Senin, 05 September 2016

MENAPAKI ARJUNA WELIRANG DENGAN BERLARI


Malam semakin tua di kaki Arjuna, Sabtu (20/8) pekan lalu. Jarum jam hampir menunjuk angka 12. Tapi, keramaian masih menyelimuti lapangan parkir Wisata Agro Wonosari di Lawang, Malang, Jawa Timur.
Tampak 32 pelari dua di antaranya perempuan bersiap di garis start. Begitu bendera start dikibarkan tepat jam 12 malam teng, mereka langsung berlari menembus gelap dan dinginnya malam di perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII.
Malam itu, Arjuna Welirang Ultra (AWU) Trail Running dimulai. Kejuaraan gabungan lari dan pendakian gunung ini memulai lomba dari kategori 60 Kilometer (60K) yang start jam 12 malam. Lalu, menyusul kategori 30K yang start pukul lima subuh, baru 15K yang start jam setengah tujuh pagi.
Lomba trail running di Gunung Arjuna ini merupakan penyelenggaran yang pertama. Yang punya gawe: Malang Trail (Mantra) Runners, komunitas pelari trail, dengan menggandeng sejumlah pihak seperti Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Malang.
Meski pagelaran perdana, AWU berhasil menyedot cukup banyak peserta. "Total ada 155 pelari yang ikut," kata Nasihul Abidin, Race Director AWU.
Bukan cuma dari Malang dan sekitarnya, peserta AWU ada yang datang dari luar Jawa Timur, seperti Jakarta, Semarang, dan Denpasar. Bahkan, sejumlah warga asing yang bekerja di Indonesia alias ekspatriat ikut serta. Misalnya, dari Singapura, Malaysia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Pesertanya pun dari beragam usia, mulai 10 tahun hingga di atas 50 tahun. Dan, Romeo yang baru duduk di bangku kelas empat sekolah dasar (SD) jadi peserta termuda. "Saya sudah beberapa kali ikut lomba trail running," ujar Romeo yang juga atlet sepatu roda Jawa Timur.
Gunung cadas
Arjuna jadi pilihan lokasi lomba lantaran gunung setinggi 3.339 meter di atas permukaan laut (dpl) ini lebih menunjukkan karakter Malang ketimbang Gunung Semeru. Untuk trail running, Arjuna juga lebih menantang dan pemandangannya bagus. "Gunung yang cadas," sebut Abidin.
Penyelenggaraan AWU, Abidin menambahkan, juga untuk membumikan trail running. Sekaligus, mempromosikan pariwisata Malang khususnya di kawasan Gunung Arjuna. 
Untuk kategori 60K, rutenya melewati Puncak Arjuna dan Welirang. Sedang yang 30K hanya melalui Puncak Arjuna dan 15K cuma sampai Bukit Lincing dengan ketinggian 1.523 dpl.
Dan, Abdin menegaskan, sangat kecil kemungkinan peserta berbuat curang. Sebab, penyelenggara membuat rute lomba dengan medan atau jalur yang cukup steril dari kendaraan bermotor.
Tambah lagi, tak semua pos pengambilan gelang alias check point terutama untuk kategori 60K diungkap ke peserta. "Pengalaman beberapa race serupa sebelumnya, banyak pelari yang cheat dengan naik ojek," kata Abidin.
Elius Palunsu, peserta AWU kategori 30K, mengungkapkan, medan lomba memang benar-benar menantang. “Jalur menanjak terus dan terjal sampai Puncak Arjuna,” kata anggota TNI yang bertugas di Yonarhanudri 2/2 Kostrad Alap-Alap, Malang, sekaligus juara I kategori 30K, ini.
­­Yang menarik, Arjuna yang terkenal sebagai salah satu gunung paling angker di Indonesia ternyata juga jadi perhatian sejumlah peserta AWU. Maklum, untuk kategori 60K, peserta mesti memulai lomba di malam hari.
Menurut Abidin, rute lomba memang melewati dua situs yang dikeramatkan warga sekitar: Putuk Lesung dan Ontobugo. Dua lokasi ini sering menjadi tempat semedi. “Yang penting jangan berbuat aneh-aneh di kedua situs ini,” ucap dia.
Power walk
Tak mau ketinggalan, KONTAN pun menjajal kategori 15K. Selepas garis start, medan lomba belum terlalu berat.
Hingga dua kilometer pertama, jalurnya kombinasi datar, menanjak, dan menurun berupa aspal rusak dan tanah bebatuan. Alhasil, pelari masih bisa berlari di sepanjang rute ini.
Setelah itu, jalur lomba menanjak melalui jalan tanah setapak yang sempit dan jalan tanah bebatuan yang lebar di tengah-tengah kebun teh. Medan ini hingga kilometer lima atau Pos I Alang-Alang jalur pendakian Gunung Arjuna.
Dengan medan yang menanjak, Ivan Citra Wijaya, Steering Committee AWU, bilang, pelari enggak mungkin lagi untuk berlari. "Yang bisa mereka lakukan adalah power walk, jalan cepat," ujar dia.
Selepas Pos I, jalur lomba semakin menajak berupa jalan tanah setapak di antara alang-alang. Kondisi medan ini hingga check point di Bukit Lincing, sekitar 200 meter setelah Pos II Lincing. Walhasil, makin menguras tenaga.
Setelah memperoleh gelang sebagai tanda sudah melewati check point di Bukit Lincing, peserta kembali melalui jalur yang sama. Karena rute menurun, peserta bisa berlari untuk mencapai garis finish.
Jawara satu kategori 15K melahap rute ini hanya dalam tempo satu setengah jam. Dan, semua peserta yang sampai garis finish juga mendapat bibit pohon persembahan dari PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk dan PT Greenfields Indonesia.
Azrie Sofyan Syarief yang baru sekali ikutan lomba trail running mengaku tertarik untuk kembali melakukan olahraga ini. "Pemandangannya enggak monoton seperti lari di jalan raya, dan cakep pastinya," kata peserta AWU kategori 15K asal Jakarta ini.
Ke depan, menurut Abdin, bakal ada Arjuna Welirang Ultra kedua, ketiga, dan seterusnya. "Awu akan jadi agenda rutin setiap tahun," kata Abidin.
Siap menapaki Arjuna Welirang dengan berlari dan mendaki?

http://lifestyle.kontan.co.id/news/menapaki-arjuna-welirang-dengan-berlari

NYATA LAGI BERMANFAAT

Meski pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta baru berlangsung 15 Februari 2017 mendatang, konstalasi politik di Ibukota RI sudah memanas dalam beberapa bulan terakhir. Dan, situasi politik makin hot saja menjelang pendaftaran calon pasangan yang akan dibuka Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI pada 19 September hingga 21 September 2016 nanti.
Tambah lagi, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Rabu (17/8) lalu, mengklaim dirinya sudah mengantongi restu dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk maju sebagai calon gubernur di pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Sang incumbent sejauh ini sudah mendapatkan dukungan dari tiga partai politik: Partai Nasdem, Partai Hanura, dan Partai Golkar, yang sejatinya cukup untuk mengantarkannya ke gelanggang Pilkada DKI. Politik pun kian gaduh di Jakarta.
Sebetulnya, Pilkada DKI adalah sebuah pesta demokrasi yang sama dengan daerah lain. Pelaksanaannya pun bakal serentak dengan 100 daerah lain, baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Tapi, Jakarta ibukota negara, pusat pemerintahan. Otomatis, Pilkada DKI lebih jadi pusat perhatian publik ketimbang pemilihan kepala daerah lain. Kota berusia 489 tahun ini juga menjadi barometer kehidupan berbangsa dan bernegara. Jakarta merupakan miniatur Indonesia yang terdiri dari semua suku, agama, ras, dan golongan.
Buat partai politik, Pilkada DKI jelas sangat seksi. Sebagai miniatur negeri ini, pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI bisa jadi modal mereka bertarung dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mendatang. Bukan tidak mungkin, jika calon yang mereka usung menang, pamor partai naik. Buntutnya, bisa memperoleh panen raya suara di Pemilu 2019.
Tapi terlepas dari konstalasi politik di Jakarta yang makin memanas jelang pilkada, DKI jadi salah satu daerah dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terbesar di Indonesia. Tahun ini saja APBD DKI mencapai Rp 67,1 triliun. Dengan uang sebanyak ini, gubernur DKI jelas bisa membiayai banyak program pro-rakyat. Ambil contoh, berobat gratis, sekolah gratis, ambulans gratis.
Bukan cuma itu, DKI juga bisa mewujudkan penyelenggaraan layanan nomor tunggal panggilan darurat. Namanya: Layanan Jakarta Siaga 112. Aturan mainnya tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 142 Tahun 2016 yang berlaku 19 Juli lalu. Layanan ini mengintegrasikan semua layanan telepon pengaduan dan pemberian informasi gawat darurat (emergency), mulai ambulans, pemadam kebakaran, polisi, SAR, PMI, hingga kebersihan bahkan pemakaman.
Dengan begitu, Layanan Jakarta Siaga 112 mempermudah masyarakat dalam mengakses dan mendapatkan layanan gawat darurat. Misalnya, permintaan ambulans gawat darurat, penanganan hewan buas atau berbisa, atau penanganan pohon tumbang. Kehadiran layanan ini sekaligus mempermudah masyarakat mengingat nomor panggilan darurat. Tidak seperti sekarang yang banyak nomor: ambulans di 118, pemadam kebakaran di 113, polisi di 112, belum lagi nomor instansi lain.
Layanan Jakarta Siaga 112 mungkin bukan program yang sekece program membebaskan Jakarta dari banjir dan kemacetan lalu lintas yang akut. Layanan Jakarta Siaga 112 mungkin juga bukan program yang laku dijual saat kampanye pilkada. Tapi, kala Jakarta bebas banjir dan macet masih sebatas janji, warga butuh program nyata lagi bermanfaat.

S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN, Pekan Keempat Agustus 2016

TOL LAUT

Saat menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT RI ke-71 di depan Sidang Bersama DPR dan DPD, Selasa (16/8) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membeberkan pencapaian kinerja selama dua tahun memerintah negeri ini. Misalnya, Program Tol Laut yang jadi salah satu janjinya kala kampanye pemilihan presiden.
Menurut Jokowi, pemerintah menetapkan 24 pelabuhan sebagai simpul jalur tol laut. Sebagai pendukung, pemerintah juga membangun 47 pelabuhan nonkomersial dan 41 pelabuhan hingga 2019 mendatang. Bukan cuma itu, pemerintah juga menyiapkan kapal-kapalnya. Ini untuk mewujudkan gagasan kita menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Lautan adalah masa depan bangsa, Jalesveva Jayamahe, tegas sang Presiden.
Sejauh ini, kapal-kapal besar milik PT Pelni yang membawa logistik dan penumpang mulai buang sauh di pelabuhan-pelabuhan kecil di daerah terluar dan Timur Indonesia. Misalnya, Kepulauan Anambas (Kepulauan Riau), Saumlaki (Maluku), dan Wasior (Papua Barat).
Pemerintah mengklaim, daerah-daerah terluar negara kita sekarang sudah memiliki pasokan bahan baku memadai. Contoh, Kepulauan Anambas dulu pernah sampai tiga bulan tak ada pasokan telur gara-gara cuaca buruk. Kini suplai bahan baku ke Anambas tak lagi tersendat lantaran kapal-kapal yang mengangkutnya lebih besar sehingga bisa menghadapi cuaca jelek. Efek lainnya, harga barang yang turun signifikan dari harga sebelum ada tol laut. Ya, walau ada juga harga barang yang tidak turun sama sekali.
Memang, tol laut bisa menekan harga barang. Selisih harga barang di Jawa dan Papua, misalnya, tidak terlalu jomplang lagi. Tapi, disparitas harga yang enggak terlalu jauh itu hanya terjadi di daerah-daerah pelabuhan utama yang masuk rute tol laut. Harga barang di daerah-daerah yang jauh dari pelabuhan utama, ya, tetap saja tinggi.
Maklum, infrastruktur darat dari pelabuhan utama menuju daerah pedalaman masih jauh dari kata memadai, bahkan sangat buruk. Ongkos transportasi jadi sangat mahal. Walhasil, harga barang tetap tinggi. Kondisi ini membuat tol laut tidak bisa maksimal. Biar maksimum, pembangunan tol laut harus sejalan dengan "tol darat".
Pemerintah juga perlu menambah fasilitas dan area peti kemas di pelabuhan. Dengan begitu, proses bongkar muat kapal bisa lebih cepat. Jadi, biaya pengiriman barang bisa makin murah. Harga barang pun bisa kian murah. Semoga.

S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 20 Agustus 2016

TUMBUH BERKUALITAS

Masuk paro kedua tahun 2016, ekonomi negara kita masih kurang darah. Harapan untuk tumbuh lebih tinggi memang ada. Tapi tampaknya, pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa menyentuh angka 5,2% seperti target pemerintah sulit tercapai.
Bank Indonesia (BI) kemarin menyampaikan, berdasarkan hasil kajian mereka, pertumbuhan ekonomi selama kuartal dua tahun ini hanya 4,94%. Alhasil, ekonomi di semester pertama tak sampai 5%, cuma sebesar 4,93%. Di kuartal III 2016, menurut bank sentral, ekonomi bakal tumbuh lebih tinggi, di kisaran 5,2%. Tapi, itu belum bisa mendorong pertumbuhan tahun ini ke angka yang sama. Alhasil, BI memproyeksikan, sepanjang tahun ini pertumbuhan ekonomi hanya 5,09%.
Kondisi ini membuat ciut nyali para bankir, setidaknya. Awalnya cukup optimistis kredit bisa tumbuh lebih tinggi dari target semula, kini mereka berbalik jadi pesimistis. Bank-bank pun ramai-ramai merevisi ke bawah target mereka.
Bank Mandiri, misalnya, mengubah target pertumbuhan kredit, dari semula 12% jadi 10%. Hingga Juni 2016 lalu, kredit bank pelat ini hanya naik 10,5%. Bank Sahabat Sampoerna juga merevisi target pertumbuhan kredit jadi 30% di semester II 2016. Angka ini lebih rendah dari rencana awal yang tumbuh 40%. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun merevisi proyeksi pertumbuhan kredit jadi 12%, batas bawah prediksi awal 12%.
Sejatinya, ada kabar baik dari dunia otomotif. Angka penjualan mobil di semester I 2016 tumbuh jadi 531.929 dibanding periode yang sama di 2015 yang hanya 525.491 unit. Di lima bulan sebelumnya, penjualan mobil selalu di bawah periode yang sama tahun lalu. Penjualan mobil jadi salah satu indikator pertumbuhan ekonomi.
Tapi, konsumsi rumahtangga yang sempat naik tinggi selama bulan puasa dan Lebaran kemarin, termasuk untuk pembelian mobil, kelihatannya akan kembali tertekan di sisa bulan tahun 2016. Tentu, ini bakal membuat perekonomian kita kembali kurang pasokan darah.
Tak heran, Sri Mulyani, Menteri Keuangan yang baru, langsung menghitung ulang target-target di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016. Maklum, pajak yang jadi tulang punggung pendapatan negara, penerimaannya masih saja seret.
Ya, selagi masih ada waktu, kalau memang harus diubah, kenapa tidak? Tidak perlu mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi-tinggi kalau tumbuhnya enggak berkualitas.

Tajuk S.S. Kurniawan, Harian KONTAN, 30 Juli 2016

TRANSJAWA

Hari ini, Senin (11/7), sebagian besar masyarakat kembali berkantor usai libur dan cuti Lebaran. Memang, aktivitas belum kembali normal seutuhnya. Sebab, anak sekolah masih menikmati libur panjangnya hingga Ahad (17/7) nanti. Tapi, buat yang beraktivitas di Jakarta dan sekitarnya, kembali bekerja berarti kembali dengan rutinitas kemacetan lalu lintas.
Dan, seperti yang sudah-sudah, kemacetan kembali mendera dalam arus mudik dan balik Lebaran. Hanya, untuk arus mudik tahun ini, ada titik kemacetan baru: pintu keluar (exit) tol Brebes Timur yang populer dengan sebutan Brexit. Bahkan, Brexit jadi titik kemacetan terparah saat mudik Lebaran 2016. Banyak pemudik yang lantas menyebut ruas tol baru yang beroperasi jelang Lebaran itu sebagai jalur neraka, lantaran kendaraan mereka tak bergerak hingga belasan jam.
Kemacetan parah di Brexit membuat banyak pihak kembali mendesak pemerintah untuk mempercepat penyelesaian jaringan tol TransJawa, setidaknya sampai Semarang. Rencananya, tol TransJawa membentang dari Merak, Banten, hingga Banyuwangi, Jawa Timur. Saat ini, jaringan tol itu baru menyambung dari Merak sampai Brebes.
Untuk menyatu hingga Semarang, paling cepat butuh waktu dua tahun lagi. Soalnya, pembebasan lahan untuk ruas PemalangBatang dan BatangSemarang masih berjalan lamban. Untuk ruas PemalangBatang, pembebasan lahan hingga April lalu baru 9,34%, sedangkan ruas BatangSemarang 20,5%. Pembebasan lahan dua ruas tol yang bersebelahan itu sempat mandek selama lima tahun. Alhasil, pemerintah menargetkan pembebasan lahannya baru rampung pada 2017.
Tentu, Tol TransJawa tidak hanya memainkan peranan sangat penting selama arus mudik dan balik Lebaran. Jaringan tol ini juga punya peran penting untuk memperlancar distribusi barang. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) pernah menghitung, saat ini waktu tempuh untuk mengangkut barang dari Jakarta ke Surabaya menggunakan truk paling cepat 36 jam. Jika tol TransJawa sudah tersambung hingga Ibu Kota Jawa Timur, maka waktu tempuhnya bisa menjadi 24 jam.
Dengan begitu, ongkos distribusi yang dikeluarkan produsen bisa berkurang signifikan, termasuk termasuk biaya-biaya ekstra seperti pungutan liar. Walhasil, biaya produksi juga bisa menyusut. Tapi, produsen wajib mengonversinya ke harga jual barang. Harga barang di tangan konsumen mesti turun.

Tajuk S.S. Kurniawan, Harian KONTAN, 11 Juli 2016

PENGALIHAN SUBSIDI

Kantong pemerintah cekak. Bagaimana tidak? Penerimaan pajak sampai akhir Mei 2016 lalu baru sebesar Rp 364,1 triliun. Angka ini hanya 26,8% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Kurangnya masih banyak: 73,2%. Padahal, waktu yang tersisa di tahun 2016 ini tinggal tujuh bulan lagi.
Memang, di Rancangan APBN 2016 yang saat ini sedang dalam pembahasan dengan DPR, pemerintah merevisi turun target penerimaan pajak. Target tahun ini berubah jadi Rp 1.343,1 triliun, dari sebelumnya Rp 1.360,1 triliun. Tapi, perubahannya tidak terlalu signifikan, hanya selisih Rp 17 triliun.
Salah satu harapan besar pemerintah untuk menggenjot pajak ada pada kebijakan tax amnesty. Hitungan pemerintah: kebijakan pengampunan pajak bisa menyumbang penerimaan hingga Rp 165 triliun. Cuma masalahnya, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty enggak rampung-rampung, walau wakil rakyat di Senayan menjanjikan penggodokan calon beleid ini kelar akhir Juni ini.
Dengan penerimaan pajak yang masih mengkhawatirkan, pemerintah memang sudah sepantasnya memangkas anggaran belanja negara yang tidak terlalu penting-penting amat. Terutama, bujet belanja kementerian dan lembaga.
Tapi tampaknya, pemangkasan belanja kementerian dan lembaga tahun ini sebesar Rp 40,5 triliun jadi Rp 743,5 triliun masih belum cukup. Untuk itu, pemerintah berencana juga mengurangi subsidi solar, dari Rp 1.000 per liter menjadi Rp 350 seliter. Bukan cuma itu, pemerintah juga bakal mencabut subsidi listrik untuk pelanggan PLN dengan daya 900 volt ampere (VA).
Pemerintah memang sedang butuh banyak duit untuk mengongkosi pembangunan infrastruktur, yang jadi program unggulan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Apalagi, sejak awal Pemerintahan Jokowi bertekad menggeser aliran subsidi, dari sektor konsumsi ke sektor produktif seperti infrastruktur.
Namun, pekerjaan pemerintah tidak berhenti begitu proyek infrastruktur rampung. Salah satu tujuan kehadiran berbagai proyek infrastruktur yakni memangkas biaya ekonomi tinggi juga harus jadi kenyataan. Soalnya, pengurangan biaya ekonomi tinggi bisa mengerek turun harga barang dan jasa.
Dengan begitu, masyarakat bisa betul-betul menikmati manfaat dari pengalihan subsidi. Selain jalan yang mulus, misalnya, mereka juga bisa mendapat barang dan jasa dengan harga yang lebih murah.

Tajuk S.S. Kurniawan, Harian KONTAN, 16 Juni 2016

PAJAK & KARTU KREDIT

Kewajiban perbankan penyedia layanan kartu kredit untuk melaporkan data nasabahnya kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan berlaku efektif mulai 31 Mei 2016 nanti. Aturan mainnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39 Tahun 2016 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Perpajakan.
Masalahnya, tak sedikit orang Indonesia yang alergi begitu mendengar kata pajak. Alhasil, sejumlah bank menyatakan, banyak nasabah yang menutup kartu kreditnya gara-gara takut data pribadi mereka dilaporkan ke Ditjen Pajak.
Padahal, Ditjen Pajak menegaskan, data nasabah kartu kredit yang disampaikan ke lembaganya hanya dijadikan dasar untuk membandingkan nilai aset yang dilaporkan wajib pajak dengan nilai aset yang sebenarnya. Juga dari data itu Ditjen Pajak bakal mengecek, apakah pajak atas transaksi kartu kredit sudah dibayarkan atau belum. Toh, tak semua percaya begitu saja.
Celakanya, pemerintah pun tak satu suara soal pelaporan transaksi kartu kredit ke Ditjen Pajak itu. Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi. Calon beleid ini berpeluang membatalkan ketentuan di PMK No. 39/2016.
Berdasarkan rancangan awal RUU Perlindungan Data Pribadi, data kartu kredit merupakan informasi yang pribadi. Sehingga, tidak bisa sembarang pihak memilikinya, termasuk Ditjen Pajak.
Tapi, terlepas pro dan kontra dari kewajiban bank melaporkan data nasabahnya, benar kata Ditjen Pajak, pemilik kartu kredit tidak perlu khawatir secara berlebihan. Apalagi, kalau para pemilik duit plastik ini adalah wajib pajak yang selalu patuh membayar pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) secara lengkap tanpa ada data yang disembunyikan.
Pemilik kartu kredit pantas cemas kalau mereka selama ini tidak taat membayar pajak bahkan cenderung mengemplang. Atau, menyerahkan SPT dengan tidak jujur alias banyak data yang tidak dilaporkan.
Tentu, Ditjen Pajak harus memegang janjinya: penggunaan data nasabah kartu kredit tidak akan sembarangan. Jadi, seluruh data yang masuk akan aman dan tak disalahgunakan. Ditjen Pajak juga mesti melakukan evaluasi terhadap kebijakan itu setelah melihat hasil yang dicapai. Kalau ternyata kewajiban bank melaporkan data nasabah kartu kredit tidak efektif dalam mendongkrak penerimaan pajak, kebijakan ini mesti dikaji ulang.

Tajuk S.S. Kurniawan, Harian KONTAN, 27 Mei 2016