Kamis, 26 September 2013

SUBSIDI BBM

Kemarin, Toyota dan Daihatsu meluncurkan mobil murah mereka: Agya dan Ayla. Harga jual Agya mulai Rp 99,9 juta per unit, sedang Ayla lebih murah lagi mulai Rp 76 juta per unit. Daihatsu berjanji, dalam satu hingga dua pekan ke depan, mobil murah mereka sudah sampai di tangan konsumen.
Bagi masyarakat Indonesia, kehadiran Agya dan Ayla jelas kabar yang menggembirakan. Sebab, bagi yang belum punya mobil, kesempatan mereka untuk memiliki kendaraan roda empat makin besar. Tak heran, Daihatsu, misalnya, mematok target penjualan Ayla sebanyak 3.000-4.000 unit per bulan. Alhasil, jalan raya makin sesak dengan mobil. Kemacetan lalu lintas pun bakal kian parah. 
Dan, persoalan yang lebih besar muncul: konsumsi bahan bakar minyak (BBM) akan bertambah. Itu berarti, impor BBM juga akan meningkat. Masalah tidak berhenti sampai di situ. Rapor neraca perdagangan kita bakal terus kebakaran alias memerah. Defisit neraca dagang Indonesia akan kian melebar. Sebab, penyebab utama nilai ekspor negara kita selalu keok melawan impor belakangan ini adalah, gara-gara impor sektor minyak dan gas (migas) terutama BBM yang sangat besar. 
Kondisi ini diperparah oleh nilai tukar rupiah yang terus melemah hingga menembus angka Rp 11.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Plus, harga minyak mentah dunia yang mulai menanjak menyusul rencana AS menyerang Suriah. 
Ujungnya, harga BBM impor semakin mahal kemudian subsidi BBM bakal membengkak. Hitungan pemerintah, dari efek pelemahan rupiah saja, subsidi BBM tahun bisa bertambah Rp 1,49 triliun dari target sebesar Rp 149,7 triliun. 
Itu belum dari dampak kenaikan harga minyak dan kuota BBM bersubsidi yang berpotensi jebol. Data Pertamina menunjukkan, konsumsi BBM bersubsidi selama tujuh bulan pertama tahun sudah mencapai 25,83 juta kiloliter (kl) atau 53,8% dari kuota yang 48 juta kl. 
Tak ada jalan lain buat pemerintah selain mengurangi impor BBM. Kebijakan pemerintah berupa kewajiban penggunaan biodiesel sebesar 10% pada solar bersubsidi sudah tepat. Namun, untuk merangsang produsen biodisel menambah produksinya, pemerintah mesti memberikan subsidi ke mereka. 
Cuma, lebih dari itu, pemerintah juga perlu mengambil langkah ekstrem untuk mengurangi impor BBM: membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Caranya adalah dengan melarang mobil pribadi menenggak premium. Berani enggak, ya?

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 10 September 2013)

SMS SAMPAH

Liburan panjang Lebaran kemarin, sebagian pengguna telepon seluler (ponsel) senang lantaran bisa bebas dari kiriman pesan singkat (SMS) berisi aneka tawaran produk dan jasa, terutama kredit tanpa agunan (KTA). 
Tapi, mulai Senin (19/8) lalu, SMS sampah kembali membanjiri layar ponsel. Dalam sehari, paling tidak ada lima SMS tawaran KTA yang nyelonong masuk. Masih ditambah SMS berisi tawaran produk dan jasa lainnya, mulai dari pinjaman dana dengan jaminan bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB), mobil, sampai racun serangga. Bahkan, belakangan juga marak SMS berisi tawaran teman kencan. Itu belum termasuk SMS penipuan. Betul-betul menyebalkan. 
Yang makin menyebalkan, SMS sampah itu datang tidak kenal waktu, jam dua pagi. Lagi enak-enaknya tidur nyenyak dan mimpi indah, eh, tiba-tiba ponsel berbunyi. Kirain SMS yang datang isinya mahapenting atau super mendesak, enggak tahunya cuma tawaran KTA. 
Tapi, mudah-mudahan, SMS sampah tinggal cerita. Kok? Soalnya, pada 26 Juli 2013 lalu terbit Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatikan (Permenkominfo) Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Jasa Penyediaan Konten Pada Jaringan Bergerak Seluler dan Jaringan Tetap Lokal Tanpa Kabel Dengan Mobilitas Terbatas.
Beleid ini menyebutkan, penyelenggara jaringan dilarang keras mengirimkan SMS penawaran kepada pengguna jaringan yang telah menolak untuk menerimanya. Jadi, SMS sampah tidak bisa lagi nyelonong masuk tanpa permisi. Sebab, penyelenggara jaringan harus meminta izin dulu kepada pengguna jaringan melalui SMS jika ingin mengirim SMS penawaran. 
Cuma masalahnya, Permenkominfo No 21/2013 masih memberi waktu enam bulan kepada penyelenggara jaringan dan jasa penyedia konten untuk menjalankan perintah beleid itu. Makanya, meski aturan main tersebut sudah terbit, SMS sampah masih muncul di layar ponsel kita sampai sekarang. 
Itu berarti, pengguna ponsel masih harus rela dengan terpaksa menerima SMS sampah hingga Januari 2014 mendatang. Sebab, memang tidak gampang menangkal "serangan" dari SMS sampah. 
Ya, mudah-mudahan Permenkominfo No.21/2013 bisa menjadi senjata yang ampuh untuk menangkal SMS sampah. Tentu, harus ada sanksi berat bagi siapa saja yang masih nekad mengirim SMS sampah tanpa permisi. Kalau tidak, beleid ini cuma jadi macan ompong.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 22 Agustus 2013)

WAJAH BARU KOTA JAKARTA

Mulai Senin (19/8), Jakarta kembali ke wujud aslinya. Jalan-jalan Ibukota RI yang dua pekan belakangan cukup lengang, penuh sesak lagi dengan kendaraan bermotor. Kemacetan parah pun kembali menjadi pemandangan sehari-hari. Maklum, liburan lebaran anak sekolah sudah selesai, begitu juga dengan cuti panjang para pekerja. Aktivitas Jakarta normal lagi.
Jangan heran, komentar atau kicauan soal jalan-jalan di Jakarta yang kembali macet bakal mewarnai lini massa jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter. Padahal, sebelumnya timeline di sosial media cukup ramai dengan komentar atau kicauan yang senang dengan kondisi Jakarta yang abnormal. Maksudnya, Jakarta yang bebas macet. Sampai-sampai, ada komentar yang meminta pemudik meninggalkan mobilnya di kampung halaman, enggak usah dibawa lagi ke Jakarta. 
Meski Jakarta kembali ke tampang aslinya, ada juga, lo, wajah-wajah baru yang tampak di tanah kelahiran Pitung ini. Siapa lagi kalau bukan para pendatang baru dari berbagai daerah yang ingin mengadu nasib di Jakarta. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar memperkirakan, pendatang baru yang masuk ke Jakarta pasca lebaran bisa mencapai 500.000 orang. Wow!
Tapi, wajah anyar Jakarta bukan hanya para pendatang baru. Pasca lebaran, tampang Pasar Tanah Abang juga baru. Kesemrawutan lalu lintas di pasar tekstil paling gede se-Asia Tenggara ini lenyap. Sebab, Jalan K.H. Mas Mansyur, Jalan Jembatan Tinggi, Jalan Jati Bunder, dan Jalan Jati Baru Raya sudah bersih dari pedagang kaki lima (PKL). Sebelumnya, ratusan PKL menduduki sebagian badan jalan sehingga menjadi biang kemacetan. Sehabis Tanah Abang, Pemerintah Provinsi DKI di bawah komando Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) juga akan merelokasi PKL yang mencaplok sebagian badan jalan di sekitar Pasar Gembrong dan Pasar Jatinegara di Jakarta Timur. 
Nah, yang juga bakal menjadi wajah baru Jakarta adalah nomor tunggal gawat darurat (kepolisian, pemadam kebakaran, dan ambulans), seperti 911 di Amerika Serikat, Australia 000, Malaysia 999, dan Filipina 117. Saat ini, Pemerintah DKI dan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya sedang menggodok pembentukan nomor tunggal gawat darurat itu. Konsultan asal Amerika Serikat yang biasa membangun sistem nomor tunggal gawat negara di sejumlah negara belum lama ini juga didatangkan untuk memberikan pelatihan. 
Dan, untuk mendukung operasional nomor tunggal gawat darurat tersebut di bidang kesehatan, Pemerintah DKI akan menambah 50 ambulans gawat darurat menjadi 100 unit. Tapi, di Jakarta dengan tingkat kemacetan yang sangat tinggi, tak gampang mengimplementasikan sistem kegawatdaruratan dengan response time 10 menit sampai di lokasi sejak panggilan gawat darurat masuk. 
Untuk itu, Pemerintah DKI dan Polda Metro Jaya harus menempatkan unit-unit di lokasi-lokasi yang rawan kecelakaan, kebakaran, dan kejahatan serta pemukiman penduduk. Problem berat lainnya adalah pengetahuan masyarakat kita soal kegawatdaruratan yang masih rendah. Di Amerika Serikat, misalnya, anak umur 10 tahun sudah tahu apa yang harus dia lakukan ketika orangtuanya tiba-tiba pingsan di rumah. Dia dengan cepat mengangkat telepon dan menekan nomor 911. 
Itu sebabnya, sejak dini, pengetahuan kegawatdaruratan sekaligus pertolongan pertama ditanamkan pada masyarakat kita. Juga perlu sosialisasi besar-besaran nomor tunggal gawat darurat. Kelak, nomor tunggal gawat darurat tak mubazir jadi wajah baru Jakarta.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Ketiga Agustus 2013)

SUBSIDI BBM TETAP

Meski pemerintah sudah mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Juni lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri merasa beban subsidi BBM yang pemerintah tanggung tetap berat.
Itu sebabnya, dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR yang membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 belum lama ini, Chatib yang baru dilantik sebagai menkeu akhir Mei lalu mengusulkan mekanisme subsidi BBM tetap mulai tahun depan. Dengan mekanisme tetap, subsidi yang harus pemerintah siapkan tidak akan berubah, meski harga minyak mentah dunia naik ataupun turun. Taruh kata, harga keekonomian premium saat ini Rp 9.000 per liter.
Dengan harga jual eceran premium Rp 6.500 per liter, pemerintah menanggung subsidi sebesar Rp 2.500 per liter. Nah, saat harga keekonomian premium naik menjadi Rp 10.000 per liter, pemerintah tetap hanya menanggung subsidi Rp 2.500 per liter. Otomatis, harga jual premium jadi Rp 7.500.
Tapi, apa mau dikata, usulan Chatib tersebut langsung mental. Alasannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta untuk fokus pada kenaikan harga BBM bersubsidi, lagian pemerintah belum melakukan kajian mendalam atas mekanisme subsidi BBM tetap.
Sebetulnya, alasan belum melakukan kajian bisa dimentahkan. Sebab, Chatib menyatakan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan tengah melakukan kajian bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Apalagi, pemerintah pernah menerapkan kebijakan yang hampir mirip selama April 2001 hingga Desember 2002. Ketika itu, pemerintah mematok harga BBM bersubsidi sebesar 50% dari harga pasar pada tahun 2001 dan 75% dari harga pasar di tahun 2002. Alhasil, harga BBM bersubsidi waktu itu naik turun setiap bulan mengikuti pergerakan harga minyak dunia.
Tapi, subsidi yang pemerintah keluarkan tetap alias tidak membengkak. Berangkat dari kenaikan harga BBM bersubsidi bulan lalu, pemerintah memang harus terus memangkas subsidi BBM yang sudah sangat-sangat membebani keuangan negara.
Apa pemerintah dan kita enggak sayang uang ratusan triliun rupiah habis dibakar untuk subsidi yang masih salah sasaran? Kan, bukankah lebih baik duit itu untuk membangun infrastruktur dan transportasi massal yang aman, nyaman, dan murah. Mau?

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 25 Juli 2013)