Senin, 16 Desember 2013

MENGHAPUS SUBSIDI?

Kementerian Keuangan menghidupkanlagi wacana penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Itu berarti, tidak ada lagi BBM bersubsidi. Harga premium dan solar akan mengikuti harga pasar seperti Pertamax. Dengan penghapusan subsidi BBM, beban keuangan pemerintah yang saat ini terlalu berat menjadi sedikit enteng. Betapa tidak? Tahun ini saja, pemerintah mesti menanggung subsidi BBM Rp 199,9 triliun. Itu pun sudah dipangkas sebagian dengan mengerek harga BBM bersubsidi akhir Juni lalu. Tahun depan, bujet subsidi BBM membengkak menjadi Rp 210,7 triliun. Tapi, bukan pekerjaan mudah buat pemerintah menghapus subsidi BBM. Jangankan menghapus, mengurangi subsidi dengan menaikkan harga BBM bersubsidi saja susahnya minta ampun. Penolakan keras datang dari segala penjuru. Apalagi, bukan berarti konsumsi BBM negara kita bisa berkurang begitu harga premium dan solar sudah sesuai harga pasar. Orang pasti tetap menggunakan kendaraan bermotor pribadi lantaran angkutan umum kita masih jauh dari kata aman, nyaman, dan murah. Alhasil, impor BBM tetap tinggi. Potensi neraca perdagangan Indonesia terus mencetak defisit masih ada. Memang betul, di Jakarta, misalnya, sudah ada busway yang boleh dibilang aman dan murah. Tapi, masih jauh dari kata nyaman. Penumpang harus berdesak-desakan di dalam bus lantaran jumlah armada busway yang sangat minim. Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di keretaapi listrik (KRL) Jabodetabek yang sebetulnya sudah jauh lebih nyaman. Semua gerbong sudah berfasilitas pendingin udara, lalu stasiun steril dari pedagang kaki lima. Tapi di jam-jam sibuk, kereta masih penuh sesak penumpang karena gerbong masih kurang. Untuk mendorong pengadaan armada busway dan gerbong KRL, pemerintah semestinya menghapus pajak impor. Jangan malah pajak mobil murah yang jelas-jelas bisa mendongkrak konsumsi BBM yang dihapus. Kalau jumlah armada busway dan gerbong KRL lebih dari cukup, orang tentu mau beralih ke angkutan massal ini. Soalnya, sudah tarifnya murah, busway dan KRL lebih aman dan nyaman. Yang tidak kalah penting, bebas macet. Kalau sudah begini, konsumsi BBM bisa turun dengan sendirinya. Tanpa perlu mengurangi apalagi menghapus subsidi BBM, beban keuangan pemerintah pun bisa sedikit berkurang. Tak hanya itu, kemacetan lalu lintas khususnya di Ibukota RI juga bisa berkurang. Mau?

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 26 November 2013)

BUSWAY

Bulan ini kepolisian gencar melakukan operasi sterilisasi jalur busway. Untuk menimbulkan efek jera, ada denda tilang sebesar Rp 1 juta bagi para pengemudi mobil yang masih nekad menerobos jalur khusus TransJakarta tersebut. Sedang denda untuk pengendara sepeda motor Rp 500.000. Pro dan kontra pun menyeruak. 
Kebanyakan yang kontra menyatakan, penerapan denda tilang yang besar itu hanya akan menyuburkan praktik pungutan liar alias pungli di lapangan. Tapi, kekhawatiran ini dengan gampang dimentahkan. Simpel saja, praktik pungli tidak akan terjadi kalau para pengendara tak menerobos jalur busway. 
Memang, kepolisian dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus mengambil sikap tegas untuk membersihkan jalur busway dari para "pembajak" jalur khusus ini. Cuma, setelah jalur betul-betul steril dari kendaraan pribadi dan angkutan umum yang tidak boleh masuk jalur busway, tugas Pemprov DKI tak otomatis berakhir. Sebab, boleh dibilang kebanyakan jalur busway sebetulnya mubazir, tak banyak armada TransJakarta yang lewat. 
Tengok saja, berapa menit sekali bus TransJakarta mampir di tiap halte. Kadang malah sampai satu jam sekali, dari seharusnya tiap lima menit sekali. Alasan jalur dikuasai kendaraan pribadi memang masuk akal, sehingga laju bus TransJakarta terhambat. 
Tapi sejatinya, masalah utamanya bukan di situ, melainkan karena jumlah bus terlalu sedikit. Alhasil, harapan busway menjadi transportasi yang nyaman masih jauh lantaran selalu penuh sesak penumpang. Apalagi, sebagai salah satu cara mengurai kemacetan Ibukota RI yang sudah akut. 
Buntut dari bus yang masih jauh dari nyaman dan jalur yang tidak steril, jumlah penumpang busway pun turun. Data Unit Pengelola TransJakarta menunjukkan, jumlah penumpang Koridor 1, misalnya, tahun 2011 tercatat 25,6 juta orang tapi di 2012 tinggal 23,4 juta orang saja. Begitu juga Koridor 2, dari 10 juta penumpang di 2011 menjadi 8,8 juta orang pada 2012 lalu. 
Pengadaan ratusan armada baru harus dipercepat, tentu tanpa mengabaikan kualitas bus. Sehingga, jalur busway tidak mubazir alias kosong melompong karena jarang TransJakarta yang lewat. Dampak yang lebih besar lagi, pemilik kendaraan pribadi mau beralih ke TransJakarta. Sebab, transportasi ini benar-benar sudah menjelma menjadi angkutan umum yang murah, aman, dan nyaman. Juga cepat lantaran jalurnya sudah steril betul.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 6 November 2013)

SAHAM NEWMONT

Sebanyak 24% saham PT Newmont Nusa Tenggara milik sejumlah pemerintah daerah (pemda) di Nusa Tenggara Barat (NTB) terancam jatuh ke tangan asing kembali. Sebab ternyata, PT Multi Daerah Bersaing (MDB) menjaminkan saham jatah divestasi perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu untuk mendapatkan pinjaman dari Credit Suisse AG cabang Singapura senilai US$ 360 juta atau sekitar Rp 3,6 triliun. 
Catatan saja, MDB adalah perusahaan patungan antara PT Daerah Maju Bersaing milik Pemerintah Provinsi NTB, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa dengan PT Bumi Resources Minerals Tbk. Berkongsi dengan anak usaha Grup Bakrie itu, ketiga pemda di NTB lewat MDB membeli jatah divestasi saham Newmont tahun 2006, 2007, 2008, dan 2009 dengan total porsi 24% saham. 
Nah, utang ke Credit Suisse itu jatuh tempo 18 September 2013 lalu. Celakanya, MDB tidak punya uang untuk membayar utang tersebut. Begitu juga dengan Bumi Resources Minerals. Untung, perusahaan tambang yang tercatat di papan bursa bersandi BMRS ini berhasil merayu Credit Suisse. 
Alhasil, bank yang berbasis di Negeri Merlion itu memperpanjang masa jatuh tempo menjadi Desember 2013 nanti. Tapi, potensi gagal bayar alias default tetap ada. Sehingga kemungkinan saham Newmont itu kembali ke tangan asing, dalam hal ini Credit Suisse, juga tetap ada. 
Nah, ini saatnya pemerintah pusat turun tangan, "merebut" kembali haknya. Sesuai kontrak karya, Nusa Tenggara Partnership (NTP) B.V. yang kini menggenggam 56% saham Newmont secara bertahap harus melepas sahamnya kepada Pemerintah Indonesia. Apalagi, saat ini pemerintah sedang memperjuangkan pembelian 7% saham divestasi Newmont jatah 2010 melalui Pusat Investasi Pemerintah, setelah melepas jatah divestasi saham tahun-tahun sebelumnya ke pemda. 
Tidak ada alasan buat DPR untuk tidak mendukung langkah pemerintah pusat menguasai 7% saham Newmont, termasuk jika pemerintah pusat berniat mengambilalih saham Newmont dari MDB. Sebab terbukti, pemda di NTB tidak punya duit untuk membeli saham perusahaan yang menambang di Pulau Sumbawa itu. Sehingga, pemda menggandeng swasta yang ternyata juga tidak memiliki uang. 
Tentu, kita tidak ingin kejeblos untuk kedua kalinya. Tapi dengan syarat, hasil keuntungan pemerintah mengempit saham Newmont harus bermanfaat untuk rakyat.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 18 Oktober 2013)

MENGURANGI SUBSIDI

Demi anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) tidak terlalu membengkak tahun depan, Rabu (25/9) lalu, pemerintah dan DPR sepakat memangkas kuota volume BBM bersubsidi menjadi 48 juta kiloliter (kl). Angka ini sama dengan kuota volume premium dan kawan-kawan tahun ini. 
Padahal, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014, pemerintah mematok kuota volume BBM bersubsidi sebanyak 50,5 juta kl. Kuota tersebut sejalan dengan pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor tahun depan sebesar 10%. 
Dengan menggunting kuota volume plus asumsi harga minyak Indonesia menjadi US$ 105 per barel, bujet subsidi BBM tahun depan hanya membengkak menjadi Rp 210,73 triliun. Dalam RAPBN 2014, pemerintah memasang pagu subsidi BBM sebesar Rp 194,9 triliun. 
Alhasil, lonjakan subsidi BBM hanya bersumber dari perubahan asumsi nilai tukar rupiah, dari sebelumnya Rp 9.750 per dollar Amerika Serikat (AS) menjadi Rp 10.500 per dollar AS. Catatan saja, nilai tukar rupiah, volume BBM bersubsidi, dan harga minyak Indonesia menjadi parameter subsidi BBM. 
Yang menjadi pertanyaan besar: kenapa pemerintah dan DPR mengabaikan serbuan mobil murah? Padahal, kehadiran mobil murah akan menyedot BBM bersubsidi lebih banyak lagi. Apalagi, pemerintah tidak mengeluarkan larangan mobil murah menengak premium. Hanya sebatas menakut-nakuti, jika menggunakan BBM subsidi, dalam dua tahun mesin bisa rusak. 
Memang, tahun depan pemerintah akan melakukan sejumlah program pengendalian agar kuota volume BBM bersubsidi tidak jebol. Misalnya, pemakaian radio frequency indentification (RFID) dan penerapan pembayaran nontunai untuk pembelian BBM bersubsidi. Cuma masalahnya, kedua program ini baru sebatas merekam data konsumsi BBM bersubsidi. 
Sejauh ini, pemerintah belum membuat rencana pasti pembatasan pembelian premium dan solar lewat kedua cara ini. Tentu kalau hanya merekam data tanpa ada tindakan lebih, kedua upaya itu tidak bisa mengerem konsumsi BBM subsidi. 
Jadi, pemerintah harus segera membarengi RFID dan pembayaran nontunai dengan program pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Pembatasan bisa berupa hanya boleh mengisi premium dan solar sekali dalam sehari, atau membatasi pembelian berdasarkan volume. Upaya ini pasti bisa mengurangi konsumsi secara signifikan.

(S.S. Kurniawan, Tajuk harian KONTAN 27 September 2013)