Senin, 08 Juli 2013

BERBURU PAJAK

Musim perburuan pajak pun tiba. Meski di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 target pajak menciut lebih dari
Rp 53 triliun ketimbang APBN 2013, fakta itu tidak menyurutkan pemerintah untuk mengejar penerimaan dari sektor pajak. Maklum, target penerimaan pajak tahun ini tetap besar, sekitar Rp 981 triliun.
Perburuan kali ini juga menyasar usaha kecil dan menengah (UKM). Dasarnya: Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Lewat beleid yang terbit akhir Juni lalu tersebut, pemerintah memungut PPh final sebesar 1% dari omzet kepada wajib pajak pribadi dan badan yang menjalankan kegiatan usaha atau jasa, kecuali pekerjaan bebas, dengan penghasilan selama satu tahun di bawah Rp 4,8 miliar.
Tahun ini, pemerintah memang tidak bisa berharap banyak lagi kepada sektor ekspor dan wajib pajak besar. Perekonomian dunia yang masih lesu membuat wajib pajak besar yang terkait dengan sektor pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan manufaktur terpukul. Sehingga, penerimaan pajak dari sektor tersebut juga turun.
Alhasil, pemerintah harus membidik sektor non-tradeable termasuk ritel yang merupakan UKM. Jumlahnya yang mencapai ratusan ribu bahkan jutaan jelas menyimpan potensi pajak yang besar. Apalagi, sektor tersebut saat ini sedang tumbuh. Dan, selama ini penerimaan pajak dari UKM cuma 0,5% dari total penerimaan. Padahal, kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 61%.
Demi keadilan, pemerintah memang harus memburu pajak dari UKM. Soalnya, buruh yang berpenghasilan di atas Rp 24 juta per tahun saja kena potongan pajak. Tentu tidak adil kalau pemerintah membiarkan UKM yang mengantongi omzet miliaran rupiah tidak membayar pajak. Tapi, jangan sampai niat baik pemerintah ini justru menjadi penghambat bagi perkembangan UKM. Pemerintah harus taat pada aturan main yang mereka buat sendiri. Misalnya, membebaskan pajak atas UKM yang baru berdiri atau tahap investasi. Istilahnya, masih dalam proses tumbuh kembang.
Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, pemerintah juga harus memperbaiki internal Direktorat Jenderal Pajak. Sebab nyatanya, masih ada, mungkin banyak Gayus Tambunan-Gayus Tambunan di lembaga pemungut pajak ini.         


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 5 Juli 2013)

TETAP SALAH SASARAN

Paska DPR mensahkan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013, Senin (17/6) lalu, sejumlah teman memposting link artikel berjudul Hitung-Hitungan Subsidi BBM di sebuah harian nasional ke dinding akun Facebook mereka. 
Saran mereka sama: buat yang menolak kenaikan harga BBM bersubsidi untuk membaca artikel tersebut. Artikel yang ditulis Rimawan Pradiptyo, dosen Universitas Gadjah Mada itu intinya membahas subsidi BBM yang salah sasaran, sehingga tidak layak mempertahankan anggaran tersebut dalam jumlah yang sangat besar seperti sekarang. 
Saya sangat setuju. Cuma, cara mengurangi bujet subsidi BBM yang setiap tahun selalu meningkat tidak harus dengan mengerek harga premium dan solar. Apalagi, pemerintah selalu menggunakan alasan subsidi BBM salah sasaran lantaran lebih banyak dinikmati pemilik mobil pribadi, sebagai dasar menaikkan harga BBM bersubsidi. 
Padahal, dengan mengatrol harga premium hanya sebesar Rp 2.000 per liter menjadi Rp 6.500 seliter, itu berarti, pemerintah tetap memberi subsidi kepada pemilik mobil pribadi yang merupakan penikmat subsidi BBM paling besar. Alhasil, subsidi BBM tetap salah sasaran. 
Semestinya, biar tidak salah sasaran, pemerintah menutup saja keran subsidi BBM untuk pemilik mobil pribadi. Jadi, anggaran subsidi BBM hanya mengalir ke pemilik sepeda motor, angkutan umum, angkutan barang, dan nelayan. 
Cara ini sesuai dengan rencana awal pemerintah sebelum keluar opsi mengerek harga BBM bersubsidi. Lagian, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, bukan berarti persoalan terus selesai. Memang anggaran subsidi BBM bisa berkurang drastis dan duit hasil penghematan bisa untuk rakyat miskin serta membangun infrastruktur. 
Tapi, yang sebenarnya semua orang tahu, adalah ada efek lanjutan dari kenaikan harga BBM, yakni kenaikan harga barang dan jasa. Semua rakyat bakal terpukul inflasi yang tinggi, bukan hanya masyarakat miskin. Tapi, apa mau dikata, kenaikan harga BBM bersubsidi sudah harga mati. Rakyat tinggal menunggu saja, kapan harga baru premium dan solar berlaku. 
Cuma, agar subsidi BBM tidak terlalu salah sasaran amat, pemerintah juga mesti memberantas praktik penyimpangan dan penyelundupan BBM. Soalnya, jumlah BBM yang diselewengkan serta diselundupkan tidak sedikit, dan selalu naik setiap tahun. Sehingga, subsidi BBM pun tidak sia-sia.
 
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 20 Juni 2013)

KUOTA BBM

Pekan ini dan selama dua minggu ke depan, pemerintah dan DPR sibuk menggodok Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2013. Salah satu perubahan yang pemerintah sodorkan adalah kuota konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dari tadinya hanya 46 juta kiloliter (kl) di APBN 2013 menjadi 48 juta kl. 
Sejatinya, tambahan kuota ini tidak besar-besar amat. Sebab, sebagai gambaran saja, tahun lalu, konsumsi BBM bersubsidi mencapai 45,2 juta kl. Jika berangkat dari konsumsi BBM tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya, rata-rata pertumbuhan konsumsi per tahun mencapai 9%. 
Jadi, penambahan kuota BBM tahun ini mestinya sekitar 9% dari 45,2 juta kiloliter. Itu berarti, seharusnya pemerintah meminta tambahan kuota BBM bersubsidi tahun ini sekitar 4 juta kl. Sehingga, kuota BBM bersubsidi menembus angka 50 juta kl. 
Tapi kenyataannya pemerintah hanya meminta tambahan 2 juta kl. Dan, Rabu (29/5) lalu, Komisi Energi (VII) menyetujui permintaan pemerintah. Perinciannya, premium dan bioetanol menjadi 30,77 juta kl, minyak tanah 1,2 juta kl, serta minyak solar dan biodiesel 16,03 juta kl. 
Tanpa pengendalian, tidak mustahil konsumsi BBM bersubsidi tahun ini bakal mencapai 50 juta kl, sekalipun harga premium dan solar naik, masing-masing menjadi Rp 6.500 per liter dan Rp 5.500 seliter. Bagaimana tidak? Tahun ini, penjualan mobil bisa mencapai 1,1 juta unit dan sepeda motor 7,1 juta unit. 
Itu sebabnya, kalau mau kuota tidak jebol seperti tahun yang sudah-sudah, pemerintah harus melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Rencana membatasi pembelian premium untuk mobil pribadi cukup masuk akal. Asalkan, kebijakan ini mendapat dukungan teknologi informasi (IT) berupa alat radio frekuensi identification (RFID). 
Tapi, itu saja tidak cukup, pengawasan superketat harus tetap berjalan. Soalnya, penambahan kuota tak selalu merefleksikan permintaan riil di konsumen yang tinggi. Tapi, bisa jadi karena faktor penyelundupan dan penimbunan BBM bersubsidi. 
Tengok saja data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), total BBM bersubsidi yang akan diselundupkan tahun lalu dan berhasil digagalkan mencapai 253.311,72 kl, melonjak 200 kali lipat ketimbang tahun sebelumnya. 
Karena itu, agar tidak makin banyak duit negara yang terbakar BBM bersubsidi, pemerintah harus membatasi pembelian premium sambil memperketat pengawasan. 
 
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 31 Mei 2013)

TETAP BENGKAK

Belum habis rasa bingung masyarakat terhadap rencana kebijakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang gonta-ganti, publik kembali dikejutkan dengan rencana baru pemerintah. 
Kelak, selain menaikkan harga bensin, pemerintah juga bakal membatasi pembelian BBM bersubsidi. Pemilik mobil pribadi nantinya hanya boleh membeli premium dan solar sebanyak 30 liter per 10 hari atau rata-rata tiga liter per hari. Sedangkan pemilik sepeda motor cuma boleh membeli 7 liter per 10 hari atau rata-rata 0,7 liter sehari. Kecuali angkutan umum yang tidak dibatasi pembeliannya. 
Menurut Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, pembatasan pembelian ini akan dijalankan bersamaan dengan langkah PT Pertamina mengimplementasikan Sistem Monitoring dan Pengendalian (SMP) BBM bersubsidi mulai Juli 2013 nanti. 
Kalau memang rencana "duet" kenaikan harga dan pembatasan pembelian BBM bersubsidi jadi terlaksana, semestinya pemerintah tidak usah tanggung-tanggung dalam membuat kebijakan. Sekalian saja melarang sama sekali mobil pribadi menenggak BBM bersubsidi. 
Dana subsidi BBM yang bisa dihemat lebih gede dan bisa menahan laju konsumsi BBM bersubsidi yang dari tahun ke tahun terus naik. Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang merekomendasikan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil pribadi ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghitung, negara bisa menghemat subsidi BBM hingga Rp 80 triliun bila menerapkan kebijakan ini. Sebab, mobil pribadi menyedot 50% BBM bersubsidi dari total konsumsi tahunan. 
Tampaknya, pemerintah tidak mau proyek SMP BBM bersubsidi yang bernilai miliaran rupiah mubazir. Makanya, pemerintah tetap berencana melakukan pembatasan pembelian BBM. Atau, pemerintah sadar betul kenaikan harga tidak cukup ampuh mengerem konsumsi BBM. Makanya, pemerintah membatasi pembelian bensin. 
Catatan saja, tahun 2008, harga premium naik menjadi Rp 6.000 per liter. Toh, konsumsi premium pada tahun itu mencapai 17,94 juta kiloliter (kl), di atas kuota yang cuma 16,97 juta kl. Penggunaan solar yang harganya juga naik menjadi Rp 5.500 per liter juga over kuota. 
Itu sebabnya, kenaikan harga yang katanya bisa menghemat subsidi Rp 20 triliun menjadi tidak berarti amat kalau kuota konsumsi BBM tahun ini yang 46,01 juta kl tetap jebol. Sebab, anggaran subsidi BBM tetap membengkak.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 13 Mei 2013)

MENGEREM KONSUMSI BBM

Di tingkat menteri, pemerintah sudah ketok palu: harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi naik untuk mobil pribadi, sedang untuk sepeda motor dan angkutan umum tetap di harga sekarang, Rp 4.500 per liter.
Tapi, pemerintah belum menetapkan harga premium dan solar khusus kendaraan pelat hitam. Cuma ancer-ancernya, pemilik mobil pribadi yang masih ingin membeli BBM bersubsidi harus merogoh kocek lebih dalam, Rp 6.500�Rp 7.000 seliter.
Kini, kebijakan mahapenting yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak itu � lantaran bisa menjadi pemecut laju inflasi � tinggal menunggu persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masih selalu bimbang. Dalam rapat kabinet, Rabu (17/4) lalu, Presiden belum memutuskan kebijakan dua harga BBM bersubsidi sebagai cara untuk mengendalikan konsumsi premium dan solar.
Kalau kebijakan ini berlaku mulai bulan depan, pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi BBM tahun ini sekitar Rp 21 triliun. Jika molor ke bulan-bulan berikutnya, tentu bujet subsidi yang bisa dihemat lebih kecil lagi.
Tapi, itu dengan catatan tebal: konsumsi BBM bersubsidi tidak lebih dari kuota tahun ini yang hanya 46,01 juta kiloliter (kl). Padahal, kebijakan dua harga BBM bersubsidi belum tentu mengerem pemakaian premium dan solar.
Kenapa? Tahun 2008, harga premium naik menjadi Rp 6.000 per liter berlaku untuk semua jenis kendaraan bermotor, tak terkecuali motor dan angkutan umum. Toh, konsumsi premium tahun itu mencapai 17,94 juta kl, di atas kuota yang cuma 16,97 juta kl. Penggunaan solar yang juga naik menjadi ?Rp 5.500 per liter juga over kuota. 
Semestinya, pemerintah tidak usah tanggung-tanggung dalam membuat kebijakan. Sekalian saja melarang sama sekali mobil pribadi menenggak BBM bersubsidi. Dana subsidi BBM yang bisa dihemat lebih gede dan bisa menahan laju konsumsi BBM bersubsidi yang dari tahun ke tahun terus menanjak. 
Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang merekomendasikan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil pribadi ke Presiden SBY menghitung, negara bisa menghemat subsidi BBM hingga Rp 80 triliun bila menerapkan kebijakan ini. Sebab, mobil pribadi menyedot 50% BBM bersubsidi dari total konsumsi tahunan. 
Kalau pemerintah ingin tetap memberi subsidi kepada para pemilik mobil pribadi, kan, tidak harus berupa subsidi harga BBM. Anggaran subsidi untuk orang kaya bisa dialihkan ke bentuk lain, seperti buat membangun dan memperbaiki jalan serta pengadaan transportasi massal yang nyaman, aman, dan murah. 
Ambil contoh, menambah armada busway dan kereta listrik serta mempercepat pembangunan mass rapit transit (MRT). Jadi, pemilik mobil pribadi mau beralih ke angkutan umum. 
Alhasil, tak hanya konsumsi BBM bersubsidi yang bisa direm, tapi juga kemacetan lalu lintas di Jakarta khususnya bisa berkurang. Kalaupun tidak mau beralih ke angkutan umum, mereka tetap bisa merasakan kenyamanan berkendara di jalan yang mulus tak berlobang. 
Idealnya, sebelum pembatasan konsumsi BBM bersubsidi diterapkan, transportasi massal yang nyaman, aman, dan murah sudah harus tersedia. Sehingga, golongan masyarakat yang terkena efek bisa langsung merasakan salah satu bentuk kompensasi dari kebijakan tersebut. 
Tapi, karena angkutan massal impian itu belum betul-betul tersedia sekarang, bukan berarti pemerintah terus menunda-nunda kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, yang sejatinya sempat akan dijalankan pada akhir kuartal ketiga 2010 silam. 
Untuk itu, pemerintah harus stop berwacana dan segera mengambil keputusan.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Keempat April 2013)

MANFAAT BPJS

Pengoperasian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tinggal delapan bulan lagi. Mulai 1 Januari 2014 nanti, Indonesia akan memasuki babak baru sistem jaminan kesehatan yang mengaver seluruh masyarakat tanpa terkecuali, termasuk bayi orok yang baru lahir. 
Saat ini, pemerintah terus menyiapkan tetek bengek yang berkaitan dengan BPJS Kesehatan, mulai kepesertaan, premi hingga infrastruktur pelayanan kesehatan. Maklum, masih banyak persiapan yang bolong di sana-sini. Misalnya, besaran premi untuk peserta non-penerima bantuan iuran (PBI) belum ditetapkan, lalu puskesmas, rumahsakit, dan dokter masih kurang. 
Terlepas dari persiapan pelaksanaan BPJS Kesehatan yang belum 100%, kelak semua peserta jaminan kesehatan, baik PBI maupun non-PBI akan mendapat manfaat medis yang sama. Yang membedakan adalah manfaat nonmedis berupa fasilitas rawat inap. Manfaat ini tergantung besaran premi yang dibayarkan. 
Contoh, peserta PBI akan memperoleh fasilitas kamar perawatan kelas tiga. Kemudian, peserta non-PBI pekerja yang mengantongi upah bulanan sampai dengan dua kali penghasilan tidak kena pajak mendapat kamar kelas dua.
Cuma ternyata, untuk bisa berobat atau menikmati fasilitas rawat inap di rumahsakit, semua peserta wajib mengantongi surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama, yakni puskesmas atau praktik dokter pribadi.
Artinya, peserta tidak bisa langsung berobat ke rumahsakit, melainkan harus ke puskesmas atau praktik dokter terlebih dahulu. Kecuali, peserta saat itu dalam kondisi gawat darurat. Bagi pekerja yang sebelumnya ikut asuransi kesehatan yang bekerjasama langsung dengan rumahsakit, jaminan kesehatan yang ditawarkan BPJS Kesehatan jelas bikin ribet.
Dan, pekerja tidak bisa mengelak dari kepesertaan BPJS Kesehatan karena bersifat wajib bagi seluruh pekerja penerima upah. Ketentuan ini jelas merugikan pekerja terutama bagi mereka yang sebelumnya ikut asuransi kesehatan yang bekerjasama langsung dengan rumahsakit. 
Sudah gaji bulanan dipotong untuk membayar premi, manfaat yang mereka dapat tidak maksimal. Padahal, sering kali jarak rumahsakit dari rumah pasien lebih dekat ketimbang puskesmas terutama di kota-kota besar. 
Semestinya, BPJS harus memberi manfaat jaminan kesehatan yang tidak merepotkan bagi pesertanya. Sehingga, peserta tidak terpaksa mengikuti program BPJS.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 20 April 2013)

KEBIJAKAN BBM

Bisa jadi, pekan ini bakal ada keputusan mahapenting dari pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Saat ini, pemerintah sedang menggodok kebijakan yang bertujuan untuk mengerem konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Bagaimana tidak? Laporan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menunjukkan, uang negara yang sudah keluar untuk subsidi BBM per hari rata-rata Rp 1,08 triliun. Kalau ini dibiarkan terus hingga akhir tahun, subsidi BBM bisa menembus angka Rp 365 triliun. Padahal, pemerintah cuma menyiapkan bujet untuk subsidi BBM Rp 146,46 triliun.
Tentu, perlu terobosan besar untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi. Larangan kendaraan dinas pemerintah dan perusahaan negara, lalu mobil barang untuk mengangkut hasil pertambangan, perkebunan, dan kehutanan, serta kapal barang nonperintis dan nonpelayaran rakyat menenggak premium dan solar saja tidak cukup.
Sebab kenyataannya, konsumsi BBM bersubsidi selama Januari-Februari tahun ini melebihi kuota bulanan. Terlebih, program pengendalian serupa tahun lalu hanya berhasil menghemat 350.000 kiloliter (kl) premium dan solar dari target sebanyak 1,5 juta kl.
Sebetulnya, cara paling gampang memangkas anggaran subsidi BBM adalah mengerek harga premium dan solar. Tapi konsekuensinya sangat besar. Selain penolakan masyarakat secara massif, juga ancaman inflasi tinggi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, inflasi sepanjang Januari-Maret 2013 saja sudah mencapai 2,43%, sedangkan laju inflasi year on year sebesar 5,9% atau jauh di atas pemerintah tahun ini yang hanya 4,9%.
Itu sebabnya, Komite Ekonomi Nasional (KEN) merekomendasikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar menempuh kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil pribadi mulai Juni nanti. Selain bisa menekan konsumsi premium dan solar, dampak ke inflasi juga tidak besar-besar amat, cuma 0,5%.
Memang, kenaikan harga BBM bersubsidi bisa menggunting subsidi BBM. Tapi, kenaikan harga BBM bersubsidi, apalagi kalau hanya?Rp 500 per liter, belum tentu mengerem konsumsi premium dan solar.
Soalnya, selain disparitas harga dengan BBM nonsubsidi tetap tinggi, masyarakat pasti lebih memilih memakai kendaraan pribadi ketimbang angkutan umum. Sudah tidak nyaman, tarif angkutan umum juga naik akibat harga BBM naik.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 3 April 2013)

BAWANG

Bawang sedang menjadi trending topics terutama di kalangan ibu-ibu rumahtangga. Betapa tidak? Harga bawang merah dan bawang putih naik gila-gilaan dalam tiga pekan terakhir.
Di sejumlah daerah, harga bawang merah menembus angka Rp 65.000 per kilogram (kg), sedang bawang putih mencapai Rp 100.000 per kg. Padahal, harga normal bawang merah cuma berkisar Rp 7.000-Rp 9.000 per kg, sementara bawang putih ?Rp 12.000-Rp 14.000 per kg.
Harga bawang yang meroket itu buntut dari kelangkaan pasokan produk hortikultura ini. Sejumlah kalangan pun menuding kebijakan pemerintah yang memperketat impor produk-produk hortikultura mulai 19 Juni 2012 sebagai biang kerok kelangkaan bawang.
Ditambah, mulai awal 2013 lalu, ruang gerak impor produk hortikultura semakin terbatas. Sebab, pemerintah juga menetapkan kuota impor produk hortikultura. Ada 20 jenis hortikultura yang dibatasi volume ekspornya termasuk bawang.
Sejatinya, kebijakan pemerintah ini sangat mulia: melindungi produk hortikultura dalam negeri. Makanya, pemerintah memang harus melakukan intervensi dengan cara memperketat dan membatasi volume impor produk hortikultura.
Kalau tidak, harga produk hortikultura lokal menjadi turun. Soalnya, kebanyakan orang lebih memilih belanja produk-produk impor. Apalagi, harga produk hortikultura impor juga lebih murah
Nah, jika harga produk hortikultura lokal turun akibat peminatnya berkurang, akhirnya petani malas panen, kebun pun menjadi tidak terawat. Alhasil, areal pertanian akan terserang penyakit tanaman karena tidak dirawat pemiliknya.
Cuma sayang, kebijakan memperketat sekaligus membatasi volume impor yang sebetulnya baik itu kurang dibarengi dengan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas, kuantitas, produktivitas, dan kontinuitas produk hortikultura di dalam negeri. Sehingga, pasokan produk hortikultura lokal khususnya bawang merah dan bawang putih tidak bisa memenuhi permintaan.
Ujungnya, harga jual bawang dan produk hortikultura lainnya melesat tinggi yang kemudian mengerek inflasi. Terbukti, inflasi selama Februari lalu mencapai 0,75% atau tertinggi dalam 10 tahun terakhir, di luar dugaan banyak pihak.
Pemerintah harus bergerak cepat untuk mengamankan pasokan produk hortikultura. Sambil tentunya membantu petani menggenjot produktivitas tanpa mengorbankan kualitas produk hortikultura.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 14 maret 2013)