Pekan lalu, pemerintah dan DPR sepakat mencabut subsidi listrik
untuk enam golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik negara (PLN). Dengan
penghapusan subsidi ini, pemerintah bisa menghemat hampir Rp 11 triliun
dari total subsidi setrum tahun ini yang mencapai Rp 71,36 triliun.
Jelas, penghematan ini bukan angka yang kecil. Dengan duit segede itu,
misalnya, pemerintah bisa membangun jalan beton bertulang yang kokoh
sepanjang 4.400 kilometer (km), yang biayanya sekitar Rp 2,5 miliar per
km. Sehingga, jalan enggak gampang rusak.
Enam golongan pelanggan PLN itu memang pantas dicabut subsidi
listriknya. Mereka adalah golongan pelanggan industri menengah (I-3),
lalu industri besar (I-4), rumahtangga besar (R-3), bisnis menengah
(B-2), bisnis besar (B-3), dan kantor pemerintah sedang (P-1).
Enak betul hidup mereka, terutama perusahaan-perusahaan yang masuk
golongan pelanggan industri besar. Dengan omzet ratusan miliar bahkan
triliunan rupiah setahun per perusahan, mereka masih bisa menikmati
subsidi listrik yang tidak sedikit.
PLN mencatat, subsidi listrik yang
mengalir dari kantong pemerintah ke golongan pelanggan industri besar
mencapai Rp 7,57 triliun. Itu berarti, lebih dari 10% atas total subsidi
tahun ini.
Padahal, jumlah golongan pelanggan industri besar hanya 67 perusahaan.
Bandingkan dengan jumlah seluruh pelanggan PLN yang mendekati angka 50
juta pelanggan.
Masih menurut PLN, perusahaan-perusahaan kelas kakap itu
cuma membayar tarif listrik di bawah Rp 900 per kilowatt hour (kWh).
Tarif ini bahkan lebih rendah dari tarif listrik yang dipungut PLN
kepada rumahtangga besar. Tarif listrik subsidi rumahtangga besar
rata-rata Rp 1.004 per kwh. Sedang tarif listrik tanpa subsidi atau
setara biaya produksi: Rp 1.300 per kWh.
Nah, berikutnya, apakah pemerintah berani mencabut subsidi bahan bakar
minyak (BBM) bagi pemilik mobil mewah? Tentu, lewat cara yang pernah
pemerintah godok, yakni larangan pemilik mobil pribadi membeli premium.
Sebab, Komite Ekonomi Nasional (KEN) pernah menghitung pelaksanaan
kebijakan ini bisa menggunting anggaran subsidi BBM hingga Rp 80
triliun.
Bila tidak mau terlalu ekstrem lantaran tahun ini adalah tahun politik,
pemerintah mesti mencari cara lain. Ambil contoh, menagih pembayaran
denda dari Asian Agri Group atas perkara penggelapan pajak sebesar Rp
2,5 triliun. Soalnya, nilai dendanya tidak main-main.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 28 Januari 2014)