Jumat, 29 April 2016

UPAH BURUH

Sebentar lagi, "tontonan" yang selalu berulang saban tahun bakal diputar. Judulnya: pembahasan upah minimum provinsi (UMP). Seperti yang sudah-sudah, penggodokan UMP selalu alot. Maklum, buruh menuntut kenaikan upah yang tinggi, sementara pengusaha menuntut yang sebaliknya.
Dan tampaknya, pembahasan UMP 2016 yang bakal bergulir dalam waktu dekat bakal lebih liat lagi. Bagaimana tidak? Penetapan upah minimum bakal memakai formula baru. Kalau tidak ada aral yang melintang, pemerintah akan merilis Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang anyar. Penerbitan beleid ini menjadi bagian dari paket kebijakan ekonomi jilid III.
Buruh menolak keras formula perhitungan UMP yang baru itu. Mereka punya alasan: mekanisme yang ada di dalam PP tersebut tidak berimbang, karena tidak lagi melibatkan peran serikat pekerja dalam penentuan UMP setiap tahun. Formula perhitungan upah yang digunakan berdasarkan inflasi, tingkat produktivitas buruh (alfa), dan produk domestik bruto (PDB).
Dengan menggunakan formula tersebut, menurut Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), kenaikan upah buruh tiap tahun rata-rata hanya sekitar 8,8%. Itu sebabnya, komponen kebutuhan hidup layak (KHL) masih dibutuhkan sebagai dasar penentuan UMP. Dengan begitu, dialog antara buruh dan pengusaha dalam penetapan upah tetap terjadi.
Tapi, bagi pengusaha, bisa jadi formula perhitungan UMP yang baru tersebut melegakan. Apalagi, kalau benar upah buruh hanya naik 8,8% gara-gara kebijakan yang baru itu. Soalnya, kondisi ekonomi sedang kurang darah yang sangat mungkin berlangsung sampai tahun depan. Daya beli yang turun membuat pendapatan banyak perusahaan susut. Jelas berat kalau kenaikan UMP 2016 sangat tinggi.
Tapi, juga tidak adil buat buruh kalau kenaikan UMP tahun depan sangat kecil. Biaya hidup semakin mahal terutama di kota besar semacam Jakarta dan sekitarnya.
Kalau akhirnya yang terjadi seperti yang sudah-sudah, kenaikan upah buruh tidak tinggi-tinggi amat, tak seperti UMP 2013 DKI yang naik 43%, pemerintah harus membantu buruh dengan cara lain. Misalnya, menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik, mumpung harga minyak mentah murah dan nilai tukar rupiah mulai bertaji. Yang juga tidak kalah penting adalah menjaga harga bahan pokok tidak naik. Syukur-syukur harganya bisa turun, murah. 

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 8 Oktober 2015)

Tidak ada komentar: