Senin, 05 Januari 2015

GANYANG MAFIA MIGAS

Mafia migas. Dua kata ini belakangan makin nyaring terdengar, menyusul kelahiran Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) akhir November 2014 lalu. Salah satu tugas tim yang dikomandani Faisal Basri ini adalah memberikan rekomendasi agar aturan main tata kelola migas transparan, jelas.
Kata Faisal, analoginya gampang. Kalau selama ini ruang migas gelap, ya, terangin saja semua. “Kabur, deh, setan-setan itu. Setan tidak bisa di ruang terang,” katanya. Setan yang dimaksud Faisal, ya, mafia migas.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas pun bergerak cepat. Temuan menarik tim yang kerap disebut sebagai Tim Anti-Mafia Migas tersebut satu per satu keluar. Misalnya, pembelian bahan bakar minyak (BBM) oleh Pertamina Energy Trading Limited (Petral) tidak dilakukan langsung ke perusahaan minyak milik suatu negara alias national oil company (NOC), tapi masih lewat perantara atawa trader. 
Yang tidak kalah mengejutkan adalah, temuan terkait BBM bersubsidi. Jadi, menurut Tim Anti-Mafia Migas, Pertamina membeli BBM dengan RON92 (standar kualitas setara Pertamax) untuk memenuhi kebutuhan BBM bersubsidi. Di Indonesia, BBM RON92 itu kemudian di-blending menjadi RON88 (standar kualitas premium), di-down grade. Soalnya, saat ini tak ada lagi pemasok dari luar negeri yang menyediakan BBM RON88.
Temuan-temuan ini tentu menjadi modal awal Tim Reformasi Tata Kelola Migas untuk mengganyang mafia migas. Tentu, aturan main tata kelola migas yang transparan tidak hanya berhenti pada proses impor minyak untuk BBM bersubsidi, juga membidik penyalurannya sampai ke tangan masyarakat.
Caranya adalah, pemerintah mesti mengubah titik penyerahan BBM bersubsidi. Saat ini, kebijakan yang berlaku: titik serah terakhir adalah depo Pertamina. Data premium dan solar yang keluar dari depo Pertamina itulah yang dianggap sebagai jumlah penjualan BBM bersubsidi kepada masyarakat. Pemerintah lalu membayar subsidi senilai jumlah BBM yang keluar dari depo Pertamina.
Nah, idealnya titik serah untuk perhitungan pembayaran subsidi BBM oleh pemerintah ialah di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Sebab, dari pompa bensinlah masyarakat secara langsung menikmati BBM bersubsidi, bukan dari depo Pertamina. Kan, sudah bukan rahasia lagi, banyak terjadi penyimpangan dan penyelundupan BBM. Contoh, solar bersubsidi mengalir ke industri dan premium diselundupkan ke Timor Leste.
Menurut Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH) Migas, distributor BBM bersubsidi selain Pertamina sudah menerapkan titik serah di SPBU.  PT AKR Corporindo Tbk, misalnya, sudah menerapkan teknologi yang memantau data penjualan secara real time di setiap SPBU mereka. Teknologi ini menutup ruang penyimpangan dan penyelundupan BBM bersubsidi dari depo menuju SPBU.
Jika menerapkan titik serah di SPBU, Pertamina harus memasang teknologi di setiap dispenser di SPBU mereka. Teknologi ini untuk menghitung jumlah BBM bersubsidi yang disalurkan ke masyarakat secara real time, dan nantinya tersambung langsung ke kantor pusat Pertamina. Jadi, pemerintah hanya membayar subsidi sesuai jumlah premium dan solar bersubsidi yang keluar dari SPBU.
Betul. Lewat sistem yang transparan, pemerintah memang bisa mempersempit pergerakan mafia migas. Tapi, perang melawan mafia migas tentu tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah harus betul-betul memberangus mereka. Kelak, berbekal temuan-temuan Tim Anti-Mafia Migas yang menunjukkan bukti-bukti kejahatannya, pemerintah mencokok dan menyeret mereka ke pengadilan.   
Cuma masalahnya, berani tidak?

Tajuk S.S. Kurniawan, Tabloid KONTAN Edisi Minggu Ketiga Desember 2014

Tidak ada komentar: