Jumat, 29 April 2016

PEMBANGKIT

Kemarin Presiden Joko Widodo meresmikan peletakan batu pertama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah. Tampaknya, lewat ground breaking ini pemerintah ingin menunjukkan, bahwa proyek penghasil setrum berkapasitas 2.000 megawatt (MW) tersebut sudah tidak ada problem lagi.
Tapi sejatinya, masih ada 1,9% tanah yang belum dibebaskan dari total 280 hektare lahan yang dibutuhkan untuk PLTU Batang. Cuma, Presiden mengklaim, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sanggup membereskan masalah yang mengganjal megaproyek dalam dua tahun terakhir itu. Sang Gubernur menjanjikan problem tersebut beres dalam tempo satu bulan.
Ya, pembangunan PLTU Batang memang harus segera bergulir. Pembangkit setrum ini punya peran sangat sentral, karena bisa memasok 30% permintaan listrik baru di Pulau Jawa dan Bali. Target awalnya, PLTU Batang beroperasi 2017 nanti. Tapi, kemungkinan besar pembangkit raksasa ini baru bisa menghasilkan listrik di 2019.
Tak cuma PLTU Batang, keterlambatan realisasi proyek pembangkit listrik berpotensi memicu krisis listrik pada 2018. Sebab, kebutuhan listrik meningkat rata-rata 5.300 MW per tahun. Sedang PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sejauh ini hanya mampu memenuhi sekitar 4.000 MW setahun. Alhasil, ada 20% permintaan listrik yang tidak bisa dipenuhi di 2018 mendatang.
Per akhir Desember 2014, total kapasitas terpasang pembangkit PLN mencapai 39.257,53 MW. Beban puncak tahun lalu sebesar 33.321,15 MW, naik 8,06% dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan beban puncak di Jawa-Bali mencapai 23.900 MW, atau meningkat 5,90%.
Tidak hanya itu, pembangunan pembangkit yang terganjal juga akan menyebabkan kapasitas cadangan listrik menjadi berkurang. Soalnya, cadangan listrik diperkirakan bakal terus menurun hingga sekitar 16% pada 2017 nanti.
Tapi, pembangunan pembangkit tidak cuma memasok permintaan listrik baru, juga bisa menggerakan roda perekonomian. PLTU Batang, misalnya. PT Bhimasena Power Indonesia, pelaksana proyek sekaligus operator PLTU Batang, menyebutkan, pembangunan pembangkit ini akan melibatkan 4.000 pekerja5.000 pekerja. Nilai proyek sendiri mencapai US$ 3,2 miliar.
Nah, agar proyek pembangkit berjalan mulus, pemerintah wajib mengatasi masalah klasik pembangunannya: pembebasan lahan. Betul-betul mengatasinya. Bisa?

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 29 Agustur 2015) 

Tidak ada komentar: