Jumat, 07 Maret 2014

POLITIK, BBM, DAN TRANSPORTASI

Dua pekan lagi kita akan melangkah masuk ke tahun 2014, tahun politik. Maklum, dua pesta demokrasi akbar lima tahunan bakal berlangsung tahun depan: pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Kalau tidak ada aral melintang, pemilihan legislatif digelar 9 April 2014 dan pemilihan presiden diadakan 9 Juli 2014.
Walau masa kampanye pemilihan legislatif baru mulai bergulir 11 Januari 2014 nanti, semaraknya sudah terasa beberapa bulan terakhir. Spanduk dan baliho bergambar calon anggota legislatif plus partai politik, baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, sudah membentang di mana-mana.
Begitu juga dengan wajah bakal calon presiden dari sejumlah partai yang sering nongol di layar kaca, baik berupa iklan ataupun pemberitaan. Meski mereka belum tentu menjadi calon presiden yang akan bertarung di pemilihan presiden, sudah ada manuver saling menjatuhkan. Bahkan, ada upaya menjelekkan seseorang yang jelas-jelas belum ditetapkan sebagai bakal calon presiden oleh partai manapun, tapi memang orang ini dijagokan banyak kalangan. Suhu politik pun mulai mendidih. 
Tapi, suhu yang panas tahun depan tidak hanya bersumber dari gelanggang politik. Sebab, bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi siap menyambar lalu memanaskan suasana negara kita di Tahun Kuda. Pangkalnya, Kementerian Keuangan menghidupkan lagi skema subsidi BBM tetap. Bahkan, mereka bakal mengusulkan skema ini dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. 
Dengan mekanisme tetap, subsidi yang harus pemerintah siapkan tidak akan berubah, sekalipun harga minyak mentah dunia naik ataupun turun. Konsekuensinya, harga BBM bersubsidi bisa naik. Mekanisme ini sejatinya bukan sesuatu yang baru. Pemerintah pernah menerapkan kebijakan yang hampir mirip selama April 2001 hingga Desember 2002 lalu. 
Tapi tampaknya, usulan Kementerian Keuangan bakal mental bahkan sebelum sampai di gedung DPR. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang warna-warni lantaran gabungan dari banyak partai kelihatannya akan menolak keras subsidi BBM tetap. Siapa yang mau kehilangan muka sekaligus suara dalam pemilu gara-gara menyetujui subsidi BBM tetap, yang bisa berujung pada kenaikan harga premium dan solar. 
Hanya, kalau tujuan Kementerian Keuangan mengusulkan subsidi BBM tetap untuk menekan impor BBM akibat konsumsi yang terus melonjak, jangan lupakan angkutan umum massal, dong. Sebab, transportasi publik yang aman, nyaman, lagi murah masih jauh dari harapan. Untuk mendorong pengadaan angkutan umum, Kementerian Keuangan semestinya menghapus pajak impor. Jangan malah pajak mobil murah yang jelas-jelas bisa mendongkrak konsumsi BBM yang dihapus. 
Yang tidak kalah penting, pemerintah juga harus menjamin pasokan bahan bakar gas (BBG) bagi angkutan umum. Sebab, suplai BBG yang seret lantaran jumlah stasiun pengisian yang terbatas mengancam operasioanl ratusan bus baru yang memperkuat jajaran armada TransJakarta. Rencananya, ratusan bus anyar akan tiba dari China akhir bulan ini. Beberapa sudah datang awal Desember lalu. Dengan angkutan umum yang aman, nyaman, dan murah, apalagi bebas macet, banyak orang tentu mau beralih ke transportasi massal. 
Nah, kalau sudah begini, konsumsi BBM, kan, bisa turun dengan sendirinya, tanpa perlu menerapkan sistem subsidi tetap, misalnya. Efek besar berikutnya, impor BBM berkurang. Bak bola salju, dampak selanjutnya adalah defisit neraca perdagangan kita bisa menyempit, syukur-syukur malah surplus.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Ketiga Desember 2013)

Tidak ada komentar: