Minggu, 16 Januari 2011

MENGURAI KEMACETAN

Kemacetan di jalan-jalan kota Jakarta yang makin akut tak membuat banyak pemilik kendaraan bermotor pribadi menyerah, lalu beralih ke angkutan umum. Justru, mereka makin “kreatif”, meski tahu caranya salah. Berkendara melawan arus dan menerobos jalur busway, misalnya.
Bagi pelanggar peraturan lalu lintas itu, mungkin risiko kena tilang polisi tak seberapa. Termasuk risiko kehilangan nyawa sekalipun karena nekad melaju di jalur berlawanan arah. Contoh, sebagian bikers, sebutan pengendara sepeda motor, yang lewat Jalan Raya Ciledug saat jam berangkat dan pulang kantor.
Mungkin, bagi para bikers itu, waktu lebih berharga ketimbang nyawa mereka. Dengan melawan arus, memang banyak menghemat waktu dibanding harus bermacet-macet ria. Apalagi, di sebagian jalan di Ibukota seperti Jalan Raya Ciledug, kemacetan nyaris tak bergerak dan tak menyisakan ruang, sehingga sepeda motor pun sulit bermanuver.
Pemerintah pusat dan daerah bukan tidak peduli. Belakangan ini, keduanya rajin menggelar rapat untuk mencari solusi memecahkan kemacetan di Jakarta yang kian menggila. Soalnya, hasil kajian Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menunjukkan, saban tahun, kerugian akibat kemacetan lalu lintas di seantero wilayah Ibukota mencapai Rp 12,8 triliun.
Kerugian buntut dari lalu lintas di Jakarta yang macet parah itu berasal dari biaya operasional kendaraan bermotor yang membengkak, masalah stres dan kesehatan, serta kerugian waktu. Sekarang ini, laju kendaraan bermotor di jalan-jalan Jakarta rata-rata 8,3 kilometer (km) per jam, jauh di bawah standar minimal yang layak, yaitu 20 km per jam.
Pemerintah menghitung, kalau kemacetan di Jakarta dibiarkan, tak jauh dari 2012, lalu lintas di Ibukota bakal macet total alias dead lock. Sebab, jumlah kendaraan bermotor yang saat ini mencapai 11 juta unit, 8 juta di antaranya sepeda motor, tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan panjang jalan di Jakarta.
Makanya, pemerintah menyiapkan 17 langkah dengan 83 rencana aksi untuk mengurai benang kusut lalu lintas di wilayah Jakarta. Ambil contoh, menerapkan jalan berbayar atawa electronic road pricing (ERP). Kemudian, mengerek denda bagi mobil yang parkir sembarangan, membatasi usia angkutan umum maksimal tujuh tahun, serta sterilisasi jalur dan menambah jumlah armada busway. Untuk dua yang terakhir, pemerintah tampaknya ingin memaksa pemilik kendaraan bermotor mengandangkan mobil dan motornya.
Memang, dengan angkutan umum yang umurnya paling tua tujuh tahun, tentu penumpang akan lebih nyaman berada di dalamnya. Begitu juga kalau jumlah armada busway banyak dan jalurnya steril, tentu penumpang tidak perlu menunggu terlalu lama di halte dan waktu tempuh jadi lebih singkat.
Tapi, mengatasi kemacetan Jakarta yang akut tidak bisa sepotong-sepotong. Semisal, hanya dengan membuat belasan jalur busway, sekalipun cara ini terbukti sukses mengurai kemacetan di Bogota, Ibukota Kolombia. Pasalnya, Jakarta beda dengan Bogota. Warga Jakarta banyak yang tidak disiplin berlalu lintas sehingga menambah semrawut kota.
Ke-17 langkah yang disiapkan pemerintah harus jalan serentak sehingga bisa saling melengkapi dalam mengurai kemacetan lalu lintas Jakarta. Meski, memang, ada beberapa langkah yang butuh waktu bertahun-tahun, seperti pembangunan mass rapid transportation (MRT) dan enam ruas tol dalam kota. Satu lagi, semua instansi yang terlibat harus kompak, bukan malah sebaliknya saling menjatuhkan, angkat tangan, dan lain-lain.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Ketiga Januari 2011)

Tidak ada komentar: