Selamat Jalan Pak Widjajono Partowidagdo, terima kasih sudah memberi inspirasi dan warna pada tulisan ini
April 2006. Delapan perempuan yang tidak lagi muda usianya membetot perhatian
khalayak luas. Mereka yang rata-rata sudah berusia 40-an tahun itu memulai misi
mulia yang tidak gampang: menaklukkan puncak Kalla Pattar yang memiliki
ketinggian 5.545 meter di atas permukaan laut (dpl). Para Srikandi yang
tergabung dalam Female Trekkers ini ingin
menancapkan bendera merah putih sekaligus bendera Yayasan Lupus Indonesia di
salah satu puncak di Pegunungan Himalaya, Nepal itu. Karena itu, mereka menamai
kegiatan itu Perempuan Indonesia Menapak Himalaya untuk Lupus. Dengan mendaki
salah satu atap dunia itu, apalagi yang melakukannya adalah wanita yang tidak
muda lagi, misi untuk mengampanyekan penyakit lupus lebih efektif. “Kami jadi
punya nilai berita sehingga media mau meliput,” kata Diah Bisono, salah satu
pendaki yang ikut mencapai Kalla Pattar dan pendiri Female Trekkers. Catatan saja, lupus merupakan
penyakit inflamasi kronik akibat masalah di sistem imun tubuh. Seharusnya,
sistem ini melindungi tubuh dari berbagai penyakit. Tapi, yang terjadi justru
sebaliknya, sistem tersebut menyerang tubuh itu sendiri. Saat ini, jumlah odapus
alias orang yang menderita lupus di negara kita sekitar 40.000 orang. Pendakian
kedelapan perempuan itu di Kalla Pattar juga menarik perhatian banyak pendaki
dari berbagai negara. Diah bilang, tak sedikit di antara mereka yang menanyakan
tentang lupus. Bahkan, ada yang memberikan bantuan dana juga. Ya, selain
mengampanyekan lupus ke publik luas, Female Trekkers juga menggalang dana untuk
mereka sumbangkan kepada Yayasan Lupus Indonesia. “Senang rasanya bisa berarti
bagi orang lain,” ujar Diah yang kini berusia 46 tahun. Female Trekkers sendiri
lahir tahun 2005. Komunitas pendaki gunung wanita dengan usia 40 tahun ke atas
ini berdiri atas gagasan Diah dan empat temannya yang sama-sama gemar mendaki
gunung semasa duduk di bangku kuliah dulu. Ide membentuk Female Trekkers muncul setelah Diah pulang dari
pendakian ke puncak Carstensz Pyramid setinggi 4.884 meter dpl di Papua. “Saya
bilang ke teman-teman, kenapa kita enggak naik gunung lagi? Karena kita masih
kuat, kok,” ujar bekas anggota Mapala UI, kelompok pecinta alam Universitas
Indonesia, ini. Tapi, Female Trekkers
tidak ingin mendaki tanpa misi. Akhirnya, komunitas ini memilih mengusung misi
kemanusiaan, yaitu untuk membantu para penderita lupus. “Kami memilih lupus
karena dari segi pendanaan, mereka masih kurang. Yayasannya juga belum diakui
pemerintah,” ungkap Diah. Asal tahu saja, Ayu Bisono, adik Diah merupakan
penderita lupus. Gayung bersambut, kebetulan Yayasan Lupus Indonesia lagi
mencari duta untuk menyosialisasikan penyakit lupus serta mengampanyekan
kegiatannya. Sejak itulah, Female Trekkers
resmi menjadi duta lupus. Kampanye lupus tidak hanya berhenti di puncak Kalla
Pattar. Tahun 2009, Female Trekkers
melanjutkan misi kemanusiaan mereka dengan mendaki Kili-manjaro di Tanzania,
gunung tertinggi di benua Afrika. Dalam pendakian gunung setinggi 5.895 meter
dpl itu, ada 10 pendaki Female Trekkers
yang ikut, termasuk Diah. Kali ini, mereka di bawah bendera Equatorial Peaks for
Lupus, pendaki puncak-puncak gunung tertinggi di garis khatulistiwa.
Tak cuma
naik gunung
Masih mengusung bendera yang sama, tahun berikutnya, di
2010, Female Trekkers mendaki dua puncak
gunung sekaligus: yakni Cayambe (5.790 m dpl) dan Chimborazo (6.300 m dpl) di
Ekuador, Amerika Latin. Tim mereka berjumlah 12 orang. “Biaya pendakian sebagian
dari kantong masing-masing, sisanya dari sponsor perorangan dan perusahaan,”
kata Diah yang kini bekerja sebagai konsultan pemasaran di Saji Indonesia,
perusahaan yang ia dirikan bersama sejumlah teman. Sebelum melakukan pendakian,
Diah bercerita, para anggota Female Trekkers berlatih empat bulan sampai lima
bulan. Tiga bulan pertama merupakan waktu pelatihan personal bagi masing-masing
anggota tim. Bulan berikutnya adalah pelatihan kerjasama tim, termasuk mendaki
beberapa gunung yang ada di wilayah Jawa Barat. Setelah pendakian Female Trekkers di empat puncak gunung di atas
5.000 meter dpl itu, makin banyak orang yang memperhatikan lupus. “Kalau kami
enggak bikin gara-gara, orang tidak aware soal lupus,” ujar Diah yang juga adik
psikologi ternama Tika Bisono. Tapi, kegiatan kampanye lupus Female Trekkers tidak cuma mendaki saja. Mereka
juga kerap datang ke kampus-kampus untuk mensosialisasikan penyakit tersebut.
Sekarang, sekitar 40 wanita dari berbagai latar telah bergabung di Female Trekkers. Ada yang bekerja sebagai
perencana keuangan, konsultan peralatan outdoor, akuntan, pengusaha, dan ibu
rumahtangga. Tak semua anggota itu mengikuti pendakian ke gunung-gunung di luar
negeri. Mayoritas dari mereka hanya bergabung dalam pendakian gunung di
Indonesia bersama tim yang latihan. Yang menarik, tidak semua anggota Female Trekkers wanita. Ada satu lelaki yang
bergabung, yakni Widjajono Partowidagdo. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral ini ikut serta dalam pendakian ke Kalla Pattar dan Kilimanjaro.
Widjajono mengaku lebih nyaman mendaki gunung bersama perempuan ketimbang
laki-laki. Alasannya, jika mendaki bersama pria, ia akan tertinggal terus dalam
perjalanan lantaran usianya sudah tua. “Wanita juga perhatian. Misalnya soal
makan,” ujarnya. Widjajono mengaku sudah hobi mendaki gunung sejak di bangku
SMA. Komunitas pendaki lain yang juga punya anggota dari berbagai macam latar
adalah Pendaki Gunung. Komunitas ini didirikan oleh Bernard Wahyu Wir-yanta dan
Bucek pada 2000. “Setiap kali mendaki gunung, bertemu orang lalu ngobrol. Mereka
kami ajak bergabung di komunitas kami,” ujar Bernard yang menjadi jurnalis lepas
untuk beberapa media.
Konservasi alam
Pendaki Gunung kemudian mulai
berkembang dan melebarkan sayap ke kalangan pekerja profesional. Bernard
berkisah, banyak orang yang membayangkan mendaki gunung sebagai kegiatan yang
susah dan berat. Ia ingin menghapus gambaran tersebut. Bernard lalu mulai
mengajak beberapa teman kalangan pekerja untuk mendaki gunung. Biar tak merasa
susah, Bernard rela mempersiapkan perlengkapan dan makanan untuk mereka. “Mereka
cuma perlu bawa badan,” tutur pemilik perusahaan studio gambar dan animasi
Tantular Pictures ini. Usaha itu ternyata membuahkan hasil. Mereka yang ikut
mendaki bersama Bernard mengaku senang dan akhirnya bergabung bersama Pendaki
Gunung. Dari mulut ke mulut, banyak kalangan pekerja profesional bergabung dalam
komunitas ini. Kini, anggota aktifnya sekitar 50 orang. “Ada direksi dan
eksekutif yang bergabung di sini,” beber Bernard. Novan Firmansyah, misalnya.
Pemilik perusahaan perdagangan mata uang asing (forex) di Jakarta ini bergabung
dengan Pendaki Gunung sejak tahun 2004 lalu. Ia mengaku bisa menyalurkan hobi
jalan-jalan melalui komunitas tersebut. Memang, Novan tak selalu bisa mengikuti
setiap kegiatan Pendaki Gunung. Maklum, ia juga punya kesibukan di kantornya.
Namun, paling tidak, ia ikut kegiatan komunitas tersebut setahun dua kali.
“Untuk refreshing dan melepas penat dari rutinitas,” jelasnya. Tidak hanya
mendaki, komunitas ini juga mengadakan pelatihan bagi anggota, baik itu latihan
survival ataupun latihan navigasi. Meski berasal dari kalangan pekerja
profesional, mereka antusias mengikuti latihan-latihan tersebut. Kegiatan
pendakian gunung sendiri dilakukan hampir tiap bulan. Tetapi, tentu tak semua
anggota bisa ikut karena sibuk bekerja. Kadang, hanya dua orang saja yang
melakukan pendakian, tapi kadang bisa puluhan anggota. “Agenda kegiatan selalu
diberitahukan jauh-jauh hari,” ujar Bernard. Berbagai gunung di Indonesia telah
dijelajahi oleh komunitas ini. Demikian pula dengan gunung-gunung terkenal di
luar negeri, seperti Kilimanjaro dan Kinabalu, Malaysia. Sebagai sarana
koordinasi antaranggota, komunitas ini kemudian mendirikan portal di dunia maya
dengan nama pendakigunung.org. Situs tersebut merupakan forum komunikasi di
antara anggota yang tersebar di berbagai daerah. Selain pendakian, Pendaki
Gunung juga melakukan kegiatan konservasi alam. Sejak lima tahun lalu, komunitas
ini rutin melakukan konservasi tanaman kantong semar di kawasan Gunung Prau,
Jawa Tengah. “Kami juga mengajak partisipasi masyarakat setempat untuk menjaga
tanaman itu supaya tidak punah,” kata Bernard. Selain kegiatan, Pendaki Gunung
juga mengadakan aksi menanam mangrove di Kepulauan Seribu. Mereka mengajak pula
masyarakat sekitar dan anak-anak dalam kegiatan tersebut.
(S.S. Kurniawan, Herry Prasetyo, Hans H.B., Mingguan KONTAN edisi Minggu Ketiga November 2011)