Selasa, 07 Desember 2010

MORATORIUM

Hutan alam, termasuk lahan gambut, bisa bernafas lega paling tidak selama dua setengah tahun ke depan. Soalnya, pemerintah mulai bulan ini menyetop sementara alias moratorium izin baru alih fungsi atawa konversi kawasan hutan alam seluas 112,57 juta hektare untuk semua sektor industri, mulai perkebunan, pertambangan sampai kehutanan.
Itu berarti, semua mahluk hidup, baik hewan maupun tumbuhan, yang menghuni rimba tersebut bisa hidup tenang. Mereka tak lagi terusik oleh tangan-tangan manusia yang merambah hutan. Sehingga, penghuni rimba, semacam harimau dan gajah, tidak perlu lagi berkonflik dengan manusia lantaran harus ke luar hutan, akibat habitatnya yang makin menciut.
Sebaliknya, pelaku usaha di sektor perkebunan, pertambangan, dan kehutanan gelisah bukan kepalang. Tak pelak lagi, kebijakan moratorium tersebut bakal mengganjal ekspansi bisnis mereka. Greenonomics Indonesia mencatat, perusahaan kebun kelapa sawit saja sudah berancang-ancang mengembangkan lahan menjadi 8,4 juta hektare dalam tiga tahun ke depan.
Efek berikutnya, menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), tenaga kerja yang terserap di sektor perkebunan sawit makin sedikit. Padahal, mereka mengklaim, selama ini, sektor industri kelapa sawit bisa memacu pertumbuhan ekonomi dan menekan angka pengangguran.
Ya, pemerintah memang mesti membayar mahal keputusan moratorium tersebut, meski mendapat hibah yang sangat besar dari Norwegia sebanyak US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9,2 triliun. Tapi, duit gratis itu semata hanya bisa dipakai untuk dana pelestarian hutan. Tidak bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur, misalnya.
Sebetulnya, tidak adil buat negara kita. Di satu sisi, negara maju jor-joran melepas emisi karbon dengan membiarkan industri mereka melakukan ekspansi besar-besaran. Di sisi lain, negara kita harus menekan emisi karbon sambil membatasi industri melebarkan sayap bisnisnya, walaupun Indonesia mendapat bayaran dari negara maju.
Kalaupun terpaksa mempraktekkan jual beli karbon itu, semestinya pemerintah juga harus punya posisi tawar yang kuat. Dana hibah yang dikantongi juga harus bisa digunakan untuk kepentingan pembangunan yang bisa mensejahterahkan rakyat secara lebih riil. Contohnya, untuk membiayai infrastruktur publik dan program yang memangkas angka pengangguran.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 4 Juni 2010)

Tidak ada komentar: