Jumat, 28 Oktober 2011

JANGAN ADA DENDAM

Setelah melewati lima kali masa sidang, persisnya 433 hari, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK) selesai juga. Kemarin (27/10), melalui rapat paripurna, DPR mengesahkan calon beleid tersebut menjadi undang-undang. Dan, penantian selama 12 tahun pun berakhir sudah.
Itu berarti, tahun depan, di republik ini bakal lahir sebuah lembaga super yang mengawasi seluruh industri jasa keuangan termasuk perbankan. Dengan begitu, tugas pengawasan bank tidak lagi ada di tangan Bank Indonesia (BI), tapi di suatu badan bernama OJK.
Kelahiran OJK tidak otomatis mempreteli kewenangan bank sentral mengawasi perbankan. Soalnya, peralihan pengawasan itu baru dimulai per 31 Desember 2013 atau 1 Januari 2014. Nantinya, BI hanya akan mengurusi kebijakan moneter dan sistem pembayaran saja. Sedangkan kewenangan regulasi perbankan, seperti pemberian izin pendirian bank dan kesehatan bank, menjadi wewenang OJK.
Sejatinya, suara fraksi di Panitia Khusus DPR tentang RUU OJK tidak bulat soal waktu peralihan kewenangan pengawasan perbankan dari BI ke OJK. Fraksi Partai Golkar dan Gerindra menginginkan peralihan pengawasan itu dimulai 31 Desember 2014. Makanya, mereka menyampaikan nota keberatan atawa minderheid nota. Namun, keberatan ini tidak menghalangi pengesahan RUU OJK menjadi UU.
BI yang sejak awal sebetulnya menolak OJK tentu saja setengah hati menyerahkan kewenangannya mengawasi perbankan ke lembaga yang powerful tapi di bawah kendali pemerintah. Sekalipun pembentukan OJK merupakan perintah UU BI yang terbit 1999 lalu.
Namun, Kebon Sirih, sebutan BI karena bermarkas di daerah Kebon Sirih, memang harus menerima kenyataan pahit, kewenangannya mengawasi bank harus dipreteli. RUU OJK sudah menjadi UU, mau tidak mau, suka tidak suka, BI memang harus mematuhi semua isinya tanpa terkecuali, walau mereka harus kehilangan kekuasaannya yang diemban sejak 1953 silam.
Meski dengan berat hati, BI harus menyerahkan kewenangannya, kemudian mendukung penuh OJK dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Sehingga, pengawasan perbankan di Indonesia berjalan dengan baik. Istilah kata, jangan ada lagi dendam di antara kita. Ketidakharmonisan pemerintah dan BI dalam pembahasan RUU OJK cukup sampai di sini saja. Jangan berlanjut lagi saat OJK telah beroperasi.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 28 Oktober 2011)

HUTAN SAWIT

Baru satu bulan berlaku, Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor 62 Tahun 2011 yang terbit akhir Agustus lalu dicabut. Tapi, bukan berarti Kementerian Kehutanan (Kemhut) batal membolehkan tanaman budidaya kebun berkayu termasuk kelapa sawit tumbuh di kawasan hutan produksi tidak produktif alias yang sudah gundul.
Lembaga yang dikomandani Zulkifli Hasan ini tetap mengizinkan penanaman sawit di kawasan hutan produksi yang rusak.
Soalnya, pencabutan beleid tersebut sejatinya lebih pada untuk merevisi aturan main soal perizinan usaha di kawasan hutan yang dikeluarkan oleh kepala daerah. Sebab, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya tegas menyatakan, semua izin usaha di kawasan hutan yang diterbitkan oleh kepala daerah merupakan pelanggaran.
Padahal, Permenhut No. 62/2011 mempersilakan izin usaha perkebunan di kawasan hutan yang dirilis kepala daerah dapat dialihkan menjadi izin usaha tanaman hutan berbagai jenis. Tentu saja, ini berseberangan dengan hasil audit BPK. Makanya, Permenhut itu dicabut.
Kemudian, untuk tetap melegalkan sawit tumbuh di kawasan hutan produksi, Kemhut bakal menghidupkan lagi aturan tentang hutan tanaman campuran. Peraturan tersebut memang membolehkan sawit ditanam di kawasan hutan produksi tidak produktif.
Ya, untuk menghijaukan kembali hutan-hutan yang plontos termasuk mengerem pembukaan kawasan hutan dan lahan gambut untuk perkebunan, pemerintah memang harus melakukan terobosan. Dengan mengizinkan penanaman sawit di kawasan hutan yang terdegradasi, salah satu contohnya. Maklum, luas hutan yang gundul mencapai 9 juta hektare.
Tetapi, aturan main yang kelak hanya membolehkan sawit maksimal mengambil porsi 20% dari luas hutan produksi tidak produktif sesuai izin yang dikantongi harus ditegakkan. Kemhut juga harus memastikan pemegang izin membangun sebagian besar sisa lahan dengan tanaman hutan untuk areal perlindungan dan sistem tebang pilih. Jadi, tidak hanya sekadar menanam sawit, sedang sisanya dibiarkan tetap gundul.
Nah, kalau ketentuan itu dilanggar, hukumannya harus berat, tak sebatas pencabutan izin usaha saja, tapi juga pidana penjara agar betul-betul menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Karena itu, Kemhut harus bertindak tegas. Sangat tegas malah. Berani?


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 10 Oktober 2011)

GANTI UNTUNG

Masih ingat proyek tol ruas Ulujami-Veteran yang macet gara-gara pembebasan tanah milik satu orang yang berlarut-larut. Padahal, konstruksi jalan bebas hambatan ini sudah jadi semua, kecuali di lahan yang belum berhasil dikuasai tersebut.
Ya, masalah pembebasan lahan di Indonesia menjadi momok bagi pemerintah dan pengusaha yang menggarap infrastruktur publik, seperti jalan tol, rel keretaapi, pelabuhan, dan bandara. Pembebasan lahan yang semestinya paling lama memakan waktu satu tahun bisa menjadi bertahun-tahun.
Nah, untuk memecah kebuntuan masalah itu, pemerintah mengambil sikap tegas dengan melahirkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Lewat calon beleid ini, setiap jengkal tanah yang masuk dalam peta pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur publik langsung dikuasai negara.
Meski begitu, pemerintah tetap menyiapkan seribu satu rayuan untuk meluluhkan hati para pemilik tanah yang tertuang dalam RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Contoh, penetapan besar dan bentuk ganti rugi melalui proses musyawarah. Lalu, ada ganti rugi karena kehilangan usaha dan insentif perpajakaan bagi pemilik tanah yang mau melepas asetnya.
Dan, dalam proses pembahasan mengenai proses ganti rugi, DPR tidak terlalu rewel dalam menyikapi pasal-pasal yang pemerintah sodorkan. Paling hanya masalah redaksional saja. Sebab itu, dewan optimistis RUU ini bakal kelar paling lambat akhir tahun ini.
Hanya saja, yang perlu kita cermati bersama dalam calon aturan tersebut adalah pencabutan hak atas tanah dengan dalih demi kepentingan umum. Sekalipun ada gugatan dari warga yang tidak setuju dengan nilai ganti rugi, itu tidak dapat menyetop proses pembangunan infrastruktur publik.
Ketentuan ini yang kemudian menyulut protes dari berbagai pihak. Soalnya, mereka menilai, pencabutan hak atas tanah sekalipun untuk kepentingan umum secara tidak berkeadilan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Agar tidak dianggap semena-mena, begitu UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan berlaku, pemerintah harus betul-betul memastikan semua aturan main yang termaktub dalam beleid itu berjalan. Rakyat pasti akan menyerahkan tanahnya meski dengan berat hati asal mendapat ganti untung yang sesuai. Jadi, mereka bukan malah dirugikan, melainkan diuntungkan.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 20 September 2011)

Selasa, 13 September 2011

PESONA WISATA CAVETUBING DI GOA PINDUL




Goa Pindul yang ada di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menawarkan wisata goa yang unik dan jarang ada. Sembari menghanyutkan diri bersama ban truk, kita bisa menelusuri sungai dalam perut bukit kapur sepanjang 350 meter.

Mau pelesiran ke mana liburan Lebaran nanti? Kalau kawasan wisata di Yogyakarta dan sekitarnya menjadi pilihan, Goa Pindul layak masuk dalam daftar tujuan wisata Anda.
Goa yang terletak di Kabupaten Gunungkidul ini menawarkan kesempatan bagi Anda untuk menikmati keindahan stalagmit dan stalagtit dengan cara yang berbeda: cavetubing. Ya, Anda bisa menyusuri goa ini dengan menumpang ban truk yang hanyut. Goa Pindul merupakan aliran sungai dari mata air Gedong Tujuh yang tidak pernah kering, sekalipun di musim kemarau yang kerontang.
Objek wisata yang ada di Dusun Gelaran Satu, Bejiharjo, ini baru dibuka untuk umum mulai Oktober tahun lalu. Jadi, wajar saja kalau belum banyak orang yang tahu keberadaan Goa Pindul yang berjarak 15 menit berkendara atau 10 kilometer (km) arah timur laut Wonosari, Ibukota Gunungkidul.
Untuk mencapai Goa Pindul yang masuk Kecamatan Karangmojo dari kota Yogyakarta tidaklah sulit. Anda cukup arahkan kendaraan ke Jalan Wonosari. Terus saja hingga ketemu perempatan Siyono, sekitar 1 km menjelang Kota Wonosari, kemudian belok kiri.
Lalu, ikuti jalan itu sampai perempatan Grogol dan belok kiri. Gapura bertuliskan Desa Agropolitan Bejiharjo menjadi pintu masuk Anda ke Goa Pindul. Dari situ hanya butuh 10 menit lagi berkendara.
Sayang, angkutan umum yang bisa mengantar Anda langsung ke Goa Pindul hanya ada saban hari Pahing dalam penanggalan Jawa. Itu pun berangkat dari Pasar Karangmojo, yang artinya Anda harus naik angkutan umum dari Wonosari tujuan Semin atau Ponjong yang melewati Pasar Karangmojo.
Begitu sampai lokasi, waktunya susur Goa Pindul. Tapi, Anda harus daftar dulu, ya, di Sekretariat Desa Wisata Bejiharjo (Dewa Bejo). Untuk menyusuri goa sepanjang 300 meter itu biayanya cuma Rp 30.000 per orang, plus dapat semangkuk bakso grogol dan segelas teh bunga rosela yang bisa Anda nikmati sehabis cavetubing.
Selama penyusuran Goa Pindul sekitar 45 menit, Anda wajib memakai jaket pelampung serta sepatu karet dan tentu saja ban dalam sebagai “perahu”. Semua peralatan keselamatan ini disediakan pengelola goa secara cuma-cuma alias gratis. Jadi, buat yang tidak bisa berenang tidak perlu khawatir.

Terbesar di dunia

Setelah mengenakan jaket pelampung dan sepatu karet serta mendengarkan penjelasan singkat dari pemandu, petualangan susur Goa Pindul pun dimulai. Pertama-tama, Anda mesti jalan kaki dulu sekitar lima menit menuju sungai.
Berikutnya, byur..., lalu naik ke ban dalam. Sungai yang kedalamannya antara empat meter hingga 10 meter nyaris tanpa arus. Tenang. Alhasil, tiga pemandu dalam setiap satu rombongan berisi tujuh sampai 10 orang terpaksa menuntun Anda menuju mulut Goa Pindul dengan lebar lima meter.
Di mulut gua, keindahan stalagmit Goa Pindul yang merupakan singkatan dari “pipi kejendhul” mulai tampak. Bilah-bilah batu kapur yang menjulur ke bawah di sisi kanan menyambut kedatangan Anda. Bila dipukul, masing-masing mengeluarkan bunyi yang berbeda. Makanya, masyarakat sekitar memberi nama batu gamelan.
Masih di sekitar mulut goa, di dinding bagian atas terdapat sebuah lubang cukup besar yang menghubungkan dengan sebuah bangunan besar yang tadinya untuk sarang walet, milik seorang pengusaha asal Jogja. Tapi justru kehadiran rumah gede itu membuat burung yang air liurnya berharga mahal itu pergi dari Goa Pindul.
Masuk sedikit ke dalam goa yang cahayanya mulai remang-remang terdapat stalagtit mirip lingga atau alat kelamin pria di bagian kanan. Percaya atau tidak, bagi kaum lelaki yang memegangnya bisa makin perkasa. Itu sebabnya, warga menamainya batu perkasa.
Terus masuk ke goa yang kian gelap, ada puluhan stalagmit berukuran mini di dinding bagian atas yang meneteskan air. Namanya: air mutiara. Warga setempat percaya, perempuan yang membasuh wajahnya dengan air tersebut bakal awet muda dan tambah cantik.
Di bagian tengah goa yang gelap gulita, terdapat stalagmit berukuran raksasa yang menghujam ke bawah menuju dasar sungai. Diameternya sekitar empat meter. “Ini merupakan stalagmit terbesar keempat di dunia dan masih aktif,” klaim Subagyo, Ketua Kelompok Sadar Wisata Dewa Bejo.
Sokoguru atau cagak gunung, begitu masyarakat setempat menyebutnya, hanya menyisakan celah yang bisa dilalui satu orang saja. Sehingga, untuk meneruskan perjalanan, Anda harus melewati celah itu satu per satu bergantian.
Itulah sebagian keunikan di antara keindahan stalagmit dan stalagtit Goa Pindul. “Sangat mengagumkan, enggak nyesel pokoknya,” kata Ismail, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, asal Libia yang baru pertama kali susur goa.
Tapi, perjalanan belum berakhir. Setelah melewati ruangan yang menjadi sarang ratusan kelelawar hitam, Anda akan memasuki kawasan terang lantaran ada lubang besar menganga di langit-langit goa.
Di bibir lubang tumbuh aneka tanaman dengan akar yang menjuntai ke bawah. “Dulunya lubangnya tidak sebesar ini. Gempa beberapa tahun lalu membuat langit-langit goa runtuh,” ungkap Subagyo. Pemandu akan membiarkan Anda bermain-main air di sini karena susur goa akan berakhir.

Ada goa kering

Di mulut goa yang menjadi jalan keluar masih ada keunikan Goa Pindul lainnya, yakni stalagmit yang kalau dipukul mengeluarkan suara mirip bunyi gong. Karena itu, namanya batu gong. Juga batu bekas benturan pipi orang yang menjadi muasal nama Goa Pindul.
Jadi konon, orang yang pipinya kejendhul itu adalah cucu Panembahan Senopati yang masih bayi, hasil pernikahan putranya dengan putri Mangir Wonoboyo, musuh raja pertama Mataram itu. “Sewaktu dimandikan di situ, pipinya kejendhul,” beber Tukijo, Ketua Pemandu Goa Pindul sekaligus sesepuh Dusun Gelaran Satu.
Belum puas menyusuri Goa Pindul, setelah menghabiskan semangkuk bakso grogol dan segelas teh rosela hangat, Anda bisa melanjutkan petualangan ke Goa Glatik. Tarifnya sama: Rp 30.000 per orang.
Tapi, beda dengan Goa Pindul, Goa Glatik, yang menurut cerita masyarakat menjadi tempat bertapa Patih Batik Madrim dan Prabu Angling Dharma, adalah goa kering. Jadi, Anda mesti memakai baju khusus caving, helm, dan sepatu karet.
Hanya saja, perlu tenaga ekstra untuk menyusuri goa yang berisi aneka satwa khas goa, seperti jangkrik, laba-laba, dan kelelawar berwarna cokelat. Sebab, Anda harus melewati lorong sempit sepanjang 10 meter dengan merangkak.
Keindahan stalagmit dan stalagtit di Goa Glatik tak kalah dengan Goa Pindul. Di sini juga ada sokoguru, meski ukurannya lebih kecil. Juga terdapat batu kristal yang berwarna putih menyala di tengah kegelapan goa yang gulita.
Tahun depan, ada satu goa basah lagi dengan panjang 800 meter yang bisa Anda susuri. Namanya, Goa Banyumoto. Selain stalagmit dan stalagtit, goa yang satu aliran sungai dengan Goa Pindul ini menawarkan keindahan akar-akar pohon yang menembus langit-langit goa. “Kami akan buka tahun depan,” janji Subagyo.

(S.S. Kurniawan, Mingguan KONTAN, Minggu Keempat Agustus 2010)

BAK OASE IJO ROYO-ROYO



Bejiharjo beda dengan desa-desa lain yang ada di Gunungkidul. Kampung ini punya kelebihan: air yang melimpah ruah. Di dalam perut Bejiharjo terdapat beberapa aliran sungai bawah tanah. Pertanian di desa ini pun berkembang maju.

Gunungkidul. Begitu mendengar nama ini, yang ada di benak sebagian besar orang adalah daerah yang gersang, kering, dan tandus. Saat musim kemarau seperti saat ini, nyaris tak ada tanaman yang tumbuh di tegalan alias ladang milik warga kabupaten yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Tapi tidak di Bejiharjo. Sebagian tegalan di satu-satunya desa yang bergelar desa agropolitan dari 144 desa yang ada di Kabupaten Gunungkidul ini masih ijo royo-royo. Desa yang mencakup 20 dusun ini bahkan memiliki lahan persawahan padi yang bisa tumbuh sepanjang tahun.
Ya, Bejiharjo yang hanya berjarak 15 menit berkendara ke arah Utara Wonosari (7 kilometer), Ibukota Gunungkidul, punya kelebihan ketimbang desa lain di kabupaten seluas 1.485 km persegi (km²): memiliki sumber air yang melimpah ruah dan tidak habis di musim kemarau sekalipun.
Untuk mencapai desa yang masuk Kecamatan Karangmojo ini dari kota Yogyakarta tidaklah sulit. Anda cukup arahkan kendaraan ke Jalan Wonosari. Terus saja hingga ketemu perempatan Siyono, sekitar 1 km menjelang Kota Wonosari, kemudian belok kiri. Gapura bertuliskan Desa Agropolitan Bejiharjo yang berada di kiri jalan menjadi pintu masuk Anda ke desa berpenduduk sekitar 16.000 jiwa tersebut.
Yanto, Kepala Desa Bejiharjo, bilang, desanya mendapat gelar desa agropolitan dari pemerintah kabupaten. Selain memiliki sumber air yang banyak, wilayahnya juga luas, 22 km². “Daerah kami paling padat penduduknya,” katanya.
Pasokan air yang melimpah tersebut berasal dari sumber mata air bawah tanah yang muncul ke permukaan. Warga sekitar menyebutnya Tujuh Gedong yang kemudian mengalir melalui dua goa, yakni Pindul dan Banyumoto. Sebagian air ini lalu mengalir ke sawah dan tegalan milik penduduk. Menurut Yanto, suplai air dari Tujuh Gedong mengairi sekitar 70 hektare sawah yang ada di Dusun Gelaran Satu.
Sedangkan air untuk mengairi 30 hektare lahan persawahan lainnya di Dusun Banyubening berasal dari sungai bawah tanah yang disedot ke atas dengan menggunakan mesin air. Sungai bawah tanah ini berada di kedalaman 100-an meter dari permukaan tanah.
Tukijo, salah satu petani di Bejiharjo, mengatakan, ada sekitar 200 kepala keluarga yang menanam padi. Rata-rata mereka memiliki lahan sawah sekitar 0,5 hektare. “Setahun kami bisa panen tiga kali,” ujar sesepuh Dusun Gelaran Satu ini. Bulan lalu, para petani padi baru saja menanami kembali sawahnya, masuk musim tanam kedua pada tahun ini.
Tak cuma di Banyubening, Bejiharjo juga punya dua sumber air lagi hasil pengeboran, yakni di Dusun Grogol Dua dan Seropan. Sumur bor di Grogol, daerah yang terkenal dengan baksonya, ini sanggup memenuhi kebutuhan air bersih untuk warga di lima dusun sekitar dan mengairi sebagian tegalan saat musim kemarau tiba.
Adapun sumur bor di Seropan bisa memenuhi keperluan air bersih untuk warga di satu dusun tetangga dan mengairi sebagian tegalan. “Kami sedang mengarahkan warga agar menanam juga sayur-mayur di tegalan mereka, seperti cabai dan sawi,” ujar Yanto.

Pendapatan warga naik

Yanto bilang, desanya berencana mengebor satu titik lagi di Dusun Ngringin yang airnya cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga di dua dusun dan mengairi sebagian tegalan. Seluruh dana penge-boran yang membutuhkan biaya ratusan juta rupiah ini berasal dari pemerintah kabupaten. “Ongkosnya mahal karena juga butuh penelitian untuk menemukan aliran sungai bawah tanah,” ungkapnya.
Dengan air yang berlimpah dan status sebagai desa agropolitan, pola bercocok tanam warga Bejiharjo yang awalnya terkesan asal-asalan mulai tertata. Penduduk mulai memilih bibit-bibit unggul dan membudidayakan tanaman pangan, seperti kacang tanah dan jagung. Bahkan, mereka juga mulai memperhitungkan manfaat ekonominya. Jika memang lebih menguntungkan menanam jagung, warga akan menanam jagung. Begitu juga dengan kacang atau padi tadah hujan.
Yanto mengungkapkan, tidak mudah mengubah kebiasaan warganya yang bercocok tanam berdasarkan tradisi turun-temurun. “Butuh waktu tiga tahun untuk mengubah kebiasaan mereka,” tuturnya. Untuk mendukung pola tanam yang lebih menguntungkan bagi petani Bejiharjo, pemerintah kabupaten juga memberikan pelatihan dan bibit unggul. “Pendapatan warga naik dua kali lipat,” beber Yanto.
Dan ternyata, penghasilan dari bercocok tanam yang lebih baik ini menyebabkan sebagian kaum muda Bejiharjo, yang sebelumnya langsung merantau begitu lulus sekolah menengah atas, mau bertahan di desanya. “Mereka mau menjadi petani dengan menanam sayur-mayur,” kata Yanto.
Dia atas lahan-lahan yang tidak memiliki nilai ekonomis, warga Bejiharjo menanaminya dengan pohon jati. Total luas lahan jati yang berstatus hutan rakyat mencapai 250 hektare.
Tahun depan, Yanto menambahkan, desanya akan melakukan pemetaan tanaman padi beras merah dan jagung. Yang sedang jalan sekarang adalah program pertanian terpadu. Jadi, petani tidak hanya menanam saja tapi juga membuat produk jadi dalam kemasan yang menarik. “Masih tahap sosialisasi,” ujarnya.
Program ini bekerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta dengan tajuk Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) mulai 2011 sampai 2013. Fokus komoditas dan inovasi teknologinya, antara lain, usaha tani padi yang mencakup perbaikan teknik budidaya tanaman. Misalnya, penggunaan varietas unggul baru, sistem tanam jajar legowo, pemupukan organik dan anorganik spesifik lokasi, usaha penangkaran benih padi serta pertanian organik.
Lalu, pengelolaan usaha ternak sapi potong yang meliputi teknologi pakan konsentrat berbahan baku lokal, optimalisasi pengelolaan limbah kandang untuk pupuk, dan pengembangan pembibitan.
SIPT juga termasuk penguatan kelembagaan menuju sistem dan usaha agribisnis berkelanjutan. Caranya, dengan pendampingan kelompok tani dalam teknis dan manajemen SIPT, pelatihan SIPT, dan pengolahan hasil pertanian. Contoh, teknologi pengolahan hasil serta pengemasan produk standarisasi produk olahan.
Integrasi padi dan ternak? Ya, Bejiharjo merupakan penghasil indukan sapi putih atawa brahman terbaik di Yogyakarta. Populasi sapi di desa ini juga yang paling banyak di provinsi ini (lihat boks: Penghasil Brahman Top). “Satu indukan bisa melahirkan anak sapi hingga sembilan kali,” kata Karnoto, Ketua Kelompok Kerja Peternakan Tri Manunggal.

Budidaya lele

Air yang berlimpah tidak hanya warga Bejiharjo manfaatkan untuk bercocok tanam saja, tetapi juga buat budidaya ikan. Subagyo, Ketua Kelompok Kerja Perikanan Mina Lestari, menuturkan, saat ini, ada sekitar 40 warga yang membudidayakan lele jenis sangkuriang-piton, hasil kawin silang lele sangkuriang dan piton.
Masing-masing warga punya kolam seluas 600 meter persegi (m²). Setiap bulan, total mereka menghasilkan sekitar 200.000 benih lele ukuran 3 cm–4 cm dan 5 cm–6 cm. Harga jualnya, untuk benih lele ukuran 3 cm–4 cm Rp 45 per ekor. Sementara, benih lele ukuran 5 cm–6 cm Rp 90 seekor. “Pembelinya dari Yogyakarta dan luar Yogya seperti Klaten,” beber Subagyo.
Selain benih, warga juga menjual lele sangkuriang yang sudah besar. Rata-rata tiap dua bulan seorang pembudidaya bisa memproduksi 2.000–3.000 ekor setara dengan 160 kg–240 kg. “Harga jualnya Rp 10.000 per kilogram,” kata Wasio, salah satu pembudidaya lele.
Sebuah kisah indah di tengah kesumpekan berita korupsi.

(S.S. Kurniawan, Mingguan KONTAN Minggu Kedua Agustus 2011
)

JANGAN JADI MACAN KERTAS

Untuk pertama kalinya, pemerintah mematok target penerimaan pajak di angka Rp 900 triliun. Persisnya, target pemasukan pajak di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 adalah sebanyak Rp 904,4 triliun atau naik Rp 140,8 triliun ketimbang target dalam APBN Perubahan 2011 yang cuma sebesar Rp 763,6 triliun.
Itu berarti, pajak menyumbang 69,9% dari target penerimaan dalam negeri tahun depan yang mencapai Rp 1.292 triliun. Dan, tanggung jawab mengumpulkan pajak sebanyak itu menjadi beban yang harus Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pikul seorang diri. Tentu saja, ini bukan tugas yang ringan.
Tapi, Ditjen Pajak sudah menyiapkan banyak jurus untuk mengejar target penerimaan yang jumbo itu. Salah satunya, program canvassing atau penyisiran potensi pajak berbasis wilayah yang ditujukan kepada pelaku bisnis di kawasan bisnis dan pemukiman potensial. Caranya adalah dengan menggelar sensus pajak mulai minggu ketiga bulan ini.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany bilang, sensus pajak intinya adalah face to face. Jadi, Ditjen Pajak akan mendatangi wajib pajak satu per satu, dari pintu ke pintu. Soalnya, selama ini, iklan, baliho, dan poster yang mereka bikin masih kurang efektif untuk membuat orang berbondong-bondong bayar pajak. Target sensus pajak adalah menjaring enam juta wajib pajak baru hingga 2012 nanti.
Demi menjunjung tinggi prinsip keadilan, kita memang pantas mendukung gebrakan Ditjen Pajak itu. Apalagi, masih banyak orang kita yang berpenghasilan gede belum membayar pajak. Sebab, tentu saja tidak adil. Sebut saja Budi, buruh pabrik tekstil, dengan gaji sebesar Rp 1,5 juta per bulan atau Rp 18 juta per tahun kena pajak penghasilan (PPh). Sementara, Joko, pemilik toko ponsel yang mengantongi laba hingga Rp 10 juta tiap bulan atau Rp 120 juta per tahun tidak bayar pajak.
Namun, jangan sampai sensus pajak yang kelak bisa menangkap wajib pajak baru malah melahirkan Gayus Tambunan-Gayus Tambunan baru. Wajib pajak dan petugas pajak main mata serta kongkalikong. Misalnya, wajib pajak menyuap petugas pajak agar mereka tidak perlu menyetor pajak sesuai dengan kewajibannya. Jadi, sensus pajak akan sia-sia karena penerimaan pajak tidak maksimal.
Begitu juga jurus lain Ditjen Pajak untuk mencapai target penerimaan pajak tahun depan, seperti intensifikasi penagihan piutang pajak. Tak boleh ada main mata antara wajib pajak dan petugas pajak. Pasalnya, jumlah piutang pajak hingga 8 September 2011 lalu mencapai Rp 72 triliun. Tentu ini angka yang sangat besar, dan kalau bisa ditagih semua cukup lumayan untuk menutup sebagian target penerimaan pajak tahun depan.
Karena itu, Ditjen Pajak tahun depan harus bertindak lebih keras lagi kepada para pengemplang pajak. Sebab, dari tahun ke tahun, jumlah tunggakan pajak selalu meningkat. Tahun 2009 lalu tercatat hanya sebesar Rp 50 triliun,tapi di 2010 naik menjadi Rp 54 triliun.
Strategi yang Ditjen Pajak siapkan untuk menagih utang pajak cukup bagus. Contoh, mengoptimalkan langkah-langkah penagihan pajak berupa pemberitahuan surat paksa, penyitaan aset wajib pajak, pencegahan wajib pajak ke luar negeri, dan penyanderaan wajib pajak atawa gizleing. Kemudian, menetapkan prioritas tindakan penagihan terhadap para penunggak pajak jumbo.
Hanya saja, semua langkah itu hanya akan menjadi macan kertas kalau ternyata praktik penagihan di lapangan tidak segarang strategi yang Ditjen Pajak gembor-gemborkan. Jangan sampai tumbuh Gayus-Gayus lain.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Kedua September 2011)

DELAY

Buntut dari penerbangan yang makin banyak molor jadwal keberangkatannya alias delay, Menteri Perhubungan Freddy Numberi akhirnya merilis aturan yang mewajibkan semua maskapai memberi kompensasi bagi penumpang kalau pesawatnya terlambat terbang. Dengan begitu, maskapai harus memiliki asuransi pesawat delay kalau tidak mau rugi.
Soalnya, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang terbit 8 Agustus lalu menyebutkan, penumpang bakal mendapat ganti rugi senilai Rp 300.000 untuk keterlambatan pesawat lebih dari empat jam.
Hanya saja, semestinya premi asuransi tersebut menjadi tanggungan perusahaan penerbangan, bukan penumpang. Sebab, pesawat delay kebanyakan bukan karena faktor force majeur, melainkan kesalahan dari maskapai. Contoh, beberapa kali saya naik pesawat yang molor jadwal keberangkatannya, sang pilot yang kemudian meminta maaf mengungkapkan, delay akibat keterlambatan jadwal terbang pesawat sebelumnya. Yang sial tentu saja penumpang penerbangan terakhir yang delay-nya makin lama.
Delay juga sering akibat pesawat rusak. Tentu saja, semua penyebab keterlambatan tersebut akibat kesalahan perusahaan penerbangan. Jadi, sekali lagi, kalau maskapai ingin mengasuransikan pesawat delay, seharusnya premi menjadi tanggung jawab mereka, bukan malah dilimpahkan ke penumpang.
Sebab, belum lama ini saya membeli tiket pesawat maskapai lokal tujuan Yogyakarta melalui internet, di akhir proses pembelian ada tawaran membeli asuransi perjalanan. Ternyata, asuransi ini juga meng-cover keterlambatan penerbangan. Nilai pertanggungannya Rp 450.000 per lima jam keterlambatan sampai Rp 3,15 juta. Itu berarti, premi menjadi beban penumpang.
Tapi tentu saja, kalau memang maskapai ingin mengasuransikan keterlambatan penerbangan, biaya preminya jangan masuk komponen tarif tiket pesawat. Kalau itu yang terjadi, sama saja bohong. Apa bedanya dengan penumpang harus membeli lagi asuransi perjalanan yang juga mencakup manfaat keterlambatan penerbangan.
Nah, Kementerian Perhubungan selaku regulator harus mengawasi betul aturan main yang mereka buat tentang kewajiban semua maskapai memberi kompensasi bagi penumpang kalau pesawatnya terlambat terbang. Harus ada sanksi yang tegas bagi maskapai yang membebankan premi ke penumpang.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 28 Agustus 2011)

Jumat, 05 Agustus 2011

HARUS LEBIH BERANI

Kayaknya, tak mau mendapat protes di sana-sini, termasuk hujatan dan sumpah serapah dari rakyatnya, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memilih nombok puluhan triliun, persisnya Rp 33,7 triliun untuk menutup pembengkakkan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Tentu saja, jumlah itu bukan angka yang kecil. Tambahan anggaran subsidi BBM setara dengan tiga kali lipat dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun ini. Atau, sama dengan membangun 482 kilometer jalan baru termasuk biaya pembebasan lahannya atawa sekitar 6.750 gedung sekolah baru.
Pemerintahan SBY ogah mengambil opsi mengerek harga BBM bersubsidi, sekalipun syarat untuk menempuh kebijakan itu berdasarkan Undang-Undang APBN 2011 sudah terpenuhi. Yakni, harga minyak mentah Indonesia (ICP) rata-rata sudah 10% di atas asumsi ICP yang sebesar US$ 80 per barel.
Memang beban rakyat tidak bertambah dengan keputusan pemerintah tidak menaikkan harga BBM bersubsidi. Tapi, yang lebih banyak menikmati kebijakan ini adalah pemilik mobil pribadi, yang notabenenya masyarakat kelas menengah atas. Soalnya, sekitar 53% kuota BBM bersubsisi yang tahun ini bakal mencapai 40,5 juta kiloliter kesedot oleh mobil pribadi.
Jadi, adalah sangat-sangat bijak kalau memang tidak ingin mengerek harga BBM subsidi, Pemerintahan SBY melarang mobil pribadi menenggak BBM bersubsidi, kebijakan yang semestinya sudah bergulir sejak September tahun lalu. Tentu saja, keputusan ini cukup memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Makanya, merupakan langkah yang tepat ketika Pemerintahan SBY menghiupkan lagi program penghematan energi. Yang salah satu caranya memangkas bujet transportasi kementerian dan lembaga plus badan usaha milik negara (BUMN). Termasuk membatasi penggunaan mobil dinas.
Bahkan, Pemerintahan SBY juga meminta pegawai negeri sipil (PNS) dan karyawan BUMN termasuk keluarganya untuk tidak memakai BBM bersubsidi. Harapannya, program ini bisa menjadi contoh untuk yang lain mengikuti jejak.
Sayang, program penghematan itu hanya imbauan. Semestinya, Pemerintahan SBY lebih berani lagi, tidak sebatas imbauan. Kalau ada yang melanggar, tentu ada sanksi. Dengan begitu, kalau kebijakan ini jalan bisa berlanjut ke policy yang lebih luas lagi: melarang mobil pribadi memakai BBM bersubsidi.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 8 Agustus 2011)

PAJAK UKM

September 2011 nanti, pemerintah bakal menggelar sensus pajak guna mendata semua wajib pajak potensial. Terutama yang selama ini belum menyetorkan pajak. Pemerintah melihat masih banyak wajib pajak yang belum membayar pajak, meski mengantongi penghasilan gede.
Itu terlihat dari jumlah wajib pajak yang menyerahkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Sejauh ini, pemerintah mencatat, baru sekitar 9 juta wajib pajak yang menyetorkan SPT pajak, walau meningkat 1,3 juta wajib pajak dibandingkan dengan tahun lalu.
Angka tersebut tentu saja jauh di bawah jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta orang lebih. Ditambah jumlah perusahaan yang punya tempat usaha terdaftar, jumlah pengusaha, ataupun orang yang bekerja. Jadi, potensi jumlah SPT masih bisa dikerek lagi.
Makanya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan melakukan penyisiran wajib pajak. Mulai di daerah industri, pemukiman, pusat perbelanjaan, perkantoran, apartemen, hingga sentra ekonomi.
Untuk tahap pertama, Ditjen Pajak akan lebih banyak mengincar wajib pajak badan termasuk pengusaha kecil dan menengah. Usaha kecil dan menengah (UKM) memang menyimpan potensi pajak yang besar. Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, jumlah UKM sudah menembus 54 juta unit.
Ditjen Pajak mengendus banyak pengusaha UKM yang tidak membayar pajak, kendati beromzet ratusan juta per tahun. Selama ini kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 61%. Cuma, pajak dari UKM hanya menyumbang 5% total penerimaan pajak.
Demi keadilan, pemerintah memang harus memburu pajak dari UKM. Soalnya, buruh yang berpenghasilan di atas Rp 15,8 juta saja kena potongan pajak. Tentu tidak adil kalau pemerintah membiarkan UKM yang mengantongi laba puluhan juta tidak membayar pajak.
Tapi, jangan sampai niat baik pemerintah ini justru menjadi penghambat bagi perkembangan UKM. Pemerintah harus taat pada aturan main yang mereka buat sendiri. Misalnya, membebaskan pajak atas UKM yang baru berdiri atau tahap investasi. Istilahnya, masih dalam proses tumbuh kembang.
Dan, sebuah langkah yang bagus, pemerintah berencana memberi kemudahan dalam pembayaran dan perhitungan pajak bagi UKM. Yakni, perhitungan pajak UKM hanya berdasarkan omzet saja dan tarif pajaknya lebih rendah. Ini jelas sangat membantu pelaku UKM.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 15 Juli 2011)

TKI

Akhirnya, setelah mendapat tekanan dari sana-sini, termasuk kritikan yang membandingkan sapi Australia dengan tenaga kerja Indonesia (TKI), pemerintah menyetop sementara alias moratorium pengiriman pahlawan devisa kita ke Arab Saudi. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Agustus 2011.
Arab Saudi menjadi negara keempat setelah Malaysia, Yaman, dan Kuwait yang pemerintah tutup untuk sementara keran buat mengalirkan TKI nonformal. Pemerintah baru akan kembali membuka keran itu kalau Arab Saudi menandatangani nota kesepahaman atawa MoU tentang perlindungan TKI.
Negeri Petro Dollar itu merupakan negara kedua terbesar setelah Negeri Jiran yang mempekerjakan TKI. Di Arab Saudi, ada sekitar 1,5 juta TKI yang bekerja. Sedang di Malaysia, lebih dari 2 juta pekerja Indonesia yang mengadu nasib, belum termasuk TKI ilegal.
Moratorium selama ini menjadi senjata pamungkas yang ampuh untuk menekan negara-negara yang menjadi tujuan TKI. Sehingga, mereka mau memberikan perlindungan yang lebih serius kepada para TKI kita. Selain tentunya memberikan upah kerja yang layak.
Tapi, yang perlu menjadi catatan penting kita, moratorium bukanlah solusi jangka panjang atau bahkan jaminan untuk melindungi TKI, khususnya yang bekerja sebagai pembantu rumahtangga. Kalau benar-benar ingin tidak ada lagi kekerasan terhadap TKI, tentu ke depannya Indonesia tak perlu lagi mengirim tenaga kerja ke luar negeri.
Cuma masalahnya, jutaan warga kita bakal menjadi pengangguran. Di Indonesia tidak ada pekerjaan bagi mereka yang berpendidikan pas-pasan bisa menghasilkan gaji yang besar seperti menjadi TKI. Tak heran, banyak warga kita yang memilih mengadu nasib ke negeri orang demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik lagi.
Kisah sukses menjadi TKI yang mereka dengar dari saudara, tetangga satu kampung, atau media massa juga menjadi pendorong orang kita berbondong-bondong ingin bekerja di luar negeri. Ini fakta yang tidak boleh kita lupakan, di samping kisah pahit yang menimpa TKI.
Ya, selagi negara kita belum bisa memberikan pekerjaan dengan gaji yang layak, memang tak ada alasan untuk mencegah mereka pergi. Hanya saja, pemerintah tidak boleh asal dalam mengirim TKI. Pemerintah harus betul-betul selektif. Mulai dari TKI, perusahaan jasa pengerah, negara tujuan penempatan, hingga majikan. Sehingga, kisah pilu TKI tidak terus berulang.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 24 Juni 2011)

Jumat, 10 Juni 2011

LI NA

Li Na mengukir sejarah baru. Petenis putri asal China ini menjadi orang Asia pertama yang menjadi jawara grand slam, kejuaraan tenis paling bergengsi di dunia yang biasanya menjadi dominasi petenis asal Amerika Serikat atau negara-negara Eropa.
Perempuan 29 tahun ini baru saja menjuarai Prancis Terbuka atau populer juga dengan sebutan Roland Garros. Sebelumnya, Li Na juga mengejutkan publik dunia khususnya Asia setelah berhasil masuk final Australia Terbuka, grand slam lainnya. Dua lagi: Amerika Serikat Terbuka dan Wimbledon, Inggris.
Li Na bukanlah orang China pertama yang mengangkat nama Negeri Tembok Raksasa di dunia olahraga, khususnya di cabang olahraga populer di jagad ini. Ada Yao Ming yang bermain di NBA, kompetisi bola basket paling populer di Negeri Paman Sam dan muka bumi.
Prestasi hebat China lainnya, juara umum Olimpiade Beijing 2008. Ini merupakan kali pertama China sekaligus negara Asia yang menjadi kampiun dalam pesta olahraga paling akbar sejagad tersebut.
China tak cuma luar biasa di dunia olahraga. Di sektor ekonomi, negara dengan jumlah penduduk terbesar di planet Bumi ini sudah menjelma menjadi macan dunia. Begitu juga di bidang teknologi, China berhasil membuat kapal terbang bermesin jet dan pesawat luar angkasa.
Tapi, China tidak hanya berhasil membuat burung besi. Mereka juga cukup sukses memasarkannya. Contoh, Merpati membeli 15 pesawat berbaling-baling MA-60. Pasalnya, industri strategis yang bisa mengangkat nama China dapat dukungan penuh dari pemerintah.
Merpati yang tidak punya uang, misalnya, tidak perlu membeli tunai 15 pesawat propeler yang kini menuai kontroversi itu. Sebab, mereka mendapat pinjaman lunak dari bank pelat merah China. Jadi, nggak heran kalau Merpati tidak lagi melirik pesawat baling-baling buatan PT Dirgantara Indonesia (DI).
Seharusnya, semua industri strategis Indonesia juga mendapat dukungan penuh dari pemerintah, termasuk modal kerja. Perbankan lokal khususnya milik pemerintah juga ikut mendukung dengan memberi pinjaman lunak. Sehingga, PTDI, PT PAL, dan industri strategis lainnya bisa memenuhi permintaan terutama dari luar negeri yang bisa mengerek citra negara kita.
Dulu, pemerintah pernah berencana membiayai pembelian mesin perang TNI dari industri dalam negeri lewat pinjaman bank lokal. Tapi, rencana ini mandek karena payung hukumnya tidak jadi-jadi.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 7 Juni 2011)

Rabu, 18 Mei 2011

SAWAH

Kalau tidak ada gangguan hama dan cuaca, di tahun-tahun mendatang, luas sawah di Indonesia yang bakal panen bertambah 570.000 hektare. Itu berarti, produksi gabah kering giling kering nasional naik 3,75 juta ton atau setara dengan 2 juta ton beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun lalu, luas sawah yang panen di negara kita mencapai 13,24 juta hektare dan menghasilkan 66,41 juta ton gabah kering giling. Rata-rata setiap hektare memproduksi 50.14 ton gabah kering giling.
Tambahan produksi itu berasal dari Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K) yang digalang sejumlah badan usaha milik negara (BUMN). PT Pertani, PT Sang Hyang Seri, PT Pupuk Sriwidjaja, serta Perum Jasa Tirta I dan II masing-masing menyediakan bibit, pupuk, dan pengairan. Lalu, Perum Perhutani, PT Inhutani, dan PT Perkebunan Nusantara menyiapkan lahan, sedang Perum Bulog untuk pengelolaan hasil produksi.
Ya, pemerintah memang tidak bisa terus-terusan berharap pada petani untuk mendongkrak produksi padi. Apalagi, jumlah areal persawahan terus menyusut dari tahun ke tahun akibat alih fungsi lahan menjadi perumahan, misalnya.
Memang, data BPS menunjukkan, produksi gabah terus menanjak. Contoh, tahun 2007, produksi gabah hanya 57,15 juta ton. Di 2008 dan 2009, angkanya naik masing-masing jadi 60,32 juta ton dan 64,39 juta ton. Tapi, kenaikan produksi itu masih belum cukup memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia yang juga terus bertambah tiap tahun menjadi 237,56 juta jiwa pada 2010.
Alhasil, Bulog terpaksa mendatangkan beras dari negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand, sebanyak 1,9 juta ton sejak tahun lalu. Sebanyak 1,3 juta ton di antaranya masuk ke Indonesia sepanjang Januari hingga Maret 2011.
Perusahaan pelat merah yang akhirnya mau turun tangan membantu pemerintah untuk mendongkrak produksi padi patut diacungi jempol. Apalagi, kalau gerakan tersebut betul-betul menjadi kenyataan, tak hanya di atas kertas.
Tapi yang perlu dicermati, bisa jadi BUMN mau ikut ambil bagian dalam GP3K, karena mendapat jaminan gabah atau beras mereka bakal ditebus minimal sesuai harga pembelian pemerintah (HPP). Kan yang membeli Bulog langsung.
Nah, mungkin petani akan kembali semangat menanam padi kalau mereka dapat jaminan yang sama. Soalnya, gabah atau beras mereka sering dihargai jauh di bawah HPP, terutama saat panen tiba.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 16 Mei 2011)

MISI PENTING SANG MERPATI

Kabut duka kembali menyelimuti dunia penerbangan Indonesia. Sabtu (7/5) dua pekan lalu, pesawat Merpati Nusantara Airlines jenis MN-60 jatuh dan hancur berkeping-keping di perairan Kaimana, Papua. Seluruh penumpang dan awak kabin yang berjumlah 25 orang tewas. Kecelakaan tragis yang terjadi hanya 500 meter dari Bandara Utarom itu menambah panjang daftar kecelakaan pesawat di Indonesia.
Nasib yang sama tragis juga menimpa perusahaan penerbangan pelat merah ini. Sejak tahun 1970-an hingga kini, saban tahun, Merpati nyaris selalu merugi. Sampai-sampai utang maskapai itu menggunung sampai Rp 1,3 triliun di awal 2000-an, jauh di atas aset mereka yang cuma Rp 800 miliar. Memang, awal tahun 1990-an, Merpati boleh dibilang mencecap masa jaya. Saat itu, Merpati punya 86 pesawat yang juga menerbangi rute internasional. Toh, semua itu tetap tak mampu menyelamatkan perusahaan itu. Hampir tiap tahun terus saja mencetak kerugian.
Kejatuhan Merpati hingga ke tubir kebangkrutan tak lepas dari keputusan berani manajemen lama mengerek status maskapai dengan modal awal Rp 10 juta, dari penerbangan perintis menjadi penerbangan nasional bahkan internasional. Akibatnya, Merpati membeli dan menyewa beragam jenis pesawat termasuk yang menggendong mesin jet yang boros bahan bakar. Perusahaan yang sempat bergabung dengan Garuda Indonesia di tahun 1978 ini pun menjadi tidak efisien. Ditambah, jumlah karyawan yang mencapai 2.600 orang menjadi bom waktu di kemudian hari.
Toh, pemerintah tetap mempertahankan mati-matian Merpati yang terus-terusan merugi dan nyaris bangkrut, walau ada opsi melikuidasi maupun memailitkan maskapai ini. Alasannya, Merpati mengemban misi penting sebagai penerbangan perintis. Maklum, Indonesia sangat luas dan terdiri dari pulau-pulau serta daerah-daerah terpencil.
Itu sebabnya, pemerintah yang menyuntikkan modal tambahan Rp 350 miliar untuk biaya restrukturisasi di tahun 2007, termasuk ongkos mem-PHK separuh karyawannya atau 1.300 orang, mengembalikan tugas utama Merpati sebagai penerbangan perintis yang tidak banyak dilirik maskapai lainnya. Soalnya, menerbangi rute-rute ke daerah terpencil banyak ruginya ketimbang untungnya.
Saat ini, Merpati menjadi pasien Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) yang terus mendapat asupan modal demi melakoni tugas mahapenting itu. Tak berlebihan memang, lantaran penerbangan perintis juga bisa membangkitkan ekonomi di daerah-daerah terpencil. Yang juga tak kalah penting, ikut menjaga keutuhan bangsa. Pasalnya, masyarakat di daerah terpencil menjadi tidak merasa dianaktirikan dengan kehadiran Merpati di tempat mereka.
Tapi semestinya, pemerintah juga membantu Merpati dalam pengadaaan pesawat propeler atau baling-baling yang berkualitas. Jangan asal murah supaya dapat banyak kapal terbang. Karena, rute-rute perintis mengandung resiko yang sangat besar, tak jarang harus melintasi daerah pegunungan dengan cuaca yang tak menentu seperti di Papua. Butuh biaya besar memang. Mengutip pernyataan Jusuf Kalla: menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia itu ada ongkosnya dan gede.
Cuma, pemerintah juga harus memikirkan untuk mengalihkan sebagian beban Merpati sebagai penerbangan perintis ke maskapai swasta. Saat ini, baru segelintir perusahaan swasta yang mau melayani rute perintis. Pemerintah mesti memberikan insentif bagi maskapai swasta yang mau membuka rute perintis. Misalnya, pembebasan pajak selama jangka waktu tertentu (tax holiday).


(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Ketiga Mei 2011)

Kamis, 05 Mei 2011

INVESTOR

Selalu ada hikmah di balik bencana. Bahkan lebih dari itu, juga ada keuntungan di sana. Maaf, bukan maksud ingin menari di atas penderitaan. Tapi, begitulah kenyataan yang terjadi. Contoh, usai monster tsunami meluluhlantakkan pesisir Aceh di pengujung tahun 2004 lalu, pemburu besi tua menangguk untung besar dari mengumpulkan besi-besi sisa bangunan yang hancur tak berbentuk.
Nah, boleh dibilang, Indonesia mendapat "berkah" dari bencana tsunami yang memorakporandakan pesisir timur Jepang pada pertengahan Maret 2011 lalu.
Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengatakan, semenjak terpukul gelombang laut raksasa itu, industri Negeri Matahari Terbit merosot 50%. Pasca bencana itu, industri di sana kekurangan bahan baku, terutama suplai energi.
Untuk mengantisipasi, solusinya mereka merelokasi industri ke luar Jepang. Dan, Jepang sudah memberi sinyal untuk mendirikan beberapa industri di Indonesia. Tim Bea Cukai dan Departemen Perdagangan Jepang telah datang dan menanyakan teknis membuka industri.
Jepang tertarik membangun beberapa industri, seperti makanan, elektronik, dan ban. Dan, permintaan mereka tidak neko-neko: hanya meminta kemudahan birokrasi saja. Tentu, pemerintah tidak sulit untuk mengabulkannya bukan? Apalagi, pesaing kita dalam menggaet Jepang cukup banyak. Ada Malaysia, Thailand, dan Filipina yang gencar menawarkan diri ke Jepang.
Pemerintah harus melanjutkan sinyal positif penanaman modal selama kuartal I-2011. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, nilai realisasi investasi langsung mencapai Rp 53,6 triliun atau 22,3% dari target investasi pada 2011 sebesar Rp 240 triliun.
Tentu, pemerintah tidak sebatas memberikan kemudahan birokrasi saja, tapi juga insentif lain. Misalnya, pemanis berupa penangguhan pajak penghasilan untuk jangka waktu tertentu atau tax holiday. Namun, tetap harus memenuhi kriteria yang tidak memukul industri lokal. Yakni, investor harus memenuhi syarat industri pionir, menciptakan banyak lapangan kerja, membawa teknologi baru, masuk ke daerah-daerah kecil dan terbelakang, dan memberikan nilai tambah bagi industri.
Jadi, meski menerima dengan tangan terbuka investor asing, pemerintah tetap tidak boleh membabi buta. Hanya industri yang tidak mengancam produk-produk lokal saja yang boleh masuk.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 27 April 2011)

Jumat, 08 April 2011

IMBAUAN

Pemerintah tampaknya tidak belajar dari pengalaman yang sudah-sudah. Hanya berbekal imbauan yang menyindir, pemerintah ingin pemilik mobil mewah menyetop kebiasaan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) subsidi khususnya premium.
Mulai 1 April 2011 lalu, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pertamina dipenuhi spanduk. Salah satunya spanduk yang bertuliskan: Premium adalah BBM bersubsidi yang hanya untuk golongan tidak mampu. Jika ada pemilik mobil mewah membeli premium, mereka tetap dilayani. Tetapi, petugas pom bensin akan menyindir, "Tidak salah nih Pak/Bu!"
Padahal, semua orang tahu jurus ini tidak ampuh-ampuh amat. Imbauan berupa spanduk itu sudah membentang di SPBU Pertamina sejak pemerintah berencana membatasi pemakaian BBM bersubsidi akhir tahun lalu. Hasilnya, tetap saja pemilik mobil mewah tanpa malu-malu membeli premium. Apalagi setelah harga Pertamax menembus level Rp 8.700 per liter.
Begitu juga setelah pemerintah makin gencar mengeluarkan imbauan plus sindiran. Sami mawon. Lihat saja, pemilik mobil mewah tetap cuek bebek kayak orang bodoh mengantre beli premium di SPBU di belakang angkutan kota.
Urat malu sebagian orang Indonesia memang sudah putus. Jadi, kalau sebatas sindiran apalagi cuma imbauan, sudah enggak mempan lagi. La, menerabas lampu merah yang jelas-jelas melanggar aturan saja, orang kita tidak takut, kok.
Jadi, kalau pemerintah mau anggaran subsidi tidak jebol, langkah paling bijak adalah melarang mobil pribadi jenis tertentu menenggak premium. Sebab, penolakannya tidak bakal senyaring jika mengerek harga BBM bersubsidi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa pernah mengatakan, hanya dengan membatasi premium di wilayah Jabodetabek saja, pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi BBM hingga Rp 2 triliun per tahun.
Nah, sebagian anggaran ini harus dipakai untuk membiayai pengadaan transportasi umum yang murah, nyaman, dan aman. Ambil contoh, memperbanyak armada busway. Sehingga, orang tidak perlu lagi menunggu lama di halte dan berdesak-desakan di dalam bus.
Dengan begitu, pemilik kendaraan pribadi tak punya alasan lagi untuk tidak beralih ke angkutan umum. Manfaat selanjutnya dengan migrasi tersebut, tentu saja, kemacetan yang selama ini membelenggu kawasan Ibukota bisa sedikit terurai.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 7 April 2011)

Rabu, 23 Maret 2011

KOPI KEBON JERO






Bali tidak hanya terkenal sebagai daerah tujuan wisata dunia. Pulau Dewata ini juga tersohor sebagai penghasil kopi robusta terbaik di Bali. Perkebunan itu tersebar di Tabanan dan Buleleng. Kopi robusta dari perkebunan Banjar Kebon Jero berkualitas paling top ketimbang lainnya.
KEBON Jero dalam bahasa Bali berarti kebun tikus. Tapi, banjar yang terletak di Desa Munduk Temu, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan ini bukan pembudidaya binatang pengerat itu. Daerah tersebut adalah daerah penghasil kopi robusta terbaik di Pulau Dewata dengan kualitas ekspor. "Kami berani bilang begitu karena kualitas kopi kami juara satu tingkat provinsi ," kata I Made Sana, salah seorang pekebun kopi robusta di Banjar Kebon Jero. Made mengungkapkan, pada tahun 1990-an banyak petani kopi dari luar Bali yang datang ke kebon jero untuk belajar cara menanam kopi robusta. Termasuk mahasiswa yang praktek kerja lapangan. I Ketut Sukarya, pengurus Subak Abian Kebon Jero, bahkan berani mengklaim bahwa kopi robusta dari Banjar kebon jero merupakan yang terbaik di Indonesia. Areal perkebunan kopi ini berada di perbukitan Pupuan, Tabanan. Untuk mencapai kebon jero tidak terlalu sulit. Butuh waktu sekitar dua jam perjalanan darat dari Kota Tabanan ke arah Pelabuhan Gilimanuk. Sampai di pertigaan Antosari belok kanan ke arah Singaraja. Dari situ, pemandangan sawah yang berundak-undak akan memanjakan mata Anda. Ya, Tabanan juga merupakan salah satu lumbung padi di Bali. Sampai di pertigaan Pupuan, terus saja hingga pertigaan Desa Munduk Temu. Dari sini, jalan mulai berkelok-kelok dan naik turun yang kanan kirinya kebun kopi. Banjar kebon jero ada di ujung desa. Papan bertuliskan Desa Pekraman kebon jero sebagai tanda Anda memasuki banjar yang berada di ketinggian 600 hingga 700 di atas permukaan laut itu. Menurut Ketut, semua penduduk kebon jero yang berjumlah 225 kepala keluarga (KK) berprofesi sebagai pekebun kopi robusta. "Luas kebun kopi di banjar kami sekitar 400 hektare," ujar dia. Pekebun kopi robusta kebon jero adalah perintis penanaman kopi secara modern di Bali pada tahun 1970-an. Maksudnya modern, cara menanam kopinya sudah ditata. Contoh, tinggi maksimal tanaman kopi harus 1,5 meter. Lebih dari itu harus dipotong. Lalu, pekebun melakukan klon cabang tanaman kopi robusta asli kebon jero dengan bibit unggul. "Sebelumnya, tanaman kopi dibiarkan tumbuh tanpa dilakukan penataan," ungkap Ketut. Di masa jayanya, pada era 1990-an, setiap hektare kebonkopi robusta di kebon jero bisa menghasilkan 4 ton kopi kering dengan kadar air 12%. Warga setempat menyebutnya kopi beras. Kala itu, harga kopi beras bisa mencapai Rp 2 juta per satu kuintal atau Rp 20.000 per kilogram (kg) saat musim panen (1 kuintal=100 kg). Sekarang, menurut Made, harga kopi beras menurun menjadi sekitar Rp 14.000 per kg atau Rp 1,4 juta per kuintal. Selain harga menyusut, produksi juga ikut-ikutan merosot, maksimal 2 ton per hektare. Itupun hanya kebun-kebun tertentu. "Unsur hara dalam tanah sebagai penyubur alami tanaman mulai berkurang," keluh Made yang mengelola satu hektare kebun. Saat ini, pekebun kopi robusta di kebon jero ratarata hanya menghasilkan 1,2 ton kopi beras per hektare.

***

Musim hujan yang panjang membuat tanaman kopi malas berbuah. Pekebun kopi robusta di Banjar Kebon Jero gigit jari lantaran panen tahun ini bakal merosot tajam. Tak heran, ada petani yang menanam tanaman lain di kebun mereka.
SEPANJANG pekan kedua Maret lalu, saban hari, hujan mengguyur Banjar Kebon Jero. Sejak tahun kemarin, hujan rajin menyambangi desa Pekraman di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan ini. Bahkan, saat musim kemarau sekalipun. Cuaca tidak bersahabat ini mulai menebar mimpi buruk bagi para pekebun kopi robusta di Kebon Jero. Buahbuah kopi yang mestinya sudah menggerombol di cabang-cabang tanaman kopi masih tampak jarang. Musim hujan yang terlalu panjang dan turun dengan deras sudah membuat bunga kopi membusuk lantaran tidak terjadi penyerbukan. Maklum, "Proses ini butuh sinar matahari," kata I Made Sana, salah satu pekebun kopi Kebon Jero. Buntutnya, Made mengungkapkan, produksi kopi bakal anjlok. Pembantu Pemangku kebon jero itu memperkirakan, panen kopi tahun ini bisa turun hingga 50% ketimbang tahun lalu. "Sekarang, para pekebun kopi menjerit," tegas dia. Celakanya, nasib tanaman coklat alias kakao yang menjadi sumber penghasilan tambahan sama saja. Malah lebih parah. Tanaman yang tak mengenal musim panen ini, tutur Made, sudah enam bulan terakhir tidak berbuah. Selain hujan yang turun terus menerus, Made menambahkan, panen coklat yang gagal total juga akibat serangan hama pengerek buah atawa kutu buah. Untungnya, I Nyoman Juwena, pekebun kopi lainnya, mengatakan, musim hujan yang panjang mendatangkan berkah baru. Burung punglor yang selama 15 tahun belakangan juga menjadi sumber pemasukan para pekebun makin banyak bersarang di kebun kopi. Burung yang memiliki kicauan indah ini punya harga jual tinggi. Bayi punglor laku Rp 250.000 per ekor. "Ada pekebun yang musim hujan ini dapat 25 anak punglor," ujar dia. Toh, I Ketut Sukarya, pengurus Subak Abian Kebon Jero, menuturkan, semangat sebagian pekebun mulai mengendur. Soalnya, kopi tak lagi menjanjikan. Dulu, harga satu kuintal atau 100 kilogram kopi minimal sama dengan empat kuintal beras. Kini, hanya setara dengan dua kuintal beras. "Pekebun dapat untung apa?" tanya Ketut. Apalagi, biaya pemupukan dan perawatan kebun kopi lainnya sekarang mencapai Rp 5 juta per hektare. Itu sebabnya, banyak petani yang tergoda menanam tanaman lain yang bernilai tinggi, seperti pohon mahoni dan jati, serta tanaman buah-buahan, semisal manggis dan salak. Pelbagai tanaman ini bahkan sudah merangsak ke bagian tengah kebun. Biasanya di pinggir kebun sekaligus sebagai pembatas dengan kebun milik pekebun lain. "Entah sampai kapan kopi bertahan, karena tanaman kopi butuh sinar 50%-70%," imbuh Ketut. Masalah lain: pemasaran hasil panen. Para pekebun terjerat jaring pengepul yang tentu harga jual kopi tidak terlalu tinggi-tinggi amat. Sebenarnya, Made bilang, pekebun pernah menggandeng eksportir dari Singaraja bahkan importir asal Prancis dengan harga jual yang lebih tinggi ketimbang pengepul. Ya, kopi-kopi kebon jero memiliki kualitas grade tiga dan diekspor ke sejumlah negara di benua Eropa. Tapi, kerjasama ini hanya bertahan sebentar. Pengepul yang tidak terima, kemudian bergerilya mendatangi satu per satu pekebun dengan menawarkan harga jual yang lebih tinggi. Pekebun pun luluh. Cuma, harga yang tinggi ini hanya berlaku saat itu. Setelahnya, harga kembali seperti dulu. "Pengepul berjaya lagi," kata Made.

(S.S. Kurniawan, Harian KONTAN, 21-22 Maret 2011)

Jumat, 18 Maret 2011

ARYA-ARVA



















60+

Hujan deras yang mengguyur kawasan Jakarta, Rabu (16/3) lalu, dan menciptakan genangan air hingga setinggi setengah meter di beberapa titik, kembali melumpuhkan lalu lintas di sejumlah ruas jalan ibukota. Angin kencang yang menyertainya menumbangkan puluhan pohon.
Siang menjelang sore itu, hujan hanya turun dua jam saja. Tapi, Kepala Pemberdayaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Tarjuki bilang, curah hujan itu setara dengan curah hujan untuk kurun waktu satu bulan, yakni mencapai 108 milimeter.
Ya, cuaca di muka Bumi ini memang semakin ekstrem. Dampak perubahan iklim akibat pemanasan global makin kentara. Dan, perubahan iklim merupakan salah satu ancaman kehidupan di planet kita yang paling signifikan.
Salah satu cara untuk menghambat percepatan pemanasan global adalah dengan mengajak setiap individu melakukan perubahan gaya hidup. Contoh, WWF mengajak publik untuk melakukan perubahan gaya hidup yang sederhana dan murah, yakni hemat energi.
Tahun ini, persisnya, 26 Maret 2011, pukul 20.30-21.30, WWF kembali mengajak individu, praktisi bisnis, pemerintah, dan sektor publik lainnya di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk turut serta mematikan lampu, hanya selama 1 jam saja: Earth Hour 60+.
60+ artinya, kita tidak hanya memadamkan lampu selama 60 menit, tapi juga menghemat energi setelahnya. Termasuk kegiatan ramah lingkungan lain, seperti bersepeda, menggunakan transportasi umum, dan menanam pohon. Setelah satu jam, jadikan gaya hidup!
Makanya, Gubernur DKI Fauzi Bowo berencana tidak cuma menggelar kegiatan Earth Hour setahun sekali, tetapi beberapa kali. Contoh, pada Hari Bumi yang jatuh setiap tanggal 22 April dan Hari Lingkungan Hidup tiap 5 Juni. Jadi, menghemat energi sebagai way of life, bagian pola hidup ke depan.
WWF menghitung, kalau 10% warga Jakarta berpartisipasi dalam Earth Hour, kita bisa menghemat konsumsi listrik sebesar 300 megawatt (MW). Itu berarti, setara dengan mematikan satu pembangkit listrik dan menghemat 267,3 ton CO2 atau gas rumah kaca.
Jauh sebelum gerakan Earth Hour muncul pada 2007 lalu, masyarakat Bali sudah melakukannya dengan melaksanakan Catur Brata. Dalam hitung-hitungan PLN, saban Nyepi, warga Pulau Dewata menghemat konsumsi setrum 450 MW.
Ayo, selamatkan Bumi!


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 18 Maret 2011)

Rabu, 02 Maret 2011

MENCLA-MENCLE

Naga-naganya, pemerintah akan menunda untuk kedua kalinya pelaksanaan pembatasan bahan bakar minyak alias BBM bersubsidi, yang semestinya mulai bergulir secara terbatas di wilayah Jabodetabek lebih dulu pada 1 April 2010 nanti.
Tapi, kali ini, alasan yang dipakai pemerintah tidak cuma ketidaksiapan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) saja. Harga minyak mentah dunia yang terbang bebas hingga menembus level psikologis US$ 100 per barel dan inflasi bahan pangan atau food inflation juga menjadi penyebab pemerintah kembali menunda pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi.
Padahal, semua orang tahu, usai menunda pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi untuk pertama kalinya yang seharusnya pada Oktober 2010 lalu, pemerintah tegas-tegas menjamin tidak bakal ada penundaan lagi. Artinya, kebijakan yang melarang mobil pribadi menenggak premium dan solar akan berlaku mulai April 2011 nanti.
Toh, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan, sikap baru ini bukan berarti pemerintah mencla-mencle. Ia punya alasan: pemerintah harus mencari solusi untuk masyarakat.
Hanya saja, sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo di hadapan anggota DPR tetap menyampaikan bahwa kebijakan untuk memangkas anggaran subsidi BBM itu berlaku per 1 April mendatang; walau akhirnya, bekas Direktur Utama Bank Mandiri ini bilang, pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi bisa saja ditunda. Cuma, memang konsekuensinya: pemerintah harus menambah bujet subsidi BBM hingga Rp 6 triliun.
Inilah akibatnya kalau kebijakan mahapenting tidak betul-betul dipersiapkan secara matang. Lihat saja, meski sudah jauh-jauh hari pemerintah menyatakan akan menerapkan pembatasan BBM bersubsidi, kajian belum juga kelar. Tim Pengkaji Pengaturan BBM Bersubsidi baru akan menyerahkan kajiannya akhir bulan ini. Itu juga kalau tidak ada aral melintang.
Celakanya, masyarakat telanjur punya ekspektasi atas pembatasan BBM bersubsidi. Buntutnya, sudah ada harga barang dan jasa yang bergerak naik lebih dulu. Inflasi pun menanjak. Jadi, seharusnya, pemerintah tak perlu buru-buru mengumbar rencana yang belum matang, apalagi kebijakan itu sangat bergantung pada faktor eksternal.
Semoga, kalau benar ditunda, ini menjadi penundaan terakhir, supaya anggaran subsidi BBM tidak terus-terusan salah sasaran.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 25 Februari 2011)

Minggu, 06 Februari 2011

PENYELAMAT

Terbakarnya Kapal Motor Penyeberangan (KMF) Laut Teduh II di Selat Sunda menambah panjang daftar kecelakaan transportasi di Indonesia. Sedikitnya 28 orang tewas dalam kecelakaan yang terjadi Jumat (28) dini hari pekan lalu itu.
Sejatinya, kabar terbakarnya kapal feri yang mengangkut sekitar 400 penumpang tersebut sampai ke tim penyelamat yang ada di darat. Tapi, mereka tak bisa berbuat banyak karena tidak memiliki peralatan yang bisa menjangkau ke lokasi dalam waktu cepat.
Akhirnya, penyelamatan ratusan penumpang yang terjun ke laut bebas terutama hanya berpangku pada sesama kapal feri yang lewat saja. Untung, kecelakaan itu terjadi di Selat Sunda yang sibuk dengan lalu lalang kapal-kapal penyeberangan dari Merak ke Bakauheni dan sebaliknya selama 24 jam.
Tapi, tentu ceritanya akan lain kalau kita punya tim penyelamat perairan dan peralatan sekelas Coast Guard, Amerika Serikat. Bisa jadi, korban yang tewas tidak sebanyak itu. Dan, KMF Laut Teduh II dibekali peralatan pemadam kebakaran yang memadai.
Tapi, mesin pembunuh tak hanya ada di lautan. Tapi juga, di jalan- jalan di Indonesia. Dengan perilaku pengendara yang tidak disiplin dan ugal-ugalan, jalan-jalan di negara kita bisa menjadi mesin pembunuh yang sangat mematikan.
Celakanya, pemerintah khususnya pemerintah daerah tidak semua yang menyiapkan ambulans gawat darurat lengkap dengan paramedis yang memiliki kemampuan penanganan pra-rumah sakit.
Baru Pemerintah DKI Jakarta saja yang punya fasilitas emergensi ini. Tapi, jumlah unitnya masih terbatas sehingga tidak bisa melayani semua panggilan gawat darurat dari seluruh penjuru ibukota. Apalagi, belum banyak warga Jakarta yang tahu keberadaan ambulans tersebut.
Dengan perilaku orang kita yang tidak disiplin dan cuek bebek dengan keselamatan diri sendiri maupun orang lain, tampaknya tak mudah mengurangi angka kecelakaan transportasi di Indonesia. Contoh, dugaan sementara sumber api yang menyebabkan KMF Laut Teduh gosong berasal dari salah satu bus yang tidak mematikan mesin sewaktu berada di perut kapal.
Jadi, pemerintah pusat dan daerah harus mengambil langkah antisipatif dengan menyiapkan lembaga penyelamat yang handal dengan peralatan yang memadai. Dengan begitu, paling tidak bisa menekan jumlah korban tewas maupun yang luka-luka makin parah.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 4 Februari 2011)

Minggu, 16 Januari 2011

MENGURAI KEMACETAN

Kemacetan di jalan-jalan kota Jakarta yang makin akut tak membuat banyak pemilik kendaraan bermotor pribadi menyerah, lalu beralih ke angkutan umum. Justru, mereka makin “kreatif”, meski tahu caranya salah. Berkendara melawan arus dan menerobos jalur busway, misalnya.
Bagi pelanggar peraturan lalu lintas itu, mungkin risiko kena tilang polisi tak seberapa. Termasuk risiko kehilangan nyawa sekalipun karena nekad melaju di jalur berlawanan arah. Contoh, sebagian bikers, sebutan pengendara sepeda motor, yang lewat Jalan Raya Ciledug saat jam berangkat dan pulang kantor.
Mungkin, bagi para bikers itu, waktu lebih berharga ketimbang nyawa mereka. Dengan melawan arus, memang banyak menghemat waktu dibanding harus bermacet-macet ria. Apalagi, di sebagian jalan di Ibukota seperti Jalan Raya Ciledug, kemacetan nyaris tak bergerak dan tak menyisakan ruang, sehingga sepeda motor pun sulit bermanuver.
Pemerintah pusat dan daerah bukan tidak peduli. Belakangan ini, keduanya rajin menggelar rapat untuk mencari solusi memecahkan kemacetan di Jakarta yang kian menggila. Soalnya, hasil kajian Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menunjukkan, saban tahun, kerugian akibat kemacetan lalu lintas di seantero wilayah Ibukota mencapai Rp 12,8 triliun.
Kerugian buntut dari lalu lintas di Jakarta yang macet parah itu berasal dari biaya operasional kendaraan bermotor yang membengkak, masalah stres dan kesehatan, serta kerugian waktu. Sekarang ini, laju kendaraan bermotor di jalan-jalan Jakarta rata-rata 8,3 kilometer (km) per jam, jauh di bawah standar minimal yang layak, yaitu 20 km per jam.
Pemerintah menghitung, kalau kemacetan di Jakarta dibiarkan, tak jauh dari 2012, lalu lintas di Ibukota bakal macet total alias dead lock. Sebab, jumlah kendaraan bermotor yang saat ini mencapai 11 juta unit, 8 juta di antaranya sepeda motor, tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan panjang jalan di Jakarta.
Makanya, pemerintah menyiapkan 17 langkah dengan 83 rencana aksi untuk mengurai benang kusut lalu lintas di wilayah Jakarta. Ambil contoh, menerapkan jalan berbayar atawa electronic road pricing (ERP). Kemudian, mengerek denda bagi mobil yang parkir sembarangan, membatasi usia angkutan umum maksimal tujuh tahun, serta sterilisasi jalur dan menambah jumlah armada busway. Untuk dua yang terakhir, pemerintah tampaknya ingin memaksa pemilik kendaraan bermotor mengandangkan mobil dan motornya.
Memang, dengan angkutan umum yang umurnya paling tua tujuh tahun, tentu penumpang akan lebih nyaman berada di dalamnya. Begitu juga kalau jumlah armada busway banyak dan jalurnya steril, tentu penumpang tidak perlu menunggu terlalu lama di halte dan waktu tempuh jadi lebih singkat.
Tapi, mengatasi kemacetan Jakarta yang akut tidak bisa sepotong-sepotong. Semisal, hanya dengan membuat belasan jalur busway, sekalipun cara ini terbukti sukses mengurai kemacetan di Bogota, Ibukota Kolombia. Pasalnya, Jakarta beda dengan Bogota. Warga Jakarta banyak yang tidak disiplin berlalu lintas sehingga menambah semrawut kota.
Ke-17 langkah yang disiapkan pemerintah harus jalan serentak sehingga bisa saling melengkapi dalam mengurai kemacetan lalu lintas Jakarta. Meski, memang, ada beberapa langkah yang butuh waktu bertahun-tahun, seperti pembangunan mass rapid transportation (MRT) dan enam ruas tol dalam kota. Satu lagi, semua instansi yang terlibat harus kompak, bukan malah sebaliknya saling menjatuhkan, angkat tangan, dan lain-lain.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Ketiga Januari 2011)

POWER BALANCE

Tampaknya, produsen harus lebih berhati-hati dalam mempromosikan produk-produk unggulan mereka. Jangan sampai reputasi yang mereka bangun bertahun-tahun, hancur dalam sekejap karena membohongi publik lewat iklan-iklan yang bombastis, tidak sesuai dengan kenyataan.
Gelang kesehatan Power Balance paling tidak bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi para produsen. Sebab, secara mengejutkan, produsen gelang kesehatan asal Amerika Serikat yang sangat populer sampai-sampai banyak tiruannya itu, Selasa (4/1) pekan lalu, membuat pengakuan melalui situsnya untuk wilayah Australia.
Isinya: "Dalam iklan, kami menyatakan, gelang PowerBalance meningkatkan kekuatan, keseimbangan, dan fleksibilitas Anda. Kami mengakui bahwa tak ada bukti ilmiah kredibel yang mendukung klaim kami dalam iklan itu".
Lebih lanjut, sang produsen gelang karet berhologram itu bilang, mereka telah berbuat menyesatkan dan melanggar Undang-Undang tentang Praktik Perdagangan 1974. Secara terbuka, Power Balance meminta maaf tanpa syarat apapun dan menawarkan pengembalian dana penuh.
Pelajaran berikutnya datang dari India. Vaibhav Bedi menggugat Hindustan Unilever Limited, yang memasarkan Axe dengan tuduhan telah menipu. Soalnya, meski sudah memakai pelbagai produk Axe selama lebih dari tujuh tahun, ternyata tak satu pun wanita yang nyantol pada pria berusia 26 tahun itu.
Padahal, dalam iklan, Axe memperlihatkan lelaki yang menggunakan produk-produknya langsung memikat banyak wanita. Semua produk Axe sudah dicoba Bedi. "Lalu mana Axe Effect-nya? Saya sudah menunggu selama lebih dari tujuh tahun, tidak ada satupun gadis yang mau," kata Bedi.
Di televisi, kita sering melihat pariwara produk yang menjanjikan ini itu. Contoh, gigi atau kulit putih bercahaya dalam hitungan minggu. Kotoran membandel yang melekat pada baju hilang dalam sekejap. Sakit kepala langsung lenyap begitu menelan obat. Kenyataannya, banyak yang nol besar.
Publik pun ditipu mentah-mentah. Tapi, tak banyak bahkan nyaris tak ada yang menggugat seperti Bedi. Atau, ada lembaga publik yang menekan produsen, seperti Komisi Konsumen dan Kompetisi Australia menekan Power Balance sehingga membuat pengakuan produknya tidak sehebat dalam iklan.
Jadi, konsumen dan lembaga publik harus lebih kritis lagi.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 10 Januari 2011)