sehari-hari. Maklum, liburan lebaran anak sekolah sudah selesai, begitu juga dengan cuti panjang para pekerja. Aktivitas Jakarta normal lagi.
Jangan heran, komentar atau kicauan soal jalan-jalan di Jakarta yang kembali macet bakal mewarnai lini massa jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter. Padahal, sebelumnya timeline di sosial media cukup ramai dengan komentar atau kicauan yang senang dengan kondisi Jakarta yang abnormal. Maksudnya, Jakarta yang bebas macet. Sampai-sampai, ada komentar yang meminta pemudik meninggalkan mobilnya di kampung halaman, enggak usah dibawa lagi ke Jakarta. 
Meski Jakarta kembali ke tampang aslinya, ada juga, lo, wajah-wajah baru yang tampak di tanah kelahiran Pitung ini. Siapa lagi kalau bukan para pendatang baru dari berbagai daerah yang ingin mengadu nasib di Jakarta. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar memperkirakan, pendatang baru yang masuk ke Jakarta pasca lebaran bisa mencapai 500.000 orang. Wow!
Tapi, wajah anyar Jakarta bukan hanya para pendatang baru. Pasca lebaran, tampang Pasar Tanah Abang juga baru. Kesemrawutan lalu lintas di pasar tekstil paling gede se-Asia Tenggara ini lenyap. Sebab, Jalan K.H. Mas Mansyur, Jalan Jembatan Tinggi, Jalan Jati Bunder, dan Jalan Jati Baru Raya sudah bersih dari pedagang kaki lima (PKL). Sebelumnya, ratusan PKL menduduki sebagian badan jalan sehingga menjadi biang kemacetan. Sehabis Tanah Abang, Pemerintah Provinsi DKI di bawah komando Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) juga akan merelokasi PKL yang mencaplok sebagian badan jalan di sekitar Pasar Gembrong dan Pasar Jatinegara di Jakarta Timur. 
Nah, yang juga bakal menjadi wajah baru Jakarta adalah nomor tunggal gawat darurat (kepolisian, pemadam kebakaran, dan ambulans), seperti 911 di Amerika Serikat, Australia 000, Malaysia 999, dan Filipina 117. Saat ini, Pemerintah DKI dan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya sedang menggodok pembentukan nomor tunggal gawat darurat itu. Konsultan asal Amerika Serikat yang biasa membangun sistem nomor tunggal gawat negara di sejumlah negara belum lama ini juga didatangkan untuk memberikan pelatihan. 
Dan, untuk mendukung operasional nomor tunggal gawat darurat tersebut di bidang kesehatan, Pemerintah DKI akan menambah 50 ambulans gawat darurat menjadi 100 unit. Tapi, di Jakarta dengan tingkat kemacetan yang sangat tinggi, tak gampang mengimplementasikan sistem kegawatdaruratan dengan response time 10 menit sampai di lokasi sejak panggilan gawat darurat masuk. 
Untuk itu, Pemerintah DKI dan Polda Metro Jaya harus menempatkan unit-unit di lokasi-lokasi yang rawan kecelakaan, kebakaran, dan kejahatan serta pemukiman penduduk. Problem berat lainnya adalah pengetahuan masyarakat kita soal kegawatdaruratan yang masih rendah. Di Amerika Serikat, misalnya, anak umur 10 tahun sudah tahu apa yang harus dia lakukan ketika orangtuanya tiba-tiba pingsan di rumah. Dia dengan cepat mengangkat telepon dan menekan nomor 911. 
Itu sebabnya, sejak dini, pengetahuan kegawatdaruratan sekaligus pertolongan pertama ditanamkan pada masyarakat kita. Juga perlu sosialisasi besar-besaran nomor tunggal gawat darurat. Kelak, nomor tunggal gawat darurat tak mubazir jadi wajah baru Jakarta.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Ketiga Agustus 2013)

SUBSIDI BBM TETAP

Meski pemerintah sudah mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Juni lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri merasa beban subsidi BBM yang pemerintah tanggung tetap berat.
Itu sebabnya, dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR yang membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 belum lama ini, Chatib yang baru dilantik sebagai menkeu akhir Mei lalu mengusulkan mekanisme subsidi BBM tetap mulai tahun depan. Dengan mekanisme tetap, subsidi yang harus pemerintah siapkan tidak akan berubah, meski harga minyak mentah dunia naik ataupun turun. Taruh kata, harga keekonomian premium saat ini Rp 9.000 per liter.
Dengan harga jual eceran premium Rp 6.500 per liter, pemerintah menanggung subsidi sebesar Rp 2.500 per liter. Nah, saat harga keekonomian premium naik menjadi Rp 10.000 per liter, pemerintah tetap hanya menanggung subsidi Rp 2.500 per liter. Otomatis, harga jual premium jadi Rp 7.500.
Tapi, apa mau dikata, usulan Chatib tersebut langsung mental. Alasannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta untuk fokus pada kenaikan harga BBM bersubsidi, lagian pemerintah belum melakukan kajian mendalam atas mekanisme subsidi BBM tetap.
Sebetulnya, alasan belum melakukan kajian bisa dimentahkan. Sebab, Chatib menyatakan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan tengah melakukan kajian bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Apalagi, pemerintah pernah menerapkan kebijakan yang hampir mirip selama April 2001 hingga Desember 2002. Ketika itu, pemerintah mematok harga BBM bersubsidi sebesar 50% dari harga pasar pada tahun 2001 dan 75% dari harga pasar di tahun 2002. Alhasil, harga BBM bersubsidi waktu itu naik turun setiap bulan mengikuti pergerakan harga minyak dunia.
Tapi, subsidi yang pemerintah keluarkan tetap alias tidak membengkak. Berangkat dari kenaikan harga BBM bersubsidi bulan lalu, pemerintah memang harus terus memangkas subsidi BBM yang sudah sangat-sangat membebani keuangan negara.
Apa pemerintah dan kita enggak sayang uang ratusan triliun rupiah habis dibakar untuk subsidi yang masih salah sasaran? Kan, bukankah lebih baik duit itu untuk membangun infrastruktur dan transportasi massal yang aman, nyaman, dan murah. Mau?

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 25 Juli 2013)

Senin, 08 Juli 2013

BERBURU PAJAK

Musim perburuan pajak pun tiba. Meski di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 target pajak menciut lebih dari
Rp 53 triliun ketimbang APBN 2013, fakta itu tidak menyurutkan pemerintah untuk mengejar penerimaan dari sektor pajak. Maklum, target penerimaan pajak tahun ini tetap besar, sekitar Rp 981 triliun.
Perburuan kali ini juga menyasar usaha kecil dan menengah (UKM). Dasarnya: Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Lewat beleid yang terbit akhir Juni lalu tersebut, pemerintah memungut PPh final sebesar 1% dari omzet kepada wajib pajak pribadi dan badan yang menjalankan kegiatan usaha atau jasa, kecuali pekerjaan bebas, dengan penghasilan selama satu tahun di bawah Rp 4,8 miliar.
Tahun ini, pemerintah memang tidak bisa berharap banyak lagi kepada sektor ekspor dan wajib pajak besar. Perekonomian dunia yang masih lesu membuat wajib pajak besar yang terkait dengan sektor pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan manufaktur terpukul. Sehingga, penerimaan pajak dari sektor tersebut juga turun.
Alhasil, pemerintah harus membidik sektor non-tradeable termasuk ritel yang merupakan UKM. Jumlahnya yang mencapai ratusan ribu bahkan jutaan jelas menyimpan potensi pajak yang besar. Apalagi, sektor tersebut saat ini sedang tumbuh. Dan, selama ini penerimaan pajak dari UKM cuma 0,5% dari total penerimaan. Padahal, kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 61%.
Demi keadilan, pemerintah memang harus memburu pajak dari UKM. Soalnya, buruh yang berpenghasilan di atas Rp 24 juta per tahun saja kena potongan pajak. Tentu tidak adil kalau pemerintah membiarkan UKM yang mengantongi omzet miliaran rupiah tidak membayar pajak. Tapi, jangan sampai niat baik pemerintah ini justru menjadi penghambat bagi perkembangan UKM. Pemerintah harus taat pada aturan main yang mereka buat sendiri. Misalnya, membebaskan pajak atas UKM yang baru berdiri atau tahap investasi. Istilahnya, masih dalam proses tumbuh kembang.
Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, pemerintah juga harus memperbaiki internal Direktorat Jenderal Pajak. Sebab nyatanya, masih ada, mungkin banyak Gayus Tambunan-Gayus Tambunan di lembaga pemungut pajak ini.         


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 5 Juli 2013)

TETAP SALAH SASARAN

Paska DPR mensahkan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013, Senin (17/6) lalu, sejumlah teman memposting link artikel berjudul Hitung-Hitungan Subsidi BBM di sebuah harian nasional ke dinding akun Facebook mereka. 
Saran mereka sama: buat yang menolak kenaikan harga BBM bersubsidi untuk membaca artikel tersebut. Artikel yang ditulis Rimawan Pradiptyo, dosen Universitas Gadjah Mada itu intinya membahas subsidi BBM yang salah sasaran, sehingga tidak layak mempertahankan anggaran tersebut dalam jumlah yang sangat besar seperti sekarang. 
Saya sangat setuju. Cuma, cara mengurangi bujet subsidi BBM yang setiap tahun selalu meningkat tidak harus dengan mengerek harga premium dan solar. Apalagi, pemerintah selalu menggunakan alasan subsidi BBM salah sasaran lantaran lebih banyak dinikmati pemilik mobil pribadi, sebagai dasar menaikkan harga BBM bersubsidi. 
Padahal, dengan mengatrol harga premium hanya sebesar Rp 2.000 per liter menjadi Rp 6.500 seliter, itu berarti, pemerintah tetap memberi subsidi kepada pemilik mobil pribadi yang merupakan penikmat subsidi BBM paling besar. Alhasil, subsidi BBM tetap salah sasaran. 
Semestinya, biar tidak salah sasaran, pemerintah menutup saja keran subsidi BBM untuk pemilik mobil pribadi. Jadi, anggaran subsidi BBM hanya mengalir ke pemilik sepeda motor, angkutan umum, angkutan barang, dan nelayan. 
Cara ini sesuai dengan rencana awal pemerintah sebelum keluar opsi mengerek harga BBM bersubsidi. Lagian, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, bukan berarti persoalan terus selesai. Memang anggaran subsidi BBM bisa berkurang drastis dan duit hasil penghematan bisa untuk rakyat miskin serta membangun infrastruktur. 
Tapi, yang sebenarnya semua orang tahu, adalah ada efek lanjutan dari kenaikan harga BBM, yakni kenaikan harga barang dan jasa. Semua rakyat bakal terpukul inflasi yang tinggi, bukan hanya masyarakat miskin. Tapi, apa mau dikata, kenaikan harga BBM bersubsidi sudah harga mati. Rakyat tinggal menunggu saja, kapan harga baru premium dan solar berlaku. 
Cuma, agar subsidi BBM tidak terlalu salah sasaran amat, pemerintah juga mesti memberantas praktik penyimpangan dan penyelundupan BBM. Soalnya, jumlah BBM yang diselewengkan serta diselundupkan tidak sedikit, dan selalu naik setiap tahun. Sehingga, subsidi BBM pun tidak sia-sia.
 
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 20 Juni 2013)

KUOTA BBM

Pekan ini dan selama dua minggu ke depan, pemerintah dan DPR sibuk menggodok Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2013. Salah satu perubahan yang pemerintah sodorkan adalah kuota konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dari tadinya hanya 46 juta kiloliter (kl) di APBN 2013 menjadi 48 juta kl. 
Sejatinya, tambahan kuota ini tidak besar-besar amat. Sebab, sebagai gambaran saja, tahun lalu, konsumsi BBM bersubsidi mencapai 45,2 juta kl. Jika berangkat dari konsumsi BBM tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya, rata-rata pertumbuhan konsumsi per tahun mencapai 9%. 
Jadi, penambahan kuota BBM tahun ini mestinya sekitar 9% dari 45,2 juta kiloliter. Itu berarti, seharusnya pemerintah meminta tambahan kuota BBM bersubsidi tahun ini sekitar 4 juta kl. Sehingga, kuota BBM bersubsidi menembus angka 50 juta kl. 
Tapi kenyataannya pemerintah hanya meminta tambahan 2 juta kl. Dan, Rabu (29/5) lalu, Komisi Energi (VII) menyetujui permintaan pemerintah. Perinciannya, premium dan bioetanol menjadi 30,77 juta kl, minyak tanah 1,2 juta kl, serta minyak solar dan biodiesel 16,03 juta kl. 
Tanpa pengendalian, tidak mustahil konsumsi BBM bersubsidi tahun ini bakal mencapai 50 juta kl, sekalipun harga premium dan solar naik, masing-masing menjadi Rp 6.500 per liter dan Rp 5.500 seliter. Bagaimana tidak? Tahun ini, penjualan mobil bisa mencapai 1,1 juta unit dan sepeda motor 7,1 juta unit. 
Itu sebabnya, kalau mau kuota tidak jebol seperti tahun yang sudah-sudah, pemerintah harus melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Rencana membatasi pembelian premium untuk mobil pribadi cukup masuk akal. Asalkan, kebijakan ini mendapat dukungan teknologi informasi (IT) berupa alat radio frekuensi identification (RFID). 
Tapi, itu saja tidak cukup, pengawasan superketat harus tetap berjalan. Soalnya, penambahan kuota tak selalu merefleksikan permintaan riil di konsumen yang tinggi. Tapi, bisa jadi karena faktor penyelundupan dan penimbunan BBM bersubsidi. 
Tengok saja data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), total BBM bersubsidi yang akan diselundupkan tahun lalu dan berhasil digagalkan mencapai 253.311,72 kl, melonjak 200 kali lipat ketimbang tahun sebelumnya. 
Karena itu, agar tidak makin banyak duit negara yang terbakar BBM bersubsidi, pemerintah harus membatasi pembelian premium sambil memperketat pengawasan. 
 
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 31 Mei 2013)

TETAP BENGKAK

Belum habis rasa bingung masyarakat terhadap rencana kebijakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang gonta-ganti, publik kembali dikejutkan dengan rencana baru pemerintah. 
Kelak, selain menaikkan harga bensin, pemerintah juga bakal membatasi pembelian BBM bersubsidi. Pemilik mobil pribadi nantinya hanya boleh membeli premium dan solar sebanyak 30 liter per 10 hari atau rata-rata tiga liter per hari. Sedangkan pemilik sepeda motor cuma boleh membeli 7 liter per 10 hari atau rata-rata 0,7 liter sehari. Kecuali angkutan umum yang tidak dibatasi pembeliannya. 
Menurut Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, pembatasan pembelian ini akan dijalankan bersamaan dengan langkah PT Pertamina mengimplementasikan Sistem Monitoring dan Pengendalian (SMP) BBM bersubsidi mulai Juli 2013 nanti. 
Kalau memang rencana "duet" kenaikan harga dan pembatasan pembelian BBM bersubsidi jadi terlaksana, semestinya pemerintah tidak usah tanggung-tanggung dalam membuat kebijakan. Sekalian saja melarang sama sekali mobil pribadi menenggak BBM bersubsidi. 
Dana subsidi BBM yang bisa dihemat lebih gede dan bisa menahan laju konsumsi BBM bersubsidi yang dari tahun ke tahun terus naik. Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang merekomendasikan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil pribadi ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghitung, negara bisa menghemat subsidi BBM hingga Rp 80 triliun bila menerapkan kebijakan ini. Sebab, mobil pribadi menyedot 50% BBM bersubsidi dari total konsumsi tahunan. 
Tampaknya, pemerintah tidak mau proyek SMP BBM bersubsidi yang bernilai miliaran rupiah mubazir. Makanya, pemerintah tetap berencana melakukan pembatasan pembelian BBM. Atau, pemerintah sadar betul kenaikan harga tidak cukup ampuh mengerem konsumsi BBM. Makanya, pemerintah membatasi pembelian bensin. 
Catatan saja, tahun 2008, harga premium naik menjadi Rp 6.000 per liter. Toh, konsumsi premium pada tahun itu mencapai 17,94 juta kiloliter (kl), di atas kuota yang cuma 16,97 juta kl. Penggunaan solar yang harganya juga naik menjadi Rp 5.500 per liter juga over kuota. 
Itu sebabnya, kenaikan harga yang katanya bisa menghemat subsidi Rp 20 triliun menjadi tidak berarti amat kalau kuota konsumsi BBM tahun ini yang 46,01 juta kl tetap jebol. Sebab, anggaran subsidi BBM tetap membengkak.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 13 Mei 2013)

MENGEREM KONSUMSI BBM

Di tingkat menteri, pemerintah sudah ketok palu: harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi naik untuk mobil pribadi, sedang untuk sepeda motor dan angkutan umum tetap di harga sekarang, Rp 4.500 per liter.
Tapi, pemerintah belum menetapkan harga premium dan solar khusus kendaraan pelat hitam. Cuma ancer-ancernya, pemilik mobil pribadi yang masih ingin membeli BBM bersubsidi harus merogoh kocek lebih dalam, Rp 6.500�Rp 7.000 seliter.
Kini, kebijakan mahapenting yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak itu � lantaran bisa menjadi pemecut laju inflasi � tinggal menunggu persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masih selalu bimbang. Dalam rapat kabinet, Rabu (17/4) lalu, Presiden belum memutuskan kebijakan dua harga BBM bersubsidi sebagai cara untuk mengendalikan konsumsi premium dan solar.
Kalau kebijakan ini berlaku mulai bulan depan, pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi BBM tahun ini sekitar Rp 21 triliun. Jika molor ke bulan-bulan berikutnya, tentu bujet subsidi yang bisa dihemat lebih kecil lagi.
Tapi, itu dengan catatan tebal: konsumsi BBM bersubsidi tidak lebih dari kuota tahun ini yang hanya 46,01 juta kiloliter (kl). Padahal, kebijakan dua harga BBM bersubsidi belum tentu mengerem pemakaian premium dan solar.
Kenapa? Tahun 2008, harga premium naik menjadi Rp 6.000 per liter berlaku untuk semua jenis kendaraan bermotor, tak terkecuali motor dan angkutan umum. Toh, konsumsi premium tahun itu mencapai 17,94 juta kl, di atas kuota yang cuma 16,97 juta kl. Penggunaan solar yang juga naik menjadi ?Rp 5.500 per liter juga over kuota. 
Semestinya, pemerintah tidak usah tanggung-tanggung dalam membuat kebijakan. Sekalian saja melarang sama sekali mobil pribadi menenggak BBM bersubsidi. Dana subsidi BBM yang bisa dihemat lebih gede dan bisa menahan laju konsumsi BBM bersubsidi yang dari tahun ke tahun terus menanjak. 
Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang merekomendasikan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil pribadi ke Presiden SBY menghitung, negara bisa menghemat subsidi BBM hingga Rp 80 triliun bila menerapkan kebijakan ini. Sebab, mobil pribadi menyedot 50% BBM bersubsidi dari total konsumsi tahunan. 
Kalau pemerintah ingin tetap memberi subsidi kepada para pemilik mobil pribadi, kan, tidak harus berupa subsidi harga BBM. Anggaran subsidi untuk orang kaya bisa dialihkan ke bentuk lain, seperti buat membangun dan memperbaiki jalan serta pengadaan transportasi massal yang nyaman, aman, dan murah. 
Ambil contoh, menambah armada busway dan kereta listrik serta mempercepat pembangunan mass rapit transit (MRT). Jadi, pemilik mobil pribadi mau beralih ke angkutan umum. 
Alhasil, tak hanya konsumsi BBM bersubsidi yang bisa direm, tapi juga kemacetan lalu lintas di Jakarta khususnya bisa berkurang. Kalaupun tidak mau beralih ke angkutan umum, mereka tetap bisa merasakan kenyamanan berkendara di jalan yang mulus tak berlobang. 
Idealnya, sebelum pembatasan konsumsi BBM bersubsidi diterapkan, transportasi massal yang nyaman, aman, dan murah sudah harus tersedia. Sehingga, golongan masyarakat yang terkena efek bisa langsung merasakan salah satu bentuk kompensasi dari kebijakan tersebut. 
Tapi, karena angkutan massal impian itu belum betul-betul tersedia sekarang, bukan berarti pemerintah terus menunda-nunda kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, yang sejatinya sempat akan dijalankan pada akhir kuartal ketiga 2010 silam. 
Untuk itu, pemerintah harus stop berwacana dan segera mengambil keputusan.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Keempat April 2013)

MANFAAT BPJS

Pengoperasian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tinggal delapan bulan lagi. Mulai 1 Januari 2014 nanti, Indonesia akan memasuki babak baru sistem jaminan kesehatan yang mengaver seluruh masyarakat tanpa terkecuali, termasuk bayi orok yang baru lahir. 
Saat ini, pemerintah terus menyiapkan tetek bengek yang berkaitan dengan BPJS Kesehatan, mulai kepesertaan, premi hingga infrastruktur pelayanan kesehatan. Maklum, masih banyak persiapan yang bolong di sana-sini. Misalnya, besaran premi untuk peserta non-penerima bantuan iuran (PBI) belum ditetapkan, lalu puskesmas, rumahsakit, dan dokter masih kurang. 
Terlepas dari persiapan pelaksanaan BPJS Kesehatan yang belum 100%, kelak semua peserta jaminan kesehatan, baik PBI maupun non-PBI akan mendapat manfaat medis yang sama. Yang membedakan adalah manfaat nonmedis berupa fasilitas rawat inap. Manfaat ini tergantung besaran premi yang dibayarkan. 
Contoh, peserta PBI akan memperoleh fasilitas kamar perawatan kelas tiga. Kemudian, peserta non-PBI pekerja yang mengantongi upah bulanan sampai dengan dua kali penghasilan tidak kena pajak mendapat kamar kelas dua.
Cuma ternyata, untuk bisa berobat atau menikmati fasilitas rawat inap di rumahsakit, semua peserta wajib mengantongi surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama, yakni puskesmas atau praktik dokter pribadi.
Artinya, peserta tidak bisa langsung berobat ke rumahsakit, melainkan harus ke puskesmas atau praktik dokter terlebih dahulu. Kecuali, peserta saat itu dalam kondisi gawat darurat. Bagi pekerja yang sebelumnya ikut asuransi kesehatan yang bekerjasama langsung dengan rumahsakit, jaminan kesehatan yang ditawarkan BPJS Kesehatan jelas bikin ribet.
Dan, pekerja tidak bisa mengelak dari kepesertaan BPJS Kesehatan karena bersifat wajib bagi seluruh pekerja penerima upah. Ketentuan ini jelas merugikan pekerja terutama bagi mereka yang sebelumnya ikut asuransi kesehatan yang bekerjasama langsung dengan rumahsakit. 
Sudah gaji bulanan dipotong untuk membayar premi, manfaat yang mereka dapat tidak maksimal. Padahal, sering kali jarak rumahsakit dari rumah pasien lebih dekat ketimbang puskesmas terutama di kota-kota besar. 
Semestinya, BPJS harus memberi manfaat jaminan kesehatan yang tidak merepotkan bagi pesertanya. Sehingga, peserta tidak terpaksa mengikuti program BPJS.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 20 April 2013)

KEBIJAKAN BBM

Bisa jadi, pekan ini bakal ada keputusan mahapenting dari pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Saat ini, pemerintah sedang menggodok kebijakan yang bertujuan untuk mengerem konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Bagaimana tidak? Laporan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menunjukkan, uang negara yang sudah keluar untuk subsidi BBM per hari rata-rata Rp 1,08 triliun. Kalau ini dibiarkan terus hingga akhir tahun, subsidi BBM bisa menembus angka Rp 365 triliun. Padahal, pemerintah cuma menyiapkan bujet untuk subsidi BBM Rp 146,46 triliun.
Tentu, perlu terobosan besar untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi. Larangan kendaraan dinas pemerintah dan perusahaan negara, lalu mobil barang untuk mengangkut hasil pertambangan, perkebunan, dan kehutanan, serta kapal barang nonperintis dan nonpelayaran rakyat menenggak premium dan solar saja tidak cukup.
Sebab kenyataannya, konsumsi BBM bersubsidi selama Januari-Februari tahun ini melebihi kuota bulanan. Terlebih, program pengendalian serupa tahun lalu hanya berhasil menghemat 350.000 kiloliter (kl) premium dan solar dari target sebanyak 1,5 juta kl.
Sebetulnya, cara paling gampang memangkas anggaran subsidi BBM adalah mengerek harga premium dan solar. Tapi konsekuensinya sangat besar. Selain penolakan masyarakat secara massif, juga ancaman inflasi tinggi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, inflasi sepanjang Januari-Maret 2013 saja sudah mencapai 2,43%, sedangkan laju inflasi year on year sebesar 5,9% atau jauh di atas pemerintah tahun ini yang hanya 4,9%.
Itu sebabnya, Komite Ekonomi Nasional (KEN) merekomendasikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar menempuh kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil pribadi mulai Juni nanti. Selain bisa menekan konsumsi premium dan solar, dampak ke inflasi juga tidak besar-besar amat, cuma 0,5%.
Memang, kenaikan harga BBM bersubsidi bisa menggunting subsidi BBM. Tapi, kenaikan harga BBM bersubsidi, apalagi kalau hanya?Rp 500 per liter, belum tentu mengerem konsumsi premium dan solar.
Soalnya, selain disparitas harga dengan BBM nonsubsidi tetap tinggi, masyarakat pasti lebih memilih memakai kendaraan pribadi ketimbang angkutan umum. Sudah tidak nyaman, tarif angkutan umum juga naik akibat harga BBM naik.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 3 April 2013)

BAWANG

Bawang sedang menjadi trending topics terutama di kalangan ibu-ibu rumahtangga. Betapa tidak? Harga bawang merah dan bawang putih naik gila-gilaan dalam tiga pekan terakhir.
Di sejumlah daerah, harga bawang merah menembus angka Rp 65.000 per kilogram (kg), sedang bawang putih mencapai Rp 100.000 per kg. Padahal, harga normal bawang merah cuma berkisar Rp 7.000-Rp 9.000 per kg, sementara bawang putih ?Rp 12.000-Rp 14.000 per kg.
Harga bawang yang meroket itu buntut dari kelangkaan pasokan produk hortikultura ini. Sejumlah kalangan pun menuding kebijakan pemerintah yang memperketat impor produk-produk hortikultura mulai 19 Juni 2012 sebagai biang kerok kelangkaan bawang.
Ditambah, mulai awal 2013 lalu, ruang gerak impor produk hortikultura semakin terbatas. Sebab, pemerintah juga menetapkan kuota impor produk hortikultura. Ada 20 jenis hortikultura yang dibatasi volume ekspornya termasuk bawang.
Sejatinya, kebijakan pemerintah ini sangat mulia: melindungi produk hortikultura dalam negeri. Makanya, pemerintah memang harus melakukan intervensi dengan cara memperketat dan membatasi volume impor produk hortikultura.
Kalau tidak, harga produk hortikultura lokal menjadi turun. Soalnya, kebanyakan orang lebih memilih belanja produk-produk impor. Apalagi, harga produk hortikultura impor juga lebih murah
Nah, jika harga produk hortikultura lokal turun akibat peminatnya berkurang, akhirnya petani malas panen, kebun pun menjadi tidak terawat. Alhasil, areal pertanian akan terserang penyakit tanaman karena tidak dirawat pemiliknya.
Cuma sayang, kebijakan memperketat sekaligus membatasi volume impor yang sebetulnya baik itu kurang dibarengi dengan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas, kuantitas, produktivitas, dan kontinuitas produk hortikultura di dalam negeri. Sehingga, pasokan produk hortikultura lokal khususnya bawang merah dan bawang putih tidak bisa memenuhi permintaan.
Ujungnya, harga jual bawang dan produk hortikultura lainnya melesat tinggi yang kemudian mengerek inflasi. Terbukti, inflasi selama Februari lalu mencapai 0,75% atau tertinggi dalam 10 tahun terakhir, di luar dugaan banyak pihak.
Pemerintah harus bergerak cepat untuk mengamankan pasokan produk hortikultura. Sambil tentunya membantu petani menggenjot produktivitas tanpa mengorbankan kualitas produk hortikultura.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 14 maret 2013)

Minggu, 24 Februari 2013

RUMAHSAKIT

Penolakan 10 rumahsakit terhadap Dera Nur Anggraini, bayi yang baru berusia empat hari dan akhirnya meninggal dunia akhir pekan lalu, kembali membuka tabir wajah rumahsakit kita yang sebenarnya. Alasannya klise: kamar penuh. Ya, dua kata ini, kamar penuh, kerap menjadi senjata rumahsakit untuk menolak pasien.
Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta pun kembali kebakaran jenggot. Kembali? Betul. Sebab, kejadian rumahsakit menolak pasien di ibukota negara kita yang membetot perhatian khalayak ramai, kan, bukan sekali dua kali. Tapi, sudah berkali-kali terjadi. Itu yang terungkap ke publik, lo. Yang tidak terungkap, jumlahnya lebih banyak lagi.
Hanya, pascakejadian tragis yang menimpa Dera, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan DKI mengambil tindakan. Mereka berencana membuat sistem online dengan mengoneksikan semua rumahsakit yang memiliki ruang neonatal intensive care unit (NICU). Sehingga, pasien atau keluar pasien tidak perlu menyambangi satu per satu rumahsakit. Dengan sistem online ini bisa ketahuan, mana saja rumahsakit yang ruang NICU kosong.
Kemudian, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan DKI akan menambah ruang NICU dalam waktu dekat. Dan sebetulnya, mereka sudah menyadari jauh-jauh hari, bahwa ruang NICU di Jakarta kurang. Tapi sayangnya, mereka baru akan menambah fasilitas tersebut setelah jatuh korban jiwa.
Cuma, pekerjaan rumah pemerintah pusat dan daerah tidak berhenti sampai di situ. Soalnya, yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana agar tidak ada lagi penolakan dari unit gawat darurat (UGD) rumahsakit terhadap pasien dalam kondisi parah dan membutuhkan pertolongan segera. Alasan penolakannya sering tidak jelas.
Yang lebih gila lagi, belum lama ini, istri saya yang bekerja sebagai paramedis ambulans bercerita, dokter jaga di UGD sebuah rumahsakit di Jakarta Timur sampai memerintahkan saptam rumahsakit untuk menjaga ambulans tempat istri saya bekerja, supaya tidak menurunkan pasien. Padahal, pasien yang mengalami serangan jantung itu sangat membutuhkan pertolongan.
Undang-Undang Kesehatan menyatakan, tenaga kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien, diancam pidana paling lama dua tahun dan denda Rp 200 juta. Tapi, beleid ini tidak membuat takut para tenaga kesehatan, rupanya.
Potret buram rumahsakit kita.
 
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 22 Februari 2013)

IMPOR HORTIKULTURA

Kebijakan pemerintah memperketat masuknya produk-produk hortikultura dari luar negeri mulai 19 Juni 2012 lalu terbilang berhasil. Sepanjang 2012, Badan Karantina Kementerian Pertanian mencatat, volume impor hortikultura hanya 1,62 juta ton. Angka ini menyusut sebesar 22,12% dibandingkan dengan impor 2011 yang mencapai 2,08 juta ton. Penurunan impor hortikultura paling tajam adalah produk buah. Impor buah-buahan merosot hingga 30,35%.
Tak berhenti sampai di situ, mulai awal 2013, ruang gerak impor hortikultura semakin terbatas. Sebab, pemerintah juga menetapkan kuota impor hortikultura. Ada 20 jenis hortikultura yang dibatasi volume ekspornya, misalnya, jeruk.
Ya, pemerintah memang harus melakukan intervensi. Kalau tidak, harga buah lokal menjadi menurun. Soalnya, sudah barang tentu, pembeli lebih memilih belanja buah-buahan impor yang penampilan lebih ciamik dan rasanya oke punya dari buah nusantara. Bahkan, harga buah impor juga lebih murah.
Nah, jika harga buah lokal turun akibat peminatnya berkurang, akhirnya petani malas panen, kebun menjadi tidak terawat. Alhasil, areal pertanian akan terserang penyakit karena tidak dirawat.
Cuma, kebijakan memperketat sekaligus membatasi volume impor harus pemerintah barengi dengan upaya untuk memperbaiki kualitas, kuantitas, produktivitas, dan kontinuitas produk hortikultura di dalam negeri. Sehingga, pembeli bisa jatuh cinta lagi kepada buah-buahan lokal. Petani pun kembali bergairah.
Dan ujungnya, ruang buah-buahan impor semakin sempit. Memang, kebijakan memperketat dan membatasi volume impor hortikultura menyulut protes dari negara-negara produsen buah-buahan dan sayur mayur. Walhasil, empat negara: Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Kanada mengadukan Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Tapi sebetulnya, mereka tidak fair. Pasalnya, negara lain juga selalu ketat saat kita mau memasukkan produk hortikultura ke negara mereka. Ambil contoh, kalau negara kita ingin memasukkan produk ke Jepang, mereka akan meneliti, apakah ada lalat buah atau tidak, ada organisme pengganggu tanaman karantina atau tidak, lalu kandungan metil bromida, macam-macam pestisida, serta logam berat.
Karena itu, lagi-lagi, langkah yang tepat, pemerintah membuat level treatment antara negara kita dengan negara lain setara. Kenapa? Karena kita juga negara yang berdaulat.
 
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 5 Februari 2013)

HARUS LEBIH REALISTIS

Masih "pagi". Tahun 2013 baru berjalan 15 hari, tapi pemerintah belum-belum sudah berencana merevisi sejumlah asumsi makroekonomi yang ada di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013. Terutama inflasi, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan lifting minyak mentah.
Dalam paparannya saat rapat kerja dengan Komisi Keuangan (XI) DPR, Senin (14/1) lalu, Pemerintah memproyeksikan, semua asumsi makro di APBN 2013 bisa meleset dari target. Contoh, inflasi yang semula dipatok sebesar 4,9%, tahun ini bisa berada di kisaran 4,9% hingga 5,3%. Nilai tukar rupiah yang ditetapkan Rp 9.300 per dollar AS bisa melemah ke Rp 9.700 per dollar AS.
Lucunya, Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro berdalih asumsi di APBN 2013 pemerintah buat pada Mei 2012. "Tahun ini, kondisi memang sudah membaik, tapi tak sebagus saat kami membuat perkiraan APBN 2013," kilahnya.
Semestinya, pemerintah tidak menjadikan dalih itu sebagai alasan. Sebab, ada ruang buat pemerintah untuk mengubah asumsi makro yang mereka usulkan saat membahas Rancangan APBN (RAPBN) 2013 dengan DPR. Apalagi, penggodokan RAPBN 2013 di Senayan--tempat para wakil rakyat berkantor--bergulir mulai September 2012.
Itu berarti, ketika itu, pemerintah mengantongi data-data terbaru yang bisa mempengaruhi asumsi makro negara kita sepanjang 2013. Buktinya, misal, Nota Keuangan dan APBN 2013 menyebutkan, ke depan, tekanan terhadap pergerakan nilai tukar mata uang garuda salah satunya akan bersumber dari semakin menurunnya surplus neraca perdagangan Indonesia.
Dan, ketika pembahasan asumsi makro RAPBN 2013 berlangsung, fakta menunjukkan, neraca perdagangan bulanan kita sudah mencetak defisit tiga kali berturut-turut selama paro pertama tahun lalu: April hingga Juni. Ini merupakan catatan terburuk sepanjang sejarah ekspor impor Indonesia. Saat itu, BPS dan Kementerian Perdagangan juga memperkirakan, defisit akan berlanjut hingga akhir 2013.
Artinya, kondisi yang tidak jauh berbeda akan berulang di tahun ini. Jadi seharusnya, pemerintah sudah melakukan antisipasi dengan tidak mempertahankan usulan asumsi makro yang ada di RAPBN 2013. Sehingga, pemerintah lebih realistis dalam menyusun anggaran. Jangan mentang-mentang ada opsi untuk merevisi APBN, lalu pasang target yang muluk-muluk.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 16 Januari 2013)

Selasa, 01 Januari 2013

KELAS MENENGAH DAN KEMACETAN

Negara kita saat ini sedang dilanda euforia kelas menengah. Banyak kalangan bicara soal kelas menengah Indonesia yang tumbuh luar biasa. Mulai dari presiden, menteri, pelaku usaha, pengamat ekonomi, sampai mahasiswa.
Ya, pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2000 melahirkan banyak masyarakat kelas menengah Indonesia. Data Bank Dunia menunjukkan, pada 2011 lalu, 56,5% dari 237 juta penduduk negara kita masuk kategori kelas menengah. Itu berarti, ada 134 juta warga kelas menengah. Padahal di tahun 2003, jumlah kelas menengah Indonesia baru 81 juta orang.
Memang, istilah kelas menengah masih mengandung perdebatan. Berdasarkan apa orang masuk kelas menengah? Cara berpakaian? Besar pengeluaran? Atau, pekerjaan? Cuma, Bank Pembangunan Asia (ADB) mendefinisikan kelas menengah dengan rentang pengeluaran per kapita per hari sebesar
US$ 2–US$ 20. Rentang inilah yang kini banyak dipakai untuk mengukur jumlah kelas menengah di Indonesia. Tapi, ada yang lebih suka menyebut orang yang masuk dalam rentang pengeluaran itu dengan kelas konsumen baru, bukan kelas menengah.
Apa pun definisi dari kelas menengah, yang jelas pertumbuhan kelas menengah kita memang luar biasa. Pertumbuhan kelas menengah sebagai bukti ekonomi berjalan baik bisa kita lihat pada pelbagai fenomena. Kita lihat orang antre di kasir Carrefour, orang nongkrong di 7-Eleven, orang menggenggam ponsel cerdas alias smartphone, tiket kereta api dan pesawat ludes saat musim libur, atau jumlah penumpang pesawat makin bertambah.
Betul. Kemajuan apa pun sekarang dikaitkan dengan kelas menengah. Sampai-sampai, jalanan macet pun dihubungkan dengan kelas menengah. Tak salah memang. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memperkirakan, penjualan mobil tahun ini bakal menembus angka 1,1 juta unit. Angka ini pastinya jauh di atas penjualan mobil tahun lalu yang hanya 894.000 unit.
Alhasil, “penyakit” bernama kemacetan lalulintas di kota-kota besar terutama Jakarta semakin akut saja. Inilah salah satu risiko sosial dari pertumbuhan kelas menengah kita yang cukup memukau. Dan, untuk mengurai kemacetan lalulintas yang kian parah di Ibukota RI, jelas butuh terobosan “gila”.
Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang belum genap 100 hari memimpin DKI Jakarta berencana menerapkan pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan pelat nomor ganjil genap. Yang lebih gila lagi, pasangan fenomenal ini bakal menghapus bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di seantero Jakarta. Lewat dua rencana itu, mereka berharap, pengguna kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor, beralih ke angkutan umum. Cara ini sesuai dengan jurus utama mereka untuk mengurai kemacetan: people mobilization, bukan car mobilization. Jadi, menggerakan orang, bukan mobil.
Rencana yang bukan tidak mungkin mengurai kemacetan akut di Jakarta. Tapi, sebelum kedua kebijakan itu berlaku, tentunya, Jokowi–Ahok harus merealisasikan dulu angkutan umum massal yang nyaman, aman, cepat, dan terjangkau ongkosnya. Kalau tidak, siapa juga yang mau beralih ke angkutan umum. Nah, jika benar Jokowi–Ahok melarang penjualan premium dan solar di stasiun pengisian bahan bakar umum di Jakarta, subsidi BBM bisa dialihkan untuk pengadaan angkutan umum dan pembangunan infrastrukturnya.
Bila Jakarta punya angkutan umum nyaman, aman, cepat, dan terjangkau ongkosnya, kelak kita akan melihat fenomena baru kelas menengah: naik angkutan umum.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Pertama Januari 2013)

SMS PREMIUM

Bagi pengguna telepon seluler, siap-siap saja banjir tawaran pesan singkat (SMS) premium. Aturan main yang ditunggu-tunggu penyedia konten alias content provider bakal segera terbit. Paling cepat Februari 2013 nanti, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) akan merilis peraturan baru mengenai penyelenggaraan jasa penyediaan jasa konten pada jaringan telekomunikasi.
Beleid tersebut merupakan revisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Permenkominfo) Nomor 1 Tahun 2009. Banyak ketentuan anyar yang mengatur penyelenggaraan jasa penyediaan konten, yang semangatnya melindungi konsumen pengguna telepon seluler.
Maklum, kasus pencurian pulsa marak terjadi tahun lalu dengan modus SMS premium. Bahkan, Mabes Polri memperkirakan, total kerugian konsumen akibat kasus itu mencapai Rp 1 triliun.
Nah, agar kasus pencurian pulsa tidak terulang lagi. Kelak, aturan main SMS premium bakal lebih ketat. Contoh, ketentuan pendaftaran atau registrasi jasa konten berlangganan-berbayar. Setelah calon pelanggan mendaftar, penyelenggara jasa penyediaan konten melakukan konfirmasi yang berisi informasi nama konten, biaya, periode berlangganan, dan pemastian berlangganan. Setelah itu, calon pelanggan melakukan persetujuan dengan membalas konfirmasi berlangganan dari penyedia konten. Kalau tidak membalas, registrasi batal.
Tak hanya itu, pengurusan perizinan content provider juga berlapis, yakni izin prinsip dan izin penyelenggaraan. Sebelum mengantongi izin penyelenggaraan, content provider harus melalui serangkaian uji layak operasi. Uji laik operasi bertujuan untuk menguji kepatuhan sistem penyediaan konten.
Content provider pasti keberatan dengan aturan main yang baru ini. Saat ini saja bisnis mereka sudah mati suri, apalagi kalau peraturan tersebut berlaku nantinya.
Tapi, dengan kehadiran aturan baru itu, paling tidak pengguna telepon seluler lebih terlindungi dari kasus pencurian pulsa. Konsumen juga terlindungi dari gangguan privasi dan penawaran yang mengganggu. Sebab, content provider bisa menawarkan konten melalui operator seluler hanya kepada calon pelanggan yang telah menyatakan persetujuan (Opt-In).
Sebetulnya, sejak kasus pencurian pulsa, masyarakat sudah makin berhati-hati terhadap setiap penawaran SMS premium. Cuma, lewat aturan baru SMS premium itu, mereka merasa terlindungi.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 27 Desember 2012)

HARGA BBM

Antrean panjang kendaraan bermotor di banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), yang menjadi pemandangan umum dua pekan lalu, sudah tidak tampak lagi. Masalah utama yang membuat antrean mobil dan sepeda motor mengular bak ular naga panjangnya bukan kepalang di pom bensin sudah teratasi.
Kuota BBM bersubsidi cukup sampai akhir tahun, setelah pemerintah menambah 1,23 juta kiloliter (kl) menjadi 45,27 juta kl. Pemerintah memang tidak punya pilihan lain kecuali menambah kuota BBM bersubsidi. Sebab, kuota BBM yang hanya 44,04 juta kl cuma cukup sampai 21 Desember 2012.
Sejatinya, pemerintah lewat Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencoba mengerem konsumsi premium dan solar, dengan cara mengurangi jatah kuota harian tiap-tiap daerah. Sehingga, kuota tetap 44,04 juta kl.
Tapi yang terjadi, antrean panjang kendaraan bermotor mengular di banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Dan, kejadian yang lebih parah buntut dari antrean di pom bensin adalah menyulut kerusuhan berbau SARA di Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Kuota BBM bersubsidi yang jebol sebetulnya selalu berulang setiap tahun. Dan, tahun depan tampaknya kuota BBM bersubsidi yang hanya 46,01 juta kl juga bakal jebol. Soalnya, rata-rata peningkatan konsumsi premium dan solar per tahun sebesar 11%. Jadi idealnya, kuota BBM bersubsidi di 2013 nanti semestinya paling tidak, ya, 50 juta kl.
Itu sebabnya, perlu langkah ekstrem untuk mengerem laju konsumsi BBM bersubsidi tahun depan. Kalau tidak, duit negara habis terbakar untuk subsidi BBM. Cara yang paling mudah menyelamatkan anggaran negara adalah mengerek harga premium dan solar.
Nah, agar bisa menahan konsumsi BBM bersubsidi, selisih harga BBM bersubsidi dengan nonsubsidi tidak boleh lebar-lebar amat. Jadi, harga BBM bersubsidi setelah naik mesti mendekati BBM nonsubsidi. Paling tidak rentang harganya tidak lebih dari Rp 3.000 per liter.
Dengan begitu, pemilik kendaraan bermotor terutama mobil mau beralih memakai BBM nonsubsidi. Sebab, selisih harganya dengan BBM bersubsidi tidak terlalu besar seperti sekarang yang mencapai dua kali lipat. Jadi, pemerintah bisa memangkas bujet subsidi BBM dari kenaikan harga dan penggunaan BBM bersubsidi yang turun.
Cuma masalahnya, pemerintah berani tidak menaikkan harga BBM bersubsidi tahun depan?


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 6 Desember 2012)

ALIH DAYA

Meski pengusaha sektor alih daya alias outsourcing belum sepakat, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar tetap merilis aturan main baru tentang sistem outsourcing. Ketentuan ini tertuang dalam peraturan menakertrans yang Muhaimin teken pada Kamis (15/11) pekan lalu.
Seperti yang sudah digembar-gemborkan sebelumnya, lewat beleid itu, pemerintah cuma mengizinkan lima jenis pekerjaan untuk dialih daya, yaitu jasa pembersihan (cleaning service), keamanan, transportasi, katering, serta jasa migas dan pertambangan. Muhaimin lebih senang menyebutnya dengan pola hubungan kerja dengan perusahaan pengerah jasa pekerja.
Cuma masalahnya, aturan anyar soal outsourcing masih membuka ruang bagi jenis pekerjaan lain untuk dialih dayakan. Hanya sistemnya dengan pola pemborongan yang menggunakan subkontrak perusahaan atawa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Dan, Muhaimin mengklaim, semua pihak termasuk pengusaha dan buruh sepakat dengan aturan main baru ini.
Atinya, outsourcing sejatinya tetap berlaku untuk jenis pekerjaan lain. Hanya polanya saja yang berbeda, yakni pemborongan. Dan, sejauh ini Muhaimin belum menegaskan, apakah pekerjaan yang dialihkan dengan pola pemborongan juga termasuk pekerjaan inti. Kalau pekerjaan inti tetap boleh dialihdayakan, sekalipun polanya borongan, tentu sama saja bohong, dong.
Itu sebabnya, Permenakertrans Outsourcing harus sesuai dengan perintah Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan yang sudah "direvisi" Mahkamah Konstitusi. Yaitu, bidang pekerjaan yang boleh diberikan pada perusahaan outsourcing adalah pekerjaan yang bukan merupakan kegiatan utama perusahaan. Memang, sih, aturan main di UU Ketenagakerjaan mengenai outsourching sebetulnya tidak jelas dan tegas amat. Makanya, di permenakertrans harus ada kriteria tentang pekerjaan inti dan non-inti dengan lebih jelas dan tegas.
Jadi, pengusaha tidak bisa lagi mengambil keuntungan dari ketidakjelasan kriteria pekerjaan inti dan non-inti. Dengan aturan yang tidak jelas, pengusaha menjadi leluasa membuat aturan yang paling menguntungkan buat mereka.
Setelah permenakertrans ini berlaku, pemerintah pusat dan daerah harus rajin turun ke lapangan untuk mengecek pelaksanaannya. Jangan sampai ada yang melanggar. Kalau ada yang nekad melanggar, sanksinya harus betul-betul tegas.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 19 November 2012)

SAPI PERAH

Bukan barang baru, sebetulnya, badan usaha milik negara (BUMN) menjadi sapi perahan sejumlah individu maupun kelompok. Bahkan, perusahaan pelat merah yang merugi pun tak luput dari sasaran pemerasan.
Tapi, ibarat kentut yang cuma tercium baunya, kebanyakan kabar pemerasan terhadap perusahaan pelat merah yang beredar sulit dibuktikan. Tak ada yang berani bicara secara blak-blakan ke publik untuk mengungkap fakta.

Dan, Dahlan Iskan menjadi salah satu orang yang berani membuka praktik pemerasan beberapa anggota DPR terhadap perusahaan milik pemerintah. Kemarin, Menteri BUMN ini menyerahkan dua nama anggota dewan yang "memalak" dan tiga peristiwa "pemalakan" ke Badan Kehormatan DPR.
Menurut Dahlan, praktik pemerasan itu berkaitan dengan penyertaan modal negara (PNM) dan terjadi tahun ini. Dahlan memang tidak menyebut nama-nama BUMN yang menjadi sapi perahan.
Namun, sekadar informasi saja, tahun ini, pemerintah merilis 14 peraturan pemerintah yang masing-masing berisi penambahan PNM kepada PT ASDP Indonesia Ferry, PT Jasa Tirta I, PT Angkasa Pura II, PT Pelabuhan Indonesia (Pelinod) III, PT Pertamina, PT Pelindo I, Perum Damri, Perum Percetakan Negara, PT Pelni, Perum Prasarana Perikanan Samudera, PT Pos Indonesia, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, PT Nindya Karya, dan ?PT Dirgantara Indonesia.
Tentu, penambahan penyertaan modal ini membutuhkan lampu hijau dari Senayan, tempat wakil rakyat bermarkas. Nah, permohonan penambahan PMN itu menjadi celah bagi anggota DPR melakukan pemerasan terhadap BUMN. Kalau mau mendapat persetujuan, tentu ada harganya dan tidak murah.
Hanya, praktik pemerasan terhadap BUMN tidak hanya terjadi sewaktu pemerintah ingin menambah penyertaan modal, tapi juga ketika meminta izin privatisasi. Seorang pejabat BUMN pernah membisikkan, untuk mengantongi restu privatisasi dari DPR kala itu, perusahaannya harus menyerahkan upeti hingga miliaran rupiah. Wow!
Dahlan bilang, ada empat modus yang sering dilakukan anggota DPR untuk meminta jatah kepada BUMN. Yakni, meminta jatah uang, proyek, fasilitas, dan sanak saudaranya menjadi pegawai BUMN.
Ya, semoga saja langkah Dahlan ini betul-betul memberi efek jera bagi anggota DPR. Sehingga, tidak ada lagi praktik pemerasan terhadap BUMN. Mungkin enggak, ya?


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 6 November 2012)