Rabu, 18 Mei 2011

SAWAH

Kalau tidak ada gangguan hama dan cuaca, di tahun-tahun mendatang, luas sawah di Indonesia yang bakal panen bertambah 570.000 hektare. Itu berarti, produksi gabah kering giling kering nasional naik 3,75 juta ton atau setara dengan 2 juta ton beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun lalu, luas sawah yang panen di negara kita mencapai 13,24 juta hektare dan menghasilkan 66,41 juta ton gabah kering giling. Rata-rata setiap hektare memproduksi 50.14 ton gabah kering giling.
Tambahan produksi itu berasal dari Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) yang digalang sejumlah badan usaha milik negara (BUMN). PT Pertani, PT Sang Hyang Seri, PT Pupuk Sriwidjaja, serta Perum Jasa Tirta I dan II masing-masing menyediakan bibit, pupuk, dan pengairan. Lalu, Perum Perhutani, PT Inhutani, dan PT Perkebunan Nusantara menyiapkan lahan, sedang Perum Bulog untuk pengelolaan hasil produksi.
Ya, pemerintah memang tidak bisa terus-terusan berharap pada petani untuk mendongkrak produksi padi. Apalagi, jumlah areal persawahan terus menyusut dari tahun ke tahun akibat alih fungsi lahan menjadi perumahan, misalnya.
Memang, data BPS menunjukkan, produksi gabah terus menanjak. Contoh, tahun 2007, produksi gabah hanya 57,15 juta ton. Di 2008 dan 2009, angkanya naik masing-masing jadi 60,32 juta ton dan 64,39 juta ton. Tapi, kenaikan produksi itu masih belum cukup memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia yang juga terus bertambah tiap tahun menjadi 237,56 juta jiwa pada 2010.
Alhasil, Bulog terpaksa mendatangkan beras dari negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand, sebanyak 1,9 juta ton sejak tahun lalu. Sebanyak 1,3 juta ton di antaranya masuk ke Indonesia sepanjang Januari hingga Maret 2011.
Perusahaan pelat merah yang akhirnya mau turun tangan membantu pemerintah untuk mendongkrak produksi padi patut diacungi jempol. Apalagi, kalau gerakan tersebut betul-betul menjadi kenyataan, tak hanya di atas kertas.
Tapi yang perlu dicermati, bisa jadi BUMN mau ikut ambil bagian dalam GP3K, karena mendapat jaminan gabah atau beras mereka bakal ditebus minimal sesuai harga pembelian pemerintah (HPP). Kan yang membeli Bulog langsung.
Nah, mungkin petani akan kembali semangat menanam padi kalau mereka dapat jaminan yang sama. Soalnya, gabah atau beras mereka sering dihargai jauh di bawah HPP, terutama saat panen tiba.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 16 Mei 2011)

MISI PENTING SANG MERPATI

Kabut duka kembali menyelimuti dunia penerbangan Indonesia. Sabtu (7/5) dua pekan lalu, pesawat Merpati Nusantara Airlines jenis MN-60 jatuh dan hancur berkeping-keping di perairan Kaimana, Papua. Seluruh penumpang dan awak kabin yang berjumlah 25 orang tewas. Kecelakaan tragis yang terjadi hanya 500 meter dari Bandara Utarom itu menambah panjang daftar kecelakaan pesawat di Indonesia.
Nasib yang sama tragis juga menimpa perusahaan penerbangan pelat merah ini. Sejak tahun 1970-an hingga kini, saban tahun, Merpati nyaris selalu merugi. Sampai-sampai utang maskapai itu menggunung sampai Rp 1,3 triliun di awal 2000-an, jauh di atas aset mereka yang cuma Rp 800 miliar. Memang, awal tahun 1990-an, Merpati boleh dibilang mencecap masa jaya. Saat itu, Merpati punya 86 pesawat yang juga menerbangi rute internasional. Toh, semua itu tetap tak mampu menyelamatkan perusahaan itu. Hampir tiap tahun terus saja mencetak kerugian.
Kejatuhan Merpati hingga ke tubir kebangkrutan tak lepas dari keputusan berani manajemen lama mengerek status maskapai dengan modal awal Rp 10 juta, dari penerbangan perintis menjadi penerbangan nasional bahkan internasional. Akibatnya, Merpati membeli dan menyewa beragam jenis pesawat termasuk yang menggendong mesin jet yang boros bahan bakar. Perusahaan yang sempat bergabung dengan Garuda Indonesia di tahun 1978 ini pun menjadi tidak efisien. Ditambah, jumlah karyawan yang mencapai 2.600 orang menjadi bom waktu di kemudian hari.
Toh, pemerintah tetap mempertahankan mati-matian Merpati yang terus-terusan merugi dan nyaris bangkrut, walau ada opsi melikuidasi maupun memailitkan maskapai ini. Alasannya, Merpati mengemban misi penting sebagai penerbangan perintis. Maklum, Indonesia sangat luas dan terdiri dari pulau-pulau serta daerah-daerah terpencil.
Itu sebabnya, pemerintah yang menyuntikkan modal tambahan Rp 350 miliar untuk biaya restrukturisasi di tahun 2007, termasuk ongkos mem-PHK separuh karyawannya atau 1.300 orang, mengembalikan tugas utama Merpati sebagai penerbangan perintis yang tidak banyak dilirik maskapai lainnya. Soalnya, menerbangi rute-rute ke daerah terpencil banyak ruginya ketimbang untungnya.
Saat ini, Merpati menjadi pasien Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) yang terus mendapat asupan modal demi melakoni tugas mahapenting itu. Tak berlebihan memang, lantaran penerbangan perintis juga bisa membangkitkan ekonomi di daerah-daerah terpencil. Yang juga tak kalah penting, ikut menjaga keutuhan bangsa. Pasalnya, masyarakat di daerah terpencil menjadi tidak merasa dianaktirikan dengan kehadiran Merpati di tempat mereka.
Tapi semestinya, pemerintah juga membantu Merpati dalam pengadaaan pesawat propeler atau baling-baling yang berkualitas. Jangan asal murah supaya dapat banyak kapal terbang. Karena, rute-rute perintis mengandung resiko yang sangat besar, tak jarang harus melintasi daerah pegunungan dengan cuaca yang tak menentu seperti di Papua. Butuh biaya besar memang. Mengutip pernyataan Jusuf Kalla: menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia itu ada ongkosnya dan gede.
Cuma, pemerintah juga harus memikirkan untuk mengalihkan sebagian beban Merpati sebagai penerbangan perintis ke maskapai swasta. Saat ini, baru segelintir perusahaan swasta yang mau melayani rute perintis. Pemerintah mesti memberikan insentif bagi maskapai swasta yang mau membuka rute perintis. Misalnya, pembebasan pajak selama jangka waktu tertentu (tax holiday).


(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Ketiga Mei 2011)

Kamis, 05 Mei 2011

INVESTOR

Selalu ada hikmah di balik bencana. Bahkan lebih dari itu, juga ada keuntungan di sana. Maaf, bukan maksud ingin menari di atas penderitaan. Tapi, begitulah kenyataan yang terjadi. Contoh, usai monster tsunami meluluhlantakkan pesisir Aceh di pengujung tahun 2004 lalu, pemburu besi tua menangguk untung besar dari mengumpulkan besi-besi sisa bangunan yang hancur tak berbentuk.
Nah, boleh dibilang, Indonesia mendapat "berkah" dari bencana tsunami yang memorakporandakan pesisir timur Jepang pada pertengahan Maret 2011 lalu.
Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengatakan, semenjak terpukul gelombang laut raksasa itu, industri Negeri Matahari Terbit merosot 50%. Pasca bencana itu, industri di sana kekurangan bahan baku, terutama suplai energi.
Untuk mengantisipasi, solusinya mereka merelokasi industri ke luar Jepang. Dan, Jepang sudah memberi sinyal untuk mendirikan beberapa industri di Indonesia. Tim Bea Cukai dan Departemen Perdagangan Jepang telah datang dan menanyakan teknis membuka industri.
Jepang tertarik membangun beberapa industri, seperti makanan, elektronik, dan ban. Dan, permintaan mereka tidak neko-neko: hanya meminta kemudahan birokrasi saja. Tentu, pemerintah tidak sulit untuk mengabulkannya bukan? Apalagi, pesaing kita dalam menggaet Jepang cukup banyak. Ada Malaysia, Thailand, dan Filipina yang gencar menawarkan diri ke Jepang.
Pemerintah harus melanjutkan sinyal positif penanaman modal selama kuartal I-2011. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, nilai realisasi investasi langsung mencapai Rp 53,6 triliun atau 22,3% dari target investasi pada 2011 sebesar Rp 240 triliun.
Tentu, pemerintah tidak sebatas memberikan kemudahan birokrasi saja, tapi juga insentif lain. Misalnya, pemanis berupa penangguhan pajak penghasilan untuk jangka waktu tertentu atau tax holiday. Namun, tetap harus memenuhi kriteria yang tidak memukul industri lokal. Yakni, investor harus memenuhi syarat industri pionir, menciptakan banyak lapangan kerja, membawa teknologi baru, masuk ke daerah-daerah kecil dan terbelakang, dan memberikan nilai tambah bagi industri.
Jadi, meski menerima dengan tangan terbuka investor asing, pemerintah tetap tidak boleh membabi buta. Hanya industri yang tidak mengancam produk-produk lokal saja yang boleh masuk.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 27 April 2011)