Krisis listrik di Indonesia semakin meluas. Masalah baru muncul. Saat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kekurangan pembangkit listrik untuk memenuhi permintaan, penghasil setrum yang ada khususnya yang berbahan bakar minyak solar tidak bisa beroperasi secara maksimal. Alhasil, suplai listrik ke pelanggan seret.
Gara-garanya, PT Pertamina mengurangi pasokan solar ke PLN akibat perusahaan setrum pelat merah itu membayar dengan harga lama, di US$ 105 dari harga Mean of Plats Singapore (MoPS). Sehingga, Pertamina mengklaim menderita kerugian sebanyak US$ 45 juta selama paro pertama tahun ini.
Sejatinya, PLN sudah menyepakati harga baru solar berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar 112%–117% dari MOPS. Tapi, mereka masih butuh persetujuan dari pemerintah. Walhasil, Pertamina masih mengurangi pasokan solar ke pembangkit PLN.
Sejak 1 Agustus 2014 lalu, Pertamina sudah mengurangi 50% pasokan solar ke pembangkit PLN di beberapa daerah, yakni di wilayah Medan, Bali, Samarinda, Pontianak, dan Bangka Belitung. Pengurangan pasokan solar ke pembangkit PLN di daerah Medan, Samarinda, dan Pontianak, tentu saja semakin memperparah krisis listrik di Pulau Sumatra dan Kalimantan.
Ketergantungan PLN terhadap solar cukup tinggi. Pembangkit listrik mereka yang menggunakan solar memang masih banyak. Perusahaan milik pemerintah ini membutuhkan lebih dari tujuh juta kiloliter solar untuk menggerakkan pembangkit mereka. Jumlah ini menyedot 12,5% dari total bahan bakar pembangkit. Selain solar, pembangkit PLN berbahan bakar batubara, gas, dan lainnya.
Keberadaan pembangkit-pembangkit berbahan bakar solar ini juga memberatkan keuangan PLN. Sebab, biaya produksi bakal meningkat tajam jika harga minyak mentah dunia naik tinggi dan nilai tukar rupiah melemah dalam.
PLN bukannya tidak mau mengurangi solar sebagai bahan bakar pembangkit mereka kemudian mengganti dengan gas, misalnya. Target mereka: tahun ini solar hanya menyedot 9,5% dari total bahan bakar pembangkit, istilahnya bauran energi. Tapi, seperti kita tahu, suplai gas untuk kebutuhan domestik juga seret. PLN harus berebut gas dengan industri lain seperti keramik.
Tapi, terlepas dari itu semua, porsi bahan bakar pembangkit PLN ke depan harus banyak yang ramah lingkungan seperti panas bumi.
S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 13 Agustus 2014
Selasa, 12 Agustus 2014
KUOTA JEBOL, SUBSIDI JEBOL
Bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai “langka”. Bagaimana tidak? Secara bertahap, sejak 1 Agustus 2014 lalu, puluhan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) tidak lagi menjual premium dan solar. Sedang ratusan pom bensin lainnya tak boleh menjual solar bersubsidi mulai jam enam sore sampai delapan pagi.
Pemerintah terpaksa menempuh langkah tidak populer tersebut demi mengerem konsumsi BBM bersubsidi tahun ini. Kalau tidak, premium bakal menghilang dari pasaran pada 19 Desember mendatang. Sementara solar bersubsidi akan habis 30 November nanti. PT Pertamina mencatat, hingga Juli lalu persediaan premium tinggal 42% dan solar cuma 40% dari kuota tahun ini yang masing-masing sebesar 29,29 juta kiloliter (kl) dan 15,16 juta kl.
Kebijakan ini buntut dari keputusan pemerintah dan DPR akhir Juni lalu yang mematok kuota konsumsi BBM bersubsidi tahun ini hanya 46 juta kl dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. Atau, menyusut 2 juta kl dari kuota di APBN 2014 yang mencapai 48 juta kl.
Cuma, sejatinya, kebijakan tersebut tidak betul-betul bisa mengerem konsumsi BBM bersubsidi, lo. Sebab, pemilik kendaraan bermotor, kan, masih bisa mengisi BBM di SPBU yang masih menjual premium dan solar. Pembatasan penjualan BBM bersubsidi hanya berlaku di 12% SPBU dari total 4.570 SPBU.
Lain ceritanya kalau Pertamina melakukan sistem kitir atau penjatahan penyaluran sesuai dengan ketersediaan sisa BBM bersubsidi kepada 88% SPBU yang masih boleh menjual 100% BBM bersubsidi. Artinya, Pertamina mengurangi pasokan ke SPBU agar kuota tahun ini cukup sampai akhir tahun. Dengan cara ini kuota
46 juta kl bisa betul-betul tercapai.
Tapi, kalau itu yang terjadi, kejadian tahun 2012 lalu bisa terulang. Lantaran sisa kuota BBM bersubsidi ketika itu hanya cukup sampai 21 Desember, pemerintah memerintahkan Pertamina melakukan sistem kitir mulai pertengahan November. Alhasil, waktu itu, selama sepekan antrean kendaraan bermotor mengular di banyak pom bensin. Dampak yang lebih parah, kondisi itu menyulut kerusuhan bernuansa SARA di daerah Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang berlanjut penjarahan.
Tentu tidak ada yang mau kisah pahit itu terulang. Hanya, pemerintah mau tidak mau memang harus membatasi konsumsi BBM bersubsidi, kalau ingin kuota tahun ini tidak jebol. Sebab, kuota jebol berarti subsidi BBM akan membengkak dari target Rp 246,4 triliun. Dan, untuk menutup pembengkakan itu, pemerintah terpaksa berutang lagi lantaran penerimaan perpajakan tidak bisa diandalkan.
Tapi sekali lagi, cara pembatasan yang berlangsung saat ini masih belum cukup untuk mengerem pemakaian BBM bersubsidi. Pemerintah mesti mengambil langkah yang lebih berani, yakni melarang mobil pribadi menenggak premium. Sebetulnya, ada cara instan yang bisa mengurangi konsumsi BBM bersubsidi bahkan memangkas subsidi BBM: mengerek harga premium dan solar. Cara ini terbukti ampuh tahun lalu. Dengan menaikkan harga premium dan solar di akhir Juni 2013, konsumsi BBM bersubsidi tahun lalu hanya 46,34 juta kl dari kuota 48 juta kl. Cuma, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memastikan tidak akan menaikkan harga BBM, termasuk melarang mobil pribadi memakai premium.
Bola yang sangat panas ini pun berpindah ke tangan pemerintahan baru nanti. Kemelut seperti ini tidak hanya akan terjadi di awal pemerintahan. Soalnya, konsumsi BBM bersubsidi nyaris setiap tahun melebihi kuota. Kantong pemerintah pun jebol bolak-balik. Tanpa kebijakan ekstrem sangat mungkin masalah ini terus berulang di tahun-tahun mendatang. Nah, berani tidak Jokowi-JK, setelah dilantik, mengambil langkah ekstrem itu?
S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN Edisi 11-17 Agustus 2014
Pemerintah terpaksa menempuh langkah tidak populer tersebut demi mengerem konsumsi BBM bersubsidi tahun ini. Kalau tidak, premium bakal menghilang dari pasaran pada 19 Desember mendatang. Sementara solar bersubsidi akan habis 30 November nanti. PT Pertamina mencatat, hingga Juli lalu persediaan premium tinggal 42% dan solar cuma 40% dari kuota tahun ini yang masing-masing sebesar 29,29 juta kiloliter (kl) dan 15,16 juta kl.
Kebijakan ini buntut dari keputusan pemerintah dan DPR akhir Juni lalu yang mematok kuota konsumsi BBM bersubsidi tahun ini hanya 46 juta kl dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. Atau, menyusut 2 juta kl dari kuota di APBN 2014 yang mencapai 48 juta kl.
Cuma, sejatinya, kebijakan tersebut tidak betul-betul bisa mengerem konsumsi BBM bersubsidi, lo. Sebab, pemilik kendaraan bermotor, kan, masih bisa mengisi BBM di SPBU yang masih menjual premium dan solar. Pembatasan penjualan BBM bersubsidi hanya berlaku di 12% SPBU dari total 4.570 SPBU.
Lain ceritanya kalau Pertamina melakukan sistem kitir atau penjatahan penyaluran sesuai dengan ketersediaan sisa BBM bersubsidi kepada 88% SPBU yang masih boleh menjual 100% BBM bersubsidi. Artinya, Pertamina mengurangi pasokan ke SPBU agar kuota tahun ini cukup sampai akhir tahun. Dengan cara ini kuota
46 juta kl bisa betul-betul tercapai.
Tapi, kalau itu yang terjadi, kejadian tahun 2012 lalu bisa terulang. Lantaran sisa kuota BBM bersubsidi ketika itu hanya cukup sampai 21 Desember, pemerintah memerintahkan Pertamina melakukan sistem kitir mulai pertengahan November. Alhasil, waktu itu, selama sepekan antrean kendaraan bermotor mengular di banyak pom bensin. Dampak yang lebih parah, kondisi itu menyulut kerusuhan bernuansa SARA di daerah Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang berlanjut penjarahan.
Tentu tidak ada yang mau kisah pahit itu terulang. Hanya, pemerintah mau tidak mau memang harus membatasi konsumsi BBM bersubsidi, kalau ingin kuota tahun ini tidak jebol. Sebab, kuota jebol berarti subsidi BBM akan membengkak dari target Rp 246,4 triliun. Dan, untuk menutup pembengkakan itu, pemerintah terpaksa berutang lagi lantaran penerimaan perpajakan tidak bisa diandalkan.
Tapi sekali lagi, cara pembatasan yang berlangsung saat ini masih belum cukup untuk mengerem pemakaian BBM bersubsidi. Pemerintah mesti mengambil langkah yang lebih berani, yakni melarang mobil pribadi menenggak premium. Sebetulnya, ada cara instan yang bisa mengurangi konsumsi BBM bersubsidi bahkan memangkas subsidi BBM: mengerek harga premium dan solar. Cara ini terbukti ampuh tahun lalu. Dengan menaikkan harga premium dan solar di akhir Juni 2013, konsumsi BBM bersubsidi tahun lalu hanya 46,34 juta kl dari kuota 48 juta kl. Cuma, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memastikan tidak akan menaikkan harga BBM, termasuk melarang mobil pribadi memakai premium.
Bola yang sangat panas ini pun berpindah ke tangan pemerintahan baru nanti. Kemelut seperti ini tidak hanya akan terjadi di awal pemerintahan. Soalnya, konsumsi BBM bersubsidi nyaris setiap tahun melebihi kuota. Kantong pemerintah pun jebol bolak-balik. Tanpa kebijakan ekstrem sangat mungkin masalah ini terus berulang di tahun-tahun mendatang. Nah, berani tidak Jokowi-JK, setelah dilantik, mengambil langkah ekstrem itu?
S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN Edisi 11-17 Agustus 2014
PEMBEBASAN LAHAN
Pembebasan lahan selalu menjadi masalah klasik dalam pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum di Indonesia. Misalnya, jalan raya, jalan tol, pelabuhan, dan pembangkit listrik. Problem yang satu ini memang enggak ada matinya, selalu muncul, sehingga menghambat proses pembangunan infrastruktur publik.
Tapi, tentu sangat wajar para pemilik lahan tidak begitu saja melepas lahan mereka. Alasannya beragam. Cuma, yang paling utama adalah nilai ganti rugi yang tidak sesuai. Kebanyakan pemilik lahan sudah pasti meminta ganti rugi dengan angka yang sangat tinggi.
Nah, mulai tahun depan, urusan pembebasan lahan bakal menganut aturan main yang baru: Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Aturan pelaksananya tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2012.
Cuma, sekelompok masyarakat menilai beleid tersebut berpotensi merugikan pemilik tanah. Itu sebabnya, mereka mengajukan uji materi UU No. 2/2012. Potensi kerugian itu muncul dari ketentuan Pasal 1 ayat 10 yang berbunyi: ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Menurut pemohon, pasal ini multitafsir. "Adil dan layak menurut siapa, apakah investor, pemerintah, atau masyarakat," kata mereka.
Kalau mengacu ke Penjelasan UU No. 2/2012, yang dimaksud dengan asas keadilan adalah memberikan jaminan penggantian yang layak. Dengan begitu, para pemilik lahan mendapatkan kesempatan untuk bisa melangsungkan kehidupan mereka yang lebih baik.
Yang perlu ditekankan adalah ganti rugi tersebut harus benar-benar memberikan kehidupan yang lebih baik bagi para pemilik lahan ketimbang sebelum mereka kena gusur. Artinya, pemerintah sebagai penyelenggara pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memberikan ganti untung.
Menurut UU No. 2/2012, yang mendapat ganti rugi tidak hanya tanah dan bangunan, tapi juga tanaman dan kerugian lain yang bisa dinilai. Kerugian lain ini, misalnya, pemilik lahan kehilangan usaha atau pekerjaan akibat kena gusur.
Dan, dalam proses musyawarah penetapan nilai ganti rugi, pemerintah harus kembali mensosialisasikan UU No. 2/2012. Jangan sampai pemerintah memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat demi mempercepat pembebasan lahan yang merugikan para pemilik tanah.
S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 16 Juli 2014
Tapi, tentu sangat wajar para pemilik lahan tidak begitu saja melepas lahan mereka. Alasannya beragam. Cuma, yang paling utama adalah nilai ganti rugi yang tidak sesuai. Kebanyakan pemilik lahan sudah pasti meminta ganti rugi dengan angka yang sangat tinggi.
Nah, mulai tahun depan, urusan pembebasan lahan bakal menganut aturan main yang baru: Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Aturan pelaksananya tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2012.
Cuma, sekelompok masyarakat menilai beleid tersebut berpotensi merugikan pemilik tanah. Itu sebabnya, mereka mengajukan uji materi UU No. 2/2012. Potensi kerugian itu muncul dari ketentuan Pasal 1 ayat 10 yang berbunyi: ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Menurut pemohon, pasal ini multitafsir. "Adil dan layak menurut siapa, apakah investor, pemerintah, atau masyarakat," kata mereka.
Kalau mengacu ke Penjelasan UU No. 2/2012, yang dimaksud dengan asas keadilan adalah memberikan jaminan penggantian yang layak. Dengan begitu, para pemilik lahan mendapatkan kesempatan untuk bisa melangsungkan kehidupan mereka yang lebih baik.
Yang perlu ditekankan adalah ganti rugi tersebut harus benar-benar memberikan kehidupan yang lebih baik bagi para pemilik lahan ketimbang sebelum mereka kena gusur. Artinya, pemerintah sebagai penyelenggara pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memberikan ganti untung.
Menurut UU No. 2/2012, yang mendapat ganti rugi tidak hanya tanah dan bangunan, tapi juga tanaman dan kerugian lain yang bisa dinilai. Kerugian lain ini, misalnya, pemilik lahan kehilangan usaha atau pekerjaan akibat kena gusur.
Dan, dalam proses musyawarah penetapan nilai ganti rugi, pemerintah harus kembali mensosialisasikan UU No. 2/2012. Jangan sampai pemerintah memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat demi mempercepat pembebasan lahan yang merugikan para pemilik tanah.
S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 16 Juli 2014
PEMANGKASAN SUBSIDI
Rabu (18/6) pekan lalu, DPR mengesahkan Undang-Undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. Dalam
beleid ini, pemerintah batal memangkas bujet belanja kementerian dan
lembaga sebesar Rp 100 triliun, melainkan hanya sekitar Rp 42 triliun.
Alhasil, pemerintah terpaksa memangkas anggaran subsidi bahan bakar
minyak (BBM), listrik, dan public service obligation (PSO). Cuma, khusus
subsidi BBM, bukan anggarannya yang digunting, tapi volume konsumsinya
sebesar 2 juta kiloliter (kl) menjadi 46 juta kl. Meski begitu, tetap
saja subsidi BBM tahun ini menciut dari usulan pemerintah sebesar Rp
284,9 triliun menjadi tinggal Rp 246,5 triliun.
Ujung dari pemangkasan subsidi listrik adalah kenaikan tarif listrik
bagi enam golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Untungnya, tarif setrum untuk golongan pelanggan menengah ke bawah:
berdaya 450 volt ampere (VA) dan 900 VA tidak naik.
Hanya, penumpang kereta api kelas ekonomi jarak sedang dan jauh yang
notabene dari menengah bawah gigit jari. Gara-gara PSO untuk PT Kereta
Api Indonesia (KAI) dipangkas, harga tiket kereta ekonomi naik lagi dua
kali lipat lebih, mulai September 2014 nanti.
Memang, pengurangan kuota volume konsumsi BBM tidak mengerek harga BBM
bersubsidi. Tapi, bukan berarti kebijakan ini jauh dari masalah. Sebab,
pemerintah memakai jurus-jurus usang untuk mengurangi penggunaan BBM
bersubsidi usang, dan terbukti kurang ampuh karena dijalankan setengah
hati. Misalnya, melarang kendaraan pelat merah menenggak BBM bersubsidi
dan konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan.
Jurus barunya adalah pengurangan mulut selang atawa nozzle BBM
bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Tapi, sejauh
ini belum ada tanda-tanda pemerintah akan melakukannya. Dan, sejatinya
ini rencana lama yang hingga kini belum terlaksana.
Nah, jika semua rencana tersebut tidak berhasil 100%, kuota konsumsi BBM
bersubsidi tahun ini bisa jebol. Padahal, menurut UU APBN-P 2014,
pemerintah tak bisa mengajukan tambahan subsidi BBM bila konsumsi BBM
melebihi kuota.
Kalau sudah begini, kejadian di akhir 2012 bisa
terulang. Saat itu, selama dua pekan antrean kendaraan mengular di
banyak SPBU. Soalnya, pemerintah terpaksa mengurangi jatah harian
pasokan premium dan solar ke semua pom bensin, agar kuota BBM tidak
jebol.
Wah, gawat, dong.
S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 24 Juni 2014
Senin, 16 Juni 2014
KANKER SUBSIDI
Subsidi bahan bakar minyak (BBM) bak penyakit kanker. Dalam enam tahun
terakhir, anggaran subsidi BBM terus membengkak. Dan, tak mudah buat
pemerintah mengurangi apalagi menghilangkan subsidi BBM.
Bagaimana tidak? Rakyat sudah telanjur keenakan menikmati harga premium dan solar yang murah. Alhasil, setiap kali pemerintah mengerek harga BBM bersubsidi, protes keras muncul di mana-mana.
Cuma celakanya, meski sudah menjalani kemoterapi yang menyakitkan, kanker tetap menyebar. Begitu juga dengan subsidi BBM. Walau pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi yang melukai hati banyak orang, tetap, bujet subsidi BBM membengkak.
Buktinya, tahun lalu subsidi BBM menembus angka Rp 210 triliun atau mencapai 105,1% dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 yang hanya Rp 199 triliun. Padahal, tahu sendiri, harga BBM sudah naik.
Tambah lagi sebetulnya, konsumsi BBM bersubsidi tahun lalu tak memakan habis kuota sebanyak 47,89 juta kiloliter (kl). Pemakaian BBM bersubsidi hanya 46,25 juta kl. Tapi, karena rupiah melemah tajam dan BBM harus diimpor, anggaran subsidi pun melonjak tinggi.
Lagi-lagi, gara-gara nilai tukar rupiah melemah, subsidi BBM tahun ini membengkak. Enggak tanggung-tanggung, ketimbang di APBN 2014, subsidi BBM bertambah Rp 74,25 triliun atawa 35,2% menjadi Rp 284,98 triliun dalam Rancangan APBN-P 2014. Untuk kuota konsumsi BBM bersubsidi tidak berubah, tetap sebanyak 48 juta kl.
Sejauh ini, pemerintah tetap membiarkan kanker subsidi BBM menyebar dalam tubuh APBN. Belum ada upaya mengerem apalagi mengurangi anggaran subsidi BBM. Lihat saja, meski PT Pertamina memproyeksikan konsumsi BBM bersubsidi bisa mencapai 48,5 juta kl tahun ini, tidak ada langkah nyata pemerintah untuk sekadar mengerem pemakaian premium dan solar. Baru sebatas wacana, tidak lebih, misalnya, melarang stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) menjual BBM bersubsidi di akhir pekan.
Tampaknya, Susilo Bambang Yudhoyono tidak ingin menambah cacat di ujung pemerintahannya, dengan membuat kebijakan tidak populer terkait BBM bersubsidi. Tak pelak, subsidi BBM menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan yang baru hasil pemilihan presiden, 9 Juli mendatang.
Jadi kelihatannya, subsidi BBM akan tetap menjadi kanker yang terus menyebar di tubuh APBN.
S.S. Kurniawan, Tajuk KONTAN Edisi 3 Juni 2014
Bagaimana tidak? Rakyat sudah telanjur keenakan menikmati harga premium dan solar yang murah. Alhasil, setiap kali pemerintah mengerek harga BBM bersubsidi, protes keras muncul di mana-mana.
Cuma celakanya, meski sudah menjalani kemoterapi yang menyakitkan, kanker tetap menyebar. Begitu juga dengan subsidi BBM. Walau pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi yang melukai hati banyak orang, tetap, bujet subsidi BBM membengkak.
Buktinya, tahun lalu subsidi BBM menembus angka Rp 210 triliun atau mencapai 105,1% dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 yang hanya Rp 199 triliun. Padahal, tahu sendiri, harga BBM sudah naik.
Tambah lagi sebetulnya, konsumsi BBM bersubsidi tahun lalu tak memakan habis kuota sebanyak 47,89 juta kiloliter (kl). Pemakaian BBM bersubsidi hanya 46,25 juta kl. Tapi, karena rupiah melemah tajam dan BBM harus diimpor, anggaran subsidi pun melonjak tinggi.
Lagi-lagi, gara-gara nilai tukar rupiah melemah, subsidi BBM tahun ini membengkak. Enggak tanggung-tanggung, ketimbang di APBN 2014, subsidi BBM bertambah Rp 74,25 triliun atawa 35,2% menjadi Rp 284,98 triliun dalam Rancangan APBN-P 2014. Untuk kuota konsumsi BBM bersubsidi tidak berubah, tetap sebanyak 48 juta kl.
Sejauh ini, pemerintah tetap membiarkan kanker subsidi BBM menyebar dalam tubuh APBN. Belum ada upaya mengerem apalagi mengurangi anggaran subsidi BBM. Lihat saja, meski PT Pertamina memproyeksikan konsumsi BBM bersubsidi bisa mencapai 48,5 juta kl tahun ini, tidak ada langkah nyata pemerintah untuk sekadar mengerem pemakaian premium dan solar. Baru sebatas wacana, tidak lebih, misalnya, melarang stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) menjual BBM bersubsidi di akhir pekan.
Tampaknya, Susilo Bambang Yudhoyono tidak ingin menambah cacat di ujung pemerintahannya, dengan membuat kebijakan tidak populer terkait BBM bersubsidi. Tak pelak, subsidi BBM menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan yang baru hasil pemilihan presiden, 9 Juli mendatang.
Jadi kelihatannya, subsidi BBM akan tetap menjadi kanker yang terus menyebar di tubuh APBN.
S.S. Kurniawan, Tajuk KONTAN Edisi 3 Juni 2014
PEMILU DAN INFRASTRUKTUR
Ingar-bingar kampanye partai politik peserta Pemilihan Umum
(Pemilu) 2014 usai sudah. Mulai Ahad (6/4) masuk masa tenang sampai
Selasa (8/4) nanti, tak boleh lagi ada kegiatan kampanye. Hari
berikutnya, Rabu (9/4), adalah hari pencoblosan. Dan, siapa yang bakal
keluar sebagai pemenang berdasarkan hitung cepat alias quick count
sejumlah lembaga survei bisa ketahuan sore harinya. Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sendiri baru akan menetapkan hasil penghitungan suara pada 6
Mei-7 Mei.
Cuma, kilas balik ke masa kampanye, semua partai dan para calon
legislatif (caleg) menjual pembangunan infrastruktur sebagai barang
dagangan mereka. Maklum, program ini memang laku dijual. Tak heran,
tidak sedikit caleg yang menjanjikan akan mengaspal jalan kampung A,
misalnya, kalau dia terpilih nanti. Tentu dengan satu syarat, warga di
kampung tersebut mencoblos dia.
Infrastruktur memang punya peran yang sangat strategis. Buat masyarakat,
jalan yang mulus akan mempercepat mobilitas mereka. Begitu juga dengan
kehadiran rel keretaapi ganda alias double track Jakarta-Surabaya yang
bakal beroperasi penuh bulan ini. Jalur yang membentang sepanjang 727
kilometer itu bisa mendongkrak perjalanan sepur.
Dalam Rubrik Dialog Tabloid KONTAN edisi ini, Wakil Menteri Perhubungan
Bambang Susantono mengatakan, jalur ganda Jakarta-Surabaya bisa
meningkatkan kapasitas lintas dari 64 kereta per hari menjadi 200 kereta
sehari. Sementara, frekuensi kereta barang saat ini dari
Jakarta-Surabaya yang baru 16 trip per hari, dengan kapasitas 640
twenty foot equivalent unit (TEU) dapat naik tiga kali lipat jadi 26
trip per hari (1.800 TEU).
Tapi, lebih dari itu, keberadaan jalur ganda kereta Jakarta-Surabaya
bisa mengurangi beban jalan raya di Jalur Pantura. Paling tidak, beban
sebesar 1.160 TEU per hari dari jalan bisa beralih ke kereta, seiring
tambahan perjalanan kereta barang di jalur yang pembangunannya
menghabiskan biaya Rp 10,5 triliun itu.
Tentu, kita berharap, perjalanan
kereta barang bisa terus bertambah sehingga beban Jalur Pantura
betul-betul bisa berkurang secara signifikan.
Alhasil, kerusakan jalan
di jalur paling sibuk di Indonesia ini dapat berkurang.
Kalau begini, anggaran untuk memperbaiki Jalur Pantura yang rusak setiap
tahun bisa menciut. Betapa tidak? Biaya perbaikan jalur ini mencapai Rp
1,2 triliun per tahun. Nah, duit yang bisa dihemat, kan, bisa dipakai
untuk membangun jalan di luar Jawa. Tapi memang, untuk mengurangi beban
Jalur Pantura yang sudah overload, tak hanya bergantung ke jalur ganda
Jakarta-Surabaya. Pemerintah mesti mempercepat megaproyek jalan tol
TransJawa yang macet pembangunannya di beberapa ruas seperti ruas
Brebes-Semarang.
Ya, kegiatan ekonomi negara kita berpusat di Pulau Jawa yang menyumbang
60% produk domestik bruto (PDB). Salah satu jalur yang berandil besar
di Jawa adalah Jalur Pantai Utara (Pantura) yang menyatukan Jakarta dan
Surabaya. Kementerian Koordinator Perekonomian memproyeksikan,
perekonomian di urat nadi Jawa itu tumbuh tiga kali hingga empat kali
lipat sampai 2030. Saat ini nilai perekonomian Pantura Jawa mencapai Rp
1.963 triliun atau seperempat dari ekonomi Indonesia.
Nah, dengan pengalihan logistik dari truk ke kereta, pemakaian bahan
bakar minyak (BBM) bersubsidi juga berkurang. Kementerian Perhubungan
menghitung, penghematan BBM dari perpindahan barang ini mencapai 120.000
kiloliter per tahun. Kalau tiap liter solar pemerintah mensubsidi Rp
3.000, berarti duit negara yang bisa dipangkas untuk anggaran subsidi
BBM sekitar Rp 360 miliar. Uang segede ini bisa buat membangun jalan
beton bertulang kokoh sepanjang 144 kilometer, kira-kira dari Cikampek
ke Palimanan. Sedap.
S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN Edisi Minggu Kedua April 2014
PENGURANGAN SUBSIDI
Jarang-jarang, lo, sidang paripurna DPR punya agenda pengesahan
peraturan pemerintah (PP). Biasanya yang sudah-sudah, agenda sidang yang
semestinya dihadiri semua wakil rakyat yang bermarkas di Senayan itu
adalah pengesahan undang-undang (UU). Pengesahan PP merupakan hak
pemerintah.
Tapi, sidang paripurna yang digelar 28 Januari 2014 lalu malah membahas
pengesahan PP Kebijakan Energi Nasional. Produk turunan UU No 30/2007
tentang Energi tersebut memang harus mendapat restu dari dewan, sesuai
perintah undang-undangnya.
Hujan interupsi pun turun dalam sidang paripurna tersebut. Sejumlah
anggota DPR protes dengan kehadiran frasa "keuntungan bagi negara" di
Pasal 1 dalam pengertian harga energi ditetapkan berdasarkan nilai
keekonomian berkeadilan. Namun, setelah melewati proses lobi-lobi di
tingkat pimpinan dewan dan fraksi, frasa itu dihilangkan.
Cuma sejatinya, ada pasal dalam PP Kebijakan Energi Nasional yang bisa
menyulut hujan interupsi dalam sidang paripurna DPR yang lebih deras
lagi. Yakni, Pasal 20 ayat 3 huruf b yang menyatakan, pengurangan
subsidi BBM dan listrik secara bertahap sampai kemampuan daya beli
masyarakat tercapai.
Itu berarti, harga bahan bakar bersubsidi (BBM)
bersubsidi dan tarif listrik bakal naik seiring pengurangan subsidi
energi secara bertahap.
Menurut PP Kebijakan Energi Nasional, kelak subsidi hanya untuk golongan
masyarakat tidak mampu.
Sebab, sudah bukan rahasia lagi, masih banyak
orang kaya yang menikmati subsidi BBM dan listrik. Lihat saja di stasiun
pengisian bahan bakar umum (SPBU), tak sedikit mobil mewah ikut antre
membeli premium. Apalagi, saat ini harga BBM nonsubsidi menembus angka
Rp 11.000 per liter, beda jauh dengan premium yang cuma Rp 6.500.
Banyak partai politik (parpol) yang belakangan sepakat, subsidi energi
terutama BBM sudah sangat memberatkan keuangan negara. Sehingga, subsidi
energi harus dipangkas. Begitu pandangan yang tergambar dalam Rubrik
Bedah Ekonomi Parpol KONTAN.
Betul. Subsidi BBM terus membengkak dari tahun ke tahun. Di 2013,
subsidi BBM mencapai Rp 210 triliun atau 105,1% dari target. Sedang
target 2014 sebesar Rp 210,73 triliun. Makanya, subsidi BBM memang harus
dikurangi. Tapi, hasil penghematannya juga harus bermanfaat luas untuk
masyarakat. Misalnya, untuk pembangunan infrastruktur dan pengadaan
transportasi massal yang murah.
S.S. Kurniawan, Tajuk KONTAN Edisi 18 Februari 2014
Jumat, 07 Maret 2014
SUBSIDI SI KAYA
Pekan lalu, pemerintah dan DPR sepakat mencabut subsidi listrik
untuk enam golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik negara (PLN). Dengan
penghapusan subsidi ini, pemerintah bisa menghemat hampir Rp 11 triliun
dari total subsidi setrum tahun ini yang mencapai Rp 71,36 triliun.
Jelas, penghematan ini bukan angka yang kecil. Dengan duit segede itu,
misalnya, pemerintah bisa membangun jalan beton bertulang yang kokoh
sepanjang 4.400 kilometer (km), yang biayanya sekitar Rp 2,5 miliar per
km. Sehingga, jalan enggak gampang rusak.
Enam golongan pelanggan PLN itu memang pantas dicabut subsidi
listriknya. Mereka adalah golongan pelanggan industri menengah (I-3),
lalu industri besar (I-4), rumahtangga besar (R-3), bisnis menengah
(B-2), bisnis besar (B-3), dan kantor pemerintah sedang (P-1).
Enak betul hidup mereka, terutama perusahaan-perusahaan yang masuk
golongan pelanggan industri besar. Dengan omzet ratusan miliar bahkan
triliunan rupiah setahun per perusahan, mereka masih bisa menikmati
subsidi listrik yang tidak sedikit.
PLN mencatat, subsidi listrik yang
mengalir dari kantong pemerintah ke golongan pelanggan industri besar
mencapai Rp 7,57 triliun. Itu berarti, lebih dari 10% atas total subsidi
tahun ini.
Padahal, jumlah golongan pelanggan industri besar hanya 67 perusahaan.
Bandingkan dengan jumlah seluruh pelanggan PLN yang mendekati angka 50
juta pelanggan.
Masih menurut PLN, perusahaan-perusahaan kelas kakap itu
cuma membayar tarif listrik di bawah Rp 900 per kilowatt hour (kWh).
Tarif ini bahkan lebih rendah dari tarif listrik yang dipungut PLN
kepada rumahtangga besar. Tarif listrik subsidi rumahtangga besar
rata-rata Rp 1.004 per kwh. Sedang tarif listrik tanpa subsidi atau
setara biaya produksi: Rp 1.300 per kWh.
Nah, berikutnya, apakah pemerintah berani mencabut subsidi bahan bakar
minyak (BBM) bagi pemilik mobil mewah? Tentu, lewat cara yang pernah
pemerintah godok, yakni larangan pemilik mobil pribadi membeli premium.
Sebab, Komite Ekonomi Nasional (KEN) pernah menghitung pelaksanaan
kebijakan ini bisa menggunting anggaran subsidi BBM hingga Rp 80
triliun.
Bila tidak mau terlalu ekstrem lantaran tahun ini adalah tahun politik,
pemerintah mesti mencari cara lain. Ambil contoh, menagih pembayaran
denda dari Asian Agri Group atas perkara penggelapan pajak sebesar Rp
2,5 triliun. Soalnya, nilai dendanya tidak main-main.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 28 Januari 2014)
BPJS KESEHATAN
Tahun baru, tak hanya harga Elpiji dalam kemasan tabung 12 kilogram yang
baru (jadi lebih mahal maksudnya). Tapi juga, negara kita mulai
menjalankan program jaminan kesehatan baru: Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).
Di tahun perdana, tak kurang dari 116 juta orang otomatis menjadi peserta JKN yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tentu, angka peserta program yang memang semesta alias melindungi seluruh penduduk Indonesia tanpa terkecuali hingga meninggal dunia tersebut bakal bertambah tahun ini.
Tengok saja, di sejumlah kota, seperti Medan, Tanjungpinang, Tangerang, dan Sukoharjo, warga yang ingin mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan membludak. Masyarakat rela antre berjam-jam di kantor BPJS.
Maklum, dengan premi yang enggak mahal-mahal amat, mereka bisa menikmati pelayanan kesehatan, mulai tingkat pertama, rujukan, hingga rawat inap. Peserta yang masuk kategori pekerja bukan penerima upah atau peserta bukan pekerja, cukup merogoh kocek Rp 25.500 per orang per bulan untuk mendapatkan pelayanan di kelas III. Kalau mau yang kelas I, preminya Rp 59.500 pas.
Meski hampir separo penduduk Indonesia sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan, baru sekitar 15.000 unit fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bisa melayani. Itu pun puskesmas dan klinik kesehatan milik PT Askes, PT Jamsostek, dan TNI/Polri. Klinik kesehatan swasta maupun praktik dokter pribadi belum ada yang bergabung.
Jumlah tersebut tentu sangat kurang. Sebab, peserta BPJS Kesehatan tidak boleh langsung berobat ke rumahsakit tanpa rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama. Kecuali, dalam kondisi gawat darurat. Tambah lagi, tak semua fasilitas kesehatan itu yang buka 24 jam atau paling tidak sampai malam.
Cuma masalahnya, tidak semua klinik swasta yang mau ikut dalam Program JKN. Alasan utamanya: tarif dokternya terlalu murah, hanya Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per pasien. Tapi, klinik swasta jelas bakal rugi jika tidak bergabung. Kelak, semua penduduk Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Cuma memang, untuk merangsang klinik swasta termasuk rumahsakit swasta masuk dalam Program JKN, BPJS Kesehatan mesti membayar klaim dengan cepat. Proses verifikasi klaim jangan terlalu bertele-tele. Tentu, klinik dan rumahsakit juga jangan sampai menggelembungkan nilai klaim. Sehingga proses klaim berjalan cepat.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 7 Januari 2014)
Di tahun perdana, tak kurang dari 116 juta orang otomatis menjadi peserta JKN yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tentu, angka peserta program yang memang semesta alias melindungi seluruh penduduk Indonesia tanpa terkecuali hingga meninggal dunia tersebut bakal bertambah tahun ini.
Tengok saja, di sejumlah kota, seperti Medan, Tanjungpinang, Tangerang, dan Sukoharjo, warga yang ingin mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan membludak. Masyarakat rela antre berjam-jam di kantor BPJS.
Maklum, dengan premi yang enggak mahal-mahal amat, mereka bisa menikmati pelayanan kesehatan, mulai tingkat pertama, rujukan, hingga rawat inap. Peserta yang masuk kategori pekerja bukan penerima upah atau peserta bukan pekerja, cukup merogoh kocek Rp 25.500 per orang per bulan untuk mendapatkan pelayanan di kelas III. Kalau mau yang kelas I, preminya Rp 59.500 pas.
Meski hampir separo penduduk Indonesia sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan, baru sekitar 15.000 unit fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bisa melayani. Itu pun puskesmas dan klinik kesehatan milik PT Askes, PT Jamsostek, dan TNI/Polri. Klinik kesehatan swasta maupun praktik dokter pribadi belum ada yang bergabung.
Jumlah tersebut tentu sangat kurang. Sebab, peserta BPJS Kesehatan tidak boleh langsung berobat ke rumahsakit tanpa rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama. Kecuali, dalam kondisi gawat darurat. Tambah lagi, tak semua fasilitas kesehatan itu yang buka 24 jam atau paling tidak sampai malam.
Cuma masalahnya, tidak semua klinik swasta yang mau ikut dalam Program JKN. Alasan utamanya: tarif dokternya terlalu murah, hanya Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per pasien. Tapi, klinik swasta jelas bakal rugi jika tidak bergabung. Kelak, semua penduduk Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Cuma memang, untuk merangsang klinik swasta termasuk rumahsakit swasta masuk dalam Program JKN, BPJS Kesehatan mesti membayar klaim dengan cepat. Proses verifikasi klaim jangan terlalu bertele-tele. Tentu, klinik dan rumahsakit juga jangan sampai menggelembungkan nilai klaim. Sehingga proses klaim berjalan cepat.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 7 Januari 2014)
INFLASI
Menjelang tutup tahun 2013, masyarakat dikejutkan oleh kenaikan harga
sejumlah barang. Contoh, air minum dalam kemasan. Produsen Aqua mengaku
mengerek harga Aqua galon sebesar 7,7%. Lalu, yang biasa mengkonsumsi
roti tawar kupas buatan Sari Roti, harganya juga naik, lo, 20%, dari Rp
10.000 per bungkus menjadi Rp 12.000.
Tapi, yang ramai diangkat media massa, sih, kenaikan harga elpiji dalam kemasan tabung ukuran 3 kilogram (kg) dan 12 kg. Kemudian, kenaikan tarif jalan tol dalam Kota Jakarta yang naik sekitar 14%. Salah satu penyebab kenaikan harga barang adalah nilai tukar rupiah yang melemah, hingga menembus angka Rp 12.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Tentu, pelaku usaha yang menggunakan bahan baku impor mau tidak mau mengompensasi pelemahan kurs dengan menaikkan harga produknya.
Cuma celakanya, kenaikan harga beberapa barang dan tarif jasa di awal tahun ini berbarengan dengan Natal dan Tahun Baru. Tentu kenaikan itu akan memecut lari inflasi semakin kencang bulan ini. Tapi, prediksi banyak pengamat, inflasi tahun 2013 tak bakal menembus angka 9%, paling banter 8,5%.
Toh, inflasi tahun ini tetap tinggi. Alhasil, dalam laporannya bertajuk ASEAN Statistic In Focus yang terbit Rabu (4/12) pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, inflasi Indonesia tahun ini yang tertinggi ketimbang negara-negara ASEAN lain. Tak hanya itu, sementara kebanyakan negara ASEAN inflasi tahunannya fluktuatif selama 2011-2013, negara kita justru terus mendaki, dari 3,8% di 2011 lalu 4,3% di 2012 dan jadi 8,3% pada 2013.
Memang, penyumbang terbesar inflasi tahun ini adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Tapi, kenaikan harga sejumlah komoditas yang gila-gilaan, seperti daging sapi dan bawang putih, juga punya andil besar.
Meski kemungkinan besar harga BBM bersubsidi tidak naik, ancaman inflasi tinggi tahun depan tetap ada. Pertama-tama, sumbernya dari kenaikan gaji pegawai negeri sipil dan upah buruh. Lalu, tarif listrik yang naik lagi 15%. Begitu juga dengan harga elpiji 12 kg yang bakal naik lagi awal tahun nanti.
Kunci utama mengerem laju inflasi, apalagi kalau bukan pemerintah harus memastikan distribusi bahan kebutuhan pokok aman. Sekalipun harus impor, pemerintah mesti menjamin suplainya ada terus, tidak boleh sampai langka. Walaupun sudah menjadi tugas rutin tiap tahun, pekerjaan ini tidak gampang.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 17 Desember 2013)
Tapi, yang ramai diangkat media massa, sih, kenaikan harga elpiji dalam kemasan tabung ukuran 3 kilogram (kg) dan 12 kg. Kemudian, kenaikan tarif jalan tol dalam Kota Jakarta yang naik sekitar 14%. Salah satu penyebab kenaikan harga barang adalah nilai tukar rupiah yang melemah, hingga menembus angka Rp 12.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Tentu, pelaku usaha yang menggunakan bahan baku impor mau tidak mau mengompensasi pelemahan kurs dengan menaikkan harga produknya.
Cuma celakanya, kenaikan harga beberapa barang dan tarif jasa di awal tahun ini berbarengan dengan Natal dan Tahun Baru. Tentu kenaikan itu akan memecut lari inflasi semakin kencang bulan ini. Tapi, prediksi banyak pengamat, inflasi tahun 2013 tak bakal menembus angka 9%, paling banter 8,5%.
Toh, inflasi tahun ini tetap tinggi. Alhasil, dalam laporannya bertajuk ASEAN Statistic In Focus yang terbit Rabu (4/12) pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, inflasi Indonesia tahun ini yang tertinggi ketimbang negara-negara ASEAN lain. Tak hanya itu, sementara kebanyakan negara ASEAN inflasi tahunannya fluktuatif selama 2011-2013, negara kita justru terus mendaki, dari 3,8% di 2011 lalu 4,3% di 2012 dan jadi 8,3% pada 2013.
Memang, penyumbang terbesar inflasi tahun ini adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Tapi, kenaikan harga sejumlah komoditas yang gila-gilaan, seperti daging sapi dan bawang putih, juga punya andil besar.
Meski kemungkinan besar harga BBM bersubsidi tidak naik, ancaman inflasi tinggi tahun depan tetap ada. Pertama-tama, sumbernya dari kenaikan gaji pegawai negeri sipil dan upah buruh. Lalu, tarif listrik yang naik lagi 15%. Begitu juga dengan harga elpiji 12 kg yang bakal naik lagi awal tahun nanti.
Kunci utama mengerem laju inflasi, apalagi kalau bukan pemerintah harus memastikan distribusi bahan kebutuhan pokok aman. Sekalipun harus impor, pemerintah mesti menjamin suplainya ada terus, tidak boleh sampai langka. Walaupun sudah menjadi tugas rutin tiap tahun, pekerjaan ini tidak gampang.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 17 Desember 2013)
POLITIK, BBM, DAN TRANSPORTASI
Dua pekan lagi kita akan melangkah masuk ke tahun 2014, tahun politik.
Maklum, dua pesta demokrasi akbar lima tahunan bakal berlangsung tahun
depan: pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Kalau tidak ada aral
melintang, pemilihan legislatif digelar 9 April 2014 dan pemilihan
presiden diadakan 9 Juli 2014.
Walau masa kampanye pemilihan legislatif baru mulai bergulir 11 Januari 2014 nanti, semaraknya sudah terasa beberapa bulan terakhir. Spanduk dan baliho bergambar calon anggota legislatif plus partai politik, baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, sudah membentang di mana-mana.
Begitu juga dengan wajah bakal calon presiden dari sejumlah partai yang sering nongol di layar kaca, baik berupa iklan ataupun pemberitaan. Meski mereka belum tentu menjadi calon presiden yang akan bertarung di pemilihan presiden, sudah ada manuver saling menjatuhkan. Bahkan, ada upaya menjelekkan seseorang yang jelas-jelas belum ditetapkan sebagai bakal calon presiden oleh partai manapun, tapi memang orang ini dijagokan banyak kalangan. Suhu politik pun mulai mendidih.
Tapi, suhu yang panas tahun depan tidak hanya bersumber dari gelanggang politik. Sebab, bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi siap menyambar lalu memanaskan suasana negara kita di Tahun Kuda. Pangkalnya, Kementerian Keuangan menghidupkan lagi skema subsidi BBM tetap. Bahkan, mereka bakal mengusulkan skema ini dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014.
Dengan mekanisme tetap, subsidi yang harus pemerintah siapkan tidak akan berubah, sekalipun harga minyak mentah dunia naik ataupun turun. Konsekuensinya, harga BBM bersubsidi bisa naik. Mekanisme ini sejatinya bukan sesuatu yang baru. Pemerintah pernah menerapkan kebijakan yang hampir mirip selama April 2001 hingga Desember 2002 lalu.
Tapi tampaknya, usulan Kementerian Keuangan bakal mental bahkan sebelum sampai di gedung DPR. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang warna-warni lantaran gabungan dari banyak partai kelihatannya akan menolak keras subsidi BBM tetap. Siapa yang mau kehilangan muka sekaligus suara dalam pemilu gara-gara menyetujui subsidi BBM tetap, yang bisa berujung pada kenaikan harga premium dan solar.
Hanya, kalau tujuan Kementerian Keuangan mengusulkan subsidi BBM tetap untuk menekan impor BBM akibat konsumsi yang terus melonjak, jangan lupakan angkutan umum massal, dong. Sebab, transportasi publik yang aman, nyaman, lagi murah masih jauh dari harapan. Untuk mendorong pengadaan angkutan umum, Kementerian Keuangan semestinya menghapus pajak impor. Jangan malah pajak mobil murah yang jelas-jelas bisa mendongkrak konsumsi BBM yang dihapus.
Yang tidak kalah penting, pemerintah juga harus menjamin pasokan bahan bakar gas (BBG) bagi angkutan umum. Sebab, suplai BBG yang seret lantaran jumlah stasiun pengisian yang terbatas mengancam operasioanl ratusan bus baru yang memperkuat jajaran armada TransJakarta. Rencananya, ratusan bus anyar akan tiba dari China akhir bulan ini. Beberapa sudah datang awal Desember lalu. Dengan angkutan umum yang aman, nyaman, dan murah, apalagi bebas macet, banyak orang tentu mau beralih ke transportasi massal.
Nah, kalau sudah begini, konsumsi BBM, kan, bisa turun dengan sendirinya, tanpa perlu menerapkan sistem subsidi tetap, misalnya. Efek besar berikutnya, impor BBM berkurang. Bak bola salju, dampak selanjutnya adalah defisit neraca perdagangan kita bisa menyempit, syukur-syukur malah surplus.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Ketiga Desember 2013)
Walau masa kampanye pemilihan legislatif baru mulai bergulir 11 Januari 2014 nanti, semaraknya sudah terasa beberapa bulan terakhir. Spanduk dan baliho bergambar calon anggota legislatif plus partai politik, baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, sudah membentang di mana-mana.
Begitu juga dengan wajah bakal calon presiden dari sejumlah partai yang sering nongol di layar kaca, baik berupa iklan ataupun pemberitaan. Meski mereka belum tentu menjadi calon presiden yang akan bertarung di pemilihan presiden, sudah ada manuver saling menjatuhkan. Bahkan, ada upaya menjelekkan seseorang yang jelas-jelas belum ditetapkan sebagai bakal calon presiden oleh partai manapun, tapi memang orang ini dijagokan banyak kalangan. Suhu politik pun mulai mendidih.
Tapi, suhu yang panas tahun depan tidak hanya bersumber dari gelanggang politik. Sebab, bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi siap menyambar lalu memanaskan suasana negara kita di Tahun Kuda. Pangkalnya, Kementerian Keuangan menghidupkan lagi skema subsidi BBM tetap. Bahkan, mereka bakal mengusulkan skema ini dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014.
Dengan mekanisme tetap, subsidi yang harus pemerintah siapkan tidak akan berubah, sekalipun harga minyak mentah dunia naik ataupun turun. Konsekuensinya, harga BBM bersubsidi bisa naik. Mekanisme ini sejatinya bukan sesuatu yang baru. Pemerintah pernah menerapkan kebijakan yang hampir mirip selama April 2001 hingga Desember 2002 lalu.
Tapi tampaknya, usulan Kementerian Keuangan bakal mental bahkan sebelum sampai di gedung DPR. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang warna-warni lantaran gabungan dari banyak partai kelihatannya akan menolak keras subsidi BBM tetap. Siapa yang mau kehilangan muka sekaligus suara dalam pemilu gara-gara menyetujui subsidi BBM tetap, yang bisa berujung pada kenaikan harga premium dan solar.
Hanya, kalau tujuan Kementerian Keuangan mengusulkan subsidi BBM tetap untuk menekan impor BBM akibat konsumsi yang terus melonjak, jangan lupakan angkutan umum massal, dong. Sebab, transportasi publik yang aman, nyaman, lagi murah masih jauh dari harapan. Untuk mendorong pengadaan angkutan umum, Kementerian Keuangan semestinya menghapus pajak impor. Jangan malah pajak mobil murah yang jelas-jelas bisa mendongkrak konsumsi BBM yang dihapus.
Yang tidak kalah penting, pemerintah juga harus menjamin pasokan bahan bakar gas (BBG) bagi angkutan umum. Sebab, suplai BBG yang seret lantaran jumlah stasiun pengisian yang terbatas mengancam operasioanl ratusan bus baru yang memperkuat jajaran armada TransJakarta. Rencananya, ratusan bus anyar akan tiba dari China akhir bulan ini. Beberapa sudah datang awal Desember lalu. Dengan angkutan umum yang aman, nyaman, dan murah, apalagi bebas macet, banyak orang tentu mau beralih ke transportasi massal.
Nah, kalau sudah begini, konsumsi BBM, kan, bisa turun dengan sendirinya, tanpa perlu menerapkan sistem subsidi tetap, misalnya. Efek besar berikutnya, impor BBM berkurang. Bak bola salju, dampak selanjutnya adalah defisit neraca perdagangan kita bisa menyempit, syukur-syukur malah surplus.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Ketiga Desember 2013)
Langganan:
Postingan (Atom)