Selasa, 18 September 2012

KUOTA BBM

Seperti tahun yang sudah-sudah, kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selalu jebol. Tahun ini, pemerintah butuh 4 juta kiloliter lagi untuk menutup kebutuhan akan premium dan kawankawan. Soalnya, kuota BBM bersubsidi tahun 2012 yang hanya 40 juta kiloliter bakal ludes paling cepat pada Oktober mendatang.
Data Pertamina menunjukkan, hingga 31 Agustus lalu, penyaluran BBM bersubsidi sudah mencapai 29,32 juta kiloliter. Padahal, kuota untuk delapan bulan pertama tahun ini hanya 26,24 juta kiloliter. Dan, premium yang pemakaiannya gila-gilaan. Dari kuota 16,18 juta kiloliter untuk Januari - Agustus lalu, realisasi konsumsinya mencapai 18,44 juta kiloliter atau over 14%.
Tak heran memang, jumlah kendaraan bermotor tahun ini tumbuh pesat. Tengok saja data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Penjualan mobil  di paro pertama tahun ini mencapai 535.263 unit atau naik 21,9% ketimbang periode yang sama tahun lalu yang cuma 417.683 unit.
Kemudian, selisih harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi yang sangat lebar, saat ini dua kali lipat lebih, memaksa pengguna Pertamax dan teman-teman beralih ke premium. Buntutnya, penggunaan premium pun melonjak tinggi.
Tahun depan, pemerintah dan DPR sudah sepakat mematok kuota BBM bersubsidi sebesar 46,01 juta kl. Perinciannya, premium sebanyak 29,2 juta kl, minyak tanah 1,7 juta kl, dan solar 15,11 juta kl.
Kalau melihat fakta tahun ini yang over 4 juta kl plus jumlah kendaraan bermotor yang pertumbuhannya bakal sama dengan tahun ini, bukan tidak mungkin kuota BBM bersubsidi tahun depan bakal jebol lagi. Apalagi, pemerintah tidak berencana mengerek harga premium dan solar serta mengharamkan mobil pribadi meminum BBM subsidi.
Tampaknya, pemerintah ingin bermain aman dengan tidak mengajukan kota BBM bersubsidi terlalu tinggi. Dengan begitu, mereka bisa menekan angka subsidi BBM dan defisit anggaran waktu disajikan ke publik di awal tahun. Toh, kalau over, usulan tambahan kuota selalu mendapat lampu hijau DPR.
Tapi, masak, sih, pemerintah mau terus membiarkan kuota BBM bersubsidi jebol terus tanpa ada upaya yang berarti untuk mengerem konsumsi premium dan solar. Pemerintah harus berani mengambil langkah berani agar subsidi BBM tak terus salah sasaran. Pilihannya: menaikkan harga premium dan solar atau melarang mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi. Berani?


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 17 September 2012)

NOMOR TUNGGAL GAWAT DARURAT

Ngeri betul. Korban terus berjatuhan di jalan raya. Data terbaru yang Kementerian Perhubungan rilis pekan lalu menyebutkan, kecelakaan lalu lintas selama arus mudik dan balik Lebaran tahun ini saja mencapai 5.233 kejadian. Sebanyak 908 orang pun meregang nyawa dalam kejadian tersebut. Itu berarti, angka kecelakaan ini melonjak 10,3% ketimbang saat arus mudik dan balik Lebaran tahun lalu.
Data yang lebih mengerikan lagi ada di Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri). Trunojoyo mencatat, sepanjang tahun lalu terjadi 106.129 kecelakaan lalu lintas, dengan korban tewas mencapai 30.629 orang dan kerugian material Rp 278,4 miliar. Angka kecelakaan ini naik 2,27% dibanding dengan tahun lalu.
Tak heran, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2010 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan korban kecelakaan lalu lintas tertinggi di dunia setelah Nepal. Dan, kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian paling tinggi di negara kita setelah penyakit stroke dan serangan jantung.
Saking banyaknya kecelakaan, sejumlah pihak sampai menyebut korban kecelakaan lalu lintas di Tanah Air melebihi korban perang. Bahkan, lebih dahsyat ketimbang kematian yang disebabkan senjata pemusnah massal modern sekalipun. Jalan raya bak the killing field alias ladang pembunuhan bagi penggunanya.
Disiplin dalam berkendara menjadi salah satu penyebab utama kecelakaan lalu lintas. Lampu merah diterabas, begitu juga dengan pintu perlintasan kereta api. Pokoknya, para pelakunya sudah kayak punya nyawa sembilan saja. Meminjam kalimat Tatang Kurniadi, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT): masyarakat kita adalah masyarakat yang cenderung mau celaka.
Tapi, angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas juga bisa ditekan dengan pertolongan pertama pada korban kecelakaan. Dengan cara yang benar, tentunya. Dan, untuk urusan yang beginian, sebetulnya masyarakat kita sangat cepat dan tanggap. Tapi, pengetahuan yang minim dalam memberikan pertolongan pertama seringkali berakibat fatal bagi si korban kecelakaan. Salah dalam mengangkat korban yang mengalami memar di sekitar leher, misalnya, bisa berujung pada kematian.
Selain pengetahuan yang cukup mengenai pertolongan pertama, kehadiran unit ambulans gawat darurat sejatinya mutlak di Indonesia terutama di kota-kota besar. Jakarta sudah punya unit ini di bawah bendera dinas kesehatan, walau jumlahnya masih minim. Tapi masalahnya, kebanyakan warga Ibukota tidak tahu layanan gratis ini lantaran sosialisasinya yang kurang. Alhasil, kalau menjumpai korban kecelakaan lalu lintas atau korban kejadian luar biasa lainnya seperti bom, masyarakat menangani dengan caranya sendiri.
Tampaknya, mimpi Indonesia punya nomor tunggal gawat darurat harus segera diwujudkan. Mencontek Amerika Serikat dengan 911-nya, Australia 000, Selandia Baru 111, dan Inggris 999. Bahkan, negara tetangga Malaysia juga sudah memiliki nomor tunggal gawat darurat 999 dan Filipina 117. Dengan begitu, publik enggak perlu-perlu repot menghafal nomor-nomor gawat darurat yang ada saat ini, seperti polisi dengan nomor 112-nya, pemadam kebakaran 113, dan ambulans 118. Sosialisasinya pun lebih gampang.
Jakarta bisa menjadi proyek percontohan untuk memulai nomor tunggal gawat darurat. Sebab, kota ini sudah punya satuan emergency komplet: polisi, pemadam kebakaran, dan ambulans. Jadi, warga tidak perlu bingung lagi kalau mau menghubungi polisi, pemadam, atau ambulans. Cukup menekan satu nomor, masyarakat bisa mengontak mereka.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Edisi Minggu Kedua September 2012)

OUTSOURCING

Palu Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materiil pasal yang mengatur sistem kerja alih daya alias outsourcing di Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan sudah diketok Januari 2012 lalu. MK memerintahkan penghapusan aturan main yang membolehkan perusahaan menggunakan tenaga outsourcing untuk pekerjaan bersifat tetap dalam beleid tersebut.
Tapi, sampai detik ini, ketentuan itu masih ada di UU Ketenagakerjaan. Pemerintah bukannya tidak patuh. Sebagai solusi sementara, peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi bakal terbit. Isinya: hanya akan membolehkan outsourcing untuk pekerjaan borongan. Yakni, pekerjaan yang tidak terkait bisnis inti perusahaan pengguna tenaga outsourcing. Di luar pekerjaan itu tidak diizinkan. Cuma, peraturan ini tak kunjung terbit.
Tak heran, kesabaran buruh pun habis. Rencananya, pertengahan September 2012 nanti, mereka bakal menggelar mogok kerja massal dan demo besar-besaran dengan tuntutan utama: penghapusan sistem outsourcing. Mereka mengklaim, aksi ini bakal diadakan serentak di 14 kota dan kabupaten yang menjadi kantong-kantong industri.
Sebenarnya, tanpa perlu MK "turun tangan", tak sembarang pekerjaan bisa di-outsourcing-kan. UU Ketenagakerjaan juga mengatur syarat pengalihan pekerjaan. Bidang pekerjaan yang boleh diberikan pada perusahaan outsourcing adalah pekerjaan yang bukan merupakan kegiatan utama perusahaan atau dianggap sebagai pekerjaan penunjang. Waktu perjanjian kerja antara perusahaan pengalih pekerjaan dan perusahaan alih daya hanya dibatasi selama tiga tahun saja.
Hanya, syarat-syarat itulah yang sering ditabrak, baik oleh perusahaan pemberi pekerjaan maupun perusahaan alih daya. Memang, sih, aturan main di UU Ketenagakerjaan mengenai outsourching sejatinya tidak jelas dan tegas amat.
Itu sebabnya, dengan keputusan MK itu, pemerintah memang perlu menata kembali soal aturan outsourcing. Misalnya, UU Ketenagakerjaan juga harus membuat kriteria tentang pekerjaan inti dan non-inti dengan lebih jelas dan tegas.
Jadi, pengusaha tidak bisa lagi mengambil keuntungan dari ketidakjelasan kriteria pekerjaan inti dan non-inti. Dengan aturan yang tidak jelas, pengusaha menjadi leluasa membuat aturan yang paling menguntungkan buat mereka.
Namun, jangan juga masalah outsourcing jadi kambing hitam dari kompleksitas keadaan ketenagakerjaan kita yang sesungguhnya.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 30 Agustus 2012)

TUMBUH BEKUALITAS

Di luar proyeksi banyak pihak, ekonomi Indonesia sepanjang kuartal kedua tahun ini tumbuh sebesar 6,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sejumlah ekonom sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi kita di triwulan II-2012 bakal melambat, hanya di kisaran 6,0% sampai 6,2%. Itu berarti, ekonomi kita selama April - Juni 2012 tumbuh lebih kencang ketimbang Januari - Maret 2012 yang cuma 6,3%.
Tak salah memang jika banyak ekonom yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal dua lalu lebih rendah dibanding kuartal satu. Bagaimana tidak? Kinerja ekspor kita selama kuartal dua betul-betul jeblok. Selama tiga bulan berturut-turut, April hingga Juni, neraca perdagangan kita mencetak defisit karena nilai impor lebih tinggi ketimbang ekspor. Padahal, ekspor adalah salah satu bahan bakar pertumbuhan ekonomi.
Tapi ternyata, ya, itu tadi, fakta berbicara lain. Meski ekspor melesu, ekonomi kita tetap tumbuh tinggi. Hebatnya lagi, investasi mulai menggusur dominasi konsumsi rumahtangga sebagai penyangga produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada kuartal dua lalu, konsumsi punya andil 43,75% (2,8 poin) terhadap pertumbuhan ekonomi negara kita, sementara investasi menyokong 45,31% (2,9 poin).
Data ini menunjukkan, pertumbuhan ekonomi kita mulai berkualitas, walau tidak berkualitas-berkualitas amat. Kok? Ya, sektor utama penggerak roda ekonomi masih sektor nontradable, seperti pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh paling tinggi sebesar 10,1%, lalu perdagangan, hotel dan restoran (8,9%), serta konstruksi (7,3%). Sedang sektor tradable yaitu pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan hanya tumbuh 3,7%, kemudian pertambangan dan penggalian (3,1%), serta industri pengolahan (5,4%). Celakanya, pertumbuhan sektor tradable di kuartal dua melambat ketimbang kuartal satu.
Padahal, sekitar 2/3 rakyat Indonesia hidup di sektor tradable. Sektor jasa harusnya menunjang sektor barang. Kalau produksi naik, transportasi naik lantaran mengangkut barang. Begitu juga sektor keuangan yakni perbankan menyalurkan kredit ke industri. Tapi, sekarang bank lebih banyak mengucurkan kredit ke sektor konsumsi yang notabene barang-barang impor.
Cuma setidaknya, pemerintah mesti mempertahankan pertumbuhan yang mulai berkualitas ini. Penyokong utamanya harus investasi. Tapi, bukan mayoritas investasi asing, lo, melainkan lokal.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 8 Agustus 2012)

JEMBATAN SELAT SUNDA

Mimpi menyatukan Pulau Jawa dan Sumatra dengan sebuah jembatan yang membentang di atas Selat Sunda tampaknya belum akan terwujud dalam waktu cepat. Baru akan melangkah ke tahap studi kelayakan, polemik sudah terjadi.
Memang, usulan Menteri Keuangan Agus Martowardojo agar merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2011 yang menyulut polemik ditolak. Tapi, tidak lantas tahap penyiapan proyek termasuk di dalamnya studi kelayakan terus bisa jalan. Pemerintah ternyata masih ingin mengkaji persoalan Jembatan Selat Sunda lewat tim yang mereka bentuk.
Tim akan mengkaji usulan dari Kementerian Keuangan soal biaya studi kelayakan proyek jembatan sepanjang 29 kilometer itu yang sebaiknya ditanggung APBN. Serta usulan Bappenas, soal pemisahan proyek Jembatan Selat Sunda dengan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda.
Apakah setelah tim yang beranggotakan tujuh menteri itu menyelesaikan kajiannya, penyiapan proyek bisa langsung jalan? Tidak, ternyata. Sebab, pemerintah belum membentuk Badan Pelaksana Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda.
Sesuai perintah Perpres, Konsorsium Banten-Lampung sebagai pemrakarsa Jembatan Selat Sunda melakukan penyiapan proyek berdasarkan perjanjian kerjasama dengan Badan Pelaksana. Itu berarti, untuk memulai studi kelayakan megaproyek yang bakal melahap duit di atas Rp 150 triliun itu membutuhkan waktu lebih lama lagi.
Catatan saja, selain studi kelayakan dan basic design, penyiapan proyek meliputi rencana bentuk kerjasama, pembiayaan proyek dan sumber daya, serta penawaran kerjasama. Semua tahapan ini harus kelar paling lama dua tahun. Dan, pemrakarsa mesti membiayai seluruh penyiapan proyek.
Itu sebabnya, pemerintah harus bergerak cepat, tapi tentu tidak asal-asalan. Soalnya, kehadiran Jembatan Selat Sunda bisa menjadi solusi atas kapasitas Pelabuhan Merak yang terbatas. Maklum, begitu ada dermaga atau kapal penyeberangan yang menjalani perawatan atawa perbaikan, langsung terjadi penumpukan kendaraan di pelabuhan ini. Antrean kendaraan bisa mengular hingga 10 kilometer.
Agar tidak melenceng ke mana-mana, dalam membangun proyek raksasa tersebut pemerintah harus tetap setia pada tujuan akhirnya: meningkatkan integrasi perekonomian Jawa dan Sumatra.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 20 Juli 2012)

BPJS

Menjelang kick off pada Januari 2014 mendatang, pemerintah terus menyiapkan tetek bengek yang berkaitan dengan operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Khususnya BPJS 1 yang mengelola jaminan kesehatan lantaran lembaga ini yang pertama beroperasi. Sedang BPJS 2 yang menangani jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun baru mulai bekerja Juli 2015.
Salah satu isu krusial yang pemerintah bahas adalah besaran iuran bagi para pekerja yang menjadi peserta BPJS 1. Maklum, pemerintah hanya menanggung iuran program jaminan kesehatan bagi warga miskin. Saat beroperasi kelak, BPJS 1 akan menjalankan program jaminan kesehatan seluruh masyarakat, termasuk yang baru lahir.
Pemerintah telah menyepakati besaran iuran bagi pekerja yakni 5% dari gaji, dari usulan sebelumnya sebesar 6%. Dari iuran 5% ini, pembagiannya 60:40. Jadi, pengusaha diwajibkan menanggung beban sebesar 3% dari upah si pegawai, sementara pekerja menyetor iuran 2% dari gaji bulanannya.
Dengan menjadi peserta BPJS, seluruh peserta akan mendapat paket manfaat jaminan kesehatan yang sama atau esensial. Maksudnya, pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai. Misalnya, imunisasi dan pemeriksaan kehamilan, rawat jalan dan rawat inap, serta pemberian frame kacamata standar. Jadi, kaya atau miskin, standar pelayanan kesehatannya tetap sama.
Kini, publik tinggal menunggu pelaksanaannya di lapangan. Tentu masyarakat sangat berharap implementasinya tidak seperti program sejenis seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Meski sudah memegang kartu Jamkesmas dan Jamkesda, masih ada rumahsakit yang menolak warga yang ingin berobat.
Yang juga tidak kalah penting, proses pencairan klaim dari rumahsakit ke BPJS 1 harus cepat. Meski tetap harus teliti, proses verifikasi jangan sampai berbelit. Sebab, hasil pencairan klaim sangat penting bagi kelanjutan operasional rumahsakit, semisal, untuk gaji pegawai dan pengadaan obat-obatan.
Tapi, pemerintah dan BPJS harus bersikap tegas terhadap praktik-praktik curang yang dilakukan rumahsakit. Contoh, melakukan mark up biaya pengobatan. Sanksi tegas mesti pemerintah ambil agar program mulia ini bisa berjalan.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 30 Juni 2012)