Senin, 16 Maret 2015

ELPIJI TIGA KILO

Di tengah harga beras yang meroket bulan lalu, elpiji dalam tabung ukuran tiga kilogram (kg) mendadak langka di sejumlah daerah. Alhasil, harga jual gas bersubsidi dalam tabung berkelir hijau menyala tersebut di tingkat pengecer naik tinggi, menembus angka Rp 23.000 per tabung.
Kelangkaan elpiji tiga kg jelas menjadi masalah besar. Sebab, penggunanya semakin banyak. Cuma celakanya, pemakai gas berjulukan tabung melon itu bukan cuma orang miskin dan usaha kecil. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 menyebutkan, pengguna elpiji 3 kg adalah masyarakat dengan pengeluaran tidak lebih dari Rp 1,5 juta per bulan dan usaha kecil beraset kurang dari Rp 50 juta.
Salah satu sebab jumlah pengguna elpiji 3 kg bertambah banyak ialah harga elpiji 12 kg yang semakin mahal. Dengan kenaikan harga Rp 5.000 per tabung mulai 1 Maret 2015 lalu, saat ini harga elpiji nonsubsidi itu mencapai Rp 134.000 per tabung. Buntutnya, pengguna elpiji tabung 12 kg yang beralih ke elpiji 3 kg semakin banyak saja.
Pengguna yang bertambah terlihat dari konsumsi elpiji 3 kg yang terus naik dari tahun ke tahun. Tahun ini, pemerintah mematok volume penggunaan elpiji 3 kg sebanyak 5,7 juta metrik ton (MT). Tahun lalu, realisasi konsumsi elpiji 3 kg sebesar 4,9 juta MT. Sedangkan tahun sebelumnya mencapai 4,4 juta MT.
Untung saja, harga minyak mentah yang menjadi bahan baku liquid petroleum gas (LPG) sedang merosot dalam. Walhasil, meski konsumsi tahun ini lebih tinggi dari tahun lalu, nilai subsidinya hanya Rp 28,7 triliun. Sementara tahun lalu subsidi elpiji 3 kg mencapai Rp 55 triliun. Cuma sejauh ini, lantaran konsumsinya terus naik, sejak 2009 subsidi elpiji 3 kg juga menanjak.
Subsidi elpiji 3 kg yang terus membengkak, tentu bakal menjadi bom waktu yang menyandera keuangan pemerintah. Untuk itu, subsidi harus tepat sasaran. Hanya pengguna yang berhak yang boleh menikmati subsidi elpiji 3 kg.
Caranya, dengan memberikan subsidi langsung ke pengguna elpiji 3 kg yang berhak. Jadi, mereka mendapatkan uang tunai untuk membeli elpiji 3 kg. Lalu, harga elpiji 3 kg dinaikkan sesuai harga pasar.
Berbarengan dengan itu, pemerintah mesti mempercepat proyek jaringan pipa gas perkotaan. Upaya yang sudah dilakukan di 10 kota harus diperluas lagi, sehingga makin banyak masyarakat yang bisa menikmati gas perkotaan. Soalnya, harga gas perkotaan jauh lebih murah ketimbang elpiji 12 kg. 

S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 10 MARET 2015

ANGGARAN

Kemarin, Rapat Paripurna DPR mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Ini menjadi APBN ala Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang pertama. Banyak asumsi dan target yang berubah ketimbang APBN 2015 versi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Misalnya, target penerimaan pajak naik lebih dari Rp 100 triliun. Lalu, pemerintah memberikan penyertaan modal negara (PMN) ke badan usaha milik negara (BUMN) dengan nilai terbesar sepanjang sejarah republik ini berdiri.
Cuma, ada kejadian yang menarik selama pembahasan Rancangan APBN-P 2015 antara dewan dan pemerintah. Biasanya, muara dari penggodokan postur anggaran pemerintah ada di Badan Anggaran (Banggar) DPR. Keputusan akhirnya ada di badan ini, setelah melewati pembahasan di masing-masing komisi yang ada di Senayan, tempat wakil rakyat berkantor.
Tapi yang terjadi, paling tidak dalam pembahasan dua poin Rancangan APBN-P 2015, tidak seperti itu. Kedua poin tersebut adalah anggaran PMN serta pengembalian biaya operasi alias cost recovery yang sudah dikeluarkan oleh kontraktor minyak dan gas bumi (migas).
Dalam kesempatan terpisah, Banggar DPR dan pemerintah sudah sepakat menetapkan anggaran PMN untuk BUMN dan cost recovery migas. Itu berarti, sejatinya keputusan ini sudah final, tidak bisa diganggu gugat lagi. Tapi, Komisi BUMN (VI) dan Komisi Energi (VII) DPR menolak keputusan Banggar itu. Dengan alasan, sesuai Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) hasil judicial review Mahkamah Konstitusi (MK), Banggar sudah tidak punya wewenang lagi menetapkan besaran anggaran pemerintah. Wewenang itu sekarang sepenuhnya ada di komisi.
Penolakan itu tentu membuat pembahasan Rancangan APBN-P menjadi berlarut-larut. Alhasil, tak sedikit keputusan penetapan besaran anggaran pemerintah lahir di masa injury time. Padahal, tujuan dari pemangkasan fungsi anggaran di Banggar adalah agar pembahasan APBN berlangsung lebih cepat, lebih efisien, dan menghemat waktu. Sehingga, pemerintah juga bisa memiliki keleluasaan dalam menyusun program dan kegiatan.
Tapi yang paling penting, jangan sampai pembahasan APBN khususnya anggaran belanja yang berlangsung lebih cepat dijadikan sebagai pintu masuk untuk tawar menawar antara pemerintah dengan DPR. Atau, pintu masuk korupsi dalam pembahasan anggaran negara. 

S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 14 Februari 2015

BERBURU PAJAK

Pekan ini, pemerintah dan DPR mulai menggodok Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015. Salah satu perubahan yang mencolok adalah target penerimaan perpajakan. Untuk menutup target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang merosot tajam, pemerintah terpaksa mengerek target penerimaan perpajakan.
Alhasil, target penerimaan perpajakan mendekati angka Rp 1.500 triliun. Angka persisnya: Rp 1.484,59 triliun. Nilai ini melonjak Rp 104,6 triliun ketimbang target penerimaan perpajakan dalam APBN 2015. Dibanding realisasi penerimaan perpajakan tahun 2014, kenaikannya mencapai Rp 341,29 triliun.
Sudah pasti, bukan perkara gampang mencapai target yang segede gaban itu. Maklum, kondisi ekonomi tahun ini nyaris tak jauh beda dengan tahun lalu, walau masih bisa tumbuh lebih baik dari tahun lalu. Buktinya, pemerintah mengubah target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN-P 2015, dari sebelumnya 5,8% menjadi 5,6%. Menurut pemerintah, pertumbuhan 5,8% terlalu optimistis, padahal asumsi itu mereka sendiri yang bikin. Dan, Bank Indonesia (BI) bilang, ekonomi negara kita tahun ini cukup berat.
Kembali ke penerimaan perpajakan. Untuk menggenjot pendapatan perpajakan, pemerintah berencana memungut pajak ke objek baru. Misalnya, mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% bagi pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berdaya 2.200 volt ampere (VA) hingga 6.600 VA.
Tapi semestinya, pemerintah jangan dulu memburu pajak dari para pelanggan PLN tersebut. Sebab, tarif listrik mereka baru saja naik menjadi harga keekonomian, tanpa subsidi. Kalau tambah pajak, tentu beban mereka semakin berat.
Dan, dengan tarif setrum baru itu, pemerintah, kan, sudah menghemat subsidi listrik cukup besar. Tambah lagi, potensi pajak dari pelanggan PLN berdaya 2.200 VA6.600 VA enggak gede-gede amat, hanya Rp 1 triliun hingga Rp 2 triliun.
Lebih baik pemerintah fokus memburu para pengemplang pajak. Sebab, temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) setelah membedah Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2013 menunjukkan, angka piutang pajak mencapai Rp 103,2 triliun.
Jadi, setuju dengan upaya pemerintah meningkatkan penegakan hukum melalui berbagai upaya, seperti pencekalan, penyidikan, dan gizzeling alias sandera badan. 

S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 24 Januari 2015