Jumat, 29 April 2016

CEMAS-CEMAS HARAP

MEA. Kata ini makin sering terdengar. Memang, sih, tak sesanter skandal Ketua DPR Setya Novanto yang diduga meminta jatah saham ke PT Freeport Indonesia, populer dengan sebutan Papa Minta Saham. Tapi, MEA masuk 10 besar kata kunci terpopuler 2015 oleh pengguna Google Indonesia untuk kategori Apa Itu. Pemberlakuan MEA, singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN, tinggal menghitung hari. Di ujung tahun, tepat tanggal 31 Desember, saat semua orang bersiap meninggalkan tahun 2015 dan melangkah ke tahun 2016, komunitas negara-negara Asia Tenggara ini memulai hari pertama.
Indonesia sebagai salah satu negara penandatanganan kesepakatan itu mau tidak mau harus siap menghadapi babak baru integrasi kehidupan ekonomi dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Saat MEA berlaku, pasar bebas di kawasan Asia Tenggara hidup. Bukan cuma barang, jasa, modal, dan investasi yang bebas keluar masuk dari satu negara ke negara lain, juga tenaga kerja.
Cuma, Indonesia yang menyandang predikat negara terbesar di Asia Tenggara, dengan pasar yang sangat gede dan pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, berpotensi kebanjiran produk, jasa, serta pekerja dari negara-negara tetangga. Dengan kemungkinan serbuan ini, negara kita pantas cemas. Tapi, cemas-cemas yang harap. Kok? Ya, MEA sejatinya juga menciptakan peluang besar untuk produk, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja kita untuk menyerbu negara ASEAN lain. Jadi, selain cemas juga berharap bisa menggarap pasar di kawasan yang makin terbuka lebar.
Yang jelas, cemas-cemas harap juga melanda dunia e-Commerce kita. Sebab, itu, tadi, MEA mendatangkan peluang sekaligus tantangan. Pemberlakuan MEA akan semakin mendorong lonjakan kegiatan yang lebih hebat dari usaha perdagangan elektronik alias e-Commerce negara ASEAN lainnya.
Pemerintah mencoba menjawab perasaan cemas-cemas harap itu dengan menyusun Roadmap Industri e-Commerce Indonesia, meski peta jalan ini tujuan utamanya bukan dalam rangka menyambut MEA. Kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, peta jalan ini sudah 99% jadi, tinggal finalisasi.
Tapi, di tahun awal pemberlakuan MEA, sebetulnya tak perlu memasang target yang muluk-muluk. Indonesia cukup menjadi pemain utama e-Commerce dulu, bukan lagi sebagai pasar seperti sekarang. Tentu, tetap sambil merangsek ke negara tetangga. Saat ini, negara kita memang masih menjadi pasar e-Commerce. Pemain utamanya masih banyak dari asing. Sebut saja, Lazada, Rakuten, Zalora, dan OLX. Pemain lokal memang banyak, seperti Bukalapak serta Tokopedia, dan terus bermunculan semisal Mataharimall.
Pemerintah juga mesti mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masuk ke pasar e-Commerce. Enggak mudah memang. Soalnya, banyak pelaku UMKM yang sudah terbiasa berjualan secara offline dan tetap sukses dari tahun ke tahun. Alhasil, mereka berpikiran, buat apa berdagang di dunia maya. Kalaupun banyak UMKM yang menawarkan produknya secara online, sebagian hanya menjadi objek penyerta. Sebab, sebenarnya yang melakukan adalah pihak lain. Misalnya, UMKM menumpang jualan di situs marketplace.
Tentu, untuk menuju cita-cita Indonesia sebagai pemain utama e-Commerce di negeri sendiri, pemerintah tidak cukup mendorong UMKM nyemplung ke dunia maya. Pemerintah harus mencari cara agar proses pembayaran lebih efisien untuk pengusaha kecil. Pasalnya, pembayaran sekitar 70% transaksi e-Commerce di Indonesia saat ini masih melalui ATM. Pembeli mentransfer uang ke rekening penjual melalui ATM. Setelah itu, struk bukti transfer difoto dan dikirim ke penjual lewat ponsel. Ini jelas tidak efisien dan rawan penipuan.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN Pekan IV Desember 2015)

Tidak ada komentar: