Selasa, 02 Desember 2008

MUSIM HUJAN

Hujan mulai sering menyapa Jakarta dan sekitarnya. Kadang dibarengi angin kencang dan petir yang menyambar. Sehabis itu tamu lainnya yang bernama banjir giliran datang mengetuk. Yang menyenangkan kota ini dan tetangganya jadi lebih adem memang.
Tapi, naik gunung di musim penghujan jelas menjadi beban tambahan. Pendakian jadi terasa berat. Tapi, saat mendaki Gunung Merbabu di Oktober 1998, saya bersama tiga rekan lainnya mesti mengawali pendakian di tengah guyuran hujan lebat.
Kami terpaksa, setelah menunggu sampai tengah malam di desa terakhir hujan tak kunjung mereda. Justru makin lebat. Pilihannya: mendaki atau tidak sama sekali. Maklum, Minggu malam kami sudah harus ada di Jogja lantaran salah satu teman ada kuliah pagi yang tidak bisa ditinggal.
Brrr… dingin banget. Ponco yang saya pakai tak bisa melindungi semua bagian tubuh. Sebagian baju dan celana pun basah kuyup. Pendakian makin berat karena jalur yang kami lewati sangat licin akibat siraman air hujan. Ngos-ngosan kalau pas jalannya menanjak.
Empat jam mendaki saya menyerah. Tak kuat lagi meski hujan sudah betul-betul berhenti. Saya meminta teman untuk bermalam dan mencari tempat yang cocok untuk mendirikan tenda. Malam itu kami bermalam di punggung Merbabu, empat jam lagi menuju puncak.
Merbabu bukan yang pertama dan terakhir. Beberapa kali saya mendaki di tengah guyuran air hujan. Ketika mendaki Gunung Semeru di Oktober 1999, misalnya. Tangan saya sampai mati rasa waktu itu saking dinginnya. Setelah melahap sebatang coklat, tubuh sedikit menghangat.
Memang, ada baiknya mendaki gunung tidak saat musim penghujan. Apalagi, di bulan Januari dan Februari walau saya pernah melakoninya sewaktu mendaki Merbabu untuk ketiga kalinya. Tapi, tidak bisa sampai di puncak lantaran badai menyerang.


malam di kebayoran lama

Tidak ada komentar: