Jumat, 29 April 2016

MENGEJAR PAJAK

Meski banyak yang menatap dengan penuh optimisme, tahun 2016 masih jadi tahun yang berat buat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Buktinya, realisasi penerimaan pajak dalam tiga bulan pertama tahun ini baru sebesar Rp 188,1 triliun, lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 203,3 triliun. Hampir semua pos peneriman pajak turun, yakni pajak penghasilan (PPh) migas dan nonmigas serta pajak pertambahan nilai (PPN).
Mengejar pajak memang enggak gampang saat ekonomi masih lesu. Terlebih, dengan target penerimaan tahun ini yang mencapai Rp 1.318,7 triliun. Tambah lagi, mengejar pajak ternyata berisiko nyawa melayang. Dua petugas pajak dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sibolga, Selasa (12/4) lalu, meregang nyawa ditikam seorang pengusaha yang menunggak pajak hingga Rp 14 miliar saat akan menyita aset si penunggak.
Belum lagi, Ditjen Pajak kehilangan kesempatan mengejar pajak sekitar Rp 18 triliun gara-gara pemerintah mengerek batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) sebesar 50% jadi Rp 54 juta per tahun. Pekerjaan kantor pajak memburu upeti pun kian berat.
Memang, ada asa dari rencana pemerintah menerapkan kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty. Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro bilang, dari segi penerimaan, Rp 60 triliun menjadi angka minimum yang bisa masuk ke kantong pemerintah dari pelaksanaan kebijakan itu. Sebab, walau kehilangan penerimaan pajak dari penghapusan sanksi pajak, pemerintah mendapat pengganti dari yang namanya uang tebus.
Jadi, untuk mendapatkan pengampunan pajak, para peminta amnesty mesti membayar tebusan sebesar 2% dari nilai aset yang belum mereka laporkan. Nah, nilai uang tebus ini paling sedikit Rp 60 triliun. Tapi, menteri keuangan mengungkapkan, sejatinya potensi uang tebus di atas Rp 100 triliun.
Saat ini, pemerintah tinggal menunggu ketok palu DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak sebagai dasar hukumnya. Yang jelas, menteri keuangan menegaskan, kebijakan tax amnesty paling lama hanya berlangsung sampai akhir tahun 2016. Tentu dengan catatan, RUU Pengampunan Pajak segera disahkan.
Tapi, bagaimanapun juga, kebijakan ini bakal menimbulkan kecemburuan bagi wajib pajak yang selama ini jujur dalam melaporkan asetnya dan membayar pajak. Untuk itu, pemerintah tidak boleh mengerek tawaran pengampunan kepada para peminta amnesty. Jadi, pemerintah hanya memberikan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pelunasan pajak, tidak lebih.
Dan sebetulnya, kecemburuan ini juga akan sirna karena para peminta amnesty kelak masuk dalam sistem administrasi perpajakan. Maksudnya, mulai tahun depan mereka melaporkan aset-asetnya yang selama ini belum dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak. Itu berarti, ada pajak yang bakal mengalir ke kantong pemerintah.
Tapi, kalaupun tax amnesty jadi dilaksanakan, perburuan Ditjen Pajak tidak lantas berhenti. Sebab, masih banyak sumber-sumber penerimaan yang belum betul-betul tergali di dalam negeri, yang potensinya tidak sedikit. Misalnya, pajak usaha kecil menengah (UKM) dan profesi dengan penghasilan selangit, seperti artis, pengacara, serta dokter. Kalau tidak, pekerja yang penghasilannya Rp 5 juta per bulan tapi tertib bayar pajak karena langsung dipotong dari gajinya akan cemburu. 

(S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN Minggu III April 2016)

MASIH KONSUMSI

Pasar properti di Tanah Air bakal kembali bergairah. Salah satu pemicunya adalah, bunga kredit pemilikan rumah (KPR) satu digit. Saat ini, sejumlah bank mengadakan program promosi bunga KPR di bawah 10%. Contoh, Bank Mandiri menawarkan bunga 8,5% fixed untuk lima tahun. Lalu, Bank Central Asia (BCA) memberikan bunga 9,25% fixed tiga tahun.
Sayang, tawaran sangat menarik itu hanya berlaku bagi nasabah KPR baru. Sementara nasabah lama masih harus menikmati bunga lawas di atas 10% yang tak kunjung turun. Padahal, tahun ini suku bunga acuan BI rate sudah dipangkas sebanyak tiga kali, total sebesar 75 basis poin menjadi tinggal 6,75%.
Memang, bunga KPR satu digit bisa mendorong pembelian rumah, sehingga menggairahkan ekonomi negeri ini. Tapi, penurunan bunga kredit rumah bagi nasabah lama juga bisa membantu perekonomian kita sedikit menggeliat. Kok? Jika bunga turun, tentu besaran angsuran yang dibayar nasabah setiap bulan juga turun. Itu berarti, ada tambahan dana untuk si nasabah yang bisa dipakai untuk belanja.
Daya beli pun menjadi terangkat, meski enggak tinggi-tinggi amat. Alhasil, konsumsi masyarakat bisa meningkat. Tambah lagi, pemerintah mengerek batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) sebesar 50% menjadi Rp 54 juta per tahun untuk pekerja lajang. Buat yang pajak penghasilannya tidak ditanggung perusahaan, tentu ini menjadi kabar baik. Otomatis, penghasilan yang mereka terima bertambah.
Pemerintah menghitung, kenaikan PTKP itu akan mendorong peningkatan konsumsi tahun ini sebesar 0,3%. Harapannya, sih, pertumbuhan ekonomi bisa mendaki 0,16% hanya dari kenaikan PTKP.
Gairah konsumsi masyarakat juga tampak dari pameran otomotif bertajuk Indonesia International Motor Show (IIMS) 2016. Ratusan ribu pengunjung mengalir ke pameran tahunan ini. Memang, belum kelihatan berapa mobil dan sepeda motor yang laku terjual dalam ajang ini. Tapi, penyelenggara IIMS 2016 menargetkan nilai transaksi Rp 2 triliun, atau lebih tinggi dari tahun lalu yang hanya Rp 1,63 triliun.
Yang jelas, Honda Prospect Motor, agen pemegang merek Honda, melaporkan peningkatan penjualan selama kuartal I 2016 sebesar 31,2% menjadi 58.379 unit ketimbang periode yang sama di 2015.
Pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi memang tidak bagus-bagus amat. Tapi paling tidak, konsumsi yang mulai bergairah bisa mendorong investasi.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 13 April 2016)

ANGKUTAN MURAH

Sikap pemerintah yang masih tidak tegas terhadap keberadaan aplikasi pemesanan transportasi, menyulut demo pengemudi angkutan umum terutama sopir taksi yang lebih besar kemarin (22/3). Bahkan, unjuk rasa banyak diwarnai aksi pemaksaan terhadap taksi yang masih beroperasi dan kekerasan terhadap sejumlah pengemudi Go-Jek dan Grab oleh pendemo.
Demo serupa juga terjadi di beberapa negara. Pekan lalu, ratusan sopir taksi di Kota Bogota, Kolombia, menolak keberadaan aplikasi pemesanan transportasi Uber dan berakhir ricuh. Bulan lalu, sopir taksi di San Jose, Kostarika, pun berdemo menentang kehadiran Uber. Begitu juga dengan sopir taksi di Paris yang berujung larangan Uber beroperasi oleh Pemerintah Prancis.
Yang jelas, menjamurnya layanan aplikasi pemesanan transportasi menunjukkan masyarakat sangat mengidamkan angkutan umum yang bukan cuma murah, juga aman dan nyaman. Sebab, yang murah sebetulnya banyak, seperti mikrolet dan metromini. Tapi, maaf-maaf saja, angkutan pelat kuning itu masih jauh dari aman lagi nyaman.
Sejatinya, menyediakan angkutan umum yang murah, aman, dan nyaman juga menjadi tugas pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pemerintah DKI Jakarta sudah melakukannya lewat TransJakarta. Lalu, pusat melalui PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan commuter line dan keretaapi ekonomi.
Tanpa campur tangan pemerintah, tarif TransJakarta, commuter line, dan keretaapi ekonomi tidak mungkin semurah sekarang. Pemerintah DKI dan pusat memberikan subsidi tarif. Contoh, untuk tahun ini pemerintah memberikan subsidi atawa public service obligation (PSO) sebesar Rp 1,82 triliun, naik 20% ketimbang tahun lalu.
Tugas pemerintah berikutnya adalah memperbanyak angkutan umum yang murah, aman, dan nyaman. Bukan cuma armadanya, juga model angkutan (moda)-nya. Saat ini, pemerintah sedang dan berencana membangun kereta ringan alias light rail transit (LRT) di Palembang, Jakarta Bandung, dan Surabaya, lalu proyek MRT di Jakarta. Agar masyarakat mau beralih naik LRT dan MRT, tentu tarifnya harus murah, kemudian memberikan keamanan dan kenyamanan.
Angkutan umum swasta tentu sangat boleh memberikan tarif yang murah, plus pelayanan yang aman dan nyaman. Tapi, sesuai dengan aturan main yang berlaku. Contoh, tidak boleh di bawah batas tarif bawah yang ditetapkan pemerintah, agar tercipta persaingan sehat.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 23 Maret 2016)

DIRJEN PAJAK BARU

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak punya komandan baru. Kemarin, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro melantik Ken Dwijugiasteadi sebagai direktur jenderal (Dirjen) Pajak. Dalam sambutannya usai pelantikan, Bambang mengharapkan Ditjen Pajak di bawah kepemimpinan Ken bisa mendongkrak penerimaan pajak.
Jelas, itu bukan pekerjaan gampang. Betapa tidak? Target penerimaan pajak tahun ini mencapai Rp 1.360,1 triliun. Tambah lagi, kondisi ekonomi dalam negeri masih kurang darah. Memang, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Tapi, banyak yang memproyeksikan, ekonomi negara kita hanya tumbuh 5%.
Ekonomi yang masih lesu tampak dari penjualan mobil dan sepeda motor, yang selama ini menjadi salah satu indikator. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, mobil yang laku terjual sepanjang Januari 2016 lalu cuma 84.885 unit, atau turun 9,9% dibandingkan dengan bulan yang sama di 2015 sebanyak 94.194. Penurunan penjualan motor lebih dalam lagi. Data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (Aisi) menunjukkan, penjualan motor anjlok 17,2% jadi 416.263 unit.
Info saja, tahun lalu target penerimaan pajak tidak tercapai. Ditjen Pajak hanya berhasil mengumpulkan pajak Rp 1.055 triliun alias cuma 81,5% dari target yang mencapai Rp 1.294,25 triliun. Tahun lalu pertumbuhan ekonomi 4,73%.
Alhasil, pekerjaan rumah Ken sebagai dirjen Pajak yang anyar sangat berat. Apalagi, penggodokan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak atawa Tax Amnesty ditunda. Padahal, tax amnesty yang bisa jadi tambang baru buat Ditjen Pajak. Potensi penerimaan pajaknya Rp 80 triliun.
Meski begitu, sejatinya masih banyak tambang-tambang lama yang bisa digali lebih dalam oleh Ditjen Pajak. Misalnya, pajak penghasilan (PPh) orang pribadi di luar karyawan. Sebab, tahun lalu penerimaannya hanya Rp 9 triliun. Angka ini menggambarkan kondisi individu Indonesia belum mampu membayar pajak. Padahal, banyak orang kaya dan superkaya di negeri ini.
Tambang lama lainnya adalah PPh pajak pelaku usaha kecil menengah (UKM). Ditjen Pajak belum menggali betul pajak yang baru ada dua tahun terakhir. Ini juga demi keadilan. Karyawan dengan gaji di atas Rp 3 juta per bulan saja kena pajak, tapi pemilik gerai ponsel berpenghasilan Rp 100 juta sebulan tidak mau membayar pajak.
Selamat bekerja Pak Ken.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 2 Maret 2016)

PROYEK PRIORITAS

Pemerintah melalui Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) menetapkan 30 proyek prioritas. Mulai pembangkit listrik, kilang, rel keretaapi, pelabuhan, jalan tol, sistem pengolahan limbah, air minum, light rail transit (LRT), MRT, hingga jaringan serat optik. Dalam pembangunannya, puluhan proyek ini bakal mendapat pengawalan ekstra dari pemerintah hingga 2019.
Sejatinya, ke-30 proyek itu bukan proyek baru. Beberapa proyek di antaranya bahkan sudah berjalan pembangunannya, seperti tol Trans Sumatra, MRT Jakarta, dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah. Tapi, masalah klasik pembebasan lahan masih mendera proyek tersebut.
Itu sebabnya, dengan menyandang status prioritas, pemerintah menjanjikan keistimewaan untuk ke-30 proyek tersebut. Salah satunya, pengawalan ekstra, mulai proses perencanaan, persiapan, pelaksanaan, sampai operasional. Setiap ada masalah, pemerintah berjanji akan turun tangan langsung untuk menyelesaikannya dengan cepat. Kalau di level menteri tidak beres, Presiden langsung yang menyelesaikan. Begitu janji pemerintah.
Maklum, ke-30 proyek itu juga bergelar proyek strategis. Pengukuhan gelar proyek strategis ini berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan Presiden No. 3/2016. Total, sih, ada 225 proyek strategis, tapi hanya 30 proyek yang ditetapkan pemerintah sebagai proyek prioritas.
Sesuai namanya, tentu proyek-proyek itu memainkan peran yang strategis, sangat strategis malah. PLTU Batang, misalnya. Pembangkit setrum berkapasitas 2.000 megawatt (MW) ini punya peran sangat sentral, lantaran bisa memasok 30% permintaan listrik baru di Pulau Jawa dan Bali. Selain PLTU Batang, ada lima proyek pembangkit lainnya di daftar proyek prioritas.
Keterlambatan realisasi proyek pembangkit berpotensi memicu krisis listrik di negara kita pada 2018 nanti. Sebab, kebutuhan listrik nasional meningkat rata-rata 5.300 MW per tahun. Sedang PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sejauh ini hanya mampu memenuhi sekitar 4.000 MW setahun. Alhasil, ada 20% permintaan listrik yang tidak bisa dipenuhi di 2018 mendatang.
Tentu, semua berharap pemerintah betul-betul menepati janjinya untuk menyelesaikan semua masalah yang mendera proyek-proyek strategis. Tapi, bukan berarti menghalalkan semua cara. Contoh, ganti rugi lahan yang di bawah harga pasar dan Amdal yang asal-asalan.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 11 Februari 2016)

BBM DAN PANGAN

Harga minyak mentah dunia terus menorehkan rekor terendah dalam 12 tahun terakhir. Mengutip Bloomberg, kemarin harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari 2016 di bursa NYMEX bertengger di posisi US$ 27,57 per barel. Morgan Stanley, perusahaan keuangan dunia memprediksikan harga emas hitam dunia bakal longsor hingga US$ 20 per barel.
Penurunan harga minyak tentu membawa kabar baik. Paling tidak, harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi lebih murah. Pemerintah memang sudah menurunkan harga premium dan solar bersubsidi mulai 5 Januari lalu, masing-masing menjadi Rp 6.950 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.650 seliter.
Tapi, kesempatan pemerintah untuk kembali menggunting harga premium dan solar bersubsidi terbuka lebar, seiring harga minyak dunia yang terus turun. Berkaca ke Shell Indonesia, per 19 Januari lalu mereka mengerek turun lagi harga BBM-nya. Ambil contoh, harga Super yang sekelas Pertamax turun menjadi Rp 8.350 per liter. Ini kali kedua Shell menurunkan harga BBM-nya di Januari 2016.
Pemerintah bakal memangkas harga premium dan solar bersubsidi lagi dalam waktu dekat? Semoga. Soalnya, harga BBM yang semakin murah bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dengan penurunan harga premium dan solar, biaya transportasi dan produksi bisa ditekan. Ujungnya, harga barang bisa turun dan inflasi rendah.
Sinyal bahwa ekonomi kita bakal lebih menggeliat tahun ini juga datang dari Bank Indonesia (BI). Bank sentral menyatakan, mereka memiliki ruang yang lebih lebar untuk menurunkan suku bunga acuan atawa BI rate, kalau pemerintah kembali memangkas harga BBM. Itu berarti, inflasi bisa lebih rendah. BIrate yang lebih rendah membuka ruang untuk perbankan menyeret turun bunga kredit mereka.
Nah, tugas pemerintah berikutnya adalah, bagaimana menjaga harga pangan tetap stabil. Maklum, di awal tahun harga sejumlah bahan pangan naik. Alhasil, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan, tekanan harga beberapa bahan pangan akan menyebabkan Indeks Harga Konsumen (IHK) Januari 2016 naik. Hasil survei BI atas harga mingguan di pekan kedua Januari 2016 menujukkan, inflasi sudah berlari sejauh 0,75%. Tekanan harga khususnya terjadi pada komoditas hortikultura, seperti cabai dan bawang merah.
Jadi, pemerintah harus betul-betul menjaga harga bahan pangan tetap stabil sepanjang tahun ini.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 21 Januari 2016)

TAHUN BARU

Tahun baru, harga baru. Paling tidak yang pertama, harga bahan bakar minyak (BBM). Mulai 5 Januari nanti pemerintah berencana menurunkan harga premium dan solar bersubsidi masing-masing Rp 150 per liter dan Rp 750 per liter. Yang kedua, tarif listrik. Per 1 Januari kemarin tarif setrum untuk 12 golongan pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), termasuk golongan pelanggan rumahtangga, turun sekitar Rp 100 per kilowatt hour (KWh).
Memang, penurunannya enggak gede-gede amat. Tapi, setidaknya beban pengeluaran bulanan masyarakat untuk pos energi sedikit berkurang. Itu berarti, daya beli masyarakat sedikit terangkat. Tambah lagi, upah buruh tahun ini naik. Upah minimum Provinsi DKI Jakarta, misalnya, naik 14,5% menjadi Rp 3,1 juta per bulan. Meski, biasanya kenaikan upah dibarengi juga kenaikan harga barang dan jasa.
Konsumsi rumahtangga yang meningkat tentu bakal mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, konsumsi rumahtangga masih menjadi lokomotif utama pertumbuhan ekonomi negara kita. Alhasil, harapan kondisi ekonomi tahun ini bisa lebih baik dari tahun lalu bisa terwujud, walau bayang-bayang perlambatan masih tetap ada.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,3%. Banyak pihak yang optimistis sepanjang 2016 ekonomi kita bisa tumbuh di atas 5%. Angka itu lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang tidak sampai 5%, paling banter 4,9%.
Yang juga menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi tahun ini adalah konsumsi pemerintah. Apalagi, pemerintah mengerek anggaran belanja infrastruktur, dari Rp 290,3 triliun di 2015 menjadi Rp 313,5 triliun pada 2016. Bujet ini antara lain untuk membangun jalan, pelabuhan, serta bandara, agar konektivitas dan pemerataan antarwilayah menjadi lebih baik. Buntutnya, harga barang antara daerah satu dengan lainnya tidak terlalu jomplang.
Cuma, pemerintah harus mengebut proyek-proyek infrastruktur sejak awal tahun. Jangan seperti tahun lalu, masih banyak pengerjaan proyek di ujung tahun. Salah satu efeknya, arus mudik Natal dan Tahun Baru tersendat di banyak titik akibat perbaikan jalan. Untuk itu, sedini mungkin pemerintah mesti menggenjot penerimaan pajak, agar proyek-proyek terlaksana di awal tahun. Utang boleh saja, tapi betul-betul untuk infrastruktur.
Selamat Tahun Baru 2016.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 2 Januari 2016)

HARGA PREMIUM

Harga minyak mentah dunia terus turun. Data Bloomberg, Senin (7/12), menunjukkan, harga kontrak minyak dunia anjlok ke level terendah dalam enam tahun terakhir sejak Februari 2009. Harga kontrak minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange untuk pengiriman Januari 2016 merosot 5,8% menjadi US$ 37,65 per barel.
Harga premium dan solar bersubsidi akan turun? Seharusnya, dengan harga minyak dunia yang sudah di bawah US$ 40 per barel, harga premium dan solar bersubsidi juga turun. Cuma, otot rupiah yang kembali lunglai menjadi penghalang penurunan harga premium. Kemarin (8/12), nilai tukar rupiah melemah lagi menjadi Rp 13.853 per dollar Amerika Serikat (AS), menurut kurs tengah Bank Indonesia (BI).
Penghalang lainnya: keputusan pemerintah yang menyatakan harga premium dan solar bersubsidi tetap sepanjang 1 Oktober hingga 31 Desember 2015. Ya, mulai 1 Oktober lalu pemerintah membuat kebijakan baru berupa periodisasi evaluasi harga BBM setiap tiga bulan sekali. Artinya, pemerintah baru akan menetapkan harga BBM selanjutnya pada Januari 2016 nanti.
Meski begitu, 10 Oktober lalu pemerintah menurunkan harga solar bersubsidi sebesar Rp 200 per liter menjadi Rp 6.700 seliter. Penurunan harga solar bersubsidi ini sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi pemerintah jilid ketiga.
Itu sebabnya, kalau harga premium memang layak turun, pemerintah tidak perlu menunggu sampai tahun depan. Apalagi, penurunan harga premium tentu bakal menjadi kado akhir tahun yang manis bagi masyarakat Indonesia. Penurunan harga premium juga bisa menjadi semacam kompensasi atas kenaikan tarif listrik pelanggan 1.300 volt-ampere (VA) dan 2.200 VA mulai awal Desember lalu gara-gara ikut mekanisme tariff adjusment.
Info saja, saat harga premium turun 1 Januari 2015 lalu menjadi Rp 7.600 per liter, rata-rata Mean of Platts Singapore (MOPS) sebesar US$ 73 per barel dan kurs Rp 12.380 per dollar AS pada periode 25 November24 Desember 2014. MOPS dan nilai tukar rupiah menjadi dasar pemerintah menetapkan harga premium. Lalu, kala pemerintah memutuskan harga premium tetap hingga 31 Desember nanti, selama OktoberDesember 2015 rata-rata MOPS diperkirakan US$ 66,71 sebarel dan kurs Rp 13.708 per dollar AS.
Nah, dengan harga minyak mentah yang terus merosot, seharusnya MOPS juga turun. Jadi, harga premium bisa ikutan turun, dong. 

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 9 Desember 2015)

CEMAS-CEMAS HARAP

MEA. Kata ini makin sering terdengar. Memang, sih, tak sesanter skandal Ketua DPR Setya Novanto yang diduga meminta jatah saham ke PT Freeport Indonesia, populer dengan sebutan Papa Minta Saham. Tapi, MEA masuk 10 besar kata kunci terpopuler 2015 oleh pengguna Google Indonesia untuk kategori Apa Itu. Pemberlakuan MEA, singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN, tinggal menghitung hari. Di ujung tahun, tepat tanggal 31 Desember, saat semua orang bersiap meninggalkan tahun 2015 dan melangkah ke tahun 2016, komunitas negara-negara Asia Tenggara ini memulai hari pertama.
Indonesia sebagai salah satu negara penandatanganan kesepakatan itu mau tidak mau harus siap menghadapi babak baru integrasi kehidupan ekonomi dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Saat MEA berlaku, pasar bebas di kawasan Asia Tenggara hidup. Bukan cuma barang, jasa, modal, dan investasi yang bebas keluar masuk dari satu negara ke negara lain, juga tenaga kerja.
Cuma, Indonesia yang menyandang predikat negara terbesar di Asia Tenggara, dengan pasar yang sangat gede dan pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, berpotensi kebanjiran produk, jasa, serta pekerja dari negara-negara tetangga. Dengan kemungkinan serbuan ini, negara kita pantas cemas. Tapi, cemas-cemas yang harap. Kok? Ya, MEA sejatinya juga menciptakan peluang besar untuk produk, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja kita untuk menyerbu negara ASEAN lain. Jadi, selain cemas juga berharap bisa menggarap pasar di kawasan yang makin terbuka lebar.
Yang jelas, cemas-cemas harap juga melanda dunia e-Commerce kita. Sebab, itu, tadi, MEA mendatangkan peluang sekaligus tantangan. Pemberlakuan MEA akan semakin mendorong lonjakan kegiatan yang lebih hebat dari usaha perdagangan elektronik alias e-Commerce negara ASEAN lainnya.
Pemerintah mencoba menjawab perasaan cemas-cemas harap itu dengan menyusun Roadmap Industri e-Commerce Indonesia, meski peta jalan ini tujuan utamanya bukan dalam rangka menyambut MEA. Kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, peta jalan ini sudah 99% jadi, tinggal finalisasi.
Tapi, di tahun awal pemberlakuan MEA, sebetulnya tak perlu memasang target yang muluk-muluk. Indonesia cukup menjadi pemain utama e-Commerce dulu, bukan lagi sebagai pasar seperti sekarang. Tentu, tetap sambil merangsek ke negara tetangga. Saat ini, negara kita memang masih menjadi pasar e-Commerce. Pemain utamanya masih banyak dari asing. Sebut saja, Lazada, Rakuten, Zalora, dan OLX. Pemain lokal memang banyak, seperti Bukalapak serta Tokopedia, dan terus bermunculan semisal Mataharimall.
Pemerintah juga mesti mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masuk ke pasar e-Commerce. Enggak mudah memang. Soalnya, banyak pelaku UMKM yang sudah terbiasa berjualan secara offline dan tetap sukses dari tahun ke tahun. Alhasil, mereka berpikiran, buat apa berdagang di dunia maya. Kalaupun banyak UMKM yang menawarkan produknya secara online, sebagian hanya menjadi objek penyerta. Sebab, sebenarnya yang melakukan adalah pihak lain. Misalnya, UMKM menumpang jualan di situs marketplace.
Tentu, untuk menuju cita-cita Indonesia sebagai pemain utama e-Commerce di negeri sendiri, pemerintah tidak cukup mendorong UMKM nyemplung ke dunia maya. Pemerintah harus mencari cara agar proses pembayaran lebih efisien untuk pengusaha kecil. Pasalnya, pembayaran sekitar 70% transaksi e-Commerce di Indonesia saat ini masih melalui ATM. Pembeli mentransfer uang ke rekening penjual melalui ATM. Setelah itu, struk bukti transfer difoto dan dikirim ke penjual lewat ponsel. Ini jelas tidak efisien dan rawan penipuan.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN Pekan IV Desember 2015)

PENERBANGAN

Selasa (17/11) lalu, Pemerintah Rusia secara resmi mengumumkan, bahwa bom adalah penyebab pesawat Metrojet dengan nomor penerbangan 9268 jatuh di Semenanjung Sinai, Mesir, akhir Oktober 2015. Kepala Dinas Keamanan Rusia (FSB) Alexander Bortnikov menegaskan, peledakan pesawat A-321 milik maskapai negeri beruang merah itu sesaat setelah lepas landas itu sebagai aksi teroris.
Kabarnya, Pemerintah Mesir sudah menahan dua pegawai Bandara Sharm al-Sheikh. Mereka diduga kuat memasukkan bom rakitan ke dalam pesawat Metrojet yang kemudian jatuh dan menewaskan 224 penumpang termasuk kru.
Pertanyaannya: apakah industri penerbangan dunia bakal rontok seperti pasca peristiwa 9/11 di Amerika Serikat tahun 2001 silam? Tambah lagi, setelah aksi teror di Paris, Prancis, Jumat (13/11) lalu, muncul sejumlah ancaman bom. Misalnya, ancaman bom atas Bandara Gatwick, London, Inggris, dan pesawat Air France flight 1741.
Sejauh ini, pasca pengumuman resmi dari Rusia dan serangkaian ancaman bom, belum terlihat kepanikan dan kecemasan yang membuat calon penumpang pesawat membatalkan penerbangannya. Dunia penerbangan dunia masih berjalan normal. Begitu juga dengan bisnis penerbangan di Indonesia.
Sejatinya, industri penerbangan boleh dibilang sedang menikmati masa-masa indah saat ini. Maklum, harga minyak mentah dunia sedang anjlok, di kisaran US$ 40 per barel. Alhasil, harga bahan bakar pesawat alias avtur menjadi lebih murah. Cuma sayang, ekonomi dunia sedang melemah sehingga permintaan penerbangan tidak tinggi.
Buat industri penerbangan di Indonesia, masalahnya bukan cuma perlambatan pertumbunan ekonomi, juga pelemahan rupiah. Maklum, maskapai mesti membeli avtur dalam dollar Amerika Serikat (AS). Memang, lewat Paket Ekonomi jilid III pemerintah memangkas harga avtur, cuma kebijakan ini menjadi tidak terlalu nendang lantaran dollar AS masih saja perkasa.
Tapi, pemerintah optimistis masa depan industri penerbangan kita cerah. Indonesia bakal menjadi salah satu pasar dengan pertumbuhan tercepat di dunia, sekitar 14,9% dalam 20 tahun ke depan.
Cuma, pekerjaan rumah dunia penerbangan kita masih banyak. Contoh, kecelakaan pesawat dan penerbangan tertunda hingga berjam-jam masih terjadi. Masalah ini harus secepatnya dibereskan, agar kita bisa menangkap peluang pertumbuhan yang besar itu.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian 19 November 2015)

119 DAN 112

Satu satu sembilan (119). Kelak angka ini bakal populer di Jakarta. Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menyatukan layanan panggilan gawat darurat alias emergency call yang terpisah-pisah menjadi satu nomor yakni 119.
Nomor tersebut akan membantu masyarakat Ibukota RI saat mereka membutuhkan bantuan polisi, pemadam kebakaran, dan ambulans. Selama ini, emergency call polisi, pemadam kebakaran, dan ambulans berbeda-beda. Polisi di nomor 112, pemadam kebakaran di nomor 113, dan ambulans di nomor 118.
Cuma masalahnya, seringkali nomor-nomor itu sulit dihubungi. Juga, lantaran sosialisasi yang minim, banyak warga Jakarta yang tidak tahu nomor-nomor layanan panggilan gawat darurat itu. Bahkan, tidak sedikit pula yang belum tahu kalau Jakarta punya layanan ambulans gawat darurat yang siaga dan bisa dikontak 24 jam. Layanannya pun gratis untuk kejadian yang membutuhkan penanganan segera seperti korban kecelakaan lalu lintas.
Nah, kalau tidak ada aral melintang, Kepala Polda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian, Selasa (27/10) lalu, bilang, emergency call 119 bakal beroperasi penuh selama 24 jam mulai tahun depan. Tahun 2013 lalu Pemerintah DKI sudah mendatangkan konsultan asal Amerika Serikat yang biasa membangun sistem emergency call di sejumlah negara untuk memberikan pelatihan.
Sebetulnya, bukan cuma Jakarta yang sedang membangun sistem emergency call. Ada 10 kota di Indonesia yang terpilih menjadi proyek percontohan awal, dengan dukungan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi. Contohnya, Kota Batam, Bogor, dan Mataram. Tapi, mereka memakai nomor 112.
Kalau layanan panggilan gawat darurat sudah berjalan, pemerintah dan kepolisian daerah setempat perlu melakukan sosialisasi besar-besaran. Bahkan, pengenalan emergency call sampai ke anak-anak yang masih duduk di bangku SD. Ini sangat penting karena kejadian gawat darurat bisa terjadi di mana saja termasuk di dalam rumah.

Pengetahuan masyarakat kita soal kegawatdaruratan memang masih rendah. Di Amerika Serikat, misalnya, anak umur 10 tahun sudah tahu apa yang harus dia lakukan ketika orangtuanya tiba-tiba pingsan di rumah. Dia dengan cepat mengangkat telepon dan menekan nomor 911. Itu sebabnya, pengetahuan kegawatdaruratan sekaligus pertolongan pertama harus ditanamkan pada masyarakat kita sejak dini.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 30 Oktober 2015)

UPAH BURUH

Sebentar lagi, "tontonan" yang selalu berulang saban tahun bakal diputar. Judulnya: pembahasan upah minimum provinsi (UMP). Seperti yang sudah-sudah, penggodokan UMP selalu alot. Maklum, buruh menuntut kenaikan upah yang tinggi, sementara pengusaha menuntut yang sebaliknya.
Dan tampaknya, pembahasan UMP 2016 yang bakal bergulir dalam waktu dekat bakal lebih liat lagi. Bagaimana tidak? Penetapan upah minimum bakal memakai formula baru. Kalau tidak ada aral yang melintang, pemerintah akan merilis Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang anyar. Penerbitan beleid ini menjadi bagian dari paket kebijakan ekonomi jilid III.
Buruh menolak keras formula perhitungan UMP yang baru itu. Mereka punya alasan: mekanisme yang ada di dalam PP tersebut tidak berimbang, karena tidak lagi melibatkan peran serikat pekerja dalam penentuan UMP setiap tahun. Formula perhitungan upah yang digunakan berdasarkan inflasi, tingkat produktivitas buruh (alfa), dan produk domestik bruto (PDB).
Dengan menggunakan formula tersebut, menurut Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), kenaikan upah buruh tiap tahun rata-rata hanya sekitar 8,8%. Itu sebabnya, komponen kebutuhan hidup layak (KHL) masih dibutuhkan sebagai dasar penentuan UMP. Dengan begitu, dialog antara buruh dan pengusaha dalam penetapan upah tetap terjadi.
Tapi, bagi pengusaha, bisa jadi formula perhitungan UMP yang baru tersebut melegakan. Apalagi, kalau benar upah buruh hanya naik 8,8% gara-gara kebijakan yang baru itu. Soalnya, kondisi ekonomi sedang kurang darah yang sangat mungkin berlangsung sampai tahun depan. Daya beli yang turun membuat pendapatan banyak perusahaan susut. Jelas berat kalau kenaikan UMP 2016 sangat tinggi.
Tapi, juga tidak adil buat buruh kalau kenaikan UMP tahun depan sangat kecil. Biaya hidup semakin mahal terutama di kota besar semacam Jakarta dan sekitarnya.
Kalau akhirnya yang terjadi seperti yang sudah-sudah, kenaikan upah buruh tidak tinggi-tinggi amat, tak seperti UMP 2013 DKI yang naik 43%, pemerintah harus membantu buruh dengan cara lain. Misalnya, menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik, mumpung harga minyak mentah murah dan nilai tukar rupiah mulai bertaji. Yang juga tidak kalah penting adalah menjaga harga bahan pokok tidak naik. Syukur-syukur harganya bisa turun, murah. 

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 8 Oktober 2015)

DAYA BELI

Di tengah ekonomi dalam negeri yang sedang lesu, kabar baik berembus dari industri kendaraan bermotor. Penjualan mobil dan sepeda motor selama Agustus 2015 lalu melesat tinggi.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penjualan mobil bulan lalu mencapai 90.534 unit, atau naik 62,78% ketimbang bulan sebelumnya. Pendorong utama penjualan adalah dua pameran otomotif berskala internasional yang berlangsung Agustus lalu: Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2015 dan Indonesia International Motor Show (IIMS) 2015.
Sedang data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) menunjukkan, penjualan motor sepanjang Agustus meroket 47,47% menjadi 622.089 unit dibanding Juli. Menurut AISI, salah satu faktor yang membuat penjualan motor terbang tinggi ialah belanja konsumen. Sebagian besar konsumen menunggu momen Lebaran selesai untuk membeli motor. Begitu Lebaran berakhir, mereka langsung membelanjakan uangnya untuk motor setelah kebutuhan hari raya terpenuhi.
Selama ini penjualan mobil dan motor menjadi salah satu indikator daya beli masyarakat. Tapi, penjualan mobil dan motor yang naik tinggi itu bukan berarti konsumsi rumahtangga yang tahun ini sedang anjlok tajam sudah kembali normal, ya. Soalnya, penjualan Agustus lalu masih di bawah rata-rata angka penjualan bulanan tahun lalu. Di 2014, rata-rata penjualan mobil mencapai 100.600 unit per bulan, sedang motor 655.500 unit sebulan.
Tapi, paling tidak ada ruang untuk daya beli masyarakat terangkat di bulan ini. Pertama, tarif listrik untuk pelanggan rumahtangga R-2 dengan daya 3.500 volt ampere (VA)-5.500 VA dan R-3 6.600 VA ke atas turun. Penurunannya Rp 23,17 per kilowatt ampere (kWh) menjadi Rp 1.523,43 per kWh. Kedua, harga elpiji dalam kemasan tabung 12 kilogram juga turun. Untuk wilayah Jabodetabek, harganya turun Rp 6.400 per tabung jadi Rp 134.600.
Penurunan itu makin menendang daya beli lebih ke atas lagi kalau tarif setrum untuk golongan pelanggan R-1 berdaya 1.300 VA dan 2.200 VA juga turun. Makin nendang lagi jika harga premium dan solar turun juga, mengekor penurunan harga Pertamax dan kawan-kawannya. Sebab, harga minyak dunia lagi anjlok, di bawah US$ 50 sebarel.
Nah, penurunan tarif listrik golongan pelanggan R-1, premium, serta solar mesti masuk dalam paket kebijakan ekonomi tahap kedua alias paket September 2. 

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 18 September 2015)

PEMBANGKIT

Kemarin Presiden Joko Widodo meresmikan peletakan batu pertama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah. Tampaknya, lewat ground breaking ini pemerintah ingin menunjukkan, bahwa proyek penghasil setrum berkapasitas 2.000 megawatt (MW) tersebut sudah tidak ada problem lagi.
Tapi sejatinya, masih ada 1,9% tanah yang belum dibebaskan dari total 280 hektare lahan yang dibutuhkan untuk PLTU Batang. Cuma, Presiden mengklaim, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sanggup membereskan masalah yang mengganjal megaproyek dalam dua tahun terakhir itu. Sang Gubernur menjanjikan problem tersebut beres dalam tempo satu bulan.
Ya, pembangunan PLTU Batang memang harus segera bergulir. Pembangkit setrum ini punya peran sangat sentral, karena bisa memasok 30% permintaan listrik baru di Pulau Jawa dan Bali. Target awalnya, PLTU Batang beroperasi 2017 nanti. Tapi, kemungkinan besar pembangkit raksasa ini baru bisa menghasilkan listrik di 2019.
Tak cuma PLTU Batang, keterlambatan realisasi proyek pembangkit listrik berpotensi memicu krisis listrik pada 2018. Sebab, kebutuhan listrik meningkat rata-rata 5.300 MW per tahun. Sedang PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sejauh ini hanya mampu memenuhi sekitar 4.000 MW setahun. Alhasil, ada 20% permintaan listrik yang tidak bisa dipenuhi di 2018 mendatang.
Per akhir Desember 2014, total kapasitas terpasang pembangkit PLN mencapai 39.257,53 MW. Beban puncak tahun lalu sebesar 33.321,15 MW, naik 8,06% dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan beban puncak di Jawa-Bali mencapai 23.900 MW, atau meningkat 5,90%.
Tidak hanya itu, pembangunan pembangkit yang terganjal juga akan menyebabkan kapasitas cadangan listrik menjadi berkurang. Soalnya, cadangan listrik diperkirakan bakal terus menurun hingga sekitar 16% pada 2017 nanti.
Tapi, pembangunan pembangkit tidak cuma memasok permintaan listrik baru, juga bisa menggerakan roda perekonomian. PLTU Batang, misalnya. PT Bhimasena Power Indonesia, pelaksana proyek sekaligus operator PLTU Batang, menyebutkan, pembangunan pembangkit ini akan melibatkan 4.000 pekerja5.000 pekerja. Nilai proyek sendiri mencapai US$ 3,2 miliar.
Nah, agar proyek pembangkit berjalan mulus, pemerintah wajib mengatasi masalah klasik pembangunannya: pembebasan lahan. Betul-betul mengatasinya. Bisa?

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 29 Agustur 2015) 

TANTANGAN INFRASTRUKTUR

Tiga hari menjelang hari jadi republik ini yang ke-70, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 ke DPR. Tahun 2016 merupakan tahun pertama bagi Pemerintahan Jokowi dan DPR baru merumuskan serta menyusun RAPBN secara utuh. Alhasil, anggaran 2016 diupayakan untuk menampung secara penuh kebijakan dan program dari Pemerintahan Jokowi.
Dan, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas Pemerintahan Jokowi di 2016, yang bertujuan untuk mendongkrak kinerja perekonomian nasional. Apalagi, ekonomi dalam negeri saat ini sedang kurang darah yang potensi berlanjut di tahun depan. Meski begitu, Pemerintahan Jokowi percaya diri dengan memasang target pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,5%, atawa lebih tinggi dari target tahun ini yang hanya 5,2%.
Oleh sebab itu, Pemerintahan Jokowi mengerek anggaran infrastruktur tahun depan menjadi Rp 313,5 triliun. Angka itu naik hampir 8% ketimbang tahun ini yang sebanyak Rp 290,3 triliun. Untuk infrastruktur bidang konektivitas, pemerintah berencana membangun, misalnya, jalan baru dengan panjang 375,9 kilometer (km), jalur keretaapi sepanjang 110,9 km, dan 11 bandara anyar.
Ya, pembangunan infrastruktur memang punya multiplier effect yang besar dan berkelanjutan terhadap perekonomian nasional. Selain itu, pembangunan infrastruktur bisa menjadi trigger percepatan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
Cuma, meski naik, sejatinya belanja infrastruktur pemerintah masih belum cukup. Idealnya, anggaran infrastruktur ada di kisaran Rp 500 triliun per tahun. Karena itu, seperti yang sudah-sudah, tetap butuh campur tangan swasta, badan usaha milik negara (BUMN), dan pemerintah daerah. Tentu, campur tangan yang murni. Maksudnya, biaya 100% dari mereka. Tapi, pemerintah tidak lepas tangan, tetap membantu, contohnya, dalam proses perizinan dan pembebasan lahan.
Dukungan pemerintah ini terutama pembebasan lahan justru sangat penting. Banyak proyek yang mangkrak atau bahkan enggak jalan-jalan dari awal gara-gara tanah tidak bebas-bebas. Teorinya, sih, bermodal Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pembebasan lahan bisa berjalan mulus. Tapi praktiknya, beleid ini juga tidak ampuh-ampuh amat, ternyata. Padahal, undang-undang yang berlaku mulai tahun 2015 itu memerintahkan, status tanah yang terkena proyek untuk kepentingan umum langsung menjadi milik negara.
Dan, walaupun enggak mengeluarkan biaya sepeser pun, pemerintah juga tetap harus menyeleksi betul proyek-proyek infrastruktur yang bakal digarap swasta dan BUMN. Apalagi, kalau proyek itu melibatkan perusahaan pelat merah dan pembiayaannya sebagian besar dari hasil berutang. Sebab, setelah proyek itu jadi dan dalam pengelolaannya ternyata enggak balik modal sesuai target, pemerintah juga ujung-ujungnya kena getahnya.
Contoh, rencana pembangunan kereta peluru JakartaBandung dengan investasi sedikitnya Rp 55 triliun. Kalau menang tender, konsorsium BUMN Indonesia-China yang bakal menggarapnya, dengan 75% pembiayaan dari utang. Bukan tidak mungkin megaproyek ini kelak bernasib sama dengan Taiwan High Speed Rail Corp., operator kereta cepat di Taiwan, yang terlilit utang dan rugi besar lantaran jumlah penumpangnya tak sesuai target.
Jadi, setiap proyek infrastruktur, selain kalkulasinya mesti matang betul, pastikan pembiayaannya dan pembebasan lahan tidak bermasalah. Jadi, jangan sampai sudah peletakan batu pertama oleh Presiden, habis itu pembangunannya enggak jalan-jalan. 

(Tajuk Tabloid KONTAN, Minggu IV Agustus 2015)

MASIH ADA PELUANG

Seperti sudah bisa ditebak, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal dua tahun ini melambat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi negara kita selama triwulan kedua tahun ini hanya tumbuh 4,67% ketimbang periode yang sama tahun lalu. Pada triwulan pertama lalu ekonomi kita masih bisa tumbuh sebesar 4,72%.
Bahan bakar utama pertumbuhan ekonomi kita sepanjang April hingga Juni lalu masih konsumsi rumahtangga yang tumbuh 4,97%. Angka ini sedikit melambat dibanding triwulan sebelumnya, JanuariMaret yang tumbuh 5,01%, memang.
Maklum, daya beli masyarakat terus melemah. Ini terlihat dari inflasi Juli alias Lebaran 2015 yang di bawah 1%, persisnya, 0,93%. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata inflasi historis Hari Raya Idul Fitri dalam empat tahun terakhir. Sebab, inflasi harga bahan makanan yang bergejolak (volatile food) selama Juli lalu terjaga dan inflasi intinya juga rendah. Ya, daya beli masyarakat yang rendah membuat kebanyakan harga barang dan jasa susah untuk naik tinggi.
Alhasil, konsumsi rumahtangga tidak bisa lagi terlalu diandalkan untuk menopang ekonomi kita tahun ini. Tambah lagi, nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Harga produk yang bahan baku utamanya impor tentu terus merangkak naik. Kemarin (5/8), kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan, nilai tukar rupiah bertengger di posisi Rp 13.517 per dollar AS. Pertumbuhan ekonomi yang melambat di triwulan kedua menjadi salah satu sebab mata uang garuda keok.
Nah, harapannya tinggal pada investasi, baik dari pemerintah maupun swasta, untuk menggerakkan roda perekonomian. Soalnya, ekspor tumbuh minus, paling tidak dalam dua triwulan terakhir. Memang, belanja pemerintah selama paro pertama tahun ini masih kurang menggembirakan. Realisasi belanja negara sampai Juni lalu baru Rp 773,9 triliun atawa 39% dari pagu tahun ini yang mencapai Rp 1.984,1 triliun. Angka tersebut di bawah pencapaian pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar 41,2%.
Tapi, masih ada waktu enam bulan untuk pemerintah menggeber belanja negara juga investasi swasta, baik dari dalam ataupun luar negeri. Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada Desember mendatang juga berpeluang mengerek konsumsi masyarakat. Tentu dengan harapan, pesta demokrasi ini berjalan aman dan tertib.
Cuma, untuk bisa tumbuh sampai 5% tetap agak sulit, tampaknya. 

(Tajuk Harian KONTAN, 6 Agustus 2015)

HARGA BBM

Minyak mentah dunia sedang dalam tren penurunan harga. Harga emas hitam terus mendekati level US$ 50 per barel. Contoh, kemarin, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) di New York Mercantile Exchange untuk pengiriman Agustus tercatat sebesar US$ 52,20 sebarel.
Harga minyak mentah Indonesia (ICP) pun juga turun sejak Juni lalu. Rata-rata ICP selama Juni adalah US$ 59,40 per barel, turun sebesar US$ 2,46 dibanding Mei yang mencapai US$ 61,86 atau angka bulanan tertinggi sepanjang 2015.
Seharusnya, harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya premium dan solar ikutan turun. Sayang, pemerintah belum akan menurunkan harga premium dan solar. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro punya alasan: nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) masih melemah. Maklum, selain harga minyak, kurs rupiah ikut menentukan harga BBM.
Kurs tengah Bank Indonesia (BI), Selasa (14/7), menunjukkan, nilai tukar rupiah kembali melemah ke posisi Rp 13.320 per dollar AS, setelah sempat menguat pada Jumat (10/7) pekan lalu di 13.304.
Tapi, bisa jadi pemerintah masih enggan menurunkan harga premium dan solar lantaran harga kedua jenis BBM tersebut saat ini jauh di bawah harga keekonomian. Soalnya, sejak mengerek harga premium dan solar pada akhir Maret lalu masing-masing menjadi Rp 7.300 per liter dan Rp 6.900 per liter, pemerintah sampai sekarang tidak pernah menaikkan harga kedua BBM itu.
Padahal, PT Pertamina sudah mengusulkan ke pemerintah agar harga premium dan solar naik pada April lalu menjadi Rp 8.200 per liter dan Rp 7.450 per liter. Tapi, pemerintah tidak menyetujui usulan tersebut. Sehingga, bukan tidak mungkin dengan harga premium dan solar saat ini, perusahaan energi pelat merah itu menjual rugi.
Catatan saja, pemerintah sudah melepas premium sesuai harga pasar. Sedang untuk solar, pemerintah hanya menyuntikkan subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per liter. Alhasil, harga solar bersubsidi juga mengikuti mekanisme pasar.
Dengan penuh harap pemerintah dan BI bisa memperkuat otot rupiah. Sehingga, harga minyak yang sedang dalam tren penurunan tidak sia-sia. Pemerintah dapat mengambil peluang dari harga minyak yang turun saat ini untuk menggunting harga BBM. Sebab, penurunan harga BBM bisa mendongkrak daya beli masyarakat. Dan, konsumsi yang meningkat dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi. 

(Tajuk Harian KONTAN, 15 Juli 2015)