Rabu, 31 Desember 2008

TAON BAROE


Tinggal beberapa jam lagi tahun bakal berganti.

Selamat Tinggal 2008!
Selamat Datang 2009!


Empat tahun lalu, saya memilih menghabiskan malam pergantian tahun dengan mendaki Gunung Gede Pangrango setelah tahun sebelumnya hanya merayakan di kaki gunung yang punya dua puncak tersebut, yakni Gede dan Pangrango.
Saat itu, saya mendaki bersama adik dan paman lewat jalur Gunung Putri, Cipanas. Start dari Pos Gunung Putri sore hari di 30 Desember 2003. Dan, tiba di alun-alun barat Surya Kencana menjelang tengah malam. Kami pun bermalam di sana sambil menunggu pergantian tahun.
Sejak pagi hari di 31 Desember 2003 hujan terus-terusan mengguyur alun-alun Surya Kencana yang dipadati ratusan pendaki. Baru malamnya, hanya beberapa jam menjelang pergantian tahun hujan betul-betul berhenti dan saya tengah tertidur lelap.
Sampai akhirnya, suara ledakan kembang api dan petasan membangunkan saya tepat pukul 12 malam. Tak menyaka bakal ada pesta kembang api di Gunung Gede Pangrango. Ternyata, beberapa rombongan pendaki membawa kembang api dan petasan.
Malam pergantian tahun di Gunung Gede Pangrango pun menjadi meriah. Sekaligus, mengusir hawa dingin yang terus saja menusuk tulang. Sambil terucap dalam hati serangkaian doa syukur dan harapan boleh melangkah lagi di Tahun Baru.


siang di kebayoran lama


Senin, 08 Desember 2008

MIMPI RINJANI










Makin hari Arya makin menggemaskan saja. Oh ya, Arya itu putera pertama saya. Ya, boleh dibilang masih anak semata wayang. Tapi, bukan berarti saya dan istri tidak mau tambah lagi alias memberi adik buat Arya, lo.
Contoh Arya yang menggemaskan itu terjadi hari ini. Begitu tahu saya akan memenuhi janji membelikannya es krim, sontak dia berteriak horeee sambil bertepuk tangan girang. Saya tak menyangka, Arya yang usianya belum genap dua tahun bisa bersikap seperti itu.
Sebelumnya, saat menyaksikan televisi yang menayangkan gambar pom bensin, kontan dia bilang: “mau (p)unya (pom b) ensin bial (r maksudnya) kaya”. Entah dapat dari mana kata-kata dan pemikiran itu. Saya dan istri hanya bisa tertawa geli.
Kami juga bingung lantaran Arya sangat suka melihat pom bensin. Apalagi, kalau kami mampir ke sana. Setelah itu dia akan mengatakan: “da..da.. (sambil melambaikan tangan mungilnya), (b)esok lagi”.
Kalau saya dan Arya diberi umur panjang dan rezeki, saya berencana untuk mewujudkan cita-cita yang belum kesampaian untuk mendaki Gunung Rinjani bersamanya. Ya, paling tidak kalau dia sudah duduk di bangku SMA.
Rencananya, sih, saya akan menyewa porter sekaligus pemandu. Jadi, tidak perlu repot-repot menggendong ransel yang segede-gede gaban itu. Cukup bawa tas kecil saja yang isinya air minum, makanan ringan, kamera foto dan video. Semoga! Amin.


sore di kunciran

Rabu, 03 Desember 2008

PENCARI RUMPUT

Sebentar lagi Lebaran Haji. Persisnya, 8 Desember nanti. Jakarta dan sekitarnya kedatangan ribuan mungkin puluhan ribu “penghuni” baru yang bakal menetap untuk sementara waktu. Mereka adalah sapi, kerbau, kambing, dan domba yang akan menjadi kurban pada Hari raya Idul Adha.
Ini membetot memori saya sewaktu mendaki Gunung Merbabu. Bukan soal hewan ternak yang bakal menjadi kurban. Tapi, pencari rumput buat sapi perah yang banyak dipelihara warga yang tinggal di kaki Merbabu, khususnya daerah Selo, Jawa Tengah.
Saban melakukan pendakian ke gunung dengan tinggi 3.142 meter tersebut, saya selalu ketemu dengan para pencari rumput tersebut. Biasanya, mereka mencari rumput di padang savanna Merbabu yang berada di ketinggian lebih dari 2.700 meter. Sekitar satu atau dua jam lagi menuju Kenteng Songo, puncak tertinggi di Merbabu.
Biasanya, para pencari rumput itu memulai perjalanan ke padang savanna pagi-pagi buta. Mereka hanya butuh waktu dua jam ke sana. Sedang saya bisa enam sampai delapan jam. Para pencari rumput itu hanya berbekal satu botol minuman dan beberapa butir permen saja untuk melepas dahaga.
Sebelum tengah hari mereka sudah sampai di kaki Merbabu yang diambil dari kata Meru yang artinya Gunung dan Babu yang berarti Wanita. Sekeranjang besar penuh rumput yang beratnya bisa di atas 20 kilo yang ditaruh di atas kepala mereka bawa turun.

Saya kagum dengan mereka. Betul-betul perkasa dan hebat.

malam di kebayoran lama

Selasa, 02 Desember 2008

MUSIM HUJAN

Hujan mulai sering menyapa Jakarta dan sekitarnya. Kadang dibarengi angin kencang dan petir yang menyambar. Sehabis itu tamu lainnya yang bernama banjir giliran datang mengetuk. Yang menyenangkan kota ini dan tetangganya jadi lebih adem memang.
Tapi, naik gunung di musim penghujan jelas menjadi beban tambahan. Pendakian jadi terasa berat. Tapi, saat mendaki Gunung Merbabu di Oktober 1998, saya bersama tiga rekan lainnya mesti mengawali pendakian di tengah guyuran hujan lebat.
Kami terpaksa, setelah menunggu sampai tengah malam di desa terakhir hujan tak kunjung mereda. Justru makin lebat. Pilihannya: mendaki atau tidak sama sekali. Maklum, Minggu malam kami sudah harus ada di Jogja lantaran salah satu teman ada kuliah pagi yang tidak bisa ditinggal.
Brrr… dingin banget. Ponco yang saya pakai tak bisa melindungi semua bagian tubuh. Sebagian baju dan celana pun basah kuyup. Pendakian makin berat karena jalur yang kami lewati sangat licin akibat siraman air hujan. Ngos-ngosan kalau pas jalannya menanjak.
Empat jam mendaki saya menyerah. Tak kuat lagi meski hujan sudah betul-betul berhenti. Saya meminta teman untuk bermalam dan mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda. Malam itu kami bermalam di punggung Merbabu, empat jam lagi menuju puncak.
Merbabu bukan yang pertama dan terakhir. Beberapa kali saya mendaki di tengah guyuran air hujan. Ketika mendaki Gunung Semeru di Oktober 1999, misalnya. Tangan saya sampai mati rasa waktu itu saking dinginnya. Setelah melahap sebatang coklat, tubuh sedikit menghangat.
Memang, ada baiknya mendaki gunung tidak saat musim penghujan. Apalagi, di bulan Januari dan Februari walau saya pernah melakoninya sewaktu mendaki Merbabu untuk ketiga kalinya. Tapi, tidak bisa sampai di puncak lantaran badai menyerang.


malam di kebayoran lama

Senin, 24 November 2008

PANTANGAN MENDAKI

Di sejumlah bioskop di Tanah Air sekarang lagi diputar film lokal berjudul: Pencarian Terakhir. Ceritanya, tentang pencarian pendaki yang hilang sewaktu sedang mendaki Gunung Sarangan. Film ini diangkat dari kisah nyata.
Ya, pendaki yang hilang memang selalu mewarnai jagad pendakian Indonesia. Ada yang ketemu dalam keaadaan hidup. Tak jarang pula dalam keadaan tewas. Bahkan, yang tidak ketemu sampai sekarang pun juga ada.
Selalu ada cerita yang mengiringi pendaki yang hilang. Biasanya, mereka melanggar kode etik dan aturan main. Contoh, tak kabur alias sombong atau berbicara dengan kata-kata tidak senonoh selama pendakian.
Semua gunung punya pantangan tersebut. Tapi, ada beberapa gunung yang punya larangan lainnya. Gunung Lawu, misalnya. Pendaki tidak boleh memakai atribut apapun yang berwarna hijau dan beberapa motif batik.
Satu lagi. Kalau petugas jaga melarang ada pendakian, biasanya karena alasan cuaca, sebaiknya ditaati. Boleh percaya atau tidak. Tapi, ada baiknya dan alangkah bijaknya mematuhi semua pantangan tersebut. Toh, tidak ada ruginya.
Selamat Mendaki!


sore di kebayoran lama

Selasa, 28 Oktober 2008

SINYAL BAGUS

Kalau lihat iklan di tivi sekarang, lagi gencar pariwara sinyal bagusss XL. Sampai-sampai posisi lagi di gunung sekali pun sinyal tetap ada. Jadi, silahturahmi nyambung terusss, tidak putusss.
Tapi, jauh sebelum XL promo sinyal bagusnya tahun ini. Saya sudah bisa melakukan panggilan melalui hape ketika mendaki Gunung Lawu di 2002 dan Gede di 2003. Memang, operatornya bukan XL tapi dari tetangga sebelah sekaligus pesaing utama.
Cuma, tidak semua tempat bisa menangkap sinyal, lo. Hanya kawasan di punggung bukit—begitu biasanya kami menyebutnya--saja yang bisa. Itu pun dengan catatan pemandangan di hadapannya adalah sebuah kota.
Sinyal, paling tidak buat saya, menjadi penting saat mendaki gunung. Utamanya sinyal radio. Maklum, radio menjadi satu-satunya hiburan dan menjadi teman tidur saat bermalam di gunung. Yang tidak kalah penting, membantu mengusir rasa takut, apalagi kalau teman sependakian sudah pada tidur semua.
Cuma, pernah kejadian saat bermalam di rumah pondokan di Ranu (Telaga) Kumbolo ketika mendaki Gunung Semeru sudah tidak ada radio yang siaran. Sebab, sudah jam satu malam. Tapi sialnya, belum juga bisa tidur. Kayaknya, gara-gara menegak obat flu dan penghilang pegal-pegal sekaligus sebelum mau tidur.
Sebetulnya, yang tidur di pondokan ada 11 orang termasuk saya. Hanya, tetap aja rasa takut datang menyergap. La, udah pada ngorok semua. Yang bikin tambah serem, sorenya seorang teman bercerita soal keangkeran Ranu Kumbolo.
Kadang soal sinyal radio ini juga bikin takjub. Contoh, saat bermalam di Puncak Hargo Dumilah, yang menjadi tanah tertinggi di Gunung Lawu (3.265 m), radio kecil saya menangkap siaran stasiun Radio Geronimo yang berlokasi di Jogja.
Tapi, pernah juga bikin bulu kuduk merinding. Waktu bermalam di Gunung Agung kami sayup-sayup mendengar suara musik. Padahal, kata bapak polisi di Pos Besakih, kami satu-satunya rombongan yang mendaki gunung tertinggi di Pulau Bali itu.
Ternyata, siangnya baru kami tahu ada rombongan lain yang lebih dulu mendaki Gunung Agung. Kami bertemu mereka di tengah perjalanan menuju puncak. Dan, suara musik tersebut berasal dari radio mereka yang tetap menyala ketika mereka turun gunung.

malam di kunciran

Jumat, 17 Oktober 2008

TANTE dan MAHAPATI








Pekan lalu, seorang teman yang dulu sama-sama bekerja sebagai reporter di Tempo News Room (TNR) mengirim surat elektronik lewat milis TNR-16. Isinya, foto-foto nostalgia awak kantor berita milik Kelompok Tempo Media. Beberapa di antaranya foto-foto kegitatan sebagian reporter TNR saat mendaki Gunung Gede pada Mei 2002 lalu.
Dari situlah kemudian lahir TANTE. Singkatan dari Tempo Adventure Team. Sengaja memilih kata tante lantaran genit dan lucu, meski sempat mendapat penolakan dari beberapa rekan. Sejak itu, aktivitas alam lain, seperti arum jeram, hiking dan berkemah, giat kami gelar. Contoh, arum jeram di Sungai Citarik, hiking ke Kawah Ratu, berkemah di kaki Gunung Salak dan Gunung Gede. Lalu, berpetualang ke Badui dan Pulau Onrust.
Lantaran banyak anggota yang keluar dari TNR, sudah dua tahun belakangan kegiatan TANTE ke alam bebas terhenti.
Agak ke belakang, sewaktu kuliah di Jogja, saya dan beberapa teman kost membentuk kelompok pecinta alam MAHAPATI. Kalau yang ini singkatan dari Mahasiswa Patah Hati. Ceritanya, ketika itu saya dan seorang teman kost yang memang punya hobi naik gunung baru saja putus cinta. Supaya tidak sedih berlarut-larut, kami memutuskan mendaki Gunung Merbabu. Kalau nggak salah, sih, di bulan April 2000.
Di sana lah ide Mahapati lahir. Kami pun memakai gambar kepala seorang mahapati kerjaaan yang terinspirasi dari kartun Panji Koming bikinan Dwi Koen yang terbit saban Ahad di Kompas sebagai logo. Kemudian, membikin kaos yang kami pakai perdana ketika mendaki Gunung Agung.
Nasib MAHAPATI sama saja dengan TANTE. Begitu anggotanya lulus kuliah dan semuanya bekerja di luar Jogja, kegiatan MAHAPATI terhenti. Apalagi, anak-anak kost yang baru tidak ada yang punya hobi naik gunung.
Berharap suatu saat saya bisa lagi bernostalgia dengan TANTE dan MAHAPATI menjelajah alam bebas. Tidak sekadar nostalgia dengan melihat foto-foto jadul. Semoga!

malam di kunciran

Senin, 22 September 2008

MUSIM KERING

Musim kemarau yang tahun ini bakal molor hingga akhir November nanti mulai berulah. Sumber-sumber air yang ada di dalam perut bumi mulai menyusut. Buntutnya, sudah dua hari belakangan mesin pompa yang ada di rumah saya sudah tak sanggup lagi menyedot air, meski kedalaman sumur mencapai 30 meter. Maklum, bukan dari jenis jet pump.
Kerepotan pun melanda keluarga saya. Untuk urusan mandi, mencuci dan sebagainya saya mesti menumpang ke rumah sepupu. Untung jaraknya tak seberapa, cuma dua blok saja. Tak mau terus-terusan ribet, akhirnya, saya memutuskan untuk mengungsi sementara ke rumah orang tua di Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Ternyata, hujan deras yang dibarengi petir menggelegar yang dua pekan lalu mengguyur wilayah Kunciran, tempat tinggal saya, hanya merupakan selingan saja pada musim kemarau akibat anomali cuaca. Badan Meteorologi dan Geofiska (BMG) bilang musim hujan baru akan datang menyapa pada awal Desember mendatang. Padahal teorinya, musim kemarau sudah mesti pergi paling lambat akhir bulan ini.
Musim kemarau yang membuat sumber-sumber air kering tak bersisa juga pernah membuat repot saya dan sejumlah teman yang pada September 2000 lalu mendaki Gunung Lawu lewat jalur Cemoro Kandang, Jawa Tengah. Soalnya, kami berharap banyak pada sebuah mata air, sendang begitu warga setempat menyebut, yang lokasinya tak jauh dari Pos III. Letaknya, persis di pinggir jalur pendakian.
Kami terpaksa menelan pil pahit. Begitu sampai di sendang itu tak ada air tersisa. Ini di luar dugaan. Tak menyangka mata air yang dikeramatkan tersebut bakalan kering. Padahal, dari bawah kami tidak banyak membawa air. Tidak ada jalan lain, kami harus menghemat betul pemakaian air supaya cukup untuk perjalanan pulang.
Saya pun hanya bisa gigit jari. Padahal, sebelumnya sudah membayangkan bakalan meneguk segar dan dinginnya air dari sendang yang mirip kubangan dengan ukuran mini itu. Sumbernya dari balik semak belukar yang ada di belakangnya, mengalir perlahan mengikuti alur bukit. Pada pendakian sebelumnya di November 1999, saya sempat menenggak air dari sendang ini.


malam di kebayoran lama

Sabtu, 13 September 2008

THAILAND MENDIDIH




Kondisi politik Thailand yang saat ini sedang mendidih menarik memori saya kembali ke dua tahun yang lalu. Kala itu, situasi politik di Negeri Gajah Putih juga sedang memanas. Militer di bawah pimpinan bekas Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Sonthi Boonyaratglin mendongkel kekuasaan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra hingga menyeret Thailand ke dalam krisis politik.
Thaksin yang sedang berada di London digulingkan lewat kudeta tidak berdarah pada Selasa malam di 19 September 2006. Saya yang waktu itu masih menjadi wartawan TEMPO (sekarang wartawan KONTAN) mengikuti betul perkembangan yang terjadi sebelum dan pascaperebutan kekuasaan tersebut. Bukan kebetulan semata. Soalnya, ketika itu saya mengawangi desk internasional.
Thailand bisa dibilang negeri kudeta. Raja Bhumibol Adulyadej adalah orang yang paling kenyang untuk urusan rebut-merebut kekuasaan ini. Bagaimana tidak? Sejak dia naik takhta pada 1946 silam, sudah terjadi 18 kali kudeta militer. Justru yang terbanyak militer mengkudeta rezim militer.
Panggung politik Thailand juga tak lepas dari campur tangan Raja yang naik takhta sejak usia 19 tahun--menggantikan sang kakak yang mati secara misterius di kamarnya--itu. Peran Bhumibol ini yang membuat sebagian rakyat Thailand merasa adem begitu perebutan kekuasaan secara paksa terjadi lagi. “Semuanya baik-baik saja karena kami punya seorang raja,” kata mereka.
­Ini yang buat Thailand beda. Monarki di seluruh dunia mesti berjuang keras memelihara atau bahkan mendapatkan cinta dan kesetiaan rakyatnya. Bagi warga Thailand, Raja Bhumibol ada di hati mereka. Kepemimpinannya yang telah 62 tahun menjadikan Bhumibol raja terlama di dunia saat ini. Tapi dia tetap rendah hati. "Pepatah bahwa raja tidak mungkin berbuat salah, itu adalah penghinaan. Itu berarti raja bukan manusia. Saya bisa berbuat salah," ujar Bhumibol.
Kudeta militer yang terjadi dua tahun lalu itu yang kemudian membawa saya terbang ke Thailand. Tapi sebetulnya, perjalanan ini sudah sangat terlambat. Perebutan kekuasaan dari tangan Thaksin yang sangat popular di akar rumput—sama persis dengan rezim Soeharto—sudah terjadi dua pekan sebelumnya. Maklum, liputan ini atas undangan Otoritas Pariwisata Thailand, yang kepingin menunjukan negaranya aman-aman saja walau kudeta militer mengguncang.
Dan, betul saja. Tidak ada lagi jejak-jejak kudeta. Tank-tank militer yang tadinya unjuk gigi di pusat Kota Bangkok sudah kembali ke barak. Begitu juga tentara dengan senjata lengkap yang semula berjaga di segala penjuru ibukota. Kehidupan kembali normal di Thailand. Pun dunia pariwisatanya.
Junta militer di bawah pimpinan Jenderal Sonthi yang Islam itu lantas menunjuk Surayud Chulanont, bekas Kepala Staf Angkatan Darat, sebagai Perdana Menteri Thailand yang baru. Penujukan Surayud yang pernah menjadi penasihat raja tersebut juga atas restu Raja Bhumibol.
Beruntung saya bisa bertemu langsung dengan Surayud dalam sebuah wawancara khusus di sela-sela kunjungan kerjanya ke Indonesia pada pertengahan Oktober 2006. Ini kali pertama saya melakukan wawancara khusus dengan seorang kepala pemerintahan. Yang kedua, dengan Perdana Menteri Timor Leste Jose Manuel Ramos Horta yang sekarang menjadi Presiden.
Surayud yang sederhana, orang yang tepat janji. “Begitu pemerintahan baru terbentuk, saya akan bilang, "Selamat tinggal (politik)". Sebab, saya tidak ingin terlibat dalam politik lagi,” katanya dalam wawancara dengan TEMPO. Dan, dia membuktikan janjinya itu setahun kemudian, selepas pemilihan umum yang dimenangkan Partai Kekuatan Rakyat yang merupakan jelmaan Thai Rak Thai, partai bentukan Thaksin yang dibubarkan pemerintahan Surayud.
Samak Sundaravej kemudian duduk di kursi Perdana Menteri yang ditinggalkan Surayud. Belum genap setahun memerintah Thailand, dia sudah digoyang. Aliansi Rakyat untuk Demokrasi—kelompok yang dulu juga mendesak Thaksin lengser—menuntut Samak mundur lantaran berniat mengubah konstitusi lewat referendum.
Beda dengan dua tahun yang lalu, militer bersumpah tidak bakal mengkudeta Samak. Tapi, akhirnya Samak jatuh juga. Gara-garanya, sepele: menjadi pembawa acara masak-memasak di televisi, program yang dulu dia pernah pandu sebelum menjadi orang nomor satu di pemerintahan di negara yang dulu bernama Siam ini. Mahkamah Konstitusi Thailand memerintahkan Samak meletakkan jabatannya setelah terbukti bersalah melanggar konstitusi.
Begitulah Thailand, negara yang pernah membawa kenangan manis buat saya. Yang bakal selalu membetot memori saya kalau kondisi politik di negara yang terkenal paling demokratis tersebut sedang mendidih.

dinihari di kebayoran lama

Selasa, 02 September 2008

TOPI RIMBA

Hari ini betul-betul apes. Gue harus kehilangan topi rimba yang selalu menemani pendakian ke gunung-gunung di Jawa dan Bali. Bahkan, penutup kepala berwarna hijau itu ikut juga dalam perjalanan gue ke Sulawesi Selatan awal bulan lalu ketika meliput kunjungan kerja dan wawancara khusus dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Ini semua cuma gara-gara keteledoran gue. Pas mau turun dari metro mini di Pasar Kebayoran Lama, entah kenapa gue lupa dengan topi rimba itu. Selama di dalam angkutan umum itu, gue sengaja melepas topi itu dari kepala lantaran gerah luar biasa. Topi tersebut gue taruh di atas tas yang ada di pangkuan. Mungkin karena buru-buru mau turun, gue jadi lupa.
Topi rimba itu pertama kali gue pakai waktu mendaki Gunung Sumbing yang terletak di Jawa Tengah pada pertengahan 1999 lalu. Ini kali ketiga gue mendaki gunung setelah Gede di pertengahan 1998 dan Merbabu di awal 1999. Jadi, umur pelindung kepala dari gigitan sinar matahari ketika mendaki di siang hari tersebut sudah sembilan tahun.
Yang bikin topi rimba merek EIGER ini istimewa, di bagian depan melekat label sepatu merek Adidas Enforcer. Alas kaki itu juga selalu menemani pendakian gue sebelum jebol ketika usai mendaki Semeru, tanah tertinggi di Jawa, pada Oktober 1999 lalu. Sepatunya aku tinggal di pos Ranu Kumbolo atau Danau Kumbolo yang terkenal dengan Tanjakan Cinta-nya.


siang di kebayoran lama

Jumat, 22 Agustus 2008

SATU DASAWARSA

Besok, tepat 10 tahun saya menjejakkan kaki untuk yang pertama kalinya di puncak Gunung Gede yang memiliki tinggi 2.958 meter. Keberhasilan itu yang kemudian memecut saya untuk mendaki gunung-gunung lainnya.
Ya, Gede memang menjadi titik awal. Bukan tanpa alasan saya memilih gunung yang terletak di Jawa Barat tersebut sebagai pendakian perdana. Ini berawal dari rasa tidak percaya diri saya melakoni kegiatan hiking: takut tidak kuat.
Maklum saja, mendaki gunung itu kan pekerjaan yang berat. Mesti melewati medan yang menanjak sambil menggendong ransel segede gaban yang pastinya berat banget. Jarak yang ditempuh minimal belasan kilometer. Siapa yang tahan?
Nah, kebetulan adik saya tercinta yang waktu itu masih duduk di bangku STM menjadi volunteer Gede Pangrango Operation (GPO), yang bertugas di jalur pendakian Gunung Putri, Cipanas. Jadilah, saya memulai pendakian perdana pada 23 Agustus 1998 lalu.
Toh, kalau tidak kuat sehingga tak bisa mencapai puncak, no problem. Adik saya pasti mengerti sehingga tidak perlu melanjutkan perjalanan hingga puncak. Beda kalau dengan teman, wah, bisa bikin mereka kecewa berat.
Pendakian ke Gede itu bisa dibilang pendakian keluarga. Soalnya, selain saya dan adik, ada kakak, calon kakak ipar, dua sepupu dan dua paman. Total jenderal, ada delapan orang. Dan, hanya dua orang yang pernah mendaki gunung: adik dan salah satu sepupu saya.
Menjelang sore kami mulai pendakian melewati jalur Cibodas. Awalnya, berat banget. Sampai ngos-ngosan dibuatnya. Tapi, pendakian berjalan lancar hingga kami sampai di Kandang Badak--titik yang membelah jalur ke Puncak Gede dan Pangrango--mendekati tengah malam. Dan, menginjakkan kaki di puncak Gede menjelang subuh.
Nggak menyangka, saya bisa menjejakkan kaki di puncak Gede dalam semalam. Sukses ini yang lantas mendorong saya untuk mendaki Gunung Merbabu beberapa bulan kemudian. Bahkan, selang waktu yang lama saya mendaki Gunung Sumbing dan Lawu.
Dan, menyusul gunung-gunung lainnya, termasuk Gunung Semeru yang merupakan atap tertinggi di Pulau Jawa, dan Gunung Agung, yang adalah tanah paling tinggi di Pulau Bali. Semuanya ada 10 gunung, meski tidak seluruhnya sampai di puncak, seperti Sindoro dan Salak.


malam di kebayoran lama

Selasa, 29 Juli 2008

PITRA YADNYA (2)





TANGIS I Nyoman Anarta pecah. Tak kuat menahan sedih yang luar biasa, dia pun terduduk lemas di hadapan sesenden alias periuk yang menyimpan "jasad" anak keduanya I Kadek Puadi Giri (20) yang tewas tahun lalu akibat kasus tabrak lari.
Senin (14/7) malam pekan lalu, merupakan hari terakhir buat Nyoman memberikan penghormatan kepada anak lelakinya itu. Begitu juga bagi keluarga dan kerabat. Sebab, esok harinya Kadek dan 23 warga Banjar Kebon Jero, Tabanan lainnya yang sudah meninggal bakal diaben.
Karena itu, bale banjar yang menjadi tempat bersemayam ke-24 jasad tersebut penuh sesak oleh orang-orang yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Termasuk, sanak famili yang datang dari luar Pulau Bali. Soalnya, upacara ngaben mempunyai arti yang sangat penting.
Sebut saja, Ni Ketut Sukarni. Ibu tiga anak ini terbang dari Baras, Sulawesi Selatan untuk menghadiri upacara ngaben adik iparnya, Ni Made Miarti yang menghadap Sang Hyang Widi Wasa tahun lalu. "Ini bakti terakhir kepada adik saya," kata Ketut Sukarni yang transmigrasi ke Baras pada 1980-an silam.
Itu sebabnya, tak kurang dari 1.000 orang yang terdiri dari warga Kebon Jero dan keluarga almarhum ikut dalam Pitra Yadnya Massal yang digelar 15 Juli lalu. Dalam kepercayaan Hindu Bali penting sekali memilih hari untuk upacara. "Karena pengaruh hari menentukan baik buruknya upacara," jelas I Made Sana, Pembantu Pemangku.
Proses pembakaran mayat ini diawali dengan memindahkan "jasad" yang disimpan dalam tumpang salu ke peringkesan. Kain putih sepanjang 20 meter membentang dengan di kanan kirinya sudah berjajar rapih orang yang siap mengestafet "jenazah" ke peringkesan yang memiliki tinggi empat meter.
Made Sana bilang, makin tinggi peringkesan maka makin tinggi tingkatan upacara ngaben. Dan tentu saja, makin banyak mengeluarkan ongkos. "Untuk upacara ngaben kali ini kami memakai prosesi Utama Ning Madya atau tingkatan keenam dari sembilan tingkatan," ujarnya.
Peringkesan lalu digotong sekitar 50 orang menuju kuburan desa, tempat prosesi pembakaran mayat, yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer. Sesekali tempat membawa "jasad" itu digoyang-goyangkan mengikuti irama musik khas Bali yang dimainkan belasan warga Kebon Jero.
Begitu sampai di kuburan, "jasad" kemudian dipindahkan ke dua patung sapi berwarna hitam yang menjadi sarana pembakaran. Satu untuk "jenazah" perempuan, satu lagi buat lelaki. Ikut juga diaben benda-benda yang diminta almarhum.
Biasanya, tiga atau empat bulan sebelum upacara ngaben masing-masing keluarga almarhum melakukan ritual nurunin. Memanggil roh atau atma orang yang mau diaben lewat orang pintar. "Kami menanyakan benda-benda apa saja yang diminta untuk dibakar," kata Made Sana.
Setelah proses pembakaran selesai, keluarga akan mengambil abu jenazah yang akan dihanyutkan ke sungai yang membelah hutan lindung Pupuan yang jaraknya setengah jam berjalan kaki. Abu lainnya dilarung di Pantai Soka yang menjadi objek wisata andalan Kabupaten Tabanan.
Tak semua abu dilarung. Ada juga yang disimpan di sanggah atau pura keluarga. Prosesi ini dilakukan keesokan harinya setelah abu yang disimpan dalam sesenden dibawa ke lima pura Banjar Kebon Jero. Setelah itu, "Orang yang sudah diaben bergelar Hyang Betara untuk pria dan Hyang Betari untuk wanita. Satu tingkat di bawah Dewa," ungkap Made. (Selesai)

PITRA YADNYA (1)




PURNAMA yang nyaris sempurna menggantung di langit Tabanan yang dingin. Sabtu malam dua pekan lalu, keriuhan membalut Bale Banjar Kebon Jero. Ratusan warga memadati balai desa yang berdiri kokoh di kawasan perbukitan Pupuan, Bali yang menggigil tersebut.
Ya, hari (12/7) itu, prosesi inti upacara ngaben massal di Banjar Kebon Jero, sekitar satu setengah jam perjalanan darat dari Kota Tabanan, dimulai, sebelum mencapai puncaknya pada 15 Juli. Tapi sejatinya, serentetan upacara pembakaran 24 "jasad" warga desa ini sudah dilakukan sejak sepekan sebelumnya.
Pengangkatan "jasad" dari liang kubur atawa ngringkes menjadi awal dari prosesi inti Pitra Yadnya. Maklum, ke-24 orang yang bakal diaben tersebut sudah lama meninggal. Tapi, "Menurut adat banjar kami yang diambil hanya tanahnya saja, tulang belulangnya tidak," kata I Made Sana, pembantu Pemangku Banjar Kebon Jero.
Setelah itu, ke-24 "jasad" warga Kebon Jero yang sudah meninggal dalam lima tahun terakhir dan dibungkus kain putih tersebut di semayamkan di bale banjar. Warga menyebutnya tumpang salu. Ada juga bagian tanah yang disimpan dalam periuk atau sesenden.
Itu sebabnya, ratusan warga Kebon Jero dan keluarga almarhum malam itu mengalir ke bale banjar. Tujuannya, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada mereka-mereka yang sudah lebih dulu menghadap ke Sang Hyang Widi Wasa.
Made Sana bilang, upacara ngaben massal di desanya dilaksanakan saban lima tahun sekali atau menjelang upacara besar di Pura Kayangan. "Sebaiknya memang harus diaben langsung begitu meninggal, tapi bisa ditunda dengan alasan biaya," ujarnya.
Memang, proses mengantarkan roh atau atma menuju nirwana membutuhkan duit yang tidak sedikit. Contoh, untuk ngaben massal di Kebon Jero saja melahap uang tak kurang dari Rp 80 juta. Itu belum termasuk nilai ragam sumbangan, seperti beras, gula, dan sesajen, yang berasal dari warga.
Dan, mencari duit sebanyak itu jelas bukan perkara gampang bagi penduduk Kebon Jero yang mayoritas berprofesi sebagai pekebun kopi dan cokelat. Karena itu, Ni Wayan Pasti baru sekarang mengabenkan adik iparnya yang meninggal tahun lalu. "Dengan ngaben massal kami lebih ringan, hanya mengeluarkan biaya Rp 5 juta saja," ungkapnya.
Kepercayaan Hindu Bali, orang yang belum diaben, rohnya masih berada di alam buah alias tengah. Mereka masih dalam perjalanan menuju surga. Nah, "Upacara ngaben merupakan sarana mempercepat badan kasar yang terdiri dari unsur tanah, air, api, angin dan angkasa menyatu dengan alam nirwana," jelas Made Sana.
Sebelum dibakar, ada upacara lagi yang mesti dilakoni sehari setelah ngringkes yakni mebersih. Ini adalah proses memandikan "jasad" yang dilakukan di sungai. Ke-24 jasad tersebut diarak dengan berjalan kaki menuju kali, sekitar satu kilometer dari bale banjar. (Bersambung)

KERINDUAN ITU

Kerinduan itu akhirnya terbayar lunas. Lama tidak melakoni hobi mendaki gunung, secara tidak sengaja kegiatan itu terlaksana sewaktu mengikuti prosesi Upacara Ngaben Massal di Banjar Kebon Jero, Tabanan, Bali dua pekan yang lalu.
Ceritanya begini, usai upacara pembakaran mayat yang digelar pada 15 Juli lalu, salah satunya “jasad” adalah almarhum ibu mertua, dilakukan prosesi melarung sebagian abu jenazah ke sungai yang membelah kawasan hutan lindung Tabanan.
Jarak antara lokasi upacara ngaben dengan kali sekitar setengah jam berjalan kaki. Jalurnya menurun, lumayan terjal, melewati perkebunan kopi dan coklat yang buahnya ranum, siap panen. Perjalanan agak sedikit ribet lantaran saya menggunakan pakaian adat Bali.
Tapi, yang pasti sangat menyenangkan. Dan, kerinduan itu akhirnya terbayar lunas. Oh ya, prosesi upacara ngaben massal bisa dibaca dalam posting berikutnya yang sudah dimuat di Harian KONTAN, tempat saya bekerja, pada Jumat (25/7) dan Sabtu (26/7) di Rubrik Daerah Halaman 16.


siang di kebayoran lama

Rabu, 09 Juli 2008

RING OF FIRE


Akhir pekan ini, saya dan keluarga bakal terbang ke Bali. Perayaan Ngaben almarhum ibu yang puncaknya bakal digelar 15 Juli mendatang menanti.
Seperti biasa saya memilih penerbangan pagi. Bukan tanpa alasan. Yang pertama, supaya sampai di kampung halaman istri sebelum malam menyergap. Maklum, masih perlu tiga jam lagi dari Bandara Ngurah Rai untuk bisa sampai di Dusun Kebon Jero, Tabanan.
Yang kedua, ini yang paling saya suka: menyaksikan deretan gunung yang berjejer dari ujung barat Pulau Jawa hingga timur dari atas pesawat. Mulai dari Gunung Slamet, Sumbing, Sindoro, Merapi, Merbabu, Lawu hingga Bromo dan Semeru. Cuma dengan satu syarat: cuaca mesti dalam keadaan cerah.
Nah, biasanya pilot akan memberi woro-woro kalau pesawat sedang terbang di atas Gunung Bromo dan Semeru.
Pulau Jawa memang banyak dihuni gunung berapi, mulai dari yang paling aktif di dunia seperti Merapi, yang sedang tertidur layaknya Sindoro sampai yang sudah betul-betul mati. Begitu juga dengan pulau-pulau lainnya banyak tumbuh gunung api.
Nggak heran kalau Indonesia dikenal juga dengan sebutan Sabuk Gunung Api atawa Ring of Fire.


siang di kebayoran lama

Senin, 30 Juni 2008

EVAKUASI SALAK

Evakuasi. Kata ini belakangan akrab di telinga menyusul jatuhnya pesawat Casa 212 milik TNI Angkatan Udara di lereng Gunung Salak, Bogor, Kamis (26/6) pekan lalu.
Nah, ngomong-ngomong soal evakuasi ingatan saya lari ke 2005 lalu. Waktu itu, saya dan sejumlah teman dari TEMPO Adventure Team alias Tante berkemah di kaki Gunung Salak, persisnya, daerah Cidahu, Sukabumi.
Siang menjelang sore, saya dan dua rekan asyik ngopi di warung yang letaknya tak jauh dari tenda yang kami dirikan. Dua orang pria, yang satu umurnya sekitar 40-an dan satu lagi masih remaja, juga sedang menikmati segelas kopi. Belakangan, kami tahu mereka ada guru dan murid yang sekolah tempat keduanya mengajar dan belajar sedang mengadakan kegiatan berkemah di Cidahu.
Tapi, mereka kelihatan gelisah. Pandangan keduanya sering mengarah ke jalur pendakian menuju Kawah Ratu.
Usut punya usut, rupanya mereka sedang menanti cemas sembilan murid dan rekannya yang belum juga kembali dari Kawah Ratu. Si bapak guru itu bilang, anak didiknya pergi diam-diam tanpa sepengetahuan guru pendamping sejak pagi hari.
Akhirnya, kami memutuskan menyusul ke Kawah Ratu. Setelah menyiapkan bekal seadanya, seperti air, roti dan senter kami pun memulai perjalanan.
Belum sampai di tempat tujuan, kami ketemu sebagain dari murid SMP asal Jakarta itu. Dua di antaranya dalam kondisi kecapean berat.Ini lantaran mereka tidak membawa bekal yang cukup sewaktu menuju ke kawah ratu. Sebungkus roti dan sebotol aqua yang kami bawa berpindah tangan ke mereka.
Dari anak-anak baru gede itu kami mendapat informasi salah satu rekannya pingsan dan sedang dalam proses evakuasi. Rupanya, sejumlah anak IPB yang kebetulan melakukan kegiatan di Cidahu sudah berangkat lebih dulu. Kami lantas mempercepat jalan menuju Kawah Ratu.
Tak lama berlalu, kami bertemu dengan rombongan yang sedang menggotong tandu. Isinya, seorang perempuan yang tergolek lemah sambil menggigil hebat. Wajah-wajah pembawa tandu tampak sangat kelelahan. Kami pun memutuskan menggantikan posisi mereka. Medan yang menurun dan licin lantaran baru saja diguyur hujan mempersulit langkah kami. Tak jarang kami terjatuh gara-gara terpleset. Apalagi, saat itu kami semua hanya memakai sandal. Gara-gara mengganggu, kami akhirnya mencopot alas kaki itu dan memilih nyeker. Syukur kami tiba di Cidahu sebelum malam menyergap.
Puih…., proses evakuasi yang betul-betul berat dan melelahkan. Ketika membersihkan kaki di sungai kecil yang airnya sangat dingin, saya merasakan perih yang luar biasa. Ternyata, kuku kaki jempol saya robek hingga bagian tengah. Perih dan rasa nyut-nyut terus berlanjut hingga malam hari. Sampai-sampai untuk sekadar memejamkan mata pun tak bisa.
Tapi, saya senang bisa membantu proses evakuasi itu. Senang bisa membantu sesama.


sore di kunciran

Kamis, 19 Juni 2008

PUNCAK TOGA

Akhir pekan lalu, menjadi hari yang paling dinanti-nanti dengan rasa dag-dig-dug oleh ratusan ribu pelajar kelas tiga SMA. Ya, hari itu kelulusan mereka usai menempuh ujian nasional diumumkan. Begitu tahu lulus, banyak cara yang dilakukan untuk mengekspresikan kegembiraan. Ada yang doa massal di pura seperti yang dilakukan pelajar Bali. Lalu, ada yang konvoi keliling kota dengan menumpang motor. Tapi yang paling populer adalah aksi coret baju yang memang sudah menjadi tradisi.
Sebagai orang yang punya hobi naik gunung, saya punya cara yang beda dan unik sebagai wujud syukur setelah berhasil menyabet gelar sarjana komunikasi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta delapan tahun lalu. Sebetulnya, ini juga menjadi tradisi bagi sebagian pendaki: memakai toga di puncak gunung. Dan, saya memilih puncak Merbabu yang bernama Kenteng Songo. Gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut (dpl) memang menjadi favorit saya. Ini kali ketiga saya mendaki gunung tersebut
Perjalanan saya menuju puncak gunung yang hidup berdampingan dengan Merapi tersebut di awal 2001 yang masih diguyur hujan ditemani adik dan dua teman. Cuaca cerah menemani pendakian kami dari Selo yang menjadi salah satu kaki Merbabu. Menjelang tengah malam kami tiba di padang rumput alias savana Merbabu. Dan, kami bermalam di sana.
Cuaca yang tadinya cerah mendadak berubah mendekati subuh. Hujan turun dengan lebatnya disertai angin kencang. Bulir-bulir air pun menyusup masuk ke dalam tenda. Kantong tidur yang melindungi kami dari sergapan udara dingin akhirnya basah. Hujan baru reda ketika pagi sudah lewat tinggal menyisakan angin kencang dan kabut tebal yang menyerbu savana Merbabu.
Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian ke Kenteng Songo, meski rasa kecewa lantaran rencana memakai toga di puncak Merbabu batal. Tapi, kami boleh dibilang beruntung. Soalnya, seorang pendaki tewas karena nekad menerobos badai dan kabut tebal guna mencapai puncak Merbabu. Berita ini saya dapat seminggu setelah pendakian yang gagal tersebut.
Kabar duka juga melesat dari Gunung Slamet. Sejumlah mahasiswa UGM tewas di gunung paling tinggi di Jawa Tengah tersebut. Menyusul kemudian berita duka dari Gunung Lawu. Dua pecinta alam juga meregang nyawa di sana. Dua pendaki lainnya tewas di gunung yang ada di Sulawesi. Tahun ini memang menjadi tahun duka bagi dunia pendakian Indonesia. Lebih dari 10 pendaki tewas dalam waktu yang bersamaan. Penyebabnya, cuaca buruk. Memang betul kata orang tua: Alam Bukan Untuk Dilawan


siang di kebayoran lama

Kamis, 05 Juni 2008

BERI AMBULANS JALAN!




Apa yang saya khawatirkan akhirnya kejadian juga. Ahad (1/6) dinihari lalu, mobil Honda Jazz yang ditumpangi seorang penyanyi muda menghajar Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta di Jalan Sisingamangaraja, Jakarta.
Sabtu (24/5) dua pekan lalu, surat pembaca saya berjudul Beri Ambulans Jalan! dimuat di Harian KONTAN. Surat pembaca ini sebetulnya merupakan bagian dari kekhawatiran saya atas keselamatan istri tercinta sewaktu bertugas membawa korban gawat darurat. Oh ya, dia bekerja di Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta.

Pernah suatu kali, di suatu siang, dia cerita ambulans-nya diseruduk motor dari samping ketika membawa pasien yang butuh penanganan segera di rumah. Sirene sudah meraung-raung dan lampu mobil depan menyala, bahkan polisi sudah meminta mobil dan motor berhenti untuk memberi kesempatan ambulans lewat. Tapi, kenyataannya masih juga ada orang yang nekad.
Di kemudian hari, dia cerita lagi ambulans-nya nyaris saja ditubruk mobil yang melaju kencang di jalur busway. Itu sebabnya, saya mengirim surat pembaca dengan maksud memberi tahukan ke warga Jakarta tentang keberadaan Ambulans Gawat Darurat termasuk kinerja mereka sewaktu membawa pasien atau korban.
Tapi, akhirnya yang saya takutkan akhirnya terjadi. Memang, tidak menimpa istri saya, melainkan rekan kerjanya. Karena itu, saya meminta sekali kepada warga Jakarta untuk mengerti dan memahami tugas Ambulans Gawat Darurat. Begitu banyak nyawa yang sudah mereka selamatkan, tapi tak banyak orang yang tahu.

Jadi, Beri Ambulans Gawat Darurat Jalan!

malam di kebayoran lama

Selasa, 20 Mei 2008

OPERASI TRIKORA


Hari INI tepat seabad peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Dan, tepat 57 tahun usia ibunda tercinta yang melahirkan saya. Selamat Ulang Tahun, Mam.
Beberapa waktu lalu iseng masuk ke situs id.wikipedia.org. Ketemu artikel berjudul: Operasi Trikora. Ternyata, operasi militer yang juga dikenal dengan Pembebasan Irian Barat ini menjadikan Indonesia negara yang memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan, khususnya Asia Tenggara waktu itu.
Perang melawan Belanda yang berlangsung hampir setahun, persisnya sejak 19 Desember 1961 sampai 15 Agustus 1962, tersebut memaksa Presiden Soekarno memborong mesin perang dari Rusia dan Polandia seharga US$ 2,5 miliar.
Ini daftarnya, 41 Helikopter MI-4, 9 Helikopter MI-6, 30 pesawat latih Jet MIG-15 UTI, 49 pesawat baru sergap MIG-17, 10 pesawat buru sergap MIG-19 dan 2 pesawat buru sergap supersonic MIG-21. Dari jenis pengebom, ada 22 pesawat pembom ringan IL-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16B, dan 12 pesawat TL-16 KS yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali Air to Surface jenis AS-1 Kennel. Lalu, jenis pengangkut: 26 pesawat IL-14 dan AQvia-14, serta 6 pesawat AN12B Antonov.
Indonesia juga membeli 12 kapal selam kelas Whiskwy, puluhan korvet dan 1 kapal penjelajah kelas Sverdlov.
Semua itu belum termasuk peralatan tempur sisa-sisa penjajahan Belanda dan Jepang yang jumlahnya ratusan. Hebat bukan?

malam di kebayoran lama

Kamis, 15 Mei 2008

AGUNG YADNYA


Lima hari lepas dari rutinitas sebagai wartawan di Jakarta. Lantas, berganti dengan kesibukan persiapan dan proses rangkaian Upacara Agung Yadnya: Melaspas, Mepandes dan Nurunin di Tabanan, Bali pada 8-12 Mei lalu.
Lima hari lepas dari sumpeknya Kota Jakarta. Lantas, berganti suasana asri pedesaan dengan perkebunan coklat, kopi dan cengkih yang ada di perbukitan Tabanan, Bali yang sejuk. Sembari menikmati panen duren monthong.


sore di kebayoran lama

Rabu, 30 April 2008

WEDDING ANNIVERSARY (2)

Dua tahun lalu
Dua anak manusia: pria dan wanita
Dua latar budaya: Jawa dan Bali
Dua agama: Katolik dan Hindu
Dua profesi: wartawan dan paramedis
Mengikat janji suci
Mereka tidak lagi dua melainkan satu
Dalam Upacara Pelepasan di Pura Keluarga, Tabanan, Bali pada 26 April 2006 dan
Dalam Sakramen Perkawinan di Gereja Santo Aloysius Gonzaga, Jakarta pada 30 April 2006

Stepanus Sudarto Kurniawan dengan Brigitta Putu Yuliastini
Happy Our 2nd Wedding Anniversary


siang di kunciran

Senin, 14 April 2008

KABUT KUNCIRAN

Subuh baru saja lewat. Tapi, gelap masih menyergap kawasan Kunciran, Tangerang, Kamis (10/4) lalu. Tak biasanya, sekawanan kabut menyerang wilayah yang menempel dengan Jakarta tersebut. Lumayan tebal sehingga mengurangi jarak pandang saya yang pagi itu sudah mesti beraktivitas keluar rumah. Saya mesti mengantar istri yang akan bertugas menjadi tim kesehatan dalam sebuah acara yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Memang tak biasa. Sebab, kalau pun karya surga tersebut menghampir Kunciran biasanya tak setebal itu. Juga tak biasa, lantaran kabut sepekat itu umumnya menyerbu kawasan pegunungan. Tapi, jujur senang banget kabut setebal itu datang ke daerah tempat tinggal saya. Apalagi, sudah lama tidak melihat kabut stebal itu setelah lama tidak bermain-main dengan alam. Entah itu untuk melakoni hobi mendaki gunung atau sekadar berkemah di kaki gunung.
Saya betul-betul rindu. Dan sedikit terobati dengan kehadiran kabut di Kunciran saat pagi belum sempurna itu, meski saya tidak tahu persis kapan dia datang karena tidak mengetuk pintu.


pagi di kunciran

Selasa, 18 Maret 2008

SEVEN SUMMIT


Torehan sejarah dalam jagad pendakian gunung siap digores Indonesia lewat Franky Kowaas. “Ekspedisi Indonesia Mendaki Tujuh Puncak Tertinggi di Tujuh Benua” bakal mengantarkan Indonesia menjadi negara ke 34 yang berhasil menaklukkan atap-atap dunia tersebut. Adapun Franky akan menjadi pendaki ke 109 yang sukses menjejakkan kaki di Seven Summit itu.
Ketujuh puncak yang menjulang ke angkasa tersebut, yakni Everest (Nepal), Aconcagua (Argentina), McKinley/Denali (Alaska), Kilimanjaro (Tanzania), Elbrus (Rusia), Vinson Massif (Ellsworth Range), dan Carstensz Pyramid (Indonesia). Rencananya ekspedisi tersebut akan dimulai Maret 2008 dan berakhir September 2009. Puncak pertama yang akan coba ditaklukan Franky yaitu Kilimanjaro.
Delapan tahun lalu, saya bersama teman-teman dari Mahapati Adventure Team pernah melakukan Ekspedisi Agung – Rinjani. Puncak Gunung Agung setinggi 3.142 meter yang menjilat langit Bali merupakan tanah tertinggi di Pulau Dewata. Sedangkan Puncak Rinjani dengan ketinggian 3.726 meter adalah atap tertinggi di Pulau Lombok.
Sayang, saya batal meneruskan ekspedisi ke Rinjani usai mencium Puncak Gunung Agung lantaran diminta kembali ke Jogja untuk urusan keluarga. Penyesalan batal mendaki Rinjani yang terkenal dengan Segara Anakan yang di tengah-tengahnya menyembul anak Rinjani masih terbawa sampai sekarang. Saya mencoba mengulang ekspedisi itu lima tahun lalu, tapi lagi-lagi batal. Entah kapan saya bisa mencapai tanah tertinggi di Pulau Lombok tersebut. Tinggal ini impian dalam jagad pendakian saya.

sore di kebayoran lama

Kamis, 14 Februari 2008

SATU BINTANG

Satu dari yang saya suka ketika mendaki gunung adalah bisa melihat langit yang bertabur kerlap-kerlip jutaan bintang. Tapi, tak jarang angkasa tanpa pesan sama sekali. Hanya satu bintang di langit kelam. Kemudian menghilang begitu buliran hujan mulai menghujam bumi. Itu yang terjadi sewaktu mendaki Gede, Merbabu, Sumbing, Semeru dan Lawu.
Meminjam syair Rida Sita Dewi: Satu Bintang di Langit Kelam

Angkasa tanpa pesan merengkuh semakin dalam
Berselimut debu waktu kumenanti cemas
Kau datang dengan sederhana

Satu bintang dilangit kelam
Sinarmu rimba pesona dan kutahu tlah tersesat
Kukejar kau takkan bertepi
Menggapaimu takkan bersambut
Sendiri membendung rasa ini
Sementara kau membeku
Khayalku terbuai jauh
Pelita kecilmu mengalir pelan dan aku terbenam
Redup kilaumu tak mengarah
Jadilah diriku selatan
Namun tak kau sadari hingga kini dan nanti

SELAMAT HARI RAYA KASIH SAYANG

malam di kebayoran lama

Minggu, 03 Februari 2008

ARYA (1)

16 Februari nanti, persisnya 13 hari lagi, pangeran kecilku, buah cintaku dengan Brigitta Putu Yuliastini, bakal genap setahun umurnya.
Nama lengkapnya lumayan panjang: Akhiles Raditya Arya Pradipta Kurniawan
Arya merupakan pemberian Kakek dan Neneknya (alm) di Bali. Katanya, biar ada nama Bali-nya.
Adapun Raditya dan Pradipta berasal dari saya dan istri yang artinya Matahari yang Memberi Sinar Kebaikan. Tentu dengan harapan, Arya, begitu biasa kami memanggilnya, bisa menjadi matahari yang membagi sinar kebaikan bagi sesama. Amin.
Nah, kalau Akhiles adalah nama baptis. Beliau adalah martir asal Afrika. Memilih Santo Akhiles, selain lantaran apa yang telah Dia perbuat, juga tak banyak orang yang memakai sebagai nama baptis.

SELAMAT ULANG TAHUN ARYA. Doa ayah dan bunda selalu menyertai. amin

sore di kunciran

Jumat, 11 Januari 2008

RIP HILLARY


29 Mei 1953. Dua anak manusia: Edmund Hillary asal Selandia Baru dan Tenzing Norgay dari Nepal, menoreh sejarah baru. Mereka menjadi orang pertama yang menaklukkan Puncak Everest, tanah paling tinggi di dunia.
Tapi, kabar duka melesat dari Wellington. Hillary, hari ini, tutup usia di Auckland Hospital akibat serangan jantung. Dia akhirnya menyusul Norgay, yang lebih dulu pergi pada 1986 silam, pada usia 88 tahun.
Saya ingat betul dua pekan yang lalu baru saja menonton kembali perjuangan Hillary dan Norgay menjejakkan kaki di Everest lewat VCD berjudul Everest-50 Years on the Mountain (Surviving Everest) bikinan National Geographic, yang saya beli empat tahun yang lalu.
Hillary yang mendapat gelar kebangsawanan Inggris: Sir, sukses menaklukkan Sagarmatha yang dalam bahasa Nepal berarti Dewi Langit bersama Norgay lewat Ekspedisi Everest Inggris yang dikomandani Kolonel John Hunt.
Saya membayangkan bisa mengikuti jejak Hillary dan Norgay. Yang pasti menjadi semua impian semua pendaki. Terlalu muluk memang, tapi kalau cuma sekedar bermimpi saja boleh kan?
Selamat Jalan Hillary.

sore di kebayoran lama

Rabu, 09 Januari 2008

SATU SURO

Tak ada pesta kembang api walau malam ini tahun berganti. Apalagi lengkingan suara terompet yang saling bersautan. Sama seperti ketika melewati malam-malam yang lain. Tidak ada kemeriahan menyambut tahun baru yang dalam kalender Islam jatuh besok. Atau, dalam penanggalan Jawa populer dengan sebutan Malam Satu Suro.
Eit, tapi coba tengok ke Gunung Lawu. Keramaian ada di gunung yang mengiris Jawa Tengah dan Jawa Timur itu. Ribuan orang, mulai yang masih bocah sampai lanjut usia, pria dan wanita tumpah ruah di gunung yang dikeramatkan tersebut.
Jalur Cemoro Sewu yang terletak di Kabupaten Magetan, Jawa Timur menjadi rute favorit lantaran lebih pendek ketimbang Cemoro Kandang yang ada di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Keduanya hanya dipisahkan jarak sekitar 200 meter saja.
Enam tahun yang lalu, saya ikut dalam kemeriahan Malam Satu Suro di Gunung Lawu. Saya mendaki bersama tiga rekan lewat Cemoro Sewu. Dua pendakian sebelumnya selalu naik dan turun dari Cemoro Kandang, tapi bukan saat Malam Satu Suro.
Usai hujan mengguyur kaki Lawu, sekitar jam sepuluh malam kami memulai pendakian. Begitu juga dengan ratusan pendaki atau peziarah lainnya. Peziarah? Ya, sebab saat Malam Suro memang kebanyakan yang naik Lawu ada orang-orang yang mau mengalap berkah.
Banyak tempat yang dikeramatkan di Lawu terutama Argo Dalem yang dipercaya sebagai tempat mukso atau menghilangnya Prabu Brawijaya V. Trus ada Sendang Drajat, sumber mata air yang disebut-sebut sebagai tempat mandi Raja Majapahit itu.
Tapi, pendakian kali ini betul-betul crowded. Yang naik dan turun sama banyaknya. Lantaran jalurnya yang sempit kami harus bergantian. Memberi kesempatan buat yang turun dulu baru melangkah. Jadi agak melelahkan karena mesti banyak berhenti.
Uniknya, di setiap pos yang dilalui banyak orang yang membuka lapak buat berdagang makanan. Bahkan, di puncak Lawu yang dikenal dengan Argo Dumilah yang berada di ketinggian 3.654 meter sekalipun. Jadi, sebetulnya kalau mau mendaki saat Malam Satu Suro cukup lenggang kangkung saja. Tak perlu menggendong ransel yang gede-gede.
Kelelahan pun langsung menyergap saya. Maklum malam sebelumnya tidak bisa tertidur lelap di dalam kereta yang membawa saya dari Jakarta menuju Jogja. Istirahat sebentar, saya dan tiga teman yang sudah menunggu di Kota Gudeg itu langsung bertolak ke Lawu.
Tapi, tak ada sejengkal tanah pun buat kami buat mendirikan tenda. Semua pos yang memiliki tanah lapang sudah dikuasai lapak para pedagang. Nggak heran, banyak pendaki yang juga kelelahan memilih tidur di pinggir jalur pendakian. Begitu juga akhirnya dengan kami.
Sebetulnya, bukan Lawu saja yang ramai saat Malam Satu Suro. Gunung Merapi dan Gunung Sindoro juga. Tapi, tidak seramai di Lawu. Apalagi sampai ada pedagang yang rela memanggul dagangannya hingga puncak. Maklum, saya juga pernah mendaki Merapi saat Malam Satu Suro yang waktu itu bikin bulu kuduk bergidik.


malam di kebayoran lama

Senin, 07 Januari 2008

TANDA ALAM

Kabar duka kembali menyelimuti dunia pendakian gunung Indonesia. Tiga pendaki asal Bandung hilang di Gunung Agung sejak mereka berusaha menaklukkan tanah tertinggi di Pulau Bali tersebut pada 26 Desember 2007 lalu. Satu di antaranya ditemukan dalam keadaan tewas, dua lainnya belum diketahui rimbanya.
Usut punya usut, mereka sempat dilarang mendaki lantaran cuaca yang tidak bersahabat sedang membalut gunung yang punya ketinggian 3.142 meter itu dan pernah saya capai puncaknya pada Juli 2000 lalu.
Entah kebetulan semata atau bukan, kejadian yang sama selalu menghiasi kisah pendaki yang berakhir tragis di gunung. Ambil contoh, tewasnya dua pendaki yang merupakan sepasang kekasih di Gunung Semeru beberapa tahun silam. Pasangan muda-mudi ini nekad mendaki, meski petugas sudah tegas-tegas melarangnya karena cuaca sedang buruk.
Saya pernah punya pengalaman yang tak mirip-mirip banget, sebetulnya. Pada 2000 lalu, saya lupa kapan persisnya, bersama lima teman melakukan pendakian Gunung Merbabu. Ada yang tak setuju dengan pendakian saya yang kedua ke gunung yang hidup berdampingan dengan Gunung Merapi tersebut.
Perasaan tak enak sebenarnya menyergap saya. Tapi, show must go on, sebab larangan itu datang beberapa jam sebelum kami bertolak dari Jogja. Itu sebabnya, saya berpesan ke rekan-rekan pendakian: tolong jaga saya.
Tanda-tanda bakal terjadi sesuatu makin jelas kami ketinggalan mobil terakhir yang akan membawa kami ke Selo, Boyolali—salah satu jalur favorite menuju puncak Merbabu yang dikenal dengan Kenteng Songo (3.142 m). Lantaran, kemalaman. Untung ada sopir truk yang bersedia mengantar kami ke sana.
Kami mulai mendaki mendekati tengah malam. Tak masalah karena jalur pendakian sangat jelas dan saya pernah mendaki gunung itu dua tahun sebelumnya. Bahkan, salah satu teman sudah berkali-kali.
Tapi, jalan yang bercabang membuat kami binggung. Keputusan salah kami ambil yang ternyata setelah berjalan 30 menit baru tersadar kami tersesat. Perasaan takut yang luar biasa langsung menyerang saya. Apalagi, seorang teman nekad mencari tahu apakah jalur ini bisa terus dilalui. Saya hanya berpesan: cepat kembali dan tiap lima menit meniup pluit agar kami tahu kamu baik-baik saja.
Saya lalu berdoa dalam hati: Tuhan lindungilah kami. Sekitar 15 menit kemudian teman saya kembali, dia bilang jalur makin tidak jelas di depan. Akhirnya, kami memutuskan kembali melewati rute yang sama. Kelelahan dan rasa kantuk mulai menyerang. Karena itu, begitu tiba di Pos I, kami memilih bermalam di sana.
Di sini, saya melihat sesuatu yang ganjil. Sekitar pukul tiga, saya melihat tiga orang lewat depan tenda. Saya tak punya perasaan apa-apa, sebab saya pikir mereka pendaki. Tapi, alangkah kagetnya karena lima teman sama sekali tidak melihat ada pendaki lewat. Jantung saya langsung bedetak kencang.
Saya berpikir apalagi yang nanti akan terjadi. Ternyata, Tuhan masih sayang kami semua. Bahkan, kami bisa mencapai puncak, walau malam lebih dulu tiba. Tapi, justru saya bisa melihat keindahan Kota Boyolali yang bermandikan cahaya.
Yang saya mau katakan, alam selalu punya tanda-tanda yang tak boleh kita lawan.


sore di kebayoran lama