Jumat, 29 April 2016

TANTANGAN INFRASTRUKTUR

Tiga hari menjelang hari jadi republik ini yang ke-70, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 ke DPR. Tahun 2016 merupakan tahun pertama bagi Pemerintahan Jokowi dan DPR baru merumuskan serta menyusun RAPBN secara utuh. Alhasil, anggaran 2016 diupayakan untuk menampung secara penuh kebijakan dan program dari Pemerintahan Jokowi.
Dan, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas Pemerintahan Jokowi di 2016, yang bertujuan untuk mendongkrak kinerja perekonomian nasional. Apalagi, ekonomi dalam negeri saat ini sedang kurang darah yang potensi berlanjut di tahun depan. Meski begitu, Pemerintahan Jokowi percaya diri dengan memasang target pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,5%, atawa lebih tinggi dari target tahun ini yang hanya 5,2%.
Oleh sebab itu, Pemerintahan Jokowi mengerek anggaran infrastruktur tahun depan menjadi Rp 313,5 triliun. Angka itu naik hampir 8% ketimbang tahun ini yang sebanyak Rp 290,3 triliun. Untuk infrastruktur bidang konektivitas, pemerintah berencana membangun, misalnya, jalan baru dengan panjang 375,9 kilometer (km), jalur keretaapi sepanjang 110,9 km, dan 11 bandara anyar.
Ya, pembangunan infrastruktur memang punya multiplier effect yang besar dan berkelanjutan terhadap perekonomian nasional. Selain itu, pembangunan infrastruktur bisa menjadi trigger percepatan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
Cuma, meski naik, sejatinya belanja infrastruktur pemerintah masih belum cukup. Idealnya, anggaran infrastruktur ada di kisaran Rp 500 triliun per tahun. Karena itu, seperti yang sudah-sudah, tetap butuh campur tangan swasta, badan usaha milik negara (BUMN), dan pemerintah daerah. Tentu, campur tangan yang murni. Maksudnya, biaya 100% dari mereka. Tapi, pemerintah tidak lepas tangan, tetap membantu, contohnya, dalam proses perizinan dan pembebasan lahan.
Dukungan pemerintah ini terutama pembebasan lahan justru sangat penting. Banyak proyek yang mangkrak atau bahkan enggak jalan-jalan dari awal gara-gara tanah tidak bebas-bebas. Teorinya, sih, bermodal Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pembebasan lahan bisa berjalan mulus. Tapi praktiknya, beleid ini juga tidak ampuh-ampuh amat, ternyata. Padahal, undang-undang yang berlaku mulai tahun 2015 itu memerintahkan, status tanah yang terkena proyek untuk kepentingan umum langsung menjadi milik negara.
Dan, walaupun enggak mengeluarkan biaya sepeser pun, pemerintah juga tetap harus menyeleksi betul proyek-proyek infrastruktur yang bakal digarap swasta dan BUMN. Apalagi, kalau proyek itu melibatkan perusahaan pelat merah dan pembiayaannya sebagian besar dari hasil berutang. Sebab, setelah proyek itu jadi dan dalam pengelolaannya ternyata enggak balik modal sesuai target, pemerintah juga ujung-ujungnya kena getahnya.
Contoh, rencana pembangunan kereta peluru JakartaBandung dengan investasi sedikitnya Rp 55 triliun. Kalau menang tender, konsorsium BUMN Indonesia-China yang bakal menggarapnya, dengan 75% pembiayaan dari utang. Bukan tidak mungkin megaproyek ini kelak bernasib sama dengan Taiwan High Speed Rail Corp., operator kereta cepat di Taiwan, yang terlilit utang dan rugi besar lantaran jumlah penumpangnya tak sesuai target.
Jadi, setiap proyek infrastruktur, selain kalkulasinya mesti matang betul, pastikan pembiayaannya dan pembebasan lahan tidak bermasalah. Jadi, jangan sampai sudah peletakan batu pertama oleh Presiden, habis itu pembangunannya enggak jalan-jalan. 

(Tajuk Tabloid KONTAN, Minggu IV Agustus 2015)

Tidak ada komentar: