Rabu, 31 Desember 2008

TAON BAROE


Tinggal beberapa jam lagi tahun bakal berganti.

Selamat Tinggal 2008!
Selamat Datang 2009!


Empat tahun lalu, saya memilih menghabiskan malam pergantian tahun dengan mendaki Gunung Gede Pangrango setelah tahun sebelumnya hanya merayakan di kaki gunung yang punya dua puncak tersebut, yakni Gede dan Pangrango.
Saat itu, saya mendaki bersama adik dan paman lewat jalur Gunung Putri, Cipanas. Start dari Pos Gunung Putri sore hari di 30 Desember 2003. Dan, tiba di alun-alun barat Surya Kencana menjelang tengah malam. Kami pun bermalam di sana sambil menunggu pergantian tahun.
Sejak pagi hari di 31 Desember 2003 hujan terus-terusan mengguyur alun-alun Surya Kencana yang dipadati ratusan pendaki. Baru malamnya, hanya beberapa jam menjelang pergantian tahun hujan betul-betul berhenti dan saya tengah tertidur lelap.
Sampai akhirnya, suara ledakan kembang api dan petasan membangunkan saya tepat pukul 12 malam. Tak menyaka bakal ada pesta kembang api di Gunung Gede Pangrango. Ternyata, beberapa rombongan pendaki membawa kembang api dan petasan.
Malam pergantian tahun di Gunung Gede Pangrango pun menjadi meriah. Sekaligus, mengusir hawa dingin yang terus saja menusuk tulang. Sambil terucap dalam hati serangkaian doa syukur dan harapan boleh melangkah lagi di Tahun Baru.


siang di kebayoran lama


Senin, 08 Desember 2008

MIMPI RINJANI










Makin hari Arya makin menggemaskan saja. Oh ya, Arya itu putera pertama saya. Ya, boleh dibilang masih anak semata wayang. Tapi, bukan berarti saya dan istri tidak mau tambah lagi alias memberi adik buat Arya, lo.
Contoh Arya yang menggemaskan itu terjadi hari ini. Begitu tahu saya akan memenuhi janji membelikannya es krim, sontak dia berteriak horeee sambil bertepuk tangan girang. Saya tak menyangka, Arya yang usianya belum genap dua tahun bisa bersikap seperti itu.
Sebelumnya, saat menyaksikan televisi yang menayangkan gambar pom bensin, kontan dia bilang: “mau (p)unya (pom b) ensin bial (r maksudnya) kaya”. Entah dapat dari mana kata-kata dan pemikiran itu. Saya dan istri hanya bisa tertawa geli.
Kami juga bingung lantaran Arya sangat suka melihat pom bensin. Apalagi, kalau kami mampir ke sana. Setelah itu dia akan mengatakan: “da..da.. (sambil melambaikan tangan mungilnya), (b)esok lagi”.
Kalau saya dan Arya diberi umur panjang dan rezeki, saya berencana untuk mewujudkan cita-cita yang belum kesampaian untuk mendaki Gunung Rinjani bersamanya. Ya, paling tidak kalau dia sudah duduk di bangku SMA.
Rencananya, sih, saya akan menyewa porter sekaligus pemandu. Jadi, tidak perlu repot-repot menggendong ransel yang segede-gede gaban itu. Cukup bawa tas kecil saja yang isinya air minum, makanan ringan, kamera foto dan video. Semoga! Amin.


sore di kunciran

Rabu, 03 Desember 2008

PENCARI RUMPUT

Sebentar lagi Lebaran Haji. Persisnya, 8 Desember nanti. Jakarta dan sekitarnya kedatangan ribuan mungkin puluhan ribu “penghuni” baru yang bakal menetap untuk sementara waktu. Mereka adalah sapi, kerbau, kambing, dan domba yang akan menjadi kurban pada Hari raya Idul Adha.
Ini membetot memori saya sewaktu mendaki Gunung Merbabu. Bukan soal hewan ternak yang bakal menjadi kurban. Tapi, pencari rumput buat sapi perah yang banyak dipelihara warga yang tinggal di kaki Merbabu, khususnya daerah Selo, Jawa Tengah.
Saban melakukan pendakian ke gunung dengan tinggi 3.142 meter tersebut, saya selalu ketemu dengan para pencari rumput tersebut. Biasanya, mereka mencari rumput di padang savanna Merbabu yang berada di ketinggian lebih dari 2.700 meter. Sekitar satu atau dua jam lagi menuju Kenteng Songo, puncak tertinggi di Merbabu.
Biasanya, para pencari rumput itu memulai perjalanan ke padang savanna pagi-pagi buta. Mereka hanya butuh waktu dua jam ke sana. Sedang saya bisa enam sampai delapan jam. Para pencari rumput itu hanya berbekal satu botol minuman dan beberapa butir permen saja untuk melepas dahaga.
Sebelum tengah hari mereka sudah sampai di kaki Merbabu yang diambil dari kata Meru yang artinya Gunung dan Babu yang berarti Wanita. Sekeranjang besar penuh rumput yang beratnya bisa di atas 20 kilo yang ditaruh di atas kepala mereka bawa turun.

Saya kagum dengan mereka. Betul-betul perkasa dan hebat.

malam di kebayoran lama

Selasa, 02 Desember 2008

MUSIM HUJAN

Hujan mulai sering menyapa Jakarta dan sekitarnya. Kadang dibarengi angin kencang dan petir yang menyambar. Sehabis itu tamu lainnya yang bernama banjir giliran datang mengetuk. Yang menyenangkan kota ini dan tetangganya jadi lebih adem memang.
Tapi, naik gunung di musim penghujan jelas menjadi beban tambahan. Pendakian jadi terasa berat. Tapi, saat mendaki Gunung Merbabu di Oktober 1998, saya bersama tiga rekan lainnya mesti mengawali pendakian di tengah guyuran hujan lebat.
Kami terpaksa, setelah menunggu sampai tengah malam di desa terakhir hujan tak kunjung mereda. Justru makin lebat. Pilihannya: mendaki atau tidak sama sekali. Maklum, Minggu malam kami sudah harus ada di Jogja lantaran salah satu teman ada kuliah pagi yang tidak bisa ditinggal.
Brrr… dingin banget. Ponco yang saya pakai tak bisa melindungi semua bagian tubuh. Sebagian baju dan celana pun basah kuyup. Pendakian makin berat karena jalur yang kami lewati sangat licin akibat siraman air hujan. Ngos-ngosan kalau pas jalannya menanjak.
Empat jam mendaki saya menyerah. Tak kuat lagi meski hujan sudah betul-betul berhenti. Saya meminta teman untuk bermalam dan mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda. Malam itu kami bermalam di punggung Merbabu, empat jam lagi menuju puncak.
Merbabu bukan yang pertama dan terakhir. Beberapa kali saya mendaki di tengah guyuran air hujan. Ketika mendaki Gunung Semeru di Oktober 1999, misalnya. Tangan saya sampai mati rasa waktu itu saking dinginnya. Setelah melahap sebatang coklat, tubuh sedikit menghangat.
Memang, ada baiknya mendaki gunung tidak saat musim penghujan. Apalagi, di bulan Januari dan Februari walau saya pernah melakoninya sewaktu mendaki Merbabu untuk ketiga kalinya. Tapi, tidak bisa sampai di puncak lantaran badai menyerang.


malam di kebayoran lama