Selasa, 12 Agustus 2014

KUOTA JEBOL, SUBSIDI JEBOL

Bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai “langka”. Bagaimana tidak? Secara bertahap, sejak 1 Agustus 2014 lalu, puluhan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) tidak lagi menjual premium dan solar. Sedang ratusan pom bensin lainnya tak boleh menjual solar bersubsidi mulai jam enam sore sampai delapan pagi.
Pemerintah terpaksa menempuh langkah tidak populer tersebut demi mengerem konsumsi BBM bersubsidi tahun ini. Kalau tidak, premium bakal menghilang dari pasaran pada 19 Desember mendatang. Sementara solar bersubsidi akan habis 30 November nanti. PT Pertamina mencatat, hingga Juli lalu persediaan premium tinggal 42% dan solar cuma 40% dari kuota tahun ini yang masing-masing sebesar 29,29 juta kiloliter (kl) dan 15,16 juta kl.
Kebijakan ini buntut dari keputusan pemerintah dan DPR akhir Juni lalu yang mematok kuota konsumsi BBM bersubsidi tahun ini hanya 46 juta kl dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. Atau, menyusut 2 juta kl dari kuota di APBN 2014 yang mencapai 48 juta kl.
Cuma, sejatinya, kebijakan tersebut tidak betul-betul bisa mengerem konsumsi BBM bersubsidi, lo. Sebab, pemilik kendaraan bermotor, kan, masih bisa mengisi BBM di SPBU yang masih menjual premium dan solar. Pembatasan penjualan BBM bersubsidi hanya berlaku di 12% SPBU dari total 4.570 SPBU.
Lain ceritanya kalau Pertamina melakukan sistem kitir atau penjatahan penyaluran sesuai dengan ketersediaan sisa BBM bersubsidi kepada 88% SPBU yang masih boleh menjual 100% BBM bersubsidi. Artinya, Pertamina mengurangi pasokan ke SPBU agar kuota tahun ini cukup sampai akhir tahun. Dengan cara ini kuota
46 juta kl bisa betul-betul tercapai.
Tapi, kalau itu yang terjadi, kejadian tahun 2012 lalu bisa terulang. Lantaran sisa kuota BBM bersubsidi ketika itu hanya cukup sampai 21 Desember, pemerintah memerintahkan Pertamina melakukan sistem kitir mulai pertengahan November. Alhasil, waktu itu, selama sepekan antrean kendaraan bermotor mengular di banyak pom bensin. Dampak yang lebih parah, kondisi itu menyulut kerusuhan bernuansa SARA di daerah Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang berlanjut penjarahan.
Tentu tidak ada yang mau kisah pahit itu terulang. Hanya, pemerintah mau tidak mau memang harus membatasi konsumsi BBM bersubsidi, kalau ingin kuota tahun ini tidak jebol. Sebab, kuota jebol berarti subsidi BBM akan membengkak dari target Rp 246,4 triliun. Dan, untuk menutup pembengkakan itu, pemerintah terpaksa berutang lagi lantaran penerimaan perpajakan tidak bisa diandalkan.
Tapi sekali lagi, cara pembatasan yang berlangsung saat ini masih belum cukup untuk mengerem pemakaian BBM bersubsidi. Pemerintah mesti mengambil langkah yang lebih berani, yakni melarang mobil pribadi menenggak premium. Sebetulnya, ada cara instan yang bisa mengurangi konsumsi BBM bersubsidi bahkan memangkas subsidi BBM: mengerek harga premium dan solar. Cara ini terbukti ampuh tahun lalu. Dengan menaikkan harga premium dan solar di akhir Juni 2013, konsumsi BBM bersubsidi tahun lalu hanya 46,34 juta kl dari kuota 48 juta kl. Cuma, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memastikan tidak akan menaikkan harga BBM, termasuk melarang mobil pribadi memakai premium.
Bola yang sangat panas ini pun berpindah ke tangan pemerintahan baru nanti. Kemelut seperti ini tidak hanya akan terjadi di awal pemerintahan. Soalnya, konsumsi BBM bersubsidi nyaris setiap tahun melebihi kuota. Kantong pemerintah pun jebol bolak-balik. Tanpa kebijakan ekstrem sangat mungkin masalah ini terus berulang di tahun-tahun mendatang. Nah, berani tidak Jokowi-JK, setelah dilantik, mengambil langkah ekstrem itu? 


S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN Edisi 11-17 Agustus 2014

Tidak ada komentar: