Selasa, 12 Agustus 2014

KRISIS LISTRIK

Krisis listrik di Indonesia semakin meluas. Masalah baru muncul. Saat PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kekurangan pembangkit listrik untuk memenuhi permintaan, penghasil setrum yang ada khususnya yang berbahan bakar minyak solar tidak bisa beroperasi secara maksimal. Alhasil, suplai listrik ke pelanggan seret.
Gara-garanya, PT Pertamina mengurangi pasokan solar ke PLN akibat perusahaan setrum pelat merah itu membayar dengan harga lama, di US$ 105 dari harga Mean of Plats Singapore (MoPS). Sehingga, Pertamina mengklaim menderita kerugian sebanyak US$ 45 juta selama paro pertama tahun ini.
Sejatinya, PLN sudah menyepakati harga baru solar berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar 112%–117% dari MOPS. Tapi, mereka masih butuh persetujuan dari pemerintah. Walhasil, Pertamina masih mengurangi pasokan solar ke pembangkit PLN.
Sejak 1 Agustus 2014 lalu, Pertamina sudah mengurangi 50% pasokan solar ke pembangkit PLN di beberapa daerah, yakni di wilayah Medan, Bali, Samarinda, Pontianak, dan Bangka Belitung. Pengurangan pasokan solar ke pembangkit PLN di daerah Medan, Samarinda, dan Pontianak, tentu saja semakin memperparah krisis listrik di Pulau Sumatra dan Kalimantan.
Ketergantungan PLN terhadap solar cukup tinggi. Pembangkit listrik mereka yang menggunakan solar memang masih banyak. Perusahaan milik pemerintah ini membutuhkan lebih dari tujuh juta kiloliter solar untuk menggerakkan pembangkit mereka. Jumlah ini menyedot 12,5% dari total bahan bakar pembangkit. Selain solar, pembangkit PLN berbahan bakar batubara, gas, dan lainnya.
Keberadaan pembangkit-pembangkit berbahan bakar solar ini juga memberatkan keuangan PLN. Sebab, biaya produksi bakal meningkat tajam jika harga minyak mentah dunia naik tinggi dan nilai tukar rupiah melemah dalam.
PLN bukannya tidak mau mengurangi solar sebagai bahan bakar pembangkit mereka kemudian mengganti dengan gas, misalnya. Target mereka: tahun ini solar hanya menyedot 9,5% dari total bahan bakar pembangkit, istilahnya bauran energi. Tapi, seperti kita tahu, suplai gas untuk kebutuhan domestik juga seret. PLN harus berebut gas dengan industri lain seperti keramik.
Tapi, terlepas dari itu semua, porsi bahan bakar pembangkit PLN ke depan harus banyak yang ramah lingkungan seperti panas bumi.    


S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 13 Agustus 2014

KUOTA JEBOL, SUBSIDI JEBOL

Bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai “langka”. Bagaimana tidak? Secara bertahap, sejak 1 Agustus 2014 lalu, puluhan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) tidak lagi menjual premium dan solar. Sedang ratusan pom bensin lainnya tak boleh menjual solar bersubsidi mulai jam enam sore sampai delapan pagi.
Pemerintah terpaksa menempuh langkah tidak populer tersebut demi mengerem konsumsi BBM bersubsidi tahun ini. Kalau tidak, premium bakal menghilang dari pasaran pada 19 Desember mendatang. Sementara solar bersubsidi akan habis 30 November nanti. PT Pertamina mencatat, hingga Juli lalu persediaan premium tinggal 42% dan solar cuma 40% dari kuota tahun ini yang masing-masing sebesar 29,29 juta kiloliter (kl) dan 15,16 juta kl.
Kebijakan ini buntut dari keputusan pemerintah dan DPR akhir Juni lalu yang mematok kuota konsumsi BBM bersubsidi tahun ini hanya 46 juta kl dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. Atau, menyusut 2 juta kl dari kuota di APBN 2014 yang mencapai 48 juta kl.
Cuma, sejatinya, kebijakan tersebut tidak betul-betul bisa mengerem konsumsi BBM bersubsidi, lo. Sebab, pemilik kendaraan bermotor, kan, masih bisa mengisi BBM di SPBU yang masih menjual premium dan solar. Pembatasan penjualan BBM bersubsidi hanya berlaku di 12% SPBU dari total 4.570 SPBU.
Lain ceritanya kalau Pertamina melakukan sistem kitir atau penjatahan penyaluran sesuai dengan ketersediaan sisa BBM bersubsidi kepada 88% SPBU yang masih boleh menjual 100% BBM bersubsidi. Artinya, Pertamina mengurangi pasokan ke SPBU agar kuota tahun ini cukup sampai akhir tahun. Dengan cara ini kuota
46 juta kl bisa betul-betul tercapai.
Tapi, kalau itu yang terjadi, kejadian tahun 2012 lalu bisa terulang. Lantaran sisa kuota BBM bersubsidi ketika itu hanya cukup sampai 21 Desember, pemerintah memerintahkan Pertamina melakukan sistem kitir mulai pertengahan November. Alhasil, waktu itu, selama sepekan antrean kendaraan bermotor mengular di banyak pom bensin. Dampak yang lebih parah, kondisi itu menyulut kerusuhan bernuansa SARA di daerah Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang berlanjut penjarahan.
Tentu tidak ada yang mau kisah pahit itu terulang. Hanya, pemerintah mau tidak mau memang harus membatasi konsumsi BBM bersubsidi, kalau ingin kuota tahun ini tidak jebol. Sebab, kuota jebol berarti subsidi BBM akan membengkak dari target Rp 246,4 triliun. Dan, untuk menutup pembengkakan itu, pemerintah terpaksa berutang lagi lantaran penerimaan perpajakan tidak bisa diandalkan.
Tapi sekali lagi, cara pembatasan yang berlangsung saat ini masih belum cukup untuk mengerem pemakaian BBM bersubsidi. Pemerintah mesti mengambil langkah yang lebih berani, yakni melarang mobil pribadi menenggak premium. Sebetulnya, ada cara instan yang bisa mengurangi konsumsi BBM bersubsidi bahkan memangkas subsidi BBM: mengerek harga premium dan solar. Cara ini terbukti ampuh tahun lalu. Dengan menaikkan harga premium dan solar di akhir Juni 2013, konsumsi BBM bersubsidi tahun lalu hanya 46,34 juta kl dari kuota 48 juta kl. Cuma, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memastikan tidak akan menaikkan harga BBM, termasuk melarang mobil pribadi memakai premium.
Bola yang sangat panas ini pun berpindah ke tangan pemerintahan baru nanti. Kemelut seperti ini tidak hanya akan terjadi di awal pemerintahan. Soalnya, konsumsi BBM bersubsidi nyaris setiap tahun melebihi kuota. Kantong pemerintah pun jebol bolak-balik. Tanpa kebijakan ekstrem sangat mungkin masalah ini terus berulang di tahun-tahun mendatang. Nah, berani tidak Jokowi-JK, setelah dilantik, mengambil langkah ekstrem itu? 


S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN Edisi 11-17 Agustus 2014

PEMBEBASAN LAHAN

Pembebasan lahan selalu menjadi masalah klasik dalam pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum di Indonesia. Misalnya, jalan raya, jalan tol, pelabuhan, dan pembangkit listrik. Problem yang satu ini memang enggak ada matinya, selalu muncul, sehingga menghambat proses pembangunan infrastruktur publik.
Tapi, tentu sangat wajar para pemilik lahan tidak begitu saja melepas lahan mereka. Alasannya beragam. Cuma, yang paling utama adalah nilai ganti rugi yang tidak sesuai. Kebanyakan pemilik lahan sudah pasti meminta ganti rugi dengan angka yang sangat tinggi. 
Nah, mulai tahun depan, urusan pembebasan lahan bakal menganut aturan main yang baru: Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Aturan pelaksananya tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2012. 
Cuma, sekelompok masyarakat menilai beleid tersebut berpotensi merugikan pemilik tanah. Itu sebabnya, mereka mengajukan uji materi UU No. 2/2012. Potensi kerugian itu muncul dari ketentuan Pasal 1 ayat 10 yang berbunyi: ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Menurut pemohon, pasal ini multitafsir. "Adil dan layak menurut siapa, apakah investor, pemerintah, atau masyarakat," kata mereka. 
Kalau mengacu ke Penjelasan UU No. 2/2012, yang dimaksud dengan asas keadilan adalah memberikan jaminan penggantian yang layak. Dengan begitu, para pemilik lahan mendapatkan kesempatan untuk bisa melangsungkan kehidupan mereka yang lebih baik. 
Yang perlu ditekankan adalah ganti rugi tersebut harus benar-benar memberikan kehidupan yang lebih baik bagi para pemilik lahan ketimbang sebelum mereka kena gusur. Artinya, pemerintah sebagai penyelenggara pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memberikan ganti untung
Menurut UU No. 2/2012, yang mendapat ganti rugi tidak hanya tanah dan bangunan, tapi juga tanaman dan kerugian lain yang bisa dinilai. Kerugian lain ini, misalnya, pemilik lahan kehilangan usaha atau pekerjaan akibat kena gusur. 
Dan, dalam proses musyawarah penetapan nilai ganti rugi, pemerintah harus kembali mensosialisasikan UU No. 2/2012. Jangan sampai pemerintah memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat demi mempercepat pembebasan lahan yang merugikan para pemilik tanah.

S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 16 Juli 2014

PEMANGKASAN SUBSIDI

Rabu (18/6) pekan lalu, DPR mengesahkan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. Dalam beleid ini, pemerintah batal memangkas bujet belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 100 triliun, melainkan hanya sekitar Rp 42 triliun. 
Alhasil, pemerintah terpaksa memangkas anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan public service obligation (PSO). Cuma, khusus subsidi BBM, bukan anggarannya yang digunting, tapi volume konsumsinya sebesar 2 juta kiloliter (kl) menjadi 46 juta kl. Meski begitu, tetap saja subsidi BBM tahun ini menciut dari usulan pemerintah sebesar Rp 284,9 triliun menjadi tinggal Rp 246,5 triliun. 
Ujung dari pemangkasan subsidi listrik adalah kenaikan tarif listrik bagi enam golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Untungnya, tarif setrum untuk golongan pelanggan menengah ke bawah: berdaya 450 volt ampere (VA) dan 900 VA tidak naik. 
Hanya, penumpang kereta api kelas ekonomi jarak sedang dan jauh yang notabene dari menengah bawah gigit jari. Gara-gara PSO untuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) dipangkas, harga tiket kereta ekonomi naik lagi dua kali lipat lebih, mulai September 2014 nanti. 
Memang, pengurangan kuota volume konsumsi BBM tidak mengerek harga BBM bersubsidi. Tapi, bukan berarti kebijakan ini jauh dari masalah. Sebab, pemerintah memakai jurus-jurus usang untuk mengurangi penggunaan BBM bersubsidi usang, dan terbukti kurang ampuh karena dijalankan setengah hati. Misalnya, melarang kendaraan pelat merah menenggak BBM bersubsidi dan konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan. 
Jurus barunya adalah pengurangan mulut selang atawa nozzle BBM bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Tapi, sejauh ini belum ada tanda-tanda pemerintah akan melakukannya. Dan, sejatinya ini rencana lama yang hingga kini belum terlaksana. 
Nah, jika semua rencana tersebut tidak berhasil 100%, kuota konsumsi BBM bersubsidi tahun ini bisa jebol. Padahal, menurut UU APBN-P 2014, pemerintah tak bisa mengajukan tambahan subsidi BBM bila konsumsi BBM melebihi kuota. 
Kalau sudah begini, kejadian di akhir 2012 bisa terulang. Saat itu, selama dua pekan antrean kendaraan mengular di banyak SPBU. Soalnya, pemerintah terpaksa mengurangi jatah harian pasokan premium dan solar ke semua pom bensin, agar kuota BBM tidak jebol. 
Wah, gawat, dong.
 
S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 24 Juni 2014