Jumat, 07 Maret 2014

SUBSIDI SI KAYA

Pekan lalu, pemerintah dan DPR sepakat mencabut subsidi listrik untuk enam golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik negara (PLN). Dengan penghapusan subsidi ini, pemerintah bisa menghemat hampir Rp 11 triliun dari total subsidi setrum tahun ini yang mencapai Rp 71,36 triliun. 
Jelas, penghematan ini bukan angka yang kecil. Dengan duit segede itu, misalnya, pemerintah bisa membangun jalan beton bertulang yang kokoh sepanjang 4.400 kilometer (km), yang biayanya sekitar Rp 2,5 miliar per km. Sehingga, jalan enggak gampang rusak. 
Enam golongan pelanggan PLN itu memang pantas dicabut subsidi listriknya. Mereka adalah golongan pelanggan industri menengah (I-3), lalu industri besar (I-4), rumahtangga besar (R-3), bisnis menengah (B-2), bisnis besar (B-3), dan kantor pemerintah sedang (P-1). 
Enak betul hidup mereka, terutama perusahaan-perusahaan yang masuk golongan pelanggan industri besar. Dengan omzet ratusan miliar bahkan triliunan rupiah setahun per perusahan, mereka masih bisa menikmati subsidi listrik yang tidak sedikit. 
PLN mencatat, subsidi listrik yang mengalir dari kantong pemerintah ke golongan pelanggan industri besar mencapai Rp 7,57 triliun. Itu berarti, lebih dari 10% atas total subsidi tahun ini. Padahal, jumlah golongan pelanggan industri besar hanya 67 perusahaan. Bandingkan dengan jumlah seluruh pelanggan PLN yang mendekati angka 50 juta pelanggan. 
Masih menurut PLN, perusahaan-perusahaan kelas kakap itu cuma membayar tarif listrik di bawah Rp 900 per kilowatt hour (kWh). Tarif ini bahkan lebih rendah dari tarif listrik yang dipungut PLN kepada rumahtangga besar. Tarif listrik subsidi rumahtangga besar rata-rata Rp 1.004 per kwh. Sedang tarif listrik tanpa subsidi atau setara biaya produksi: Rp 1.300 per kWh. 
Nah, berikutnya, apakah pemerintah berani mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) bagi pemilik mobil mewah? Tentu, lewat cara yang pernah pemerintah godok, yakni larangan pemilik mobil pribadi membeli premium. Sebab, Komite Ekonomi Nasional (KEN) pernah menghitung pelaksanaan kebijakan ini bisa menggunting anggaran subsidi BBM hingga Rp 80 triliun. 
Bila tidak mau terlalu ekstrem lantaran tahun ini adalah tahun politik, pemerintah mesti mencari cara lain. Ambil contoh, menagih pembayaran denda dari Asian Agri Group atas perkara penggelapan pajak sebesar Rp 2,5 triliun. Soalnya, nilai dendanya tidak main-main. 
 
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 28 Januari 2014)

BPJS KESEHATAN

Tahun baru, tak hanya harga Elpiji dalam kemasan tabung 12 kilogram yang baru (jadi lebih mahal maksudnya). Tapi juga, negara kita mulai menjalankan program jaminan kesehatan baru: Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 
Di tahun perdana, tak kurang dari 116 juta orang otomatis menjadi peserta JKN yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tentu, angka peserta program yang memang semesta alias melindungi seluruh penduduk Indonesia tanpa terkecuali hingga meninggal dunia tersebut bakal bertambah tahun ini. 
Tengok saja, di sejumlah kota, seperti Medan, Tanjungpinang, Tangerang, dan Sukoharjo, warga yang ingin mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan membludak. Masyarakat rela antre berjam-jam di kantor BPJS. 
Maklum, dengan premi yang enggak mahal-mahal amat, mereka bisa menikmati pelayanan kesehatan, mulai tingkat pertama, rujukan, hingga rawat inap. Peserta yang masuk kategori pekerja bukan penerima upah atau peserta bukan pekerja, cukup merogoh kocek Rp 25.500 per orang per bulan untuk mendapatkan pelayanan di kelas III. Kalau mau yang kelas I, preminya Rp 59.500 pas. 
Meski hampir separo penduduk Indonesia sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan, baru sekitar 15.000 unit fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bisa melayani. Itu pun puskesmas dan klinik kesehatan milik PT Askes, PT Jamsostek, dan TNI/Polri. Klinik kesehatan swasta maupun praktik dokter pribadi belum ada yang bergabung. 
Jumlah tersebut tentu sangat kurang. Sebab, peserta BPJS Kesehatan tidak boleh langsung berobat ke rumahsakit tanpa rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama. Kecuali, dalam kondisi gawat darurat. Tambah lagi, tak semua fasilitas kesehatan itu yang buka 24 jam atau paling tidak sampai malam. 
Cuma masalahnya, tidak semua klinik swasta yang mau ikut dalam Program JKN. Alasan utamanya: tarif dokternya terlalu murah, hanya Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per pasien. Tapi, klinik swasta jelas bakal rugi jika tidak bergabung. Kelak, semua penduduk Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan. 
Cuma memang, untuk merangsang klinik swasta termasuk rumahsakit swasta masuk dalam Program JKN, BPJS Kesehatan mesti membayar klaim dengan cepat. Proses verifikasi klaim jangan terlalu bertele-tele. Tentu, klinik dan rumahsakit juga jangan sampai menggelembungkan nilai klaim. Sehingga proses klaim berjalan cepat.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 7 Januari 2014)

INFLASI

Menjelang tutup tahun 2013, masyarakat dikejutkan oleh kenaikan harga sejumlah barang. Contoh, air minum dalam kemasan. Produsen Aqua mengaku mengerek harga Aqua galon sebesar 7,7%. Lalu, yang biasa mengkonsumsi roti tawar kupas buatan Sari Roti, harganya juga naik, lo, 20%, dari Rp 10.000 per bungkus menjadi Rp 12.000. 
Tapi, yang ramai diangkat media massa, sih, kenaikan harga elpiji dalam kemasan tabung ukuran 3 kilogram (kg) dan 12 kg. Kemudian, kenaikan tarif jalan tol dalam Kota Jakarta yang naik sekitar 14%. Salah satu penyebab kenaikan harga barang adalah nilai tukar rupiah yang melemah, hingga menembus angka Rp 12.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Tentu, pelaku usaha yang menggunakan bahan baku impor mau tidak mau mengompensasi pelemahan kurs dengan menaikkan harga produknya. 
Cuma celakanya, kenaikan harga beberapa barang dan tarif jasa di awal tahun ini berbarengan dengan Natal dan Tahun Baru. Tentu kenaikan itu akan memecut lari inflasi semakin kencang bulan ini. Tapi, prediksi banyak pengamat, inflasi tahun 2013 tak bakal menembus angka 9%, paling banter 8,5%. 
Toh, inflasi tahun ini tetap tinggi. Alhasil, dalam laporannya bertajuk ASEAN Statistic In Focus yang terbit Rabu (4/12) pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, inflasi Indonesia tahun ini yang tertinggi ketimbang negara-negara ASEAN lain. Tak hanya itu, sementara kebanyakan negara ASEAN inflasi tahunannya fluktuatif selama 2011-2013, negara kita justru terus mendaki, dari 3,8% di 2011 lalu 4,3% di 2012 dan jadi 8,3% pada 2013. 
Memang, penyumbang terbesar inflasi tahun ini adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Tapi, kenaikan harga sejumlah komoditas yang gila-gilaan, seperti daging sapi dan bawang putih, juga punya andil besar. 
Meski kemungkinan besar harga BBM bersubsidi tidak naik, ancaman inflasi tinggi tahun depan tetap ada. Pertama-tama, sumbernya dari kenaikan gaji pegawai negeri sipil dan upah buruh. Lalu, tarif listrik yang naik lagi 15%. Begitu juga dengan harga elpiji 12 kg yang bakal naik lagi awal tahun nanti. 
Kunci utama mengerem laju inflasi, apalagi kalau bukan pemerintah harus memastikan distribusi bahan kebutuhan pokok aman. Sekalipun harus impor, pemerintah mesti menjamin suplainya ada terus, tidak boleh sampai langka. Walaupun sudah menjadi tugas rutin tiap tahun, pekerjaan ini tidak gampang. 

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 17 Desember 2013)

POLITIK, BBM, DAN TRANSPORTASI

Dua pekan lagi kita akan melangkah masuk ke tahun 2014, tahun politik. Maklum, dua pesta demokrasi akbar lima tahunan bakal berlangsung tahun depan: pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Kalau tidak ada aral melintang, pemilihan legislatif digelar 9 April 2014 dan pemilihan presiden diadakan 9 Juli 2014.
Walau masa kampanye pemilihan legislatif baru mulai bergulir 11 Januari 2014 nanti, semaraknya sudah terasa beberapa bulan terakhir. Spanduk dan baliho bergambar calon anggota legislatif plus partai politik, baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, sudah membentang di mana-mana.
Begitu juga dengan wajah bakal calon presiden dari sejumlah partai yang sering nongol di layar kaca, baik berupa iklan ataupun pemberitaan. Meski mereka belum tentu menjadi calon presiden yang akan bertarung di pemilihan presiden, sudah ada manuver saling menjatuhkan. Bahkan, ada upaya menjelekkan seseorang yang jelas-jelas belum ditetapkan sebagai bakal calon presiden oleh partai manapun, tapi memang orang ini dijagokan banyak kalangan. Suhu politik pun mulai mendidih. 
Tapi, suhu yang panas tahun depan tidak hanya bersumber dari gelanggang politik. Sebab, bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi siap menyambar lalu memanaskan suasana negara kita di Tahun Kuda. Pangkalnya, Kementerian Keuangan menghidupkan lagi skema subsidi BBM tetap. Bahkan, mereka bakal mengusulkan skema ini dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. 
Dengan mekanisme tetap, subsidi yang harus pemerintah siapkan tidak akan berubah, sekalipun harga minyak mentah dunia naik ataupun turun. Konsekuensinya, harga BBM bersubsidi bisa naik. Mekanisme ini sejatinya bukan sesuatu yang baru. Pemerintah pernah menerapkan kebijakan yang hampir mirip selama April 2001 hingga Desember 2002 lalu. 
Tapi tampaknya, usulan Kementerian Keuangan bakal mental bahkan sebelum sampai di gedung DPR. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang warna-warni lantaran gabungan dari banyak partai kelihatannya akan menolak keras subsidi BBM tetap. Siapa yang mau kehilangan muka sekaligus suara dalam pemilu gara-gara menyetujui subsidi BBM tetap, yang bisa berujung pada kenaikan harga premium dan solar. 
Hanya, kalau tujuan Kementerian Keuangan mengusulkan subsidi BBM tetap untuk menekan impor BBM akibat konsumsi yang terus melonjak, jangan lupakan angkutan umum massal, dong. Sebab, transportasi publik yang aman, nyaman, lagi murah masih jauh dari harapan. Untuk mendorong pengadaan angkutan umum, Kementerian Keuangan semestinya menghapus pajak impor. Jangan malah pajak mobil murah yang jelas-jelas bisa mendongkrak konsumsi BBM yang dihapus. 
Yang tidak kalah penting, pemerintah juga harus menjamin pasokan bahan bakar gas (BBG) bagi angkutan umum. Sebab, suplai BBG yang seret lantaran jumlah stasiun pengisian yang terbatas mengancam operasioanl ratusan bus baru yang memperkuat jajaran armada TransJakarta. Rencananya, ratusan bus anyar akan tiba dari China akhir bulan ini. Beberapa sudah datang awal Desember lalu. Dengan angkutan umum yang aman, nyaman, dan murah, apalagi bebas macet, banyak orang tentu mau beralih ke transportasi massal. 
Nah, kalau sudah begini, konsumsi BBM, kan, bisa turun dengan sendirinya, tanpa perlu menerapkan sistem subsidi tetap, misalnya. Efek besar berikutnya, impor BBM berkurang. Bak bola salju, dampak selanjutnya adalah defisit neraca perdagangan kita bisa menyempit, syukur-syukur malah surplus.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Ketiga Desember 2013)