Jumat, 11 Januari 2008

RIP HILLARY


29 Mei 1953. Dua anak manusia: Edmund Hillary asal Selandia Baru dan Tenzing Norgay dari Nepal, menoreh sejarah baru. Mereka menjadi orang pertama yang menaklukkan Puncak Everest, tanah paling tinggi di dunia.
Tapi, kabar duka melesat dari Wellington. Hillary, hari ini, tutup usia di Auckland Hospital akibat serangan jantung. Dia akhirnya menyusul Norgay, yang lebih dulu pergi pada 1986 silam, pada usia 88 tahun.
Saya ingat betul dua pekan yang lalu baru saja menonton kembali perjuangan Hillary dan Norgay menjejakkan kaki di Everest lewat VCD berjudul Everest-50 Years on the Mountain (Surviving Everest) bikinan National Geographic, yang saya beli empat tahun yang lalu.
Hillary yang mendapat gelar kebangsawanan Inggris: Sir, sukses menaklukkan Sagarmatha yang dalam bahasa Nepal berarti Dewi Langit bersama Norgay lewat Ekspedisi Everest Inggris yang dikomandani Kolonel John Hunt.
Saya membayangkan bisa mengikuti jejak Hillary dan Norgay. Yang pasti menjadi semua impian semua pendaki. Terlalu muluk memang, tapi kalau cuma sekedar bermimpi saja boleh kan?
Selamat Jalan Hillary.

sore di kebayoran lama

Rabu, 09 Januari 2008

SATU SURO

Tak ada pesta kembang api walau malam ini tahun berganti. Apalagi lengkingan suara terompet yang saling bersautan. Sama seperti ketika melewati malam-malam yang lain. Tidak ada kemeriahan menyambut tahun baru yang dalam kalender Islam jatuh besok. Atau, dalam penanggalan Jawa populer dengan sebutan Malam Satu Suro.
Eit, tapi coba tengok ke Gunung Lawu. Keramaian ada di gunung yang mengiris Jawa Tengah dan Jawa Timur itu. Ribuan orang, mulai yang masih bocah sampai lanjut usia, pria dan wanita tumpah ruah di gunung yang dikeramatkan tersebut.
Jalur Cemoro Sewu yang terletak di Kabupaten Magetan, Jawa Timur menjadi rute favorit lantaran lebih pendek ketimbang Cemoro Kandang yang ada di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Keduanya hanya dipisahkan jarak sekitar 200 meter saja.
Enam tahun yang lalu, saya ikut dalam kemeriahan Malam Satu Suro di Gunung Lawu. Saya mendaki bersama tiga rekan lewat Cemoro Sewu. Dua pendakian sebelumnya selalu naik dan turun dari Cemoro Kandang, tapi bukan saat Malam Satu Suro.
Usai hujan mengguyur kaki Lawu, sekitar jam sepuluh malam kami memulai pendakian. Begitu juga dengan ratusan pendaki atau peziarah lainnya. Peziarah? Ya, sebab saat Malam Suro memang kebanyakan yang naik Lawu ada orang-orang yang mau mengalap berkah.
Banyak tempat yang dikeramatkan di Lawu terutama Argo Dalem yang dipercaya sebagai tempat mukso atau menghilangnya Prabu Brawijaya V. Trus ada Sendang Drajat, sumber mata air yang disebut-sebut sebagai tempat mandi Raja Majapahit itu.
Tapi, pendakian kali ini betul-betul crowded. Yang naik dan turun sama banyaknya. Lantaran jalurnya yang sempit kami harus bergantian. Memberi kesempatan buat yang turun dulu baru melangkah. Jadi agak melelahkan karena mesti banyak berhenti.
Uniknya, di setiap pos yang dilalui banyak orang yang membuka lapak buat berdagang makanan. Bahkan, di puncak Lawu yang dikenal dengan Argo Dumilah yang berada di ketinggian 3.654 meter sekalipun. Jadi, sebetulnya kalau mau mendaki saat Malam Satu Suro cukup lenggang kangkung saja. Tak perlu menggendong ransel yang gede-gede.
Kelelahan pun langsung menyergap saya. Maklum malam sebelumnya tidak bisa tertidur lelap di dalam kereta yang membawa saya dari Jakarta menuju Jogja. Istirahat sebentar, saya dan tiga teman yang sudah menunggu di Kota Gudeg itu langsung bertolak ke Lawu.
Tapi, tak ada sejengkal tanah pun buat kami buat mendirikan tenda. Semua pos yang memiliki tanah lapang sudah dikuasai lapak para pedagang. Nggak heran, banyak pendaki yang juga kelelahan memilih tidur di pinggir jalur pendakian. Begitu juga akhirnya dengan kami.
Sebetulnya, bukan Lawu saja yang ramai saat Malam Satu Suro. Gunung Merapi dan Gunung Sindoro juga. Tapi, tidak seramai di Lawu. Apalagi sampai ada pedagang yang rela memanggul dagangannya hingga puncak. Maklum, saya juga pernah mendaki Merapi saat Malam Satu Suro yang waktu itu bikin bulu kuduk bergidik.


malam di kebayoran lama

Senin, 07 Januari 2008

TANDA ALAM

Kabar duka kembali menyelimuti dunia pendakian gunung Indonesia. Tiga pendaki asal Bandung hilang di Gunung Agung sejak mereka berusaha menaklukkan tanah tertinggi di Pulau Bali tersebut pada 26 Desember 2007 lalu. Satu di antaranya ditemukan dalam keadaan tewas, dua lainnya belum diketahui rimbanya.
Usut punya usut, mereka sempat dilarang mendaki lantaran cuaca yang tidak bersahabat sedang membalut gunung yang punya ketinggian 3.142 meter itu dan pernah saya capai puncaknya pada Juli 2000 lalu.
Entah kebetulan semata atau bukan, kejadian yang sama selalu menghiasi kisah pendaki yang berakhir tragis di gunung. Ambil contoh, tewasnya dua pendaki yang merupakan sepasang kekasih di Gunung Semeru beberapa tahun silam. Pasangan muda-mudi ini nekad mendaki, meski petugas sudah tegas-tegas melarangnya karena cuaca sedang buruk.
Saya pernah punya pengalaman yang tak mirip-mirip banget, sebetulnya. Pada 2000 lalu, saya lupa kapan persisnya, bersama lima teman melakukan pendakian Gunung Merbabu. Ada yang tak setuju dengan pendakian saya yang kedua ke gunung yang hidup berdampingan dengan Gunung Merapi tersebut.
Perasaan tak enak sebenarnya menyergap saya. Tapi, show must go on, sebab larangan itu datang beberapa jam sebelum kami bertolak dari Jogja. Itu sebabnya, saya berpesan ke rekan-rekan pendakian: tolong jaga saya.
Tanda-tanda bakal terjadi sesuatu makin jelas kami ketinggalan mobil terakhir yang akan membawa kami ke Selo, Boyolali—salah satu jalur favorite menuju puncak Merbabu yang dikenal dengan Kenteng Songo (3.142 m). Lantaran, kemalaman. Untung ada sopir truk yang bersedia mengantar kami ke sana.
Kami mulai mendaki mendekati tengah malam. Tak masalah karena jalur pendakian sangat jelas dan saya pernah mendaki gunung itu dua tahun sebelumnya. Bahkan, salah satu teman sudah berkali-kali.
Tapi, jalan yang bercabang membuat kami binggung. Keputusan salah kami ambil yang ternyata setelah berjalan 30 menit baru tersadar kami tersesat. Perasaan takut yang luar biasa langsung menyerang saya. Apalagi, seorang teman nekad mencari tahu apakah jalur ini bisa terus dilalui. Saya hanya berpesan: cepat kembali dan tiap lima menit meniup pluit agar kami tahu kamu baik-baik saja.
Saya lalu berdoa dalam hati: Tuhan lindungilah kami. Sekitar 15 menit kemudian teman saya kembali, dia bilang jalur makin tidak jelas di depan. Akhirnya, kami memutuskan kembali melewati rute yang sama. Kelelahan dan rasa kantuk mulai menyerang. Karena itu, begitu tiba di Pos I, kami memilih bermalam di sana.
Di sini, saya melihat sesuatu yang ganjil. Sekitar pukul tiga, saya melihat tiga orang lewat depan tenda. Saya tak punya perasaan apa-apa, sebab saya pikir mereka pendaki. Tapi, alangkah kagetnya karena lima teman sama sekali tidak melihat ada pendaki lewat. Jantung saya langsung bedetak kencang.
Saya berpikir apalagi yang nanti akan terjadi. Ternyata, Tuhan masih sayang kami semua. Bahkan, kami bisa mencapai puncak, walau malam lebih dulu tiba. Tapi, justru saya bisa melihat keindahan Kota Boyolali yang bermandikan cahaya.
Yang saya mau katakan, alam selalu punya tanda-tanda yang tak boleh kita lawan.


sore di kebayoran lama