Senin, 30 Juni 2008

EVAKUASI SALAK

Evakuasi. Kata ini belakangan akrab di telinga menyusul jatuhnya pesawat Casa 212 milik TNI Angkatan Udara di lereng Gunung Salak, Bogor, Kamis (26/6) pekan lalu.
Nah, ngomong-ngomong soal evakuasi ingatan saya lari ke 2005 lalu. Waktu itu, saya dan sejumlah teman dari TEMPO Adventure Team alias Tante berkemah di kaki Gunung Salak, persisnya, daerah Cidahu, Sukabumi.
Siang menjelang sore, saya dan dua rekan asyik ngopi di warung yang letaknya tak jauh dari tenda yang kami dirikan. Dua orang pria, yang satu umurnya sekitar 40-an dan satu lagi masih remaja, juga sedang menikmati segelas kopi. Belakangan, kami tahu mereka ada guru dan murid yang sekolah tempat keduanya mengajar dan belajar sedang mengadakan kegiatan berkemah di Cidahu.
Tapi, mereka kelihatan gelisah. Pandangan keduanya sering mengarah ke jalur pendakian menuju Kawah Ratu.
Usut punya usut, rupanya mereka sedang menanti cemas sembilan murid dan rekannya yang belum juga kembali dari Kawah Ratu. Si bapak guru itu bilang, anak didiknya pergi diam-diam tanpa sepengetahuan guru pendamping sejak pagi hari.
Akhirnya, kami memutuskan menyusul ke Kawah Ratu. Setelah menyiapkan bekal seadanya, seperti air, roti dan senter kami pun memulai perjalanan.
Belum sampai di tempat tujuan, kami ketemu sebagain dari murid SMP asal Jakarta itu. Dua di antaranya dalam kondisi kecapean berat.Ini lantaran mereka tidak membawa bekal yang cukup sewaktu menuju ke kawah ratu. Sebungkus roti dan sebotol aqua yang kami bawa berpindah tangan ke mereka.
Dari anak-anak baru gede itu kami mendapat informasi salah satu rekannya pingsan dan sedang dalam proses evakuasi. Rupanya, sejumlah anak IPB yang kebetulan melakukan kegiatan di Cidahu sudah berangkat lebih dulu. Kami lantas mempercepat jalan menuju Kawah Ratu.
Tak lama berlalu, kami bertemu dengan rombongan yang sedang menggotong tandu. Isinya, seorang perempuan yang tergolek lemah sambil menggigil hebat. Wajah-wajah pembawa tandu tampak sangat kelelahan. Kami pun memutuskan menggantikan posisi mereka. Medan yang menurun dan licin lantaran baru saja diguyur hujan mempersulit langkah kami. Tak jarang kami terjatuh gara-gara terpleset. Apalagi, saat itu kami semua hanya memakai sandal. Gara-gara mengganggu, kami akhirnya mencopot alas kaki itu dan memilih nyeker. Syukur kami tiba di Cidahu sebelum malam menyergap.
Puih…., proses evakuasi yang betul-betul berat dan melelahkan. Ketika membersihkan kaki di sungai kecil yang airnya sangat dingin, saya merasakan perih yang luar biasa. Ternyata, kuku kaki jempol saya robek hingga bagian tengah. Perih dan rasa nyut-nyut terus berlanjut hingga malam hari. Sampai-sampai untuk sekadar memejamkan mata pun tak bisa.
Tapi, saya senang bisa membantu proses evakuasi itu. Senang bisa membantu sesama.


sore di kunciran

Kamis, 19 Juni 2008

PUNCAK TOGA

Akhir pekan lalu, menjadi hari yang paling dinanti-nanti dengan rasa dag-dig-dug oleh ratusan ribu pelajar kelas tiga SMA. Ya, hari itu kelulusan mereka usai menempuh ujian nasional diumumkan. Begitu tahu lulus, banyak cara yang dilakukan untuk mengekspresikan kegembiraan. Ada yang doa massal di pura seperti yang dilakukan pelajar Bali. Lalu, ada yang konvoi keliling kota dengan menumpang motor. Tapi yang paling populer adalah aksi coret baju yang memang sudah menjadi tradisi.
Sebagai orang yang punya hobi naik gunung, saya punya cara yang beda dan unik sebagai wujud syukur setelah berhasil menyabet gelar sarjana komunikasi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta delapan tahun lalu. Sebetulnya, ini juga menjadi tradisi bagi sebagian pendaki: memakai toga di puncak gunung. Dan, saya memilih puncak Merbabu yang bernama Kenteng Songo. Gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut (dpl) memang menjadi favorit saya. Ini kali ketiga saya mendaki gunung tersebut
Perjalanan saya menuju puncak gunung yang hidup berdampingan dengan Merapi tersebut di awal 2001 yang masih diguyur hujan ditemani adik dan dua teman. Cuaca cerah menemani pendakian kami dari Selo yang menjadi salah satu kaki Merbabu. Menjelang tengah malam kami tiba di padang rumput alias savana Merbabu. Dan, kami bermalam di sana.
Cuaca yang tadinya cerah mendadak berubah mendekati subuh. Hujan turun dengan lebatnya disertai angin kencang. Bulir-bulir air pun menyusup masuk ke dalam tenda. Kantong tidur yang melindungi kami dari sergapan udara dingin akhirnya basah. Hujan baru reda ketika pagi sudah lewat tinggal menyisakan angin kencang dan kabut tebal yang menyerbu savana Merbabu.
Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian ke Kenteng Songo, meski rasa kecewa lantaran rencana memakai toga di puncak Merbabu batal. Tapi, kami boleh dibilang beruntung. Soalnya, seorang pendaki tewas karena nekad menerobos badai dan kabut tebal guna mencapai puncak Merbabu. Berita ini saya dapat seminggu setelah pendakian yang gagal tersebut.
Kabar duka juga melesat dari Gunung Slamet. Sejumlah mahasiswa UGM tewas di gunung paling tinggi di Jawa Tengah tersebut. Menyusul kemudian berita duka dari Gunung Lawu. Dua pecinta alam juga meregang nyawa di sana. Dua pendaki lainnya tewas di gunung yang ada di Sulawesi. Tahun ini memang menjadi tahun duka bagi dunia pendakian Indonesia. Lebih dari 10 pendaki tewas dalam waktu yang bersamaan. Penyebabnya, cuaca buruk. Memang betul kata orang tua: Alam Bukan Untuk Dilawan


siang di kebayoran lama

Kamis, 05 Juni 2008

BERI AMBULANS JALAN!




Apa yang saya khawatirkan akhirnya kejadian juga. Ahad (1/6) dinihari lalu, mobil Honda Jazz yang ditumpangi seorang penyanyi muda menghajar Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta di Jalan Sisingamangaraja, Jakarta.
Sabtu (24/5) dua pekan lalu, surat pembaca saya berjudul Beri Ambulans Jalan! dimuat di Harian KONTAN. Surat pembaca ini sebetulnya merupakan bagian dari kekhawatiran saya atas keselamatan istri tercinta sewaktu bertugas membawa korban gawat darurat. Oh ya, dia bekerja di Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan DKI Jakarta.

Pernah suatu kali, di suatu siang, dia cerita ambulans-nya diseruduk motor dari samping ketika membawa pasien yang butuh penanganan segera di rumah. Sirene sudah meraung-raung dan lampu mobil depan menyala, bahkan polisi sudah meminta mobil dan motor berhenti untuk memberi kesempatan ambulans lewat. Tapi, kenyataannya masih juga ada orang yang nekad.
Di kemudian hari, dia cerita lagi ambulans-nya nyaris saja ditubruk mobil yang melaju kencang di jalur busway. Itu sebabnya, saya mengirim surat pembaca dengan maksud memberi tahukan ke warga Jakarta tentang keberadaan Ambulans Gawat Darurat termasuk kinerja mereka sewaktu membawa pasien atau korban.
Tapi, akhirnya yang saya takutkan akhirnya terjadi. Memang, tidak menimpa istri saya, melainkan rekan kerjanya. Karena itu, saya meminta sekali kepada warga Jakarta untuk mengerti dan memahami tugas Ambulans Gawat Darurat. Begitu banyak nyawa yang sudah mereka selamatkan, tapi tak banyak orang yang tahu.

Jadi, Beri Ambulans Gawat Darurat Jalan!

malam di kebayoran lama