Selasa, 13 September 2011

PESONA WISATA CAVETUBING DI GOA PINDUL




Goa Pindul yang ada di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menawarkan wisata goa yang unik dan jarang ada. Sembari menghanyutkan diri bersama ban truk, kita bisa menelusuri sungai dalam perut bukit kapur sepanjang 350 meter.

Mau pelesiran ke mana liburan Lebaran nanti? Kalau kawasan wisata di Yogyakarta dan sekitarnya menjadi pilihan, Goa Pindul layak masuk dalam daftar tujuan wisata Anda.
Goa yang terletak di Kabupaten Gunungkidul ini menawarkan kesempatan bagi Anda untuk menikmati keindahan stalagmit dan stalagtit dengan cara yang berbeda: cavetubing. Ya, Anda bisa menyusuri goa ini dengan menumpang ban truk yang hanyut. Goa Pindul merupakan aliran sungai dari mata air Gedong Tujuh yang tidak pernah kering, sekalipun di musim kemarau yang kerontang.
Objek wisata yang ada di Dusun Gelaran Satu, Bejiharjo, ini baru dibuka untuk umum mulai Oktober tahun lalu. Jadi, wajar saja kalau belum banyak orang yang tahu keberadaan Goa Pindul yang berjarak 15 menit berkendara atau 10 kilometer (km) arah timur laut Wonosari, Ibukota Gunungkidul.
Untuk mencapai Goa Pindul yang masuk Kecamatan Karangmojo dari kota Yogyakarta tidaklah sulit. Anda cukup arahkan kendaraan ke Jalan Wonosari. Terus saja hingga ketemu perempatan Siyono, sekitar 1 km menjelang Kota Wonosari, kemudian belok kiri.
Lalu, ikuti jalan itu sampai perempatan Grogol dan belok kiri. Gapura bertuliskan Desa Agropolitan Bejiharjo menjadi pintu masuk Anda ke Goa Pindul. Dari situ hanya butuh 10 menit lagi berkendara.
Sayang, angkutan umum yang bisa mengantar Anda langsung ke Goa Pindul hanya ada saban hari Pahing dalam penanggalan Jawa. Itu pun berangkat dari Pasar Karangmojo, yang artinya Anda harus naik angkutan umum dari Wonosari tujuan Semin atau Ponjong yang melewati Pasar Karangmojo.
Begitu sampai lokasi, waktunya susur Goa Pindul. Tapi, Anda harus daftar dulu, ya, di Sekretariat Desa Wisata Bejiharjo (Dewa Bejo). Untuk menyusuri goa sepanjang 300 meter itu biayanya cuma Rp 30.000 per orang, plus dapat semangkuk bakso grogol dan segelas teh bunga rosela yang bisa Anda nikmati sehabis cavetubing.
Selama penyusuran Goa Pindul sekitar 45 menit, Anda wajib memakai jaket pelampung serta sepatu karet dan tentu saja ban dalam sebagai “perahu”. Semua peralatan keselamatan ini disediakan pengelola goa secara cuma-cuma alias gratis. Jadi, buat yang tidak bisa berenang tidak perlu khawatir.

Terbesar di dunia

Setelah mengenakan jaket pelampung dan sepatu karet serta mendengarkan penjelasan singkat dari pemandu, petualangan susur Goa Pindul pun dimulai. Pertama-tama, Anda mesti jalan kaki dulu sekitar lima menit menuju sungai.
Berikutnya, byur..., lalu naik ke ban dalam. Sungai yang kedalamannya antara empat meter hingga 10 meter nyaris tanpa arus. Tenang. Alhasil, tiga pemandu dalam setiap satu rombongan berisi tujuh sampai 10 orang terpaksa menuntun Anda menuju mulut Goa Pindul dengan lebar lima meter.
Di mulut gua, keindahan stalagmit Goa Pindul yang merupakan singkatan dari “pipi kejendhul” mulai tampak. Bilah-bilah batu kapur yang menjulur ke bawah di sisi kanan menyambut kedatangan Anda. Bila dipukul, masing-masing mengeluarkan bunyi yang berbeda. Makanya, masyarakat sekitar memberi nama batu gamelan.
Masih di sekitar mulut goa, di dinding bagian atas terdapat sebuah lubang cukup besar yang menghubungkan dengan sebuah bangunan besar yang tadinya untuk sarang walet, milik seorang pengusaha asal Jogja. Tapi justru kehadiran rumah gede itu membuat burung yang air liurnya berharga mahal itu pergi dari Goa Pindul.
Masuk sedikit ke dalam goa yang cahayanya mulai remang-remang terdapat stalagtit mirip lingga atau alat kelamin pria di bagian kanan. Percaya atau tidak, bagi kaum lelaki yang memegangnya bisa makin perkasa. Itu sebabnya, warga menamainya batu perkasa.
Terus masuk ke goa yang kian gelap, ada puluhan stalagmit berukuran mini di dinding bagian atas yang meneteskan air. Namanya: air mutiara. Warga setempat percaya, perempuan yang membasuh wajahnya dengan air tersebut bakal awet muda dan tambah cantik.
Di bagian tengah goa yang gelap gulita, terdapat stalagmit berukuran raksasa yang menghujam ke bawah menuju dasar sungai. Diameternya sekitar empat meter. “Ini merupakan stalagmit terbesar keempat di dunia dan masih aktif,” klaim Subagyo, Ketua Kelompok Sadar Wisata Dewa Bejo.
Sokoguru atau cagak gunung, begitu masyarakat setempat menyebutnya, hanya menyisakan celah yang bisa dilalui satu orang saja. Sehingga, untuk meneruskan perjalanan, Anda harus melewati celah itu satu per satu bergantian.
Itulah sebagian keunikan di antara keindahan stalagmit dan stalagtit Goa Pindul. “Sangat mengagumkan, enggak nyesel pokoknya,” kata Ismail, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, asal Libia yang baru pertama kali susur goa.
Tapi, perjalanan belum berakhir. Setelah melewati ruangan yang menjadi sarang ratusan kelelawar hitam, Anda akan memasuki kawasan terang lantaran ada lubang besar menganga di langit-langit goa.
Di bibir lubang tumbuh aneka tanaman dengan akar yang menjuntai ke bawah. “Dulunya lubangnya tidak sebesar ini. Gempa beberapa tahun lalu membuat langit-langit goa runtuh,” ungkap Subagyo. Pemandu akan membiarkan Anda bermain-main air di sini karena susur goa akan berakhir.

Ada goa kering

Di mulut goa yang menjadi jalan keluar masih ada keunikan Goa Pindul lainnya, yakni stalagmit yang kalau dipukul mengeluarkan suara mirip bunyi gong. Karena itu, namanya batu gong. Juga batu bekas benturan pipi orang yang menjadi muasal nama Goa Pindul.
Jadi konon, orang yang pipinya kejendhul itu adalah cucu Panembahan Senopati yang masih bayi, hasil pernikahan putranya dengan putri Mangir Wonoboyo, musuh raja pertama Mataram itu. “Sewaktu dimandikan di situ, pipinya kejendhul,” beber Tukijo, Ketua Pemandu Goa Pindul sekaligus sesepuh Dusun Gelaran Satu.
Belum puas menyusuri Goa Pindul, setelah menghabiskan semangkuk bakso grogol dan segelas teh rosela hangat, Anda bisa melanjutkan petualangan ke Goa Glatik. Tarifnya sama: Rp 30.000 per orang.
Tapi, beda dengan Goa Pindul, Goa Glatik, yang menurut cerita masyarakat menjadi tempat bertapa Patih Batik Madrim dan Prabu Angling Dharma, adalah goa kering. Jadi, Anda mesti memakai baju khusus caving, helm, dan sepatu karet.
Hanya saja, perlu tenaga ekstra untuk menyusuri goa yang berisi aneka satwa khas goa, seperti jangkrik, laba-laba, dan kelelawar berwarna cokelat. Sebab, Anda harus melewati lorong sempit sepanjang 10 meter dengan merangkak.
Keindahan stalagmit dan stalagtit di Goa Glatik tak kalah dengan Goa Pindul. Di sini juga ada sokoguru, meski ukurannya lebih kecil. Juga terdapat batu kristal yang berwarna putih menyala di tengah kegelapan goa yang gulita.
Tahun depan, ada satu goa basah lagi dengan panjang 800 meter yang bisa Anda susuri. Namanya, Goa Banyumoto. Selain stalagmit dan stalagtit, goa yang satu aliran sungai dengan Goa Pindul ini menawarkan keindahan akar-akar pohon yang menembus langit-langit goa. “Kami akan buka tahun depan,” janji Subagyo.

(S.S. Kurniawan, Mingguan KONTAN, Minggu Keempat Agustus 2010)

BAK OASE IJO ROYO-ROYO



Bejiharjo beda dengan desa-desa lain yang ada di Gunungkidul. Kampung ini punya kelebihan: air yang melimpah ruah. Di dalam perut Bejiharjo terdapat beberapa aliran sungai bawah tanah. Pertanian di desa ini pun berkembang maju.

Gunungkidul. Begitu mendengar nama ini, yang ada di benak sebagian besar orang adalah daerah yang gersang, kering, dan tandus. Saat musim kemarau seperti saat ini, nyaris tak ada tanaman yang tumbuh di tegalan alias ladang milik warga kabupaten yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Tapi tidak di Bejiharjo. Sebagian tegalan di satu-satunya desa yang bergelar desa agropolitan dari 144 desa yang ada di Kabupaten Gunungkidul ini masih ijo royo-royo. Desa yang mencakup 20 dusun ini bahkan memiliki lahan persawahan padi yang bisa tumbuh sepanjang tahun.
Ya, Bejiharjo yang hanya berjarak 15 menit berkendara ke arah Utara Wonosari (7 kilometer), Ibukota Gunungkidul, punya kelebihan ketimbang desa lain di kabupaten seluas 1.485 km persegi (km²): memiliki sumber air yang melimpah ruah dan tidak habis di musim kemarau sekalipun.
Untuk mencapai desa yang masuk Kecamatan Karangmojo ini dari kota Yogyakarta tidaklah sulit. Anda cukup arahkan kendaraan ke Jalan Wonosari. Terus saja hingga ketemu perempatan Siyono, sekitar 1 km menjelang Kota Wonosari, kemudian belok kiri. Gapura bertuliskan Desa Agropolitan Bejiharjo yang berada di kiri jalan menjadi pintu masuk Anda ke desa berpenduduk sekitar 16.000 jiwa tersebut.
Yanto, Kepala Desa Bejiharjo, bilang, desanya mendapat gelar desa agropolitan dari pemerintah kabupaten. Selain memiliki sumber air yang banyak, wilayahnya juga luas, 22 km². “Daerah kami paling padat penduduknya,” katanya.
Pasokan air yang melimpah tersebut berasal dari sumber mata air bawah tanah yang muncul ke permukaan. Warga sekitar menyebutnya Tujuh Gedong yang kemudian mengalir melalui dua goa, yakni Pindul dan Banyumoto. Sebagian air ini lalu mengalir ke sawah dan tegalan milik penduduk. Menurut Yanto, suplai air dari Tujuh Gedong mengairi sekitar 70 hektare sawah yang ada di Dusun Gelaran Satu.
Sedangkan air untuk mengairi 30 hektare lahan persawahan lainnya di Dusun Banyubening berasal dari sungai bawah tanah yang disedot ke atas dengan menggunakan mesin air. Sungai bawah tanah ini berada di kedalaman 100-an meter dari permukaan tanah.
Tukijo, salah satu petani di Bejiharjo, mengatakan, ada sekitar 200 kepala keluarga yang menanam padi. Rata-rata mereka memiliki lahan sawah sekitar 0,5 hektare. “Setahun kami bisa panen tiga kali,” ujar sesepuh Dusun Gelaran Satu ini. Bulan lalu, para petani padi baru saja menanami kembali sawahnya, masuk musim tanam kedua pada tahun ini.
Tak cuma di Banyubening, Bejiharjo juga punya dua sumber air lagi hasil pengeboran, yakni di Dusun Grogol Dua dan Seropan. Sumur bor di Grogol, daerah yang terkenal dengan baksonya, ini sanggup memenuhi kebutuhan air bersih untuk warga di lima dusun sekitar dan mengairi sebagian tegalan saat musim kemarau tiba.
Adapun sumur bor di Seropan bisa memenuhi keperluan air bersih untuk warga di satu dusun tetangga dan mengairi sebagian tegalan. “Kami sedang mengarahkan warga agar menanam juga sayur-mayur di tegalan mereka, seperti cabai dan sawi,” ujar Yanto.

Pendapatan warga naik

Yanto bilang, desanya berencana mengebor satu titik lagi di Dusun Ngringin yang airnya cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga di dua dusun dan mengairi sebagian tegalan. Seluruh dana penge-boran yang membutuhkan biaya ratusan juta rupiah ini berasal dari pemerintah kabupaten. “Ongkosnya mahal karena juga butuh penelitian untuk menemukan aliran sungai bawah tanah,” ungkapnya.
Dengan air yang berlimpah dan status sebagai desa agropolitan, pola bercocok tanam warga Bejiharjo yang awalnya terkesan asal-asalan mulai tertata. Penduduk mulai memilih bibit-bibit unggul dan membudidayakan tanaman pangan, seperti kacang tanah dan jagung. Bahkan, mereka juga mulai memperhitungkan manfaat ekonominya. Jika memang lebih menguntungkan menanam jagung, warga akan menanam jagung. Begitu juga dengan kacang atau padi tadah hujan.
Yanto mengungkapkan, tidak mudah mengubah kebiasaan warganya yang bercocok tanam berdasarkan tradisi turun-temurun. “Butuh waktu tiga tahun untuk mengubah kebiasaan mereka,” tuturnya. Untuk mendukung pola tanam yang lebih menguntungkan bagi petani Bejiharjo, pemerintah kabupaten juga memberikan pelatihan dan bibit unggul. “Pendapatan warga naik dua kali lipat,” beber Yanto.
Dan ternyata, penghasilan dari bercocok tanam yang lebih baik ini menyebabkan sebagian kaum muda Bejiharjo, yang sebelumnya langsung merantau begitu lulus sekolah menengah atas, mau bertahan di desanya. “Mereka mau menjadi petani dengan menanam sayur-mayur,” kata Yanto.
Dia atas lahan-lahan yang tidak memiliki nilai ekonomis, warga Bejiharjo menanaminya dengan pohon jati. Total luas lahan jati yang berstatus hutan rakyat mencapai 250 hektare.
Tahun depan, Yanto menambahkan, desanya akan melakukan pemetaan tanaman padi beras merah dan jagung. Yang sedang jalan sekarang adalah program pertanian terpadu. Jadi, petani tidak hanya menanam saja tapi juga membuat produk jadi dalam kemasan yang menarik. “Masih tahap sosialisasi,” ujarnya.
Program ini bekerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta dengan tajuk Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) mulai 2011 sampai 2013. Fokus komoditas dan inovasi teknologinya, antara lain, usaha tani padi yang mencakup perbaikan teknik budidaya tanaman. Misalnya, penggunaan varietas unggul baru, sistem tanam jajar legowo, pemupukan organik dan anorganik spesifik lokasi, usaha penangkaran benih padi serta pertanian organik.
Lalu, pengelolaan usaha ternak sapi potong yang meliputi teknologi pakan konsentrat berbahan baku lokal, optimalisasi pengelolaan limbah kandang untuk pupuk, dan pengembangan pembibitan.
SIPT juga termasuk penguatan kelembagaan menuju sistem dan usaha agribisnis berkelanjutan. Caranya, dengan pendampingan kelompok tani dalam teknis dan manajemen SIPT, pelatihan SIPT, dan pengolahan hasil pertanian. Contoh, teknologi pengolahan hasil serta pengemasan produk standarisasi produk olahan.
Integrasi padi dan ternak? Ya, Bejiharjo merupakan penghasil indukan sapi putih atawa brahman terbaik di Yogyakarta. Populasi sapi di desa ini juga yang paling banyak di provinsi ini (lihat boks: Penghasil Brahman Top). “Satu indukan bisa melahirkan anak sapi hingga sembilan kali,” kata Karnoto, Ketua Kelompok Kerja Peternakan Tri Manunggal.

Budidaya lele

Air yang berlimpah tidak hanya warga Bejiharjo manfaatkan untuk bercocok tanam saja, tetapi juga buat budidaya ikan. Subagyo, Ketua Kelompok Kerja Perikanan Mina Lestari, menuturkan, saat ini, ada sekitar 40 warga yang membudidayakan lele jenis sangkuriang-piton, hasil kawin silang lele sangkuriang dan piton.
Masing-masing warga punya kolam seluas 600 meter persegi (m²). Setiap bulan, total mereka menghasilkan sekitar 200.000 benih lele ukuran 3 cm–4 cm dan 5 cm–6 cm. Harga jualnya, untuk benih lele ukuran 3 cm–4 cm Rp 45 per ekor. Sementara, benih lele ukuran 5 cm–6 cm Rp 90 seekor. “Pembelinya dari Yogyakarta dan luar Yogya seperti Klaten,” beber Subagyo.
Selain benih, warga juga menjual lele sangkuriang yang sudah besar. Rata-rata tiap dua bulan seorang pembudidaya bisa memproduksi 2.000–3.000 ekor setara dengan 160 kg–240 kg. “Harga jualnya Rp 10.000 per kilogram,” kata Wasio, salah satu pembudidaya lele.
Sebuah kisah indah di tengah kesumpekan berita korupsi.

(S.S. Kurniawan, Mingguan KONTAN Minggu Kedua Agustus 2011
)

JANGAN JADI MACAN KERTAS

Untuk pertama kalinya, pemerintah mematok target penerimaan pajak di angka Rp 900 triliun. Persisnya, target pemasukan pajak di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 adalah sebanyak Rp 904,4 triliun atau naik Rp 140,8 triliun ketimbang target dalam APBN Perubahan 2011 yang cuma sebesar Rp 763,6 triliun.
Itu berarti, pajak menyumbang 69,9% dari target penerimaan dalam negeri tahun depan yang mencapai Rp 1.292 triliun. Dan, tanggung jawab mengumpulkan pajak sebanyak itu menjadi beban yang harus Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pikul seorang diri. Tentu saja, ini bukan tugas yang ringan.
Tapi, Ditjen Pajak sudah menyiapkan banyak jurus untuk mengejar target penerimaan yang jumbo itu. Salah satunya, program canvassing atau penyisiran potensi pajak berbasis wilayah yang ditujukan kepada pelaku bisnis di kawasan bisnis dan pemukiman potensial. Caranya adalah dengan menggelar sensus pajak mulai minggu ketiga bulan ini.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany bilang, sensus pajak intinya adalah face to face. Jadi, Ditjen Pajak akan mendatangi wajib pajak satu per satu, dari pintu ke pintu. Soalnya, selama ini, iklan, baliho, dan poster yang mereka bikin masih kurang efektif untuk membuat orang berbondong-bondong bayar pajak. Target sensus pajak adalah menjaring enam juta wajib pajak baru hingga 2012 nanti.
Demi menjunjung tinggi prinsip keadilan, kita memang pantas mendukung gebrakan Ditjen Pajak itu. Apalagi, masih banyak orang kita yang berpenghasilan gede belum membayar pajak. Sebab, tentu saja tidak adil. Sebut saja Budi, buruh pabrik tekstil, dengan gaji sebesar Rp 1,5 juta per bulan atau Rp 18 juta per tahun kena pajak penghasilan (PPh). Sementara, Joko, pemilik toko ponsel yang mengantongi laba hingga Rp 10 juta tiap bulan atau Rp 120 juta per tahun tidak bayar pajak.
Namun, jangan sampai sensus pajak yang kelak bisa menangkap wajib pajak baru malah melahirkan Gayus Tambunan-Gayus Tambunan baru. Wajib pajak dan petugas pajak main mata serta kongkalikong. Misalnya, wajib pajak menyuap petugas pajak agar mereka tidak perlu menyetor pajak sesuai dengan kewajibannya. Jadi, sensus pajak akan sia-sia karena penerimaan pajak tidak maksimal.
Begitu juga jurus lain Ditjen Pajak untuk mencapai target penerimaan pajak tahun depan, seperti intensifikasi penagihan piutang pajak. Tak boleh ada main mata antara wajib pajak dan petugas pajak. Pasalnya, jumlah piutang pajak hingga 8 September 2011 lalu mencapai Rp 72 triliun. Tentu ini angka yang sangat besar, dan kalau bisa ditagih semua cukup lumayan untuk menutup sebagian target penerimaan pajak tahun depan.
Karena itu, Ditjen Pajak tahun depan harus bertindak lebih keras lagi kepada para pengemplang pajak. Sebab, dari tahun ke tahun, jumlah tunggakan pajak selalu meningkat. Tahun 2009 lalu tercatat hanya sebesar Rp 50 triliun,tapi di 2010 naik menjadi Rp 54 triliun.
Strategi yang Ditjen Pajak siapkan untuk menagih utang pajak cukup bagus. Contoh, mengoptimalkan langkah-langkah penagihan pajak berupa pemberitahuan surat paksa, penyitaan aset wajib pajak, pencegahan wajib pajak ke luar negeri, dan penyanderaan wajib pajak atawa gizleing. Kemudian, menetapkan prioritas tindakan penagihan terhadap para penunggak pajak jumbo.
Hanya saja, semua langkah itu hanya akan menjadi macan kertas kalau ternyata praktik penagihan di lapangan tidak segarang strategi yang Ditjen Pajak gembor-gemborkan. Jangan sampai tumbuh Gayus-Gayus lain.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Kedua September 2011)

DELAY

Buntut dari penerbangan yang makin banyak molor jadwal keberangkatannya alias delay, Menteri Perhubungan Freddy Numberi akhirnya merilis aturan yang mewajibkan semua maskapai memberi kompensasi bagi penumpang kalau pesawatnya terlambat terbang. Dengan begitu, maskapai harus memiliki asuransi pesawat delay kalau tidak mau rugi.
Soalnya, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang terbit 8 Agustus lalu menyebutkan, penumpang bakal mendapat ganti rugi senilai Rp 300.000 untuk keterlambatan pesawat lebih dari empat jam.
Hanya saja, semestinya premi asuransi tersebut menjadi tanggungan perusahaan penerbangan, bukan penumpang. Sebab, pesawat delay kebanyakan bukan karena faktor force majeur, melainkan kesalahan dari maskapai. Contoh, beberapa kali saya naik pesawat yang molor jadwal keberangkatannya, sang pilot yang kemudian meminta maaf mengungkapkan, delay akibat keterlambatan jadwal terbang pesawat sebelumnya. Yang sial tentu saja penumpang penerbangan terakhir yang delay-nya makin lama.
Delay juga sering akibat pesawat rusak. Tentu saja, semua penyebab keterlambatan tersebut akibat kesalahan perusahaan penerbangan. Jadi, sekali lagi, kalau maskapai ingin mengasuransikan pesawat delay, seharusnya premi menjadi tanggung jawab mereka, bukan malah dilimpahkan ke penumpang.
Sebab, belum lama ini saya membeli tiket pesawat maskapai lokal tujuan Yogyakarta melalui internet, di akhir proses pembelian ada tawaran membeli asuransi perjalanan. Ternyata, asuransi ini juga meng-cover keterlambatan penerbangan. Nilai pertanggungannya Rp 450.000 per lima jam keterlambatan sampai Rp 3,15 juta. Itu berarti, premi menjadi beban penumpang.
Tapi tentu saja, kalau memang maskapai ingin mengasuransikan keterlambatan penerbangan, biaya preminya jangan masuk komponen tarif tiket pesawat. Kalau itu yang terjadi, sama saja bohong. Apa bedanya dengan penumpang harus membeli lagi asuransi perjalanan yang juga mencakup manfaat keterlambatan penerbangan.
Nah, Kementerian Perhubungan selaku regulator harus mengawasi betul aturan main yang mereka buat tentang kewajiban semua maskapai memberi kompensasi bagi penumpang kalau pesawatnya terlambat terbang. Harus ada sanksi yang tegas bagi maskapai yang membebankan premi ke penumpang.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 28 Agustus 2011)