Jumat, 28 Oktober 2011

JANGAN ADA DENDAM

Setelah melewati lima kali masa sidang, persisnya 433 hari, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK) selesai juga. Kemarin (27/10), melalui rapat paripurna, DPR mengesahkan calon beleid tersebut menjadi undang-undang. Dan, penantian selama 12 tahun pun berakhir sudah.
Itu berarti, tahun depan, di republik ini bakal lahir sebuah lembaga super yang mengawasi seluruh industri jasa keuangan termasuk perbankan. Dengan begitu, tugas pengawasan bank tidak lagi ada di tangan Bank Indonesia (BI), tapi di suatu badan bernama OJK.
Kelahiran OJK tidak otomatis mempreteli kewenangan bank sentral mengawasi perbankan. Soalnya, peralihan pengawasan itu baru dimulai per 31 Desember 2013 atau 1 Januari 2014. Nantinya, BI hanya akan mengurusi kebijakan moneter dan sistem pembayaran saja. Sedangkan kewenangan regulasi perbankan, seperti pemberian izin pendirian bank dan kesehatan bank, menjadi wewenang OJK.
Sejatinya, suara fraksi di Panitia Khusus DPR tentang RUU OJK tidak bulat soal waktu peralihan kewenangan pengawasan perbankan dari BI ke OJK. Fraksi Partai Golkar dan Gerindra menginginkan peralihan pengawasan itu dimulai 31 Desember 2014. Makanya, mereka menyampaikan nota keberatan atawa minderheid nota. Namun, keberatan ini tidak menghalangi pengesahan RUU OJK menjadi UU.
BI yang sejak awal sebetulnya menolak OJK tentu saja setengah hati menyerahkan kewenangannya mengawasi perbankan ke lembaga yang powerful tapi di bawah kendali pemerintah. Sekalipun pembentukan OJK merupakan perintah UU BI yang terbit 1999 lalu.
Namun, Kebon Sirih, sebutan BI karena bermarkas di daerah Kebon Sirih, memang harus menerima kenyataan pahit, kewenangannya mengawasi bank harus dipreteli. RUU OJK sudah menjadi UU, mau tidak mau, suka tidak suka, BI memang harus mematuhi semua isinya tanpa terkecuali, walau mereka harus kehilangan kekuasaannya yang diemban sejak 1953 silam.
Meski dengan berat hati, BI harus menyerahkan kewenangannya, kemudian mendukung penuh OJK dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Sehingga, pengawasan perbankan di Indonesia berjalan dengan baik. Istilah kata, jangan ada lagi dendam di antara kita. Ketidakharmonisan pemerintah dan BI dalam pembahasan RUU OJK cukup sampai di sini saja. Jangan berlanjut lagi saat OJK telah beroperasi.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 28 Oktober 2011)

HUTAN SAWIT

Baru satu bulan berlaku, Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 62 Tahun 2011 yang terbit akhir Agustus lalu dicabut. Tapi, bukan berarti Kementerian Kehutanan (Kemhut) batal membolehkan tanaman budidaya kebun berkayu termasuk kelapa sawit tumbuh di kawasan hutan produksi tidak produktif alias yang sudah gundul.
Lembaga yang dikomandani Zulkifli Hasan ini tetap mengizinkan penanaman sawit di kawasan hutan produksi yang rusak.
Soalnya, pencabutan beleid tersebut sejatinya lebih pada untuk merevisi aturan main soal perizinan usaha di kawasan hutan yang dikeluarkan oleh kepala daerah. Sebab, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya tegas menyatakan, semua izin usaha di kawasan hutan yang diterbitkan oleh kepala daerah merupakan pelanggaran.
Padahal, Permenhut No. 62/2011 mempersilakan izin usaha perkebunan di kawasan hutan yang dirilis kepala daerah dapat dialihkan menjadi izin usaha tanaman hutan berbagai jenis. Tentu saja, ini berseberangan dengan hasil audit BPK. Makanya, Permenhut itu dicabut.
Kemudian, untuk tetap melegalkan sawit tumbuh di kawasan hutan produksi, Kemhut bakal menghidupkan lagi aturan tentang hutan tanaman campuran. Peraturan tersebut memang membolehkan sawit ditanam di kawasan hutan produksi tidak produktif.
Ya, untuk menghijaukan kembali hutan-hutan yang plontos termasuk mengerem pembukaan kawasan hutan dan lahan gambut untuk perkebunan, pemerintah memang harus melakukan terobosan. Dengan mengizinkan penanaman sawit di kawasan hutan yang terdegradasi, salah satu contohnya. Maklum, luas hutan yang gundul mencapai 9 juta hektare.
Tetapi, aturan main yang kelak hanya membolehkan sawit maksimal mengambil porsi 20% dari luas hutan produksi tidak produktif sesuai izin yang dikantongi harus ditegakkan. Kemhut juga harus memastikan pemegang izin membangun sebagian besar sisa lahan dengan tanaman hutan untuk areal perlindungan dan sistem tebang pilih. Jadi, tidak hanya sekadar menanam sawit, sedang sisanya dibiarkan tetap gundul.
Nah, kalau ketentuan itu dilanggar, hukumannya harus berat, tak sebatas pencabutan izin usaha saja, tapi juga pidana penjara agar betul-betul menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Karena itu, Kemhut harus bertindak tegas. Sangat tegas malah. Berani?


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 10 Oktober 2011)

GANTI UNTUNG

Masih ingat proyek tol ruas Ulujami-Veteran yang macet gara-gara pembebasan tanah milik satu orang yang berlarut-larut. Padahal, konstruksi jalan bebas hambatan ini sudah jadi semua, kecuali di lahan yang belum berhasil dikuasai tersebut.
Ya, masalah pembebasan lahan di Indonesia menjadi momok bagi pemerintah dan pengusaha yang menggarap infrastruktur publik, seperti jalan tol, rel keretaapi, pelabuhan, dan bandara. Pembebasan lahan yang semestinya paling lama memakan waktu satu tahun bisa menjadi bertahun-tahun.
Nah, untuk memecah kebuntuan masalah itu, pemerintah mengambil sikap tegas dengan melahirkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Lewat calon beleid ini, setiap jengkal tanah yang masuk dalam peta pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur publik langsung dikuasai negara.
Meski begitu, pemerintah tetap menyiapkan seribu satu rayuan untuk meluluhkan hati para pemilik tanah yang tertuang dalam RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Contoh, penetapan besar dan bentuk ganti rugi melalui proses musyawarah. Lalu, ada ganti rugi karena kehilangan usaha dan insentif perpajakaan bagi pemilik tanah yang mau melepas asetnya.
Dan, dalam proses pembahasan mengenai proses ganti rugi, DPR tidak terlalu rewel dalam menyikapi pasal-pasal yang pemerintah sodorkan. Paling hanya masalah redaksional saja. Sebab itu, dewan optimistis RUU ini bakal kelar paling lambat akhir tahun ini.
Hanya saja, yang perlu kita cermati bersama dalam calon aturan tersebut adalah pencabutan hak atas tanah dengan dalih demi kepentingan umum. Sekalipun ada gugatan dari warga yang tidak setuju dengan nilai ganti rugi, itu tidak dapat menyetop proses pembangunan infrastruktur publik.
Ketentuan ini yang kemudian menyulut protes dari berbagai pihak. Soalnya, mereka menilai, pencabutan hak atas tanah sekalipun untuk kepentingan umum secara tidak berkeadilan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Agar tidak dianggap semena-mena, begitu UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan berlaku, pemerintah harus betul-betul memastikan semua aturan main yang termaktub dalam beleid itu berjalan. Rakyat pasti akan menyerahkan tanahnya meski dengan berat hati asal mendapat ganti untung yang sesuai. Jadi, mereka bukan malah dirugikan, melainkan diuntungkan.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 20 September 2011)