Dua pekan lagi kita akan melangkah masuk ke tahun 2014, tahun politik.
Maklum, dua pesta demokrasi akbar lima tahunan bakal berlangsung tahun
depan: pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Kalau tidak ada aral
melintang, pemilihan legislatif digelar 9 April 2014 dan pemilihan
presiden diadakan 9 Juli 2014.
Walau masa kampanye pemilihan legislatif baru mulai bergulir 11 Januari
2014 nanti, semaraknya sudah terasa beberapa bulan terakhir. Spanduk dan
baliho bergambar calon anggota legislatif plus partai politik, baik
tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, sudah membentang di
mana-mana.
Begitu juga dengan wajah bakal calon presiden dari sejumlah partai yang
sering nongol di layar kaca, baik berupa iklan ataupun pemberitaan.
Meski mereka belum tentu menjadi calon presiden yang akan bertarung di
pemilihan presiden, sudah ada manuver saling menjatuhkan. Bahkan, ada
upaya menjelekkan seseorang yang jelas-jelas belum ditetapkan sebagai
bakal calon presiden oleh partai manapun, tapi memang orang ini
dijagokan banyak kalangan. Suhu politik pun mulai mendidih.
Tapi, suhu yang panas tahun depan tidak hanya bersumber dari gelanggang
politik. Sebab, bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi siap menyambar lalu
memanaskan suasana negara kita di Tahun Kuda. Pangkalnya, Kementerian
Keuangan menghidupkan lagi skema subsidi BBM tetap. Bahkan, mereka bakal
mengusulkan skema ini dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan (APBN-P) 2014.
Dengan mekanisme tetap, subsidi yang
harus pemerintah siapkan tidak akan berubah, sekalipun harga minyak
mentah dunia naik ataupun turun. Konsekuensinya, harga BBM bersubsidi
bisa naik.
Mekanisme ini sejatinya bukan sesuatu yang baru. Pemerintah pernah
menerapkan kebijakan yang hampir mirip selama April 2001 hingga Desember
2002 lalu.
Tapi tampaknya, usulan Kementerian Keuangan bakal mental
bahkan sebelum sampai di gedung DPR. Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono yang warna-warni lantaran gabungan dari banyak partai
kelihatannya akan menolak keras subsidi BBM tetap. Siapa yang mau
kehilangan muka sekaligus suara dalam pemilu gara-gara menyetujui
subsidi BBM tetap, yang bisa berujung pada kenaikan harga premium dan
solar.
Hanya, kalau tujuan Kementerian Keuangan mengusulkan subsidi BBM tetap
untuk menekan impor BBM akibat konsumsi yang terus melonjak, jangan
lupakan angkutan umum massal, dong. Sebab, transportasi publik yang
aman, nyaman, lagi murah masih jauh dari harapan. Untuk mendorong
pengadaan angkutan umum, Kementerian Keuangan semestinya menghapus pajak
impor. Jangan malah pajak mobil murah yang jelas-jelas bisa mendongkrak
konsumsi BBM yang dihapus.
Yang tidak kalah penting, pemerintah juga harus menjamin pasokan bahan
bakar gas (BBG) bagi angkutan umum. Sebab, suplai BBG yang seret
lantaran jumlah stasiun pengisian yang terbatas mengancam operasioanl
ratusan bus baru yang memperkuat jajaran armada TransJakarta.
Rencananya, ratusan bus anyar akan tiba dari China akhir bulan ini.
Beberapa sudah datang awal Desember lalu.
Dengan angkutan umum yang aman, nyaman, dan murah, apalagi bebas macet,
banyak orang tentu mau beralih ke transportasi massal.
Nah, kalau sudah
begini, konsumsi BBM, kan, bisa turun dengan sendirinya, tanpa perlu
menerapkan sistem subsidi tetap, misalnya. Efek besar berikutnya, impor
BBM berkurang. Bak bola salju, dampak selanjutnya adalah defisit neraca
perdagangan kita bisa menyempit, syukur-syukur malah surplus.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Ketiga Desember 2013)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar