Kamis, 22 Januari 2015

SUBSIDI DAN KONSUMSI

Antrean panjang kendaraan bermotor yang mengular di banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) nyaris tidak tampak lagi. PT Pertamina sudah mencabut sistem kitir atawa penjatahan penyaluran premium dan solar sesuai dengan ketersediaan sisa kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tahun ini.
Tapi, bukan berarti masalahnya selesai, lo. Sebab, meski tak ada lagi pengurangan pasokan BBM bersubsidi ke pom bensin, sampai saat ini pemerintah belum punya solusi pengganti untuk mengerem konsumsi premium dan solar.
Tanpa upaya masif seperti sistem kitir, kuota BBM tahun ini sebanyak 46 juta kiloliter (kl) tidak bakal cukup sampai akhir tahun. Hitungan Pertamina, realisasi konsumsi BBM bersubsidi sampai akhir tahun nanti bakal mencapai 47,35 juta kl. Angka ini 2,9% di atas kuota BBM atau lebih banyak 1,35 juta kl.
Artinya, subsidi BBM bisa membengkak hingga Rp 8 triliun. Jelas, dong, ini bukan uang yang sedikit. Apalagi, dengan kuota 46 juta kl, pemerintah harus menguras kantong sampai Rp 246,5 triliun untuk mengongkosi subsidi BBM.
Opsi mengerek harga BBM bersubsidi pun mencuat. Tapi, kenaikan harga tak menjamin kuota BBM bersubsidi tahun ini tidak bakal jebol. Mengerem konsumsi agar penggunaan BBM tidak sampai jebol-jebol amat, ya. Tapi, kuota 46 juta kl tetap saja akan terlampaui.
Tengok saja data tahun 2013. Walau harga naik, konsumsi BBM bersubsidi tetap tumbuh sebesar 3,57% menjadi 46,6 juta kl dibanding tahun 2012. Cuma memang, angka ini di bawah rata-rata pertumbuhan konsumsi setiap tahun selama 20102013 yang mencapai 6,72%.
Kenapa tetap tumbuh sekalipun harga BBM bersubsidi sudah naik? Jumlah kendaraan, baik mobil maupun sepeda motor, terus saja bertambah termasuk tahun ini.
Jadi, masalah BBM tidak hanya terletak di subsidi saja yang terus membengkak, juga konsumsinya yang terus meningkat. Kenaikan harga premium dan solar memang memangkas subsidi BBM. Tapi, konsumsi BBM tetap naik yang ujungnya subsidi naik juga.
Kalau ditanya pilih kenaikan harga BBM atau pelarangan mobil pribadi menenggak premium, saya memilih pelarangan mobil pelat hitam minum premium. Selain bisa mengurangi subsidi dan konsumsi BBM sekaligus, efek ke masyarakat bawah tidak gede-gede amat. Alhasil, pemerintah tak perlu merogoh kocek yang dalam untuk program bantuan sosial warga miskin. 

S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 3 Agustus 2014

BARANG BAJAKAN

Sejumlah personel band dan penyanyi terkenal tanah air berganti profesi. Sebut saja, anggota band Geisha, Nidji, dan D'masiv, juga penyanyi Judika. Ada yang menjadi pengamen, ada juga yang jadi pedagang kaki lima. Alasan mereka banting setir dari dunia musik sama: sudah malas lagi berkarya karena lagu-lagunya dibajak.
Buat para fans Geisha, Nidji, D'masiv, serta Judika jangan panik dulu, ya. Sebab, kisah tersebut hanya ada di iklan kampanye anti-pembajakan yang diputar di salah satu stasiun radio di Jakarta.
Maklum, negara kita merupakan salah satu surga barang bajakan, mulai musik, film, buku, hingga peranti lunak alias software. Tidak hanya terhadap karya-karya anak bangsa, juga dari luar negeri.
Nah, pemerintah berupaya menekan produksi dan peredaran barang bajakan lewat Undang-Undang (UU) Hak Cipta yang baru disahkan DPR, Selasa (16/9) lalu. Selama ini, peraturan yang ada hanya menindak produsen dan penjual barang bajakan. Sedangkan para pembeli produk bajakan yang sebetulnya juga melanggar hak cipta dari karya yang dibajak tidak tersentuh hukum. Sekarang, pembeli barang bajakan bakal kena sanksi berupa denda.
Agar ruang gerak aksi pembajakan atas hak cipta kian sempit lagi, di UU Hak Cipta yang baru juga ada sanksi denda bagi pengelola pusat perbelanjaan yang menyewakan gerainya kepada penjual barang bajakan. Sama seperti pembeli barang bajakan, selama ini para pengelola pusat perbelanjaan tidak tersentuh oleh hukum. Meski sering ada razia terhadap penjual barang bajakan di mal, pengelola pusat perbelanjaan bebas dari jeratan hukum.
Bisa jadi, kalau UU Hak Cipta yang baru ini betul-betul diterapkan, produksi dan peredaran barang bajakan bisa turun drastis. Tapi, belum tentu penegakan hukum tersebut kemudian mendongkrak penjualan barang atau produk yang asli. Soalnya, harga jualnya berkali-kali lipat dari harga barang bajakan.
Meski begitu, produsen atau distributor jangan mensia-siakan pasar barang bajakan yang sudah tercipta dan sangat besar. Caranya, dengan mengeluarkan produk generik yang harganya enggak mahal-mahal amat. Ambil contoh, dengan membuat kemasan compact disc (CD) yang sederhana tapi apik, yang bisa membuat angkos produksi berkurang. Sehingga, harga jualnya berkisar Rp 12.500 hingga Rp 20.000 per keping, seperti CD album band Sheila on 7 dan serial film anak Barney.
Jadi, makan rujak pakai kedondong, jangan beli bajakan, dong. 

S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 19 September 2014

DEFISIT

Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) kurang dari dua pekan lagi memerintah negeri ini. Tapi, mereka enggak ada lagi waktu menikmati masa bulan madu sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Begitu dilantik 20 Oktober nanti, mereka harus langsung tancap gas.Sebab, banyak pekerjaan rumah sangat berat warisan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sudah menanti.
Salah satunya adalah menjaga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 sesuai target, yakni Rp 241,49 triliun atau 2,4% terhadap produk domestik bruto (PDB). Maklum, penerimaan negara dari sektor pajak tahun ini sudah pasti tak mencapai target. Sementara, belanja negara berpotensi besar melewati pagu anggaran, terutama gara-gara bujet subsidi bahan bakar minyak (BBM) membengkak.
Nilai tukar rupiah yang melemah menjadi salah satu biang kerok pembengkakan belanja negara tahun ini khususnya subsidi BBM. Sebab, sebagian besar pasokan BBM bersubsidi berasal dari impor. Tentu, pemerintah harus membeli premium dan solar impor dengan dollar Amerika Serikat.
Mengacu APBN-P 2014, setiap nilai tukar rupiah melemah Rp 100 per dollar AS dari asumsi, berpotensi menambah defisit bujet sebanyakRp 940,4 miliar hingga Rp 1,21 triliun. Asumsi kurs rupiah di APBN-P 2014 sebesar Rp 11.600 per dollar AS. Bank Indonesia (BI) mencatat, rata-rata nilai tukar rupiah pada kurs tengah dari awal tahun hingga 3 Oktober 2014 lalu adalah Rp 11.754,49 per dollar AS.
Padahal, sejak 18 September lalu, nilai tukar mata uang garuda pada kurs tengah selalu bertengger di level Rp 12.000 per dollar AS. Setelah sempat menguat ke posisi Rp 12.190 per dollar AS pada Selasa (7/10), rupiah kembali melemah di Rabu (8/10) kemarin menjadi Rp 12.241. Ini merupakan posisi terlemah rupiah sejak 3 Februari 2014.
Untuk menghemat belanja negara, Jokowi-JK sudah berancang-ancang menaikkan harga BBM bersubsidi awal November nanti sebesar Rp 3.000 per liter. Dengan kenaikan sebesar ini, subsidi BBM bisa dihemat mencapai Rp 35 triliun.
Tapi yang perlu diingat ialah, kenaikan harga BBM bersubsidi tidak lantas mengerem konsumsinya. Tanpa upaya pembatasan yang ekstrem, pemakaian premium dan solar pasti melewati kuota konsumsi tahun ini yang cuma 46 juta kiloliter (kl). Cuma, kalau Jokowi-JK memutuskan menambah kuota BBM, subsidi BBM pasti bertambah. 

S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 9 Oktober 2014

KOMPENSASI

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) memastikan bakal mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tahun ini. Sebagai kompensasi bagi masyarakat miskin dan rentan miskin yang paling terkena efek kenaikan harga BBM, pemerintah akan membagikan bantuan sosial.
Sebelum harga premium dan solar naik, pemerintah berencana membagikan bantuan lewat Program Keluarga Produktif. Program ini mencakup Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera. Rencananya, pemerintah juga akan memberikan dana kompensasi lainnya.
Dan, kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi harusnya juga mengalir ke sektor angkutan umum. Tapi, bentuknya bukan uang tunai melainkan bisa berupa pembagian conversion kit untuk dipasang di tangki-tangki bahan bakar angkutan umum. Alhasil, angkutan umum akan memakai sistem dua bahan bakar alias dual fuel system: BBM dan bahan bakar gas (BBG).
Misalnya, dengan kombinasi 43% solar dan 57% liquid natural gas (LNG). Komposisi bahan bakar ini sedang diuji coba PT Pertamina pada sejumlah mobil pembawa bahan bakar milik mereka. Hasilnya adalah, bisa menghemat biaya bahan bakar minimal 14% ketimbang menggunakan solar 100%.
Nah, kalau semua angkutan umum memakai dual fuel system, syukur-syukur malah 100% menggunakan BBG, maka tarif angkutan umum tidak perlu naik tinggi-tinggi amat menyusul kenaikan harga BBM bersubsidi. Sehingga, masyarakat masih bisa menikmati tarif transportasi umum yang murah. Daya beli masyarakat tidak terlalu terpukul akibat harga BBM yang naik.
Tapi, sesuai visi dan misi Jokowi-JK di bidang energi, konversi BBM (mahal dan sebagian harus impor) ke BBG (murah dan tidak perlu impor) tidak berhenti sampai angkutan umum saja, tapi juga merambah ke kendaraan pribadi. Hitung-hitungan Jokowi-JK, penggunaan BBG bisa memangkas biaya bahan bakar sebesar 20%, itu kalau harga BBM bersubsidi tidak naik. Kalau naik, penghematannya lebih besar.
Tentu yang paling penting adalah, konversi ke BBG bakal mengurangi penggunaan BBM. Sebab, kenaikan harga BBM bersubsidi, sekalipun angkanya Rp 3.000 per liter, belum tentu mengurangi konsumsi. Mengerem konsumsi, iya. Dari tahun ke tahun konsumsi BBM terus naik, meski ada kenaikan harga. 
Dengan transformasi sektor transportasi ke berbasis gas, kita bisa mengurangi angka impor BBM. 

S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 1 November 2014

Senin, 05 Januari 2015

BBM BARU

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memberikan kado tahun baru yang manis meski sejatinya pahit. Manis lantaran harga jual premium turun, dari Rp 8.500 per liter menjadi Rp 7.600 seliter per 1 Januari 2015. Pahit karena pemerintah menghapus subsidi atas premium. Alhasil, harga premium saat ini sesuai harga keekonomian.
Untuk solar, harganya juga turun sedikit menjadi Rp 7.250 per liter dari sebelumnya Rp 7.500 seliter. Cuma, pemerintah tidak mencabut subsidi atas solar. Pemerintah tetap memberi subsidi untuk solar hanya mekanismenya berubah, dari subsidi harga menjadi subsidi tetap yakni sebesar Rp 1.000 per liter.
Dengan harga jual keekonomian, otomatis harga premium bakal seperti Pertamax dan kawan-kawan, bisa naik turun saban bulan mengekor harga minyak mentah dunia. Begitu juga solar yang mendapat subsidi tetap akan naik turun bak yoyo tiap bulan. Sebab, berapa pun harga minyak dunia, pemerintah hanya menyuntikkan subsidi sebesar Rp 1.000 per liter.
Kabar baiknya: harga premium dan solar bisa terus turun. Soalnya, banyak yang memperkirakan penurunan harga minyak dunia akan berlanjut paling tidak hingga paro pertama 2015. Syukur-syukur bisa di bawah US$ 40 per barel seperti yang terjadi pada Desember 2008 lalu. Nantinya, setiap bulan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal mengeluarkan keputusan mengenai harga jual eceran premium dan solar.
Nah, masalah baru muncul kala harga minyak mentah naik dan terus mendaki ke angka US$ 100 per barel. Kalau sudah begini, harga premium bisa menembus angka 
Rp 9.000 per liter bahkan lebih. Jelas, harga premium sebesar itu memberatkan masyarakat. Tambah lagi, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bakal memecut harga barang dan jasa naik.
Jadi, ada baiknya pemerintah mematok harga keekonomian premium tertinggi, misalnya, di angka 
Rp 8.500 per liter. Lewat dari harga itu, pemerintah kembali memberikan subsidi untuk premium. Dengan begitu, daya beli masyarakat sekaligus inflasi tetap terjaga.
Tapi, yang tidak kalah penting, pemerintah harus mempercepat program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) yang lebih murah harganya, terutama untuk angkutan umum. Pemerintah mesti cepat membangun infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian bahan bakar gas. Agar angkutan umum mau beralih, pemerintah harus membagikan gratis alat BBG.        

Tajuk S.S. Kurniawan, Harian KONTAN Edisi 5 Januari 2015

GANYANG MAFIA MIGAS

Mafia migas. Dua kata ini belakangan makin nyaring terdengar, menyusul kelahiran Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) akhir November 2014 lalu. Salah satu tugas tim yang dikomandani Faisal Basri ini adalah memberikan rekomendasi agar aturan main tata kelola migas transparan, jelas.
Kata Faisal, analoginya gampang. Kalau selama ini ruang migas gelap, ya, terangin saja semua. “Kabur, deh, setan-setan itu. Setan tidak bisa di ruang terang,” katanya. Setan yang dimaksud Faisal, ya, mafia migas.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas pun bergerak cepat. Temuan menarik tim yang kerap disebut sebagai Tim Anti-Mafia Migas tersebut satu per satu keluar. Misalnya, pembelian bahan bakar minyak (BBM) oleh Pertamina Energy Trading Limited (Petral) tidak dilakukan langsung ke perusahaan minyak milik suatu negara alias national oil company (NOC), tapi masih lewat perantara atawa trader. 
Yang tidak kalah mengejutkan adalah, temuan terkait BBM bersubsidi. Jadi, menurut Tim Anti-Mafia Migas, Pertamina membeli BBM dengan RON92 (standar kualitas setara Pertamax) untuk memenuhi kebutuhan BBM bersubsidi. Di Indonesia, BBM RON92 itu kemudian di-blending menjadi RON88 (standar kualitas premium), di-down grade. Soalnya, saat ini tak ada lagi pemasok dari luar negeri yang menyediakan BBM RON88.
Temuan-temuan ini tentu menjadi modal awal Tim Reformasi Tata Kelola Migas untuk mengganyang mafia migas. Tentu, aturan main tata kelola migas yang transparan tidak hanya berhenti pada proses impor minyak untuk BBM bersubsidi, juga membidik penyalurannya sampai ke tangan masyarakat.
Caranya adalah, pemerintah mesti mengubah titik penyerahan BBM bersubsidi. Saat ini, kebijakan yang berlaku: titik serah terakhir adalah depo Pertamina. Data premium dan solar yang keluar dari depo Pertamina itulah yang dianggap sebagai jumlah penjualan BBM bersubsidi kepada masyarakat. Pemerintah lalu membayar subsidi senilai jumlah BBM yang keluar dari depo Pertamina.
Nah, idealnya titik serah untuk perhitungan pembayaran subsidi BBM oleh pemerintah ialah di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Sebab, dari pompa bensinlah masyarakat secara langsung menikmati BBM bersubsidi, bukan dari depo Pertamina. Kan, sudah bukan rahasia lagi, banyak terjadi penyimpangan dan penyelundupan BBM. Contoh, solar bersubsidi mengalir ke industri dan premium diselundupkan ke Timor Leste.
Menurut Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH) Migas, distributor BBM bersubsidi selain Pertamina sudah menerapkan titik serah di SPBU.  PT AKR Corporindo Tbk, misalnya, sudah menerapkan teknologi yang memantau data penjualan secara real time di setiap SPBU mereka. Teknologi ini menutup ruang penyimpangan dan penyelundupan BBM bersubsidi dari depo menuju SPBU.
Jika menerapkan titik serah di SPBU, Pertamina harus memasang teknologi di setiap dispenser di SPBU mereka. Teknologi ini untuk menghitung jumlah BBM bersubsidi yang disalurkan ke masyarakat secara real time, dan nantinya tersambung langsung ke kantor pusat Pertamina. Jadi, pemerintah hanya membayar subsidi sesuai jumlah premium dan solar bersubsidi yang keluar dari SPBU.
Betul. Lewat sistem yang transparan, pemerintah memang bisa mempersempit pergerakan mafia migas. Tapi, perang melawan mafia migas tentu tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah harus betul-betul memberangus mereka. Kelak, berbekal temuan-temuan Tim Anti-Mafia Migas yang menunjukkan bukti-bukti kejahatannya, pemerintah mencokok dan menyeret mereka ke pengadilan.   
Cuma masalahnya, berani tidak?

Tajuk S.S. Kurniawan, Tabloid KONTAN Edisi Minggu Ketiga Desember 2014

TAHUN DAN HARGA BARU

Kurang dari tiga pekan lagi, tahun bakal berganti. Tahun 2014 berganti menjadi 2015. Cuma, belum-belum kenyataan pahit sudah menunggu begitu kita melangkah meninggalkan tahun 2014 dan masuk ke 2015.
Belum habis efek kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 18 November 2014 lalu, mulai 1 Januari 2015 nanti tarif listrik untuk 12 golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) naik ke harga keekonomian alias tanpa subsidi dari pemerintah lagi. Yang kena tarif setrum baru itu adalah pelanggan rumahtangga dengan daya 1.300 volt-ampere (VA).
Tarif listrik untuk 12 golongan pelanggan PLN ini bakal seperti harga bahan bakar minyak nonsubsidi Pertamax, bisa naik turun setiap bulan. Saban bulan perusahaan setrum pelat merah tersebut akan mengkaji tarif listriknya. Penetapan tarif akan dilakukan setiap tanggal 
1 mulai pukul 00:00 WIB.
Ada tiga faktor yang menjadi penentu kenaikan atau penurunan tarif listrik bagi 12 golongan pelanggan PLN itu. Pertama, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Yang menjadi pegangan adalah kurs mata uang garuda keluaran Bank Indonesia (BI). Kedua, harga minyak mentah Indonesia (ICP). Dan, ketiga, laju inflasi.
Masalahnya, khusus pelanggan rumahtangga berdaya 1.300 VA sejatinya tidak semua orang yang benar-benar punya duit. Terbukti, banyak sekali pelanggan golongan ini dari masyarakat menengah bawah. Soalnya, dulu pemerintah “melarang” sambungan baru 450 VA dan 900 VA. Alhasil, masyarakat pun dipaksa menjadi pelanggan 1.300 VA.
Lalu, tahun 2013 PLN menggelar program bertajuk Tambah Daya Listrik Gratis Biaya Penyambungan. Ramai-ramai pelanggan 450 VA dan 900 VA hijrah ke 1.300 VA, jumlahnya ratusan ribu pelanggan. Padahal, begitu menjadi pelanggan 1.300 VA, mereka langsung kena tarif listrik baru yang lebih mahal.
Celakanya, awal 2014 tarif listrik untuk pelanggan 1.300 VA naik lagi, dan lagi, dan lagi, secara bertahap. Puncaknya, ya, mulai 1 Januari 2015 mereka harus membayar listrik dengan tarif keekonomian: Rp 1.352 per kilowatt-ampere (kWh). Padahal, waktu masih menjadi pelanggan 450 VA dan 900 VA, mereka hanya perlu membayar listrik Rp 415 per KWh dan Rp 605 per kWh.
Beban berat masyarakat menjadi komplit lantaran harga Elpiji 12 kg bakal naik. PT Pertamina berencana mengerek harganya Rp 1.500 per kg pada awal Januari 2015.
Tahun baru, harga juga baru.     

(Tajuk S.S. Kurniawan, Harian KONTAN Edisi 13 Desember 2014)