Rabu, 14 Maret 2012

MAKIN BINGUNG

Masyarakat saat ini betul-betul lagi dibuat bingung oleh sikap pemerintah soal bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Akhir Desember 2011 lalu, dengan tegas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan, pemerintah tidak bakal mengerek harga bensin.
Tapi, Senin (13/2) malam lalu, SBY membuka opsi kenaikan harga premium dan solar. "Jika harga minyak dunia terus naik dan tekanan terhadap APBN bertambah berat, kami bisa mengambil langkah berupa penyesuaian harga BBM bersubsidi," kata Presiden dalam pertemuan dengan para jurnalis.
Itu baru kebingungan pertama. Yang kedua, meski sudah berancang-ancang menaikkan harga BBM bersubsidi, pemerintah juga tetap akan menjalankan rencana awal: membatasi konsumsi BBM bersubsidi mulai 1 April 2012 nanti dengan dua cara. Yakni, melarang mobil pribadi menenggak premium dan mengalihkan penggunaan BBM ke bahan bakar gas (BBG).
Pemerintah memang harus mengambil langkah yang tidak populer, demi menyelamatkan anggaran negara. Kalau tidak, kantong pemerintah bakal jebol akibat menanggung beban subsidi BBM yang kelewat berat, menyusul harga minyak mentah dunia yang terus bergerak ke atas dan tidak ada tanda-tanda akan turun. Sepanjang Januari lalu saja, rata-rata harga minyak Indonesia (ICP) sudah menembus level US$ 115 per barel, jauh di atas target APBN 2012 yang US$ 90.
Bisa jadi, SBY saat ini lebih berani mewacanakan kenaikan harga BBM lantar mendapat dukungan cukup banyak dari berbagai kalangan. Termasuk dari Komisi Energi (VII) DPR yang memberi sinyal kenaikan harga bensin, dengan meminta pemerintah mengkaji kebijakan pengurangan subsidi BBM.
Tapi, seolah pemerintah tak mau menanggung keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi seorang diri. Itu sebabnya, mereka melempar bola panas ini ke Senayan, tempat wakil rakyat bermarkas. Dengan alasan BBM bersubsidi menyangkut hajat hidup orang banyak, untuk menentukan kebijakan itu, pemerintah tidak boleh berjalan sendiri tanpa persetujuan DPR.
Cuma masalahnya, pengambilan keputusan menjadi berlarut-larut. Iya, kalau akhirnya jadi. Kalau tidak, ada konsekuensi yang harus rakyat tanggung juga. Sebab, seperti yang sudah-sudah, meski kenaikan harga BBM bersubsidi baru sekadar rencana, harga barang sudah lebih dulu naik dan akan naik lagi setelah harga BBM bersubsidi naik.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 17 Februari 2012)

JANGAN RAGU

Hari ini (30/1), bisa jadi, bakal ada sebuah keputusan besar lahir di Senayan, tempat para wakil rakyat bermarkas. Kalau pemerintah tidak lagi meminta penundaan, mereka bakal menggelar rapat kerja dengan Komisi Energi (VII) DPR guna membahas nasib pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Meski tak sedikit kalangan yang mendesak agar mengerek harga Premium dan solar saja, pemerintah bersikeras tidak akan menyodorkan opsi itu. Pemerintah hanya mengajukan dua opsi: pengalihan BBM bersubsidi ke BBM nonsubsidi untuk kendaraan pelat hitam dan konversi ke bahan bakar gas (BBG). Tampaknya, pemerintah tidak mau mengambil resiko mendapat cacimaki dari masyarakat dengan opsi kenaikan harga. Terlebih, UU APBN 2012 mengharamkan kebijakan tersebut. Beleid ini hanya mengizinkan pemerintah membatasi konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap mulai 1 April 2012.
Tapi, bukan berarti pemerintah menutup rapat-rapat opsi kenaikan harga BBM bersubsidi. Pemerintah tetap membuka opsi itu, asalkan bukan datang dari mereka. Pemerintah berharap, dewan yang membuka opsi tersebut. Kalau mendapat lampu hijau dari DPR, pemerintah mau saja menaikkan harga BBM.
Hanya saja, sekali lagi, jika pemerintah dan DPR sepakat mendongkrak harga Premium dan solar, negara hanya melanjutkan kebijakan yang sudah-sudah. Kebijakan yang salah sasaran. Soalnya, orang kaya masih bisa menikmati subsidi BBM, yang selalu bikin kantong pemerintah jebol dan berutang sana-sini.
Demi menghemat bujet subsidi, dan yang paling penting, subsidi tidak terus-terusan melenceng dari sasaran, membatasi konsumsi BBM bersubsidi merupakan pilihan yang logis. Hanya, kalau belum siap betul infrastruktur pendukungnya, yakni stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan gas (SPBG) pemerintah tidak perlu terburu-buru melaksanakan kebijakan tersebut.
Dan, pemerintah tidak perlu ambil pusing dengan komentar orang yang bilang, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi pro-asing. Nyatanya, kehadiran SPBU asing membuat Pertamina berubah. Lihat saja, hampir semua SPBU berbendera perusahaan pelat merah ini berwajah apik dengan pegawai yang ramah dan murah senyum. Tidak lagi bertampang dingin dan cuek bebek. Jika tidak ada SPBU asing, bukan tidak mungkin, kebanyakan pom bensin Pertamina masih bertampang lusuh seperti dulu. Jadi, pemerintah jangan ragu lagi.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 30 Januari 2012)

NAFSU BESAR, TENAGA KURANG

Nafsu besar, tapi tenaga kurang. Mungkin kalimat ini pas untuk menggambarkan rencana pemerintah membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi secara bertahap mulai ?1 April 2012 nanti. Tengok saja, persiapan pemerintah dalam melarang mobil pribadi menenggak premium dan solar itu.
Di sisa waktu yang tinggal dua setengah bulan lagi, Peraturan Presiden (Perpres) tentang Harga Jual Eceran BBM di Dalam Negeri, yang menjadi landasan kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi belum juga terbit. Padahal, sebelumnya, pemerintah menjanjikan revisi Perpres Nomor 9 Tahun 2006 tersebut beres pekan kedua Januari lalu.
Itu yang pertama. Yang kedua, masih banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pertamina di Jawa dan Bali kecuali Jabodetabek yang belum memiliki dispenser BBM nonsubsidi. Bahkan, di jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) yang supersibuk, bisa dibilang jarang ditemui pom bensin yang menjual Pertamax. Padahal, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bukan rencana kemarin sore, tapi sudah pemerintah siapkan sejak 2010.
Nah, gara-gara persiapan yang belum matang ini, pemerintah yang di awal tahun sangat yakin pelarangan mobil pelat hitam meminum premium bisa serentak di Jawa-Bali, akhirnya, berubah pikiran. Mulai 1 April 2012 kebijakan berlaku di Jabodetabek dulu.
Tapi, naga-naganya, nasib program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tahun ini bakal sama dengan tahun lalu dan sebelumnya. Catatan saja, pemerintah pernah berencana melaksanakan kebijakan itu mulai September 2010, lalu mundur ke November 2010, mundur lagi ke Januari 2011, terus ke April serta Juni 2011. Dan, akhirnya batal sama sekali dengan alasan harga minyak turun.
Sinyal pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bakal molor lagi datang dari Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo. “Kalau belum siap masa dipaksakan, ya, mundur-mundur sedikit, kan, tidak masalah,” ungkap Widjajono.
Memang, molornya pelaksanaan program tersebut dari jadwal per 1 April 2012 jelas melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Tetapi, undang-undang itu masih bisa diubah seperti yang sudah-sudah, seiring dengan rencana pemerintah merevisi APBN 2012 lebih cepat dari jadwal tahun-tahun sebelumnya. Jadi, terbuka peluang bagi pemerintah untuk menunda.
Lantaran persiapan yang belum matang, banyak pihak yang lalu menyarankan, sebaiknya pemerintah mengerek dulu saja harga BBM bersubsidi. Cara ini tidak hanya bisa memangkas anggaran subsidi tapi juga ongkos pengawasan distribusi. Memang, pemerintah harus merogoh kocek lebih dalam untuk mengawasi pelaksanaan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi agar tidak terjadi penyelewengan.
Tapi, menaikkan premium dan solar hanya akan terus-terusan membuat subsidi BBM salah sasaran. Subsidi yang semestinya hanya menjadi hak warga miskin atau paling tidak masyarakat kelas menengah bawah, juga ikut dinikmati golongan menengah atas.
Jadi, rencana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi harus jalan terus. Dengan syarat, semua infrastruktur pendukungnya beres dulu. Sehingga, pelaksanaannya bisa serentak, tidak seporadis. Soalnya, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bisa membantu menekan anggaran subsidi dari ancaman lonjakan harga minyak sekaligus konsumsi. Sedangkan kenaikan harga premium dan solar yang hanya Rp 500 atau 1.000 per liter belum tentu mampu mengerem laju konsumsi BBM bersubsidi.
Nafsu besar, tenaga juga harus besar.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Ketiga Januari 2012)