Kamis, 09 Desember 2010

KEBIJAKAN SALAH SASARAN

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala, ketika istri saya yang bekerja sebagai paramedis ambulans gawat darurat bercerita mengenai orang kaya yang menggunakan kartu keluarga miskin atawa gakin untuk mendapatkan layanan ambulans dan rumahsakit gratis. Karena mendekap kartu gakin, ambulans tempat istri saya bekerja tidak kuasa menolak untuk memberikan layanan cuma-cuma. Begitu juga dengan rumahsakit tempat orang itu berobat.
Memang, betul-betul enak menjadi orang kaya di negeri ini. Meski sudah hidup serba-berkecukupan, negara masih “menyusui” mereka dengan aneka subsidi. Yang paling kentara, adalah subsidi bahan bakar minyak alias BBM dan listrik. Padahal, saban tahun pemerintah harus berutang sana-sini hanya untuk membiayai subsidi yang salah sasaran tersebut. Herannya, para orang berduit di negara kita tidak tahu malu, tetap cuek.
Tahun ini saja, pemerintah harus merogoh kocek total Rp 144 triliun cuma untuk subsidi BBM dan listrik, yang masih banyak dinikmati oleh orang-orang berkantong tebal. Tapi, di satu sisi, pemerintah selalu saja teriak-teriak di pelbagai kesempatan: APBN kita hanya cukup membiayai 20% pembangunan infrastruktur publik yang setahun paling tidak melahap duit hingga Rp 300 triliun.
Sejatinya, pemerintah sudah tersadar bahwa subsidi BBM dan listrik selama ini telah melenceng dari sasaran utama, yakni masyarakat kelas menengah bawah. Tengok saja ?APBN-P 2010, pemerintah tegas-tegas menuliskan, ingin kebijakan subsidi lebih tepat sasaran. Misalnya, dengan menerapkan sistem distribusi BBM bersubsidi melalui pola tertutup secara bertahap mulai tahun ini.
Dan, sebetulnya, tak ada lagi yang menghalangi langkah pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sebab, Senayan, tempat para wakil rakyat berkantor, sudah memberi restu. Buktinya, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) rata-rata sebesar 10%, yang tidak mengikutsertakan pelanggan golongan bawah, boleh dibilang mulus-mulus saja.
Begitu juga dengan kebijakan distribusi BBM bersubsidi tertutup dengan membatasi konsumsi premium dan solar untuk mobil jenis tertentu, DPR pun memberi dukungan. Bahkan, ada fraksi yang terang-terang meminta pemerintah melarang semua mobil pelat hitam menenggak premium. Dengan begitu, pengawasannya tidak susah-susah amat.
Tapi, dukungan yang sudah ada di tangan tersebut tak lantas membuat pemerintah terus menancap gas. Sekalipun, juga sudah ada komitmen dari PT Pertamina yang siap menjalankan kebijakan itu. Di tengah jalan, pemerintah tiba-tiba menunda rencana membatasi konsumsi BBM bersubsidi untuk jenis mobil tertentu mulai bulan depan.
Sebelumnya, pemerintah pun menunda mengerek harga jual elpiji dalam tabung 3 kg tahun ini, yang juga salah sasaran.
Jadi, dengan dukungan pelbagai pihak itu, tidak ada lagi kata tidak untuk menerapkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Apalagi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, hanya dengan membatasi premium di wilayah Jabodetabek saja, pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi BBM hingga Rp 2 triliun.
Dengan duit Rp 2 triliun, pemerintah, antara lain bisa membangun pembangkit listrik dengan kapasitas sampai 200 megawatt. Atau, membangun jalan baru sepanjang 1.000 kilometer. Atau, membangun 200 gedung sekolah dasar yang sangat megah. Atau, membangun 1.000 puskesmas dua lantai.
Bukan pilihan sulit bagi pemerintah memutuskan kebijakan yang prorakyat.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Ketiga September 2010)

Tidak ada komentar: