Kamis, 23 Desember 2010

BAILOUT

Pemerintah Indonesia pantas mengikuti jejak Pemerintah Amerika Serikat (AS) soal bailout mem-bailout perusahaan yang sekarat dan berdampak sistemik. Tengok saja, langkah Pemerintah Negeri Abang Sam yang menyuntikkan dana segar hingga ratusan miliar dollar AS, antara lain ke Citigroup Inc dan American International Group (AIG) Inc yang nyaris kolaps akibat krisis keuangan.
Pemerintah AS tidak sekadar bisa menyelamatkan Citigroup dan AIG dari lubang kehancuran dan mengembalikan uang rakyat berupa pajak, tapi juga mendekap keuntungan besar dari mem-bailout kedua raksasa tersebut.
Pemerintah AS mendekap dana total sebanyak US$ 57 miliar dari penjualan saham, bunga pinjaman, dan dividen Citigroup. Padahal, mereka hanya menyuntikkan dana talangan ke perusahaan keuangan yang berbasis di New York tersebut selama periode 2008–2009 lalu sebesar US$ 45 miliar saja.
Itu berarti, Pemerintah AS memperoleh keuntungan mencapai US$ 12 miliar. Dengan perincian, untung dari penjualan saham biasa US$ 6,85 miliar, bunga pinjaman dan dividen US$ 2,9 miliar, dan penjualan saham preferen US$ 2,2 miliar. Keuntungan itu makin berlipat karena Pemerintah AS masih memegang waran yang diterbitkan oleh Citigroup (KONTAN, 12 Desember 2010).
Dari AIG, Pemerintah AS juga bersiap mendulang untung besar. Rencana Departemen Keuangan AS mengubah saham preferen di AIG senilai US$ 49 miliar, menjadi 1,66 miliar saham biasa pada 15 Maret 2011, menjadikan kepemilikan saham biasa Pemerintah AS melonjak jadi 92,1%. Saat ini, saham AIG di Bursa New York di kisaran US$ 42 per saham. Pemerintah AS bakal balik modal sekalipun melepas sahamnya di US$ 29 per saham (KONTAN, 10 Desember 2010).
"Kami memiliki kesempatan untuk mengunci keuntungan yang substansial bagi pembayar pajak," kata Tim Massad, Pejabat Sementara Deputi Menteri Keuangan AS Bidang Stabilitas Keuangan.
Ya, pembayar pajak. Baik pejabat maupun media di AS selalu menyebut dana bailout itu milik pembayar pajak, agar pemerintah dan perusahaan yang mendapat dana talangan tersebut serius menggembalikan uang milik rakyat AS.
Semestinya, semangat yang sama ada pada diri pejabat kita. Semangat untuk mengembalikan penuh uang rakyat yang tertanam di Bank Century sebanyak Rp 6,7 triliun. Syukur-syukur bisa berlebih untuk biaya pembangunan infrastruktur.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 23 Desember 2010)

Kamis, 09 Desember 2010

BBM

Kalau tidak ada aral melintang, Senin (6/12) pekan depan, pemerintah dan DPR akan memutuskan mekanisme distribusi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi secara tertutup. Pemerintah sudah mengajukan opsi: melarang keras mobil pribadi produksi di atas tahun 2005 menenggak premium.
Rencananya, kebijakan yang bertujuan agar subsidi BBM lebih tepat sasaran ini bakal bergulir mulai 1 Januari 2011 nanti. Ya, maklum saja, selama ini, tanpa tahu malu, para pemilik mobil mewah yang berkantong tebal masih mengisi premium yang disubsidi pemerintah.
Sejauh ini, suara DPR terpecah. Sejumlah fraksi di Senayan mendukung opsi yang disodorkan pemerintah. Sebagian lainnya, lebih memilih larangan meminum BBM bersubsidi berlaku untuk semua kendaraan bermotor pelat hitam kecuali sepeda motor.
Pilihan melarang semua mobil pelat hitam mengisi premium memang lebih tepat. Dengan begitu, pengawasannya akan lebih mudah. Petugas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) juga tidak perlu repot-repot memelototi setiap mobil pribadi yang ingin mengisi bensin. Tetapi, mereka cukup melihat pelat mobilnya saja.
Jadi, pompa bensin tinggal menyediakan dispenser BBM bersubsidi khusus sepeda motor dan kendaraan bermotor pelat kuning saja. Tapi, harus ditulis besar-besar: Khusus Motor dan Pelat Kuning.
Sebagai efek jera, mobil pelat hitam yang nekad mengisi premium harus dikasih sanksi tegas. Kalau perlu sanksinya hukuman penjara. Begitu juga, SPBU yang tetap melayani pengisian BBM bersubsidi untuk mobil pelat hitam.
Tapi, pembatasan BBM bersubsidi juga harus serentak di semua daerah, supaya tidak menyulut kekacauan. Jangan sampai berlaku di wilayah tertentu dulu. Jakarta, misalnya. Kalau ini yang terjadi, pemilik mobil pelat hitam akan menyerbu SPBU di pinggiran Ibukota.
Untuk itu, pelaksanaan kebijakan ini tidak usah terburu-buru, tapi juga tak terlalu lama. Pemerintah harus menyiapkan semua infrastruktur pendukung untuk memuluskan program pembatasan BBM bersubsidi tahun depan.
Nah, lantaran Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mewanti-wanti, pembatasan BBM bersubsidi akan memecut inflasi tahun depan berlari lebih kencang ketimbang tahun ini, sebagian anggaran subsidi BBM yang dihemat harus diarahkan untuk program-program yang bisa mempertahankan daya beli masyarakat lapisan bawah.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 3 Desember 2010)

N2150

China terus membuktikan dirinya sebagai negara industri yang menguasai ilmu dan teknologi. Salah satu pembuktian negara berpenduduk satu miliar lebih jiwa tersebut dengan melahirkan pesawat bermesin jet.
Melalui Commercial Aircraft Corp of China alias Comac, Negeri Tembok Raksasa itu menantang dominasi Amerika Serikat dengan bendera Boeing Company-nya dan Eropa dengan Airbus SAS-nya.
Comac yang menciptakan C919 ingin meruntuhkan dominasi B737 dan A320, yang menguasai pasar pesawat dengan mesin jet berpenumpang tidak lebih dari 200 orang. Perusahaan yang mendapat dukungan penuh dari Pemerintah China ini mematok target sangat ambisius: menjual lebih dari 2.000 pesawat C919 dalam 20 tahun ke depan. Pesanan sebanyak 100 unit di antaranya sudah di tangan.
Tidak heran, Analis Capital Securities Corp Bai Bingyang mengatakan, langkah ini merupakan terobosan besar bagi China yang pada akhirnya akan menjadi pemain di pasar pesawat global. "Duopoli Boeing dan Airbus akan berada di bawah ancaman," ujarnya.
Indonesia? Masih jalan di tempat. Sekalipun punya industri pesawat terbang yang sudah berusia 36 tahun, yakni PT Dirgantara Indonesia (DI), negara kita belum bisa menciptakan pesawat bermesin jet.
Dana menjadi kendala utama perusahaan yang dulu bernama IPTN tersebut mengembangkan pesawat bermesin jet. Padahal, diam-diam, PTDI sudah merancang N2150, jauh sebelum China mengembangkan C919 dan ARJ21, pesawat dengan mesin jet pertama mereka berpenumpang 90-105 orang. Dulu targetnya, N2150 yang bisa mengangkut sekitar 150 penumpang sudah bisa mengudara tahun ini.
Lantaran tak punya duit lagi, pemerintah tidak lagi bisa mendukung habis-habisan proyek pengembangan pesawat PTDI seperti dulu. Bahkan, perusahaan pelat merah ini harus mencari mitra sendiri untuk melanjutkan proyek N250, pesawat baling-baling paling canggih di kelasnya yang sudah pernah uji terbang pada 1995. Alhasil, N2150 belum bisa ikut bertarung bersama C919 meruntuhkan dominasi burung besi B737 dan A320.
Sejatinya, N2150 dapat menjadi proyek kebanggaan Indonesia di tengah maraknya kasus-kasus yang menampar keras dan mencoreng wajah negara kita. Misalnya, Gayus Tambunan yang berstatus tahanan dengan mudahnya keluar masuk penjara dengan cukup menyuap petugas jaga jutaan rupiah.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 15 November 2010)

PENGHEMATAN

Meski dihujat di sana-sini, seperti biasa, para wakil rakyat kita cuek bebek. Dengan dalih belajar etika perilaku anggota dewan, delapan anggota Badan Kehormatan DPR akhir pekan lalu bertolak ke Yunani. Tentu, kepergian mereka yang menghabiskan uang sebanyak Rp 2,2 miliar bukan atas biaya sendiri, melainkan memakan uang rakyat.
Saya sangat tidak keberatan, para wakil rakyat kita yang duduk di kursi empuk--saking empuknya sampai-sampai mereka tertidur pulas saat sidang soal rakyat--di Senayan belajar soal etika. Sebab, memang itu yang mereka butuhkan lantaran perilaku mereka yang kekanak-kanakan. Tapi, haruskah belajar etika hingga ke negeri orang? Apalagi, sampai harus menghambur-hamburkan uang rakyat.
Kegemaran wakil rakyat kita "plesir" ke negeri orang, sejatinya juga menjadi kesukaan pejabat kita di lingkungan pemerintahan. Coba saja tengok data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), yang mengungkap pengeluaran negara untuk perjalanan dinas ke luar negeri tahun ini mencapai Rp 19,5 triliun. Itu baru pejabat di tingkat pusat, belum daerah.
Dalam catatan Fitra, anggaran Istana Kepresidenan untuk pergi ke mancanegara menduduki peringkat tertinggi sebanyak Rp 179,03 miliar. Lalu, diikuti dengan DPR sebesar Rp 170,35 miliar. Kemudian, Kementerian Kesehatan menempati posisi ketiga dengan menelan biaya sebanyak Rp 145,3 miliar.
Kalau anggaran perjalanan dinas tersebut bisa digunting separuhnya saja, pemerintah tidak perlu repot-repot memikirkan strategi memangkas konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, misalnya. Sebab, pemerintah bisa dengan mudah menutup kuota premium yang berlebih. Pokoknya, bakal banyak ruang buat pemerintah kalau dapat menghemat bujet perjalanan dinas.
Program pengetatan ikat pinggang juga bisa menyasar pada kebiasaan para pejabat kita yang sedikit-sedikit rapat di hotel berbintang atawa gonta-ganti kendaraan dinas. Atau, membidik kebiasaan mereka yang gemar sekali membangun gedung baru untuk kantornya.
Kalau semua itu dilakukan tahun depan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menghitung, di tingkat pusat saja, pemerintah bisa berhemat hingga Rp 60 triliun. Itu belum termasuk penghematan dari lembaga tinggi negara semacam DPR dan pemerintah daerah. Artinya, pemerintah tidak perlu teriak-teriak keras lagi: anggaran infrastruktur minim.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 25 Oktober 2010)

NYARING

Tampaknya, pemerintah mau bermain aman dengan tidak memilih kebijakan yang melawan arus. Walhasil, pemerintah membatalkan pelaksanaan pembatasan konsumsi premium dan mengerek harga elpiji dalam kemasan tabung 3 kg tahun ini.
Padahal semua orang tahu, termasuk pemerintah, bahwa subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji selama ini salah sasaran. Tapi, pemerintah kelihatannya tidak mau terus-terusan kena hujat lantaran memaksakan kebijakan pengurangan subsidi yang tidak populer itu.
Suara nyaring pemerintah beberapa waktu lalu: anggaran negara bakal jebol kalau konsumsi premium tidak dibatasi, sudah tidak terdengar lagi. Begitu juga dengan suara lantang: ledakan tabung gas bakal terus menghantui jika harga elpiji 3 kg tidak dinaikkan. Maklum, harga elpiji 3 kg yang jomplang jauh dengan elpiji 12 kg telah menyulut praktik pengoplosan isi tabung elpiji 3 kg ke tabung elpiji 12 kg, yang menjadi salah satu penyebab ledakan gas.
Bak pahlawan yang baru memenangkan pertempuran, dengan bangga pemerintah menyampaikan keputusan pembatalan pembatasan konsumsi premium dan kenaikan harga elpiji 3 kg. Soalnya, program sosialisasi yang mengajak pemilik mobil mewah untuk tidak lagi menggunakan premium, ternyata berhasil menekan konsumsi BBM bersubsidi tersebut. Sosialisasi cara penggunaan elpiji yang aman dan benar, juga sukses mengurangi kasus ledakan tabung gas.
Tapi, suara nyaring: anggaran negara bakal jebol kalau konsumsi premium tidak dibatasi tahun depan, kembali terdengar. Begitu juga dengan suara lantang: kocek pemerintah akan makin bobol bolak-balik jika tarif dasar listrik (TDL) tidak naik mulai awal 2011.
Tahun depan, pemerintah mematok kuota konsumsi BBM bersubsidi termasuk premium sebanyak 36,77 juta kiloliter (kl). Pada 2011, pemerintah berencana menaikkan tarif setrum rata-rata sebesar 15%. Kalau tidak, pemerintah harus nombok sebanyak Rp 12,7 triliun.
Sejatinya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Komisi Energi (VII) DPR sudah sepakat, menambah kuota BBM bersubsidi sebesar 1,82 juta kiloliter dan tidak menaikkan TDL tahun depan. Tapi, pemerintah dengan tegas meminta keputusan itu dianulir.
Apakah suara nyaring itu akan kembali melempem? Lalu, pemerintah akan tampil bak pahlawan lagi dengan mengatakan, batal ini, batal itu. Kita tunggu saja bersama-sama episode berikutnya.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 6 Oktober 2010)

KEBIJAKAN SALAH SASARAN

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala, ketika istri saya yang bekerja sebagai paramedis ambulans gawat darurat bercerita mengenai orang kaya yang menggunakan kartu keluarga miskin atawa gakin untuk mendapatkan layanan ambulans dan rumahsakit gratis. Karena mendekap kartu gakin, ambulans tempat istri saya bekerja tidak kuasa menolak untuk memberikan layanan cuma-cuma. Begitu juga dengan rumahsakit tempat orang itu berobat.
Memang, betul-betul enak menjadi orang kaya di negeri ini. Meski sudah hidup serba-berkecukupan, negara masih “menyusui” mereka dengan aneka subsidi. Yang paling kentara, adalah subsidi bahan bakar minyak alias BBM dan listrik. Padahal, saban tahun pemerintah harus berutang sana-sini hanya untuk membiayai subsidi yang salah sasaran tersebut. Herannya, para orang berduit di negara kita tidak tahu malu, tetap cuek.
Tahun ini saja, pemerintah harus merogoh kocek total Rp 144 triliun cuma untuk subsidi BBM dan listrik, yang masih banyak dinikmati oleh orang-orang berkantong tebal. Tapi, di satu sisi, pemerintah selalu saja teriak-teriak di pelbagai kesempatan: APBN kita hanya cukup membiayai 20% pembangunan infrastruktur publik yang setahun paling tidak melahap duit hingga Rp 300 triliun.
Sejatinya, pemerintah sudah tersadar bahwa subsidi BBM dan listrik selama ini telah melenceng dari sasaran utama, yakni masyarakat kelas menengah bawah. Tengok saja ?APBN-P 2010, pemerintah tegas-tegas menuliskan, ingin kebijakan subsidi lebih tepat sasaran. Misalnya, dengan menerapkan sistem distribusi BBM bersubsidi melalui pola tertutup secara bertahap mulai tahun ini.
Dan, sebetulnya, tak ada lagi yang menghalangi langkah pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sebab, Senayan, tempat para wakil rakyat berkantor, sudah memberi restu. Buktinya, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) rata-rata sebesar 10%, yang tidak mengikutsertakan pelanggan golongan bawah, boleh dibilang mulus-mulus saja.
Begitu juga dengan kebijakan distribusi BBM bersubsidi tertutup dengan membatasi konsumsi premium dan solar untuk mobil jenis tertentu, DPR pun memberi dukungan. Bahkan, ada fraksi yang terang-terang meminta pemerintah melarang semua mobil pelat hitam menenggak premium. Dengan begitu, pengawasannya tidak susah-susah amat.
Tapi, dukungan yang sudah ada di tangan tersebut tak lantas membuat pemerintah terus menancap gas. Sekalipun, juga sudah ada komitmen dari PT Pertamina yang siap menjalankan kebijakan itu. Di tengah jalan, pemerintah tiba-tiba menunda rencana membatasi konsumsi BBM bersubsidi untuk jenis mobil tertentu mulai bulan depan.
Sebelumnya, pemerintah pun menunda mengerek harga jual elpiji dalam tabung 3 kg tahun ini, yang juga salah sasaran.
Jadi, dengan dukungan pelbagai pihak itu, tidak ada lagi kata tidak untuk menerapkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Apalagi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, hanya dengan membatasi premium di wilayah Jabodetabek saja, pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi BBM hingga Rp 2 triliun.
Dengan duit Rp 2 triliun, pemerintah, antara lain bisa membangun pembangkit listrik dengan kapasitas sampai 200 megawatt. Atau, membangun jalan baru sepanjang 1.000 kilometer. Atau, membangun 200 gedung sekolah dasar yang sangat megah. Atau, membangun 1.000 puskesmas dua lantai.
Bukan pilihan sulit bagi pemerintah memutuskan kebijakan yang prorakyat.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Ketiga September 2010)

DISKRIMINASI

Denyut arus mudik makin berdetak kencang. Kementerian Perhubungan memperkirakan, tahun ini, sebanyak 31,63 juta penduduk Indonesia akan mudik untuk berlebaran di kampung halamannya masing-masing. Jumlah itu melonjak 15% atau 4,13 juta orang ketimbang tahun lalu.
Ledakan jumlah pemudik terbesar terjadi pada angkutan darat, khususnya sepeda motor. Jumlah pemudik kendaraan bermotor roda dua tahun ini diperkirakan bakal naik 470.00 orang dari tahun sebelumnya sebanyak 3,14 juta orang menjadi 3,61 juta orang.
Tapi, pemudik sepeda motor mendapat perlakuan cukup "diskriminatif", dengan dalil untuk menekan angka kecelakaan dan mengurangi kemacetan saat arus mudik. Ambil contoh, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat akan mengalihkan pemudik sepeda motor ke jalur-jalur alternatif untuk mengurangi kemacetan di jalur utama. Bahkan, Polda Sumatera Utara melarang keras pemudik sepeda motor.
Memang, angka kecelakaan pemudik sepeda motor dalam arus mudik sangat tinggi. Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Mabes Polri mencatat, dari 1.646 kasus kecelakaan selama arus mudik tahun lalu, sebanyak 76% di antaranya terjadi pada pemudik sepeda motor.
Tapi, bukan berarti kemudian pemudik sepeda motor mendapat perlakuan "diskriminatif". Jutaan orang terpaksa pulang ke kampung halaman untuk berlebaran dengan mengendarai sepeda motor, lantaran murah meriah ketimbang menumpang angkutan umum yang harga tiketnya naik dua kali lipat dibandingkan hari biasa.
Solusi yang ditawarkan pemerintah, misalnya, dengan menyediakan gerbong kereta api khusus sepeda motor belum cukup. Problemnya, Sudah jumlah gerbongnya terbatas, tarifnya juga mahal. Pemudik harus membayar Rp 200.000 untuk jarak terjauh. Namun, itu baru biaya angkut sepeda motor saja, belum termasuk pemiliknya.
Dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, seharusnya pemudik sepeda motor mendapat perlakuan khusus, bukan malah perlakuan yang "diskriminatif". Selagi ritual mudik masih mahal seperti sekarang ini, siapapun tidak bisa membendung mudik dengan sepeda motor yang lebih murah sekalipun sangat beresiko.
Pemerintah tampaknya juga mulai harus memikirkan, bagaimana melahirkan budaya mudik yang murah, terutama untuk masyarakat kelas menengah bawah. Tidak harus gratis, yang penting murah.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 6 September 2010)

Selasa, 07 Desember 2010

MONTARA

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengikuti jejak Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, yang menuntut ganti rugi kepada BP atas tumpahan minyak mentah dari anjungan lepas pantai Deepwater Horizon dan mencemari Teluk Meksiko.
Anjungan yang terletak sekitar 80 kilometer dari bibir pantai Negara Bagian Louisiana itu meledak pada 20 April 2010 lalu. Ledakan tersebut tidak hanya menewaskan 11 pegawai oil rig milik BP, tapi juga mengakibatkan bocornya pipa anjungan. Akibatnya, minyak mentah mengalir ke laut lepas.
Nah, sekarang pemerintah kita sedang getol memperjuangkan tuntutan ganti rugi kepada PTTEP Australasia Pty. Ltd. atas tumpahan minyak dari anjungan lepas pantai Montara di Laut Timor, yang sudah mencemari wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Ladang minyak tersebut meledak pada 21 Agustus 2009 lalu.
Bahkan, pemerintah kita sampai membentuk tim khusus bernama Tim Penanganan Pencemaran Laut Timor, yang dikomandani Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Tim ini yang menghitung nilai kerugian akibat pencemaran tumpahan emas hitam Montara itu.
Hitungan sementara, menurut Freddy, nilai kerusakan langsung akibat tumpahan minyak Montara tak lebih dari Rp 300 miliar. Sedangkan, kerusakan tidak langsung dengan memasukkan unsur kerugian yang diderita masyarakat, baik secara sosial, ekonomi maupun ekologis, dalam jangka waktu tertentu, nilai ganti rugi immaterial-nya bisa di atas Rp 1 triliun.
Tapi, menghadapi tumpahan lumpur panas yang sudah empat tahun menyembur dari sumur pengeboran milik Lapindo Brantas Inc., pemerintah kita tidak segetol menuntut ganti rugi ke PTTEP. Bahkan, pemerintah kita rela mengeluarkan duit hingga triliunan rupiah untuk menanggulangi lumpur itu.
Contoh, tahun ini dan tahun depan, pemerintah harus merogoh kocek Rp 2,6 triliun untuk program penanggulangan lumpur, seperti pengaliran luapan lumpur dan pembangunan relokasi jalan arteri dan tol. Termasuk membayar ganti rugi untuk korban lumpur yang berada di luar peta terdampak seluas 61 hektare, yang semestinya menjadi tanggung jawab Lapindo.
Tapi, tidak ada kata terlambat untuk kembali menuntut ganti rugi ke Lapindo atas tumpahan lumpur, yang sudah menenggelamkan sebagian wilayah Sidoarjo. Pemerintah juga harus getol menuntut seperti yang dilakukan ke PTTEP.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 21 Agustus 2010)

"BOM" TABUNG

Tak berlebihan, kalau sejumlah pihak menyebut tabung elpiji ukuran tiga kilogram (3 kg) sebagai "bom" waktu yang kapan saja bisa meledak. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh saja sudah meminta semua kalangan harus mewaspadai terjadinya peningkatan ledakan tabung gas tahun ini.
Penyebabnya, usia selang dan regulator yang dibagikan gratis oleh pemerintah satu paket dengan tabung elpiji plus kompor gas, sudah uzur alias melewati usia pakai yang sejatinya hanya satu tahun doang. Karena itu, Darwin mewanti-wanti masyarakat pengguna tabung elpiji 3 kg yang mendapat produk ini berikut aksesorinya sepanjang tahun 2007 hingga 2008 lalu.
Rentetan ledakan tabung berkelir hijau terang tersebut yang terjadi belakangan ini kebanyakan berada di Jakarta dan Jawa Barat. Nah, kedua wilayah ini merupakan penerima paket tabung elpiji program konversi minyak tanah ke gas pada 2007 dan 2008.
Tapi sebetulnya, pengguna tabung elpiji 3 kg di Sumatera Selatan, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali juga wajib waspada. Mereka juga mendapatkan paket tabung elpiji cuma-cuma tersebut pada 2007 dan 2008.
"Bom" waktu berupa tabung elpiji 3 kg yang siap meledak cukup banyak, lantaran ada 19,01 juta paket yang dibagikan pemerintah melalui PT Pertamina dalam kurun waktu tersebut. Rinciannya, 18,19 juta paket untuk rumah tangga dan 817.797 paket buat usaha mikro.
Cuma anehnya, kenapa pemerintah baru kebakaran jenggot tahun ini menyusul ledakan tabung elpiji 3 kg yang makin marak. Padahal, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat mencatat, kasus ledakan tabung yang populer dengan sebutan tabung melon ini dari tahun ke tahun terus meningkat.
Tahun lalu, terjadi 55 kasus ledakan tabung elpiji yang mengakibatkan enam orang tewas dan 81 orang luka-luka. Angka ini lebih besar ketimbang tahun sebelumnya yang hanya 40 kasus ledakan yang menyebabkan lima nyawa melayang dan 40 orang luka-luka.
Tampaknya, pemerintah menunggu nyawa melayang gara-gara ledakan tabung elpiji banyak dulu baru bertindak. Tapi, terlepas dari itu semua, pemerintah harus menggelar sosialisasi besar-besaran kepada masyarakat, kalau perlu mendatangi satu per satu pengguna tabung elpiji 3 kg, untuk segera mengganti selang dan regulator mereka. Maklum, "bom" waktu yang berpotensi meledak ada 19,01 juta unit.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 29 Juli 2010)

TDL

Protes bertubi-tubi dari para pelaku usaha di berbagai sektor, akhirnya, memaksa pemerintah menghitung ulang formula kenaikan tarif dasar listrik (TDL), khususnya untuk golongan pelanggan industri dan bisnis. Enggak heran memang kalau pengusaha pada menjerit. Soalnya, sebagian di antara mereka harus menanggung kenaikan TDL hingga 80%.
Pemerintah memang tak sepantasnya membebankan kenaikan TDL yang begitu tinggi kepada pelaku usaha. Sebab, dampak kenaikan tarif setrum tersebut berefek ganda. Biaya produksi akan meningkat, ujung-ujungnya produsen akan mengerek harga jual produknya. Kalau sudah begini, masyarakat banyak yang rugi. Buntutnya, pemerintah juga yang repot lantaran inflasi akan berlari semakin kencang.
Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mewanti-wanti pemerintah untuk mewaspadai, selain dampak langsung kenaikan TDL terhadap inflasi yang diprediksi mencapai 0,22%, juga dampak tidak langsungnya. Yakni, ya, itu tadi, pengusaha akan mendongkrak harga jual produknya sebagai buntut kenaikan TDL mulai 1 Juli 2010.
Pemerintah semestinya mencontek kebijakan sejumlah negara yang justru mengenakan TDL yang tinggi bukan kepada industri, melainkan kelompok golongan lainnya, terutama rumahtangga. Kenapa? Supaya warganya bisa tetap membeli barang dan jasa dengan harga yang tidak mahal-mahal amat.
Makanya, sangat disayangkan ketika DPR menolak opsi kenaikan TDL untuk pelanggan berdaya 450 hingga 900 volt-ampere (VA) yang diusulkan pemerintah, meski besarannya di bawah 5%. Padahal, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh bilang, dengan kenaikan yang tidak sampai 5% itu, tagihan listrik paling banter cuma naik Rp 5.000 sebulan.
Nah, kalau TDL untuk pelanggan berdaya 450 VA-900 VA juga naik, tentu beban pelaku usaha bisa lebih ringan. Artinya, kenaikan TDL golongan industri tidak terlalu tinggi. Dengan begitu, kalaupun harga barang dan jasa mesti naik, lonjakannya tidak terlalu besar.
Memang, pelanggan kecil tidak perlu merogoh kocek lebih dalam buat membayar tagihan listrik kalau TDL tidak naik. Tapi, mereka harus merogoh kantong lebih dalam lagi untuk membeli barang dan jasa. Kondisi ini makin diperparah, karena kenaikan TDL berbarengan dengan tahun ajaran baru sekolah, lalu bulan puasa dan Lebaran. Penderitaan makin lengkap lantaran harga barang dan jasa melejit.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 15 Juli 2010)

RAPOR DPR

Musim bagi-bagi rapor sudah tiba. Bulan ini seluruh siswa, mulai dari taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), hingga sekolah menengah atas (SMA) menerima rapor atas hasil jerih payahnya belajar selama satu semester terakhir.
Semestinya, musim bagi-bagi rapor juga berlaku bagi para wakil rakyat kita yang bermarkas di Senayan. Ini sangat penting untuk mengukur kinerja mereka dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dengan begitu, masyarakat bisa mengetahui persis kerja para wakil yang mereka pilih itu macam apa.
Soalnya, selama ini, tidak ada yang memberi rapor buat DPR atas kerja mereka selama ini. Padahal, kinerja anggota dewan yang katanya terhormat itu, misalnya, dalam menjalankan fungsi legislasi boleh dibilang buruk. Bagaimana tidak? Sampai Juni 2010 mereka cuma sanggup menyelesaikan empat rancangan undang-undang (RUU).
Parahnya, empat beleid itu bukanlah RUU yang masuk dalam Program Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Keempatnya merupakan RUU yang memang harus dikerjakan karena kebutuhan seperti menyusun anggaran. Target calon beleid yang harus diselesaikan tahun ini sebanyak 70 RUU.
Nah, hingga saat ini baru sembilan RUU yang masuk dalam pembicaraan tingkat pertama. Artinya, sembilan RUU itu telah dibahas bersama oleh DPR dan pemerintah. Sisanya, sebanyak 61 RUU masih dalam tahap penyusunan draf atau proses harmonisasi. Bahkan ada RUU yang belum ada drafnya.
Ini bukan pertama kali kinerja DPR yang jeblok dalam menjalankan fungsi legislasi. DPR periode sebelumnya sama saja. Selama masa tugas 2004 hingga 2009, mereka tidak bisa memenuhi target legislasi untuk menghasilkan 284 produk undang-undang. Hanya 200 UU yang selesai mereka garap.
Kalau melihat kinerja yang memble tersebut, mau tidak mau DPR harus mendapat rapor merah. Tentunya, harus ada sanksi atas rapor yang kebakaran itu. Toh, pelajar yang mata pelajaran tertentu mendapat nilai merah dalam rapornya saja tidak naik kelas.
Kewajiban DPR tidak hanya sebatas memberikan pertanggungjawaban secara moral maupun politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya saja atas kinerja mereka. Kalau perlu ada sanksi yang berlaku bagi mereka, jika kinerja jeblok. Sekarang, tinggal siapa yang pantas memberikan rapor itu.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 23 Juni 2010)

MORATORIUM

Hutan alam, termasuk lahan gambut, bisa bernafas lega paling tidak selama dua setengah tahun ke depan. Soalnya, pemerintah mulai bulan ini menyetop sementara alias moratorium izin baru alih fungsi atawa konversi kawasan hutan alam seluas 112,57 juta hektare untuk semua sektor industri, mulai perkebunan, pertambangan sampai kehutanan.
Itu berarti, semua mahluk hidup, baik hewan maupun tumbuhan, yang menghuni rimba tersebut bisa hidup tenang. Mereka tak lagi terusik oleh tangan-tangan manusia yang merambah hutan. Sehingga, penghuni rimba, semacam harimau dan gajah, tidak perlu lagi berkonflik dengan manusia lantaran harus ke luar hutan, akibat habitatnya yang makin menciut.
Sebaliknya, pelaku usaha di sektor perkebunan, pertambangan, dan kehutanan gelisah bukan kepalang. Tak pelak lagi, kebijakan moratorium tersebut bakal mengganjal ekspansi bisnis mereka. Greenonomics Indonesia mencatat, perusahaan kebun kelapa sawit saja sudah berancang-ancang mengembangkan lahan menjadi 8,4 juta hektare dalam tiga tahun ke depan.
Efek berikutnya, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), tenaga kerja yang terserap di sektor perkebunan sawit makin sedikit. Padahal, mereka mengklaim, selama ini, sektor industri kelapa sawit bisa memacu pertumbuhan ekonomi dan menekan angka pengangguran.
Ya, pemerintah memang mesti membayar mahal keputusan moratorium tersebut, meski mendapat hibah yang sangat besar dari Norwegia sebanyak US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9,2 triliun. Tapi, duit gratis itu semata hanya bisa dipakai untuk dana pelestarian hutan. Tidak bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur, misalnya.
Sebetulnya, tidak adil buat negara kita. Di satu sisi, negara maju jor-joran melepas emisi karbon dengan membiarkan industri mereka melakukan ekspansi besar-besaran. Di sisi lain, negara kita harus menekan emisi karbon sambil membatasi industri melebarkan sayap bisnisnya, walaupun Indonesia mendapat bayaran dari negara maju.
Kalaupun terpaksa mempraktekkan jual beli karbon itu, semestinya pemerintah juga harus punya posisi tawar yang kuat. Dana hibah yang dikantongi juga harus bisa digunakan untuk kepentingan pembangunan yang bisa mensejahterahkan rakyat secara lebih riil. Contohnya, untuk membiayai infrastruktur publik dan program yang memangkas angka pengangguran.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 4 Juni 2010)

Minggu, 05 Desember 2010

BAYANG-BAYANG SRIMULYANI

Penunjukan Agus Martowardojo sebagai Menteri Keuangan sebetulnya cukup mengejutkan. Meski namanya disebut-sebut masuk bursa calon pengganti Sri Mulyani Indrawati, bekas Direktur Utama Bank Mandiri ini sejatinya tidak banyak dijagokan banyak pihak, termasuk oleh para partai politik (parpol) pendukung koalisi pemerintahan.
Maklum, Agus Marto, begitu Agus Wartowardojo biasa disapa, pernah ditolak mentah-mentah oleh wakil rakyat yang bermarkas di Senayan sebagai calon Gubernur Bank Indonesia (BI). Itu sebabnya, parpol pendukung koalisi pemerintahan lebih menjagokan Pejabat Sementara Gubernur BI Darmin Nasution dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu.
Selain keduanya tidak diragukan lagi dalam urusan makroekonomi, Darmin dan Anggito relatif tidak bermasalah dengan DPR. Sosok pengganti Sri Mulyani memang tidak hanya mesti jago mengurusi makroekonomi dan tetek bengeknya saja. Tapi juga, harus orang yang sanggup membangun hubungan yang harmonis dengan DPR sebagai pemegang hak bujet. Intinya, Menteri Keuangan yang baru mesti bisa diterima semua fraksi.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, yang blakblakan mensyaratkan Menteri Keuangan yang baru harus mampu membangun hubungan yang harmonis dengan DPR. Sebab, kriteria ini tidak ada dalam diri seorang Sri Mulyani. Makanya, parpol pendukung koalisi ini bilang, mundurnya Sri Mulyani semacam exit gate atau resolusi konflik atas dishasmonisasi hubungan DPR dengan otoritas fiskal.
Toh, pilihan akhirnya jatuh pada Agus Marto. Meski pria kelahiran Amsterdam, 24 Januari 1956, ini lebih banyak berkutat pada urusan mikro dan, ya itu tadi, pernah ditolak DPR, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap mantap memilih Agus Marto menjadi Menteri Keuangan. Alasan Presiden SBY, mantan Direktur Utama Bank Permata ini memiliki kapasitas dan integritas yang baik.
DPR pun ternyata tidak lagi mempermasalahkan bahkan memaklumi sosok Agus Marto yang pernah mereka tolak menjadi calon orang nomor satu di Kebon Sirih, kantor BI. Mereka kini memerima dengan tangan terbuka. Sebab, dewan menilai sosok Agus Marto bisa membuat hubungan DPR dengan pemerintah yang sempat memanas gara-gara kasus Bank Century dapat agak lebih dingin.
Tapi, mengutip pernyataan pengamat politik CSIS J. Kristiadi, publik telanjur mengenang Sri Mulyani sebagai pejabat yang memiliki integritas, berprinsip, dan sulit diajak berkompromi. Karakter tersebut mau tak mau harus ditiru Menteri Keuangan yang baru.
Ekstremnya, Agus Marto harus menjadi bayang-bayang pendahulunya, Sri Mulyani. Apa pun yang dikerjakan Agus Marto, publik bakal selalu membandingkannya dengan Sri Mulyani. Apalagi, sebagian masyarakat sudah telanjur mengecap mantan direktur eksekutif IMF itu sebagai Menteri Keuangan yang ideal. Dunia pun mengakui kemampuan dan kapasitas Sri Mulyani.
Oleh sebab itu, Agus Marto harus bisa menjawab tuntutan publik, yakni meneruskan reformasi birokrasi yang sudah dilakukan Sri Mulyani di tubuh Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Ini jelas bukan tugas yang gampang. Seorang Sri Mulyani pun mengakui itu merupakan pekerjaan yang berat. Apalagi, belum-belum ada pihak yang menyangsikan reformasi birokrasi akan terus berjalan sepeninggal Sri Mulyani.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu ke-4 Mei 2010)

SUBSIDI

Tambahan beban bagi sebagian rakyat Indonesia itu masih mungkin ditambah kenaikan harga gas Elpiji tabung ukuran 12 kilogram hingga Rp 31.000, jika usulan PT Pertamina mendapat lampu hijau.
Pahit, memang, tapi pemerintah memang harus berani mengambil tindakan tegas melepaskan sebagian rakyat kita -terutama kelas menengah atas yang selama ini terbelenggu, lebih tepatnya lagi: terlena- oleh berbagai subsidi pemerintah. Sudah tidak elok lagi kalau terus-terusan kita lihat mobil-mobil mewah dengan cuek mengisi BBM bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), padahal di belakangnya ikut mengantre kendaraan umum semacam mikrolet.
Memang, dalam jangka panjang pemerintah perlu merancang ulang (redesain) skema subsidi dari kebijakan subsidi harga menjadi subsidi yang tepat sasaran (targeted subsidy). Dengan begitu, penyaluran subsidi bisa lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, tepat sasaran, dapat diperkirakan dengan tepat, serta keuangan negara dapat menjadi lebih stabil.
Selama ini kebijakan subsidi harga telah menyebabkan terjadinya distorsi dalam perekonomian dan APBN menjadi rentan terhadap goncangan dari luar. Contoh, pada 2008 lalu, ketika harga minyak mentah dunia mencapai level tertinggi sepanjang sejarah, yakni di US$ 147 per barel, APBN kita menjadi berdarah-darah.
Tapi, seharusnya redesain subsidi bukan hanya tertuju kepada subsidi BBM dan listrik, melainkan juga pupuk dan subsidi-subsidi lain. Soalnya, subsidi pupuk, ambil contoh, juga sering salah sasaran. Perbedaan harga antara produk bersubsidi dengan non-subsidi dapat menyebabkan timbulnya penyimpangan penyaluran. Perusahaan pertanian atau perkebunan besar juga ikut menikmati pupuk bersubsidi. Jadi, enggak salah langkah pemerintah memberlakukan sistem distribusi tertutup pada pupuk bersubsidi, dengan mengarahkan langsung ke para petani.
Dengan redesain subsidi, kelak hanya rakyat yang betul-betul berhak yang bisa dan boleh menikmati subsidi dari pemerintah.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 12 Mei 2010)

LIFTING

Sekali lagi, pemerintah menunjukkan koordinasi yang tidak kompak antarlembaga. Pemerintah tidak satu suara soal target produksi alias lifting minyak mentah Indonesia tahun ini.
Dan, suara-suara yang berbeda itu justru muncul setelah pemerintah dan Komisi Keuangan (XI) DPR sama-sama menyepakati target lifting yang dipatok dalam Rancangan APBN Perubahan (RAPBN-P) 2010, yang kemudian akan dibahas bareng dengan Badan Anggaran DPR, sebanyak 965.000 barel per hari (bph). Artinya, sama persis dengan yang diusulkan pemerintah.
Adalah Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang menyuarakan perbedaan soal target lifting minyak tersebut. Lembaga yang mengawasi kegiatan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) atawa perusahaan migas ini pesimistis, target lifting sebesar 965.000 bph bisa tercapai. Paling banter, kata mereka, lifting hanya 917.000 bph.
Kepala BP Migas R. Priyono bilang, pihaknya sudah menyampaikan soal kemampuan KKKS yang cuma sanggup menyedot emas hitam dari dari perut bumi Indonesia sebesar 917.000 bph itu dalam rapat antarlembaga pemerintah yang menggodok RAPBN-P 2010.
Tapi, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Legowo dengan tegas menyatakan, angka 917.000 bph tersebut tidak pernah muncul sekalipun dalam rapat. Menurut dia, semua sepakat lifting minyak bisa mencapai 965.000 bph.
Dari sini saja, jelas sekali terlihat koordinasi antarlembaga pemerintah tidak kompak satu dengan yang lainnya. Padahal urusan target lifting minyak tak main-main dampaknya. Meleset 10.000 bph saja, negara berpotensi tekor untuk menutup lubang defisit antara Rp 3 triliun hingga 3,34 triliun.
Itu berarti, kalau hitungan BP Migas menjadi kenyataan, defisit bujet tahun ini berpotensi bertambah lebih dari Rp 15 triliun. Padahal cadangan fiskal tahun ini cuma dianggarkan Rp 3 triliun saja.
Nah, pemerintah dan Badan Anggaran DPR harus betul-betul membahas lagi soal lifting minyak sewaktu menggodok RAPBN-P 2010. Tentunya, dengan memperhitungkan fakta-fakta yang sudah diungkapkan oleh BP Migas.
Toh, lebih baik tidak memasang target yang muluk-muluk, kalau ternyata ujung-ujungnya tidak tercapai juga. Apalagi, tahun lalu target lifting yang cuma 960.000 bph juga tidak tercapai, lantaran realisasinya hanya 944.000 bph.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 23 April 2010)

GAYUS DAN SPT

Wajah Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo tampak sumingrah, Kamis (1/4) pekan lalu. Bagaimana tidak? Di tengah gempuran kasus Gayus Tambunan yang sudah mencoreng muka dan ajakan boikot membayar pajak, jutaan wajib pajak tetap menyetorkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan orang pribadi (PPh 21).
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mencatat, hingga 31 Maret 2010 lalu atau batas akhir penyerahan, ada 5,91 juta wajib pajak yang menyampaikan SPT PPh 21, baik melalui kantor pelayanan pajak maupun drop box yang tersebar di pusat-pusat keramaian. Angka ini lebih tinggi 29,75% ketimbang periode yang sama tahun lalu yang cuma sebanyak 4,55 juta orang yang menyerahkan SPT tepat waktu.
Tjiptardjo mengklaim, peningkatan itu ikut menandakan kasus Gayus dan gerakan boikot membayar pajak tidak meredupkan kepercayaan masyarakat terhadap Ditjen Pajak. Kenaikan jumlah wajib pajak yang menyerahkan SPT tepat waktu tersebut juga membuktikan keberhasilan program sosialisasi yang dilakukan Ditjen Pajak.
Tapi sejatinya, peningkatan itu tidak ada apa-apanya dibanding jumlah total orang pribadi yang mengantongi nomor pokok wajib pajak alias NPWP. Setidaknya tahun lalu pemegang NPWP mencapai 13,6 juta orang. Itu berarti, wajib pajak yang tidak telat menyerahkan SPT PPh 21 tidak sampai 50%, persisnya hanya sekitar 43% saja.
Dengan begitu, sosialisasi Ditjen Pajak mengajak orang patuh, paling tidak patuh menyetorkan SPT PPh 21 tepat waktu, tidak berhasil-berhasil amat. Jangan-jangan, lembaga yang tahun ini memikul beban penerimaan pajak sebesar Rp 652,02 triliun dan sebanyak Rp 356,01 triliun berasal dari PPh itu juga tidak berhasil-berhasil amat membuat orang patuh membayar pajak.
Tanda-tanda orang mulai ogah membayar pajak mulai kelihatan dari munculnya sejumlah gerakan boikot lewat situs jejaring sosial Facebook. Tengok saja, Gerakan 1.000.000 Rakyat Boikot Bayar Pajak dan Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak untuk Keadilan.
Direktur Jenderal Pajak boleh saja mengklaim kasus Gayus dan gerakan boikot membayar pajak tidak meredupkan kepercayaan masyarakat terhadap Ditjen Pajak. Tapi kenyataannya, jumlah wajib pajak yang menyerahkan SPT tepat waktu masih minim. Jadi, jangan anggap remeh kasus Gayus dan gerakan boikot membayar pajak.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 5 April 2010)

EARTH HOUR

Earth Hour 2010. Ubah dunia dalam satu jam, matikan lampu pada Sabtu, 27 Maret 2010, pukul 20.30 sampai 21.30 waktu setempat. Tahun ini, WWF kembali mengajak individu, praktisi bisnis, pemerintah, dan sektor publik lainnya di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk turut serta mematikan lampu, hanya satu jam saja.
Kampanye yang sudah berlangsung sejak 2007 lalu itu bertujuan membangun keterlibatan masyarakat luas. Yakni, melakukan aksi kecil yang dapat membawa suatu perubahan besar: mengurangi gas rumah kaca. Soalnya, perubahan iklim merupakan salah satu ancaman kehidupan di muka bumi yang paling nyata dan signifikan.
Nah, salah satu cara untuk mengurangi percepatan pemanasan global adalah dengan mengurangi pemakaian listrik. Sebab, listrik yang dipakai manusia kebanyakan berasal dari pembangkit setrum berbahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan batubara.
Parahnya, pembangkit-pembangkit listrik tersebut mengeluarkan CO2 atau gas rumah kaca, yang telah mengakibatkan kenaikan dramatis temperatur rata-rata planet kita. Sehingga ini menyebabkan antara lain air permukaan laut naik dan musim kemarau panjang.
Matikan lampu selama satu jam merupakan aksi kecil yang membawa perubahan besar. WWF menghitung, kalau 10% warga Jakarta berpartisipasi dalam Earth Hour, kita bisa menghemat konsumsi listrik sebesar 300 megawatt (MW). Itu berarti, setara dengan mematikan satu pembangkit listrik dan menghemat 267,3 ton CO2.
Gubernur DKI Jakarta, yang juga Duta Earth Hour Indonesia, sudah berkomitmen memadamkan lampu di lima ikon kota, yaitu Bundaran HI, Monas, Gedung Balai Kota, Patung Pemuda dan Air Mancur Patung Arjuna Wiwaha. Sedang Walikota Yogyakarta bersedia mematikan lampu di Tugu, yang merupakan ikon kota gudeg itu.
Ya, pemerintah, baik pusat maupun daerah, memang harus memberi contoh dan tak sebatas mengimbau saja. Sebab, aksi Earth Hour tidak hanya salah satu cara untuk mengurangi percepatan pemanasan global saja, tapi juga upaya menghemat pemakaian listrik.
Sebetulnya tidak susah-susah amat melakoni aksi Earth Hour. Lantaran, kita sudah terbiasa dengan listrik yang byarpet akibat negara kita yang sedang krisis listrik. Namun, sekalipun nanti kondisi setrum di tanah air sudah membaik, toh tak ada ruginya meneruskan gerakan Earth Hour.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 22 Maret 2010)