Kamis, 09 Desember 2010

DISKRIMINASI

Denyut arus mudik makin berdetak kencang. Kementerian Perhubungan memperkirakan, tahun ini, sebanyak 31,63 juta penduduk Indonesia akan mudik untuk berlebaran di kampung halamannya masing-masing. Jumlah itu melonjak 15% atau 4,13 juta orang ketimbang tahun lalu.
Ledakan jumlah pemudik terbesar terjadi pada angkutan darat, khususnya sepeda motor. Jumlah pemudik kendaraan bermotor roda dua tahun ini diperkirakan bakal naik 470.00 orang dari tahun sebelumnya sebanyak 3,14 juta orang menjadi 3,61 juta orang.
Tapi, pemudik sepeda motor mendapat perlakuan cukup "diskriminatif", dengan dalil untuk menekan angka kecelakaan dan mengurangi kemacetan saat arus mudik. Ambil contoh, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat akan mengalihkan pemudik sepeda motor ke jalur-jalur alternatif untuk mengurangi kemacetan di jalur utama. Bahkan, Polda Sumatera Utara melarang keras pemudik sepeda motor.
Memang, angka kecelakaan pemudik sepeda motor dalam arus mudik sangat tinggi. Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Mabes Polri mencatat, dari 1.646 kasus kecelakaan selama arus mudik tahun lalu, sebanyak 76% di antaranya terjadi pada pemudik sepeda motor.
Tapi, bukan berarti kemudian pemudik sepeda motor mendapat perlakuan "diskriminatif". Jutaan orang terpaksa pulang ke kampung halaman untuk berlebaran dengan mengendarai sepeda motor, lantaran murah meriah ketimbang menumpang angkutan umum yang harga tiketnya naik dua kali lipat dibandingkan hari biasa.
Solusi yang ditawarkan pemerintah, misalnya, dengan menyediakan gerbong kereta api khusus sepeda motor belum cukup. Problemnya, Sudah jumlah gerbongnya terbatas, tarifnya juga mahal. Pemudik harus membayar Rp 200.000 untuk jarak terjauh. Namun, itu baru biaya angkut sepeda motor saja, belum termasuk pemiliknya.
Dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, seharusnya pemudik sepeda motor mendapat perlakuan khusus, bukan malah perlakuan yang "diskriminatif". Selagi ritual mudik masih mahal seperti sekarang ini, siapapun tidak bisa membendung mudik dengan sepeda motor yang lebih murah sekalipun sangat beresiko.
Pemerintah tampaknya juga mulai harus memikirkan, bagaimana melahirkan budaya mudik yang murah, terutama untuk masyarakat kelas menengah bawah. Tidak harus gratis, yang penting murah.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 6 September 2010)

Tidak ada komentar: