Jumat, 08 April 2011

IMBAUAN

Pemerintah tampaknya tidak belajar dari pengalaman yang sudah-sudah. Hanya berbekal imbauan yang menyindir, pemerintah ingin pemilik mobil mewah menyetop kebiasaan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) subsidi khususnya premium.
Mulai 1 April 2011 lalu, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pertamina dipenuhi spanduk. Salah satunya spanduk yang bertuliskan: Premium adalah BBM bersubsidi yang hanya untuk golongan tidak mampu. Jika ada pemilik mobil mewah membeli premium, mereka tetap dilayani. Tetapi, petugas pom bensin akan menyindir, "Tidak salah nih Pak/Bu!"
Padahal, semua orang tahu jurus ini tidak ampuh-ampuh amat. Imbauan berupa spanduk itu sudah membentang di SPBU Pertamina sejak pemerintah berencana membatasi pemakaian BBM bersubsidi akhir tahun lalu. Hasilnya, tetap saja pemilik mobil mewah tanpa malu-malu membeli premium. Apalagi setelah harga Pertamax menembus level Rp 8.700 per liter.
Begitu juga setelah pemerintah makin gencar mengeluarkan imbauan plus sindiran. Sami mawon. Lihat saja, pemilik mobil mewah tetap cuek bebek kayak orang bodoh mengantre beli premium di SPBU di belakang angkutan kota.
Urat malu sebagian orang Indonesia memang sudah putus. Jadi, kalau sebatas sindiran apalagi cuma imbauan, sudah enggak mempan lagi. La, menerabas lampu merah yang jelas-jelas melanggar aturan saja, orang kita tidak takut, kok.
Jadi, kalau pemerintah mau anggaran subsidi tidak jebol, langkah paling bijak adalah melarang mobil pribadi jenis tertentu menenggak premium. Sebab, penolakannya tidak bakal senyaring jika mengerek harga BBM bersubsidi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa pernah mengatakan, hanya dengan membatasi premium di wilayah Jabodetabek saja, pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi BBM hingga Rp 2 triliun per tahun.
Nah, sebagian anggaran ini harus dipakai untuk membiayai pengadaan transportasi umum yang murah, nyaman, dan aman. Ambil contoh, memperbanyak armada busway. Sehingga, orang tidak perlu lagi menunggu lama di halte dan berdesak-desakan di dalam bus.
Dengan begitu, pemilik kendaraan pribadi tak punya alasan lagi untuk tidak beralih ke angkutan umum. Manfaat selanjutnya dengan migrasi tersebut, tentu saja, kemacetan yang selama ini membelenggu kawasan Ibukota bisa sedikit terurai.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 7 April 2011)