Rabu, 23 Maret 2011

KOPI KEBON JERO






Bali tidak hanya terkenal sebagai daerah tujuan wisata dunia. Pulau Dewata ini juga tersohor sebagai penghasil kopi robusta terbaik di Bali. Perkebunan itu tersebar di Tabanan dan Buleleng. Kopi robusta dari perkebunan Banjar Kebon Jero berkualitas paling top ketimbang lainnya.
KEBON Jero dalam bahasa Bali berarti kebun tikus. Tapi, banjar yang terletak di Desa Munduk Temu, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan ini bukan pembudidaya binatang pengerat itu. Daerah tersebut adalah daerah penghasil kopi robusta terbaik di Pulau Dewata dengan kualitas ekspor. "Kami berani bilang begitu karena kualitas kopi kami juara satu tingkat provinsi ," kata I Made Sana, salah seorang pekebun kopi robusta di Banjar Kebon Jero. Made mengungkapkan, pada tahun 1990-an banyak petani kopi dari luar Bali yang datang ke kebon jero untuk belajar cara menanam kopi robusta. Termasuk mahasiswa yang praktek kerja lapangan. I Ketut Sukarya, pengurus Subak Abian Kebon Jero, bahkan berani mengklaim bahwa kopi robusta dari Banjar kebon jero merupakan yang terbaik di Indonesia. Areal perkebunan kopi ini berada di perbukitan Pupuan, Tabanan. Untuk mencapai kebon jero tidak terlalu sulit. Butuh waktu sekitar dua jam perjalanan darat dari Kota Tabanan ke arah Pelabuhan Gilimanuk. Sampai di pertigaan Antosari belok kanan ke arah Singaraja. Dari situ, pemandangan sawah yang berundak-undak akan memanjakan mata Anda. Ya, Tabanan juga merupakan salah satu lumbung padi di Bali. Sampai di pertigaan Pupuan, terus saja hingga pertigaan Desa Munduk Temu. Dari sini, jalan mulai berkelok-kelok dan naik turun yang kanan kirinya kebun kopi. Banjar kebon jero ada di ujung desa. Papan bertuliskan Desa Pekraman kebon jero sebagai tanda Anda memasuki banjar yang berada di ketinggian 600 hingga 700 di atas permukaan laut itu. Menurut Ketut, semua penduduk kebon jero yang berjumlah 225 kepala keluarga (KK) berprofesi sebagai pekebun kopi robusta. "Luas kebun kopi di banjar kami sekitar 400 hektare," ujar dia. Pekebun kopi robusta kebon jero adalah perintis penanaman kopi secara modern di Bali pada tahun 1970-an. Maksudnya modern, cara menanam kopinya sudah ditata. Contoh, tinggi maksimal tanaman kopi harus 1,5 meter. Lebih dari itu harus dipotong. Lalu, pekebun melakukan klon cabang tanaman kopi robusta asli kebon jero dengan bibit unggul. "Sebelumnya, tanaman kopi dibiarkan tumbuh tanpa dilakukan penataan," ungkap Ketut. Di masa jayanya, pada era 1990-an, setiap hektare kebonkopi robusta di kebon jero bisa menghasilkan 4 ton kopi kering dengan kadar air 12%. Warga setempat menyebutnya kopi beras. Kala itu, harga kopi beras bisa mencapai Rp 2 juta per satu kuintal atau Rp 20.000 per kilogram (kg) saat musim panen (1 kuintal=100 kg). Sekarang, menurut Made, harga kopi beras menurun menjadi sekitar Rp 14.000 per kg atau Rp 1,4 juta per kuintal. Selain harga menyusut, produksi juga ikut-ikutan merosot, maksimal 2 ton per hektare. Itupun hanya kebun-kebun tertentu. "Unsur hara dalam tanah sebagai penyubur alami tanaman mulai berkurang," keluh Made yang mengelola satu hektare kebun. Saat ini, pekebun kopi robusta di kebon jero ratarata hanya menghasilkan 1,2 ton kopi beras per hektare.

***

Musim hujan yang panjang membuat tanaman kopi malas berbuah. Pekebun kopi robusta di Banjar Kebon Jero gigit jari lantaran panen tahun ini bakal merosot tajam. Tak heran, ada petani yang menanam tanaman lain di kebun mereka.
SEPANJANG pekan kedua Maret lalu, saban hari, hujan mengguyur Banjar Kebon Jero. Sejak tahun kemarin, hujan rajin menyambangi desa Pekraman di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan ini. Bahkan, saat musim kemarau sekalipun. Cuaca tidak bersahabat ini mulai menebar mimpi buruk bagi para pekebun kopi robusta di Kebon Jero. Buahbuah kopi yang mestinya sudah menggerombol di cabang-cabang tanaman kopi masih tampak jarang. Musim hujan yang terlalu panjang dan turun dengan deras sudah membuat bunga kopi membusuk lantaran tidak terjadi penyerbukan. Maklum, "Proses ini butuh sinar matahari," kata I Made Sana, salah satu pekebun kopi Kebon Jero. Buntutnya, Made mengungkapkan, produksi kopi bakal anjlok. Pembantu Pemangku kebon jero itu memperkirakan, panen kopi tahun ini bisa turun hingga 50% ketimbang tahun lalu. "Sekarang, para pekebun kopi menjerit," tegas dia. Celakanya, nasib tanaman coklat alias kakao yang menjadi sumber penghasilan tambahan sama saja. Malah lebih parah. Tanaman yang tak mengenal musim panen ini, tutur Made, sudah enam bulan terakhir tidak berbuah. Selain hujan yang turun terus menerus, Made menambahkan, panen coklat yang gagal total juga akibat serangan hama pengerek buah atawa kutu buah. Untungnya, I Nyoman Juwena, pekebun kopi lainnya, mengatakan, musim hujan yang panjang mendatangkan berkah baru. Burung punglor yang selama 15 tahun belakangan juga menjadi sumber pemasukan para pekebun makin banyak bersarang di kebun kopi. Burung yang memiliki kicauan indah ini punya harga jual tinggi. Bayi punglor laku Rp 250.000 per ekor. "Ada pekebun yang musim hujan ini dapat 25 anak punglor," ujar dia. Toh, I Ketut Sukarya, pengurus Subak Abian Kebon Jero, menuturkan, semangat sebagian pekebun mulai mengendur. Soalnya, kopi tak lagi menjanjikan. Dulu, harga satu kuintal atau 100 kilogram kopi minimal sama dengan empat kuintal beras. Kini, hanya setara dengan dua kuintal beras. "Pekebun dapat untung apa?" tanya Ketut. Apalagi, biaya pemupukan dan perawatan kebun kopi lainnya sekarang mencapai Rp 5 juta per hektare. Itu sebabnya, banyak petani yang tergoda menanam tanaman lain yang bernilai tinggi, seperti pohon mahoni dan jati, serta tanaman buah-buahan, semisal manggis dan salak. Pelbagai tanaman ini bahkan sudah merangsak ke bagian tengah kebun. Biasanya di pinggir kebun sekaligus sebagai pembatas dengan kebun milik pekebun lain. "Entah sampai kapan kopi bertahan, karena tanaman kopi butuh sinar 50%-70%," imbuh Ketut. Masalah lain: pemasaran hasil panen. Para pekebun terjerat jaring pengepul yang tentu harga jual kopi tidak terlalu tinggi-tinggi amat. Sebenarnya, Made bilang, pekebun pernah menggandeng eksportir dari Singaraja bahkan importir asal Prancis dengan harga jual yang lebih tinggi ketimbang pengepul. Ya, kopi-kopi kebon jero memiliki kualitas grade tiga dan diekspor ke sejumlah negara di benua Eropa. Tapi, kerjasama ini hanya bertahan sebentar. Pengepul yang tidak terima, kemudian bergerilya mendatangi satu per satu pekebun dengan menawarkan harga jual yang lebih tinggi. Pekebun pun luluh. Cuma, harga yang tinggi ini hanya berlaku saat itu. Setelahnya, harga kembali seperti dulu. "Pengepul berjaya lagi," kata Made.

(S.S. Kurniawan, Harian KONTAN, 21-22 Maret 2011)

Jumat, 18 Maret 2011

ARYA-ARVA



















60+

Hujan deras yang mengguyur kawasan Jakarta, Rabu (16/3) lalu, dan menciptakan genangan air hingga setinggi setengah meter di beberapa titik, kembali melumpuhkan lalu lintas di sejumlah ruas jalan ibukota. Angin kencang yang menyertainya menumbangkan puluhan pohon.
Siang menjelang sore itu, hujan hanya turun dua jam saja. Tapi, Kepala Pemberdayaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Tarjuki bilang, curah hujan itu setara dengan curah hujan untuk kurun waktu satu bulan, yakni mencapai 108 milimeter.
Ya, cuaca di muka Bumi ini memang semakin ekstrem. Dampak perubahan iklim akibat pemanasan global makin kentara. Dan, perubahan iklim merupakan salah satu ancaman kehidupan di planet kita yang paling signifikan.
Salah satu cara untuk menghambat percepatan pemanasan global adalah dengan mengajak setiap individu melakukan perubahan gaya hidup. Contoh, WWF mengajak publik untuk melakukan perubahan gaya hidup yang sederhana dan murah, yakni hemat energi.
Tahun ini, persisnya, 26 Maret 2011, pukul 20.30-21.30, WWF kembali mengajak individu, praktisi bisnis, pemerintah, dan sektor publik lainnya di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk turut serta mematikan lampu, hanya selama 1 jam saja: Earth Hour 60+.
60+ artinya, kita tidak hanya memadamkan lampu selama 60 menit, tapi juga menghemat energi setelahnya. Termasuk kegiatan ramah lingkungan lain, seperti bersepeda, menggunakan transportasi umum, dan menanam pohon. Setelah satu jam, jadikan gaya hidup!
Makanya, Gubernur DKI Fauzi Bowo berencana tidak cuma menggelar kegiatan Earth Hour setahun sekali, tetapi beberapa kali. Contoh, pada Hari Bumi yang jatuh setiap tanggal 22 April dan Hari Lingkungan Hidup tiap 5 Juni. Jadi, menghemat energi sebagai way of life, bagian pola hidup ke depan.
WWF menghitung, kalau 10% warga Jakarta berpartisipasi dalam Earth Hour, kita bisa menghemat konsumsi listrik sebesar 300 megawatt (MW). Itu berarti, setara dengan mematikan satu pembangkit listrik dan menghemat 267,3 ton CO2 atau gas rumah kaca.
Jauh sebelum gerakan Earth Hour muncul pada 2007 lalu, masyarakat Bali sudah melakukannya dengan melaksanakan Catur Brata. Dalam hitung-hitungan PLN, saban Nyepi, warga Pulau Dewata menghemat konsumsi setrum 450 MW.
Ayo, selamatkan Bumi!


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 18 Maret 2011)

Rabu, 02 Maret 2011

MENCLA-MENCLE

Naga-naganya, pemerintah akan menunda untuk kedua kalinya pelaksanaan pembatasan bahan bakar minyak alias BBM bersubsidi, yang semestinya mulai bergulir secara terbatas di wilayah Jabodetabek lebih dulu pada 1 April 2010 nanti.
Tapi, kali ini, alasan yang dipakai pemerintah tidak cuma ketidaksiapan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) saja. Harga minyak mentah dunia yang terbang bebas hingga menembus level psikologis US$ 100 per barel dan inflasi bahan pangan atau food inflation juga menjadi penyebab pemerintah kembali menunda pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi.
Padahal, semua orang tahu, usai menunda pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi untuk pertama kalinya yang seharusnya pada Oktober 2010 lalu, pemerintah tegas-tegas menjamin tidak bakal ada penundaan lagi. Artinya, kebijakan yang melarang mobil pribadi menenggak premium dan solar akan berlaku mulai April 2011 nanti.
Toh, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan, sikap baru ini bukan berarti pemerintah mencla-mencle. Ia punya alasan: pemerintah harus mencari solusi untuk masyarakat.
Hanya saja, sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo di hadapan anggota DPR tetap menyampaikan bahwa kebijakan untuk memangkas anggaran subsidi BBM itu berlaku per 1 April mendatang; walau akhirnya, bekas Direktur Utama Bank Mandiri ini bilang, pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi bisa saja ditunda. Cuma, memang konsekuensinya: pemerintah harus menambah bujet subsidi BBM hingga Rp 6 triliun.
Inilah akibatnya kalau kebijakan mahapenting tidak betul-betul dipersiapkan secara matang. Lihat saja, meski sudah jauh-jauh hari pemerintah menyatakan akan menerapkan pembatasan BBM bersubsidi, kajian belum juga kelar. Tim Pengkaji Pengaturan BBM Bersubsidi baru akan menyerahkan kajiannya akhir bulan ini. Itu juga kalau tidak ada aral melintang.
Celakanya, masyarakat telanjur punya ekspektasi atas pembatasan BBM bersubsidi. Buntutnya, sudah ada harga barang dan jasa yang bergerak naik lebih dulu. Inflasi pun menanjak. Jadi, seharusnya, pemerintah tak perlu buru-buru mengumbar rencana yang belum matang, apalagi kebijakan itu sangat bergantung pada faktor eksternal.
Semoga, kalau benar ditunda, ini menjadi penundaan terakhir, supaya anggaran subsidi BBM tidak terus-terusan salah sasaran.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 25 Februari 2011)