Senin, 22 September 2008

MUSIM KERING

Musim kemarau yang tahun ini bakal molor hingga akhir November nanti mulai berulah. Sumber-sumber air yang ada di dalam perut bumi mulai menyusut. Buntutnya, sudah dua hari belakangan mesin pompa yang ada di rumah saya sudah tak sanggup lagi menyedot air, meski kedalaman sumur mencapai 30 meter. Maklum, bukan dari jenis jet pump.
Kerepotan pun melanda keluarga saya. Untuk urusan mandi, mencuci dan sebagainya saya mesti menumpang ke rumah sepupu. Untung jaraknya tak seberapa, cuma dua blok saja. Tak mau terus-terusan ribet, akhirnya, saya memutuskan untuk mengungsi sementara ke rumah orang tua di Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Ternyata, hujan deras yang dibarengi petir menggelegar yang dua pekan lalu mengguyur wilayah Kunciran, tempat tinggal saya, hanya merupakan selingan saja pada musim kemarau akibat anomali cuaca. Badan Meteorologi dan Geofiska (BMG) bilang musim hujan baru akan datang menyapa pada awal Desember mendatang. Padahal teorinya, musim kemarau sudah mesti pergi paling lambat akhir bulan ini.
Musim kemarau yang membuat sumber-sumber air kering tak bersisa juga pernah membuat repot saya dan sejumlah teman yang pada September 2000 lalu mendaki Gunung Lawu lewat jalur Cemoro Kandang, Jawa Tengah. Soalnya, kami berharap banyak pada sebuah mata air, sendang begitu warga setempat menyebut, yang lokasinya tak jauh dari Pos III. Letaknya, persis di pinggir jalur pendakian.
Kami terpaksa menelan pil pahit. Begitu sampai di sendang itu tak ada air tersisa. Ini di luar dugaan. Tak menyangka mata air yang dikeramatkan tersebut bakalan kering. Padahal, dari bawah kami tidak banyak membawa air. Tidak ada jalan lain, kami harus menghemat betul pemakaian air supaya cukup untuk perjalanan pulang.
Saya pun hanya bisa gigit jari. Padahal, sebelumnya sudah membayangkan bakalan meneguk segar dan dinginnya air dari sendang yang mirip kubangan dengan ukuran mini itu. Sumbernya dari balik semak belukar yang ada di belakangnya, mengalir perlahan mengikuti alur bukit. Pada pendakian sebelumnya di November 1999, saya sempat menenggak air dari sendang ini.


malam di kebayoran lama

Sabtu, 13 September 2008

THAILAND MENDIDIH




Kondisi politik Thailand yang saat ini sedang mendidih menarik memori saya kembali ke dua tahun yang lalu. Kala itu, situasi politik di Negeri Gajah Putih juga sedang memanas. Militer di bawah pimpinan bekas Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Sonthi Boonyaratglin mendongkel kekuasaan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra hingga menyeret Thailand ke dalam krisis politik.
Thaksin yang sedang berada di London digulingkan lewat kudeta tidak berdarah pada Selasa malam di 19 September 2006. Saya yang waktu itu masih menjadi wartawan TEMPO (sekarang wartawan KONTAN) mengikuti betul perkembangan yang terjadi sebelum dan pascaperebutan kekuasaan tersebut. Bukan kebetulan semata. Soalnya, ketika itu saya mengawangi desk internasional.
Thailand bisa dibilang negeri kudeta. Raja Bhumibol Adulyadej adalah orang yang paling kenyang untuk urusan rebut-merebut kekuasaan ini. Bagaimana tidak? Sejak dia naik takhta pada 1946 silam, sudah terjadi 18 kali kudeta militer. Justru yang terbanyak militer mengkudeta rezim militer.
Panggung politik Thailand juga tak lepas dari campur tangan Raja yang naik takhta sejak usia 19 tahun--menggantikan sang kakak yang mati secara misterius di kamarnya--itu. Peran Bhumibol ini yang membuat sebagian rakyat Thailand merasa adem begitu perebutan kekuasaan secara paksa terjadi lagi. “Semuanya baik-baik saja karena kami punya seorang raja,” kata mereka.
­Ini yang buat Thailand beda. Monarki di seluruh dunia mesti berjuang keras memelihara atau bahkan mendapatkan cinta dan kesetiaan rakyatnya. Bagi warga Thailand, Raja Bhumibol ada di hati mereka. Kepemimpinannya yang telah 62 tahun menjadikan Bhumibol raja terlama di dunia saat ini. Tapi dia tetap rendah hati. "Pepatah bahwa raja tidak mungkin berbuat salah, itu adalah penghinaan. Itu berarti raja bukan manusia. Saya bisa berbuat salah," ujar Bhumibol.
Kudeta militer yang terjadi dua tahun lalu itu yang kemudian membawa saya terbang ke Thailand. Tapi sebetulnya, perjalanan ini sudah sangat terlambat. Perebutan kekuasaan dari tangan Thaksin yang sangat popular di akar rumput—sama persis dengan rezim Soeharto—sudah terjadi dua pekan sebelumnya. Maklum, liputan ini atas undangan Otoritas Pariwisata Thailand, yang kepingin menunjukan negaranya aman-aman saja walau kudeta militer mengguncang.
Dan, betul saja. Tidak ada lagi jejak-jejak kudeta. Tank-tank militer yang tadinya unjuk gigi di pusat Kota Bangkok sudah kembali ke barak. Begitu juga tentara dengan senjata lengkap yang semula berjaga di segala penjuru ibukota. Kehidupan kembali normal di Thailand. Pun dunia pariwisatanya.
Junta militer di bawah pimpinan Jenderal Sonthi yang Islam itu lantas menunjuk Surayud Chulanont, bekas Kepala Staf Angkatan Darat, sebagai Perdana Menteri Thailand yang baru. Penujukan Surayud yang pernah menjadi penasihat raja tersebut juga atas restu Raja Bhumibol.
Beruntung saya bisa bertemu langsung dengan Surayud dalam sebuah wawancara khusus di sela-sela kunjungan kerjanya ke Indonesia pada pertengahan Oktober 2006. Ini kali pertama saya melakukan wawancara khusus dengan seorang kepala pemerintahan. Yang kedua, dengan Perdana Menteri Timor Leste Jose Manuel Ramos Horta yang sekarang menjadi Presiden.
Surayud yang sederhana, orang yang tepat janji. “Begitu pemerintahan baru terbentuk, saya akan bilang, "Selamat tinggal (politik)". Sebab, saya tidak ingin terlibat dalam politik lagi,” katanya dalam wawancara dengan TEMPO. Dan, dia membuktikan janjinya itu setahun kemudian, selepas pemilihan umum yang dimenangkan Partai Kekuatan Rakyat yang merupakan jelmaan Thai Rak Thai, partai bentukan Thaksin yang dibubarkan pemerintahan Surayud.
Samak Sundaravej kemudian duduk di kursi Perdana Menteri yang ditinggalkan Surayud. Belum genap setahun memerintah Thailand, dia sudah digoyang. Aliansi Rakyat untuk Demokrasi—kelompok yang dulu juga mendesak Thaksin lengser—menuntut Samak mundur lantaran berniat mengubah konstitusi lewat referendum.
Beda dengan dua tahun yang lalu, militer bersumpah tidak bakal mengkudeta Samak. Tapi, akhirnya Samak jatuh juga. Gara-garanya, sepele: menjadi pembawa acara masak-memasak di televisi, program yang dulu dia pernah pandu sebelum menjadi orang nomor satu di pemerintahan di negara yang dulu bernama Siam ini. Mahkamah Konstitusi Thailand memerintahkan Samak meletakkan jabatannya setelah terbukti bersalah melanggar konstitusi.
Begitulah Thailand, negara yang pernah membawa kenangan manis buat saya. Yang bakal selalu membetot memori saya kalau kondisi politik di negara yang terkenal paling demokratis tersebut sedang mendidih.

dinihari di kebayoran lama

Selasa, 02 September 2008

TOPI RIMBA

Hari ini betul-betul apes. Gue harus kehilangan topi rimba yang selalu menemani pendakian ke gunung-gunung di Jawa dan Bali. Bahkan, penutup kepala berwarna hijau itu ikut juga dalam perjalanan gue ke Sulawesi Selatan awal bulan lalu ketika meliput kunjungan kerja dan wawancara khusus dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Ini semua cuma gara-gara keteledoran gue. Pas mau turun dari metro mini di Pasar Kebayoran Lama, entah kenapa gue lupa dengan topi rimba itu. Selama di dalam angkutan umum itu, gue sengaja melepas topi itu dari kepala lantaran gerah luar biasa. Topi tersebut gue taruh di atas tas yang ada di pangkuan. Mungkin karena buru-buru mau turun, gue jadi lupa.
Topi rimba itu pertama kali gue pakai waktu mendaki Gunung Sumbing yang terletak di Jawa Tengah pada pertengahan 1999 lalu. Ini kali ketiga gue mendaki gunung setelah Gede di pertengahan 1998 dan Merbabu di awal 1999. Jadi, umur pelindung kepala dari gigitan sinar matahari ketika mendaki di siang hari tersebut sudah sembilan tahun.
Yang bikin topi rimba merek EIGER ini istimewa, di bagian depan melekat label sepatu merek Adidas Enforcer. Alas kaki itu juga selalu menemani pendakian gue sebelum jebol ketika usai mendaki Semeru, tanah tertinggi di Jawa, pada Oktober 1999 lalu. Sepatunya aku tinggal di pos Ranu Kumbolo atau Danau Kumbolo yang terkenal dengan Tanjakan Cinta-nya.


siang di kebayoran lama