Selasa, 13 September 2011

BAK OASE IJO ROYO-ROYO



Bejiharjo beda dengan desa-desa lain yang ada di Gunungkidul. Kampung ini punya kelebihan: air yang melimpah ruah. Di dalam perut Bejiharjo terdapat beberapa aliran sungai bawah tanah. Pertanian di desa ini pun berkembang maju.

Gunungkidul. Begitu mendengar nama ini, yang ada di benak sebagian besar orang adalah daerah yang gersang, kering, dan tandus. Saat musim kemarau seperti saat ini, nyaris tak ada tanaman yang tumbuh di tegalan alias ladang milik warga kabupaten yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Tapi tidak di Bejiharjo. Sebagian tegalan di satu-satunya desa yang bergelar desa agropolitan dari 144 desa yang ada di Kabupaten Gunungkidul ini masih ijo royo-royo. Desa yang mencakup 20 dusun ini bahkan memiliki lahan persawahan padi yang bisa tumbuh sepanjang tahun.
Ya, Bejiharjo yang hanya berjarak 15 menit berkendara ke arah Utara Wonosari (7 kilometer), Ibukota Gunungkidul, punya kelebihan ketimbang desa lain di kabupaten seluas 1.485 km persegi (km²): memiliki sumber air yang melimpah ruah dan tidak habis di musim kemarau sekalipun.
Untuk mencapai desa yang masuk Kecamatan Karangmojo ini dari kota Yogyakarta tidaklah sulit. Anda cukup arahkan kendaraan ke Jalan Wonosari. Terus saja hingga ketemu perempatan Siyono, sekitar 1 km menjelang Kota Wonosari, kemudian belok kiri. Gapura bertuliskan Desa Agropolitan Bejiharjo yang berada di kiri jalan menjadi pintu masuk Anda ke desa berpenduduk sekitar 16.000 jiwa tersebut.
Yanto, Kepala Desa Bejiharjo, bilang, desanya mendapat gelar desa agropolitan dari pemerintah kabupaten. Selain memiliki sumber air yang banyak, wilayahnya juga luas, 22 km². “Daerah kami paling padat penduduknya,” katanya.
Pasokan air yang melimpah tersebut berasal dari sumber mata air bawah tanah yang muncul ke permukaan. Warga sekitar menyebutnya Tujuh Gedong yang kemudian mengalir melalui dua goa, yakni Pindul dan Banyumoto. Sebagian air ini lalu mengalir ke sawah dan tegalan milik penduduk. Menurut Yanto, suplai air dari Tujuh Gedong mengairi sekitar 70 hektare sawah yang ada di Dusun Gelaran Satu.
Sedangkan air untuk mengairi 30 hektare lahan persawahan lainnya di Dusun Banyubening berasal dari sungai bawah tanah yang disedot ke atas dengan menggunakan mesin air. Sungai bawah tanah ini berada di kedalaman 100-an meter dari permukaan tanah.
Tukijo, salah satu petani di Bejiharjo, mengatakan, ada sekitar 200 kepala keluarga yang menanam padi. Rata-rata mereka memiliki lahan sawah sekitar 0,5 hektare. “Setahun kami bisa panen tiga kali,” ujar sesepuh Dusun Gelaran Satu ini. Bulan lalu, para petani padi baru saja menanami kembali sawahnya, masuk musim tanam kedua pada tahun ini.
Tak cuma di Banyubening, Bejiharjo juga punya dua sumber air lagi hasil pengeboran, yakni di Dusun Grogol Dua dan Seropan. Sumur bor di Grogol, daerah yang terkenal dengan baksonya, ini sanggup memenuhi kebutuhan air bersih untuk warga di lima dusun sekitar dan mengairi sebagian tegalan saat musim kemarau tiba.
Adapun sumur bor di Seropan bisa memenuhi keperluan air bersih untuk warga di satu dusun tetangga dan mengairi sebagian tegalan. “Kami sedang mengarahkan warga agar menanam juga sayur-mayur di tegalan mereka, seperti cabai dan sawi,” ujar Yanto.

Pendapatan warga naik

Yanto bilang, desanya berencana mengebor satu titik lagi di Dusun Ngringin yang airnya cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga di dua dusun dan mengairi sebagian tegalan. Seluruh dana penge-boran yang membutuhkan biaya ratusan juta rupiah ini berasal dari pemerintah kabupaten. “Ongkosnya mahal karena juga butuh penelitian untuk menemukan aliran sungai bawah tanah,” ungkapnya.
Dengan air yang berlimpah dan status sebagai desa agropolitan, pola bercocok tanam warga Bejiharjo yang awalnya terkesan asal-asalan mulai tertata. Penduduk mulai memilih bibit-bibit unggul dan membudidayakan tanaman pangan, seperti kacang tanah dan jagung. Bahkan, mereka juga mulai memperhitungkan manfaat ekonominya. Jika memang lebih menguntungkan menanam jagung, warga akan menanam jagung. Begitu juga dengan kacang atau padi tadah hujan.
Yanto mengungkapkan, tidak mudah mengubah kebiasaan warganya yang bercocok tanam berdasarkan tradisi turun-temurun. “Butuh waktu tiga tahun untuk mengubah kebiasaan mereka,” tuturnya. Untuk mendukung pola tanam yang lebih menguntungkan bagi petani Bejiharjo, pemerintah kabupaten juga memberikan pelatihan dan bibit unggul. “Pendapatan warga naik dua kali lipat,” beber Yanto.
Dan ternyata, penghasilan dari bercocok tanam yang lebih baik ini menyebabkan sebagian kaum muda Bejiharjo, yang sebelumnya langsung merantau begitu lulus sekolah menengah atas, mau bertahan di desanya. “Mereka mau menjadi petani dengan menanam sayur-mayur,” kata Yanto.
Dia atas lahan-lahan yang tidak memiliki nilai ekonomis, warga Bejiharjo menanaminya dengan pohon jati. Total luas lahan jati yang berstatus hutan rakyat mencapai 250 hektare.
Tahun depan, Yanto menambahkan, desanya akan melakukan pemetaan tanaman padi beras merah dan jagung. Yang sedang jalan sekarang adalah program pertanian terpadu. Jadi, petani tidak hanya menanam saja tapi juga membuat produk jadi dalam kemasan yang menarik. “Masih tahap sosialisasi,” ujarnya.
Program ini bekerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta dengan tajuk Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) mulai 2011 sampai 2013. Fokus komoditas dan inovasi teknologinya, antara lain, usaha tani padi yang mencakup perbaikan teknik budidaya tanaman. Misalnya, penggunaan varietas unggul baru, sistem tanam jajar legowo, pemupukan organik dan anorganik spesifik lokasi, usaha penangkaran benih padi serta pertanian organik.
Lalu, pengelolaan usaha ternak sapi potong yang meliputi teknologi pakan konsentrat berbahan baku lokal, optimalisasi pengelolaan limbah kandang untuk pupuk, dan pengembangan pembibitan.
SIPT juga termasuk penguatan kelembagaan menuju sistem dan usaha agribisnis berkelanjutan. Caranya, dengan pendampingan kelompok tani dalam teknis dan manajemen SIPT, pelatihan SIPT, dan pengolahan hasil pertanian. Contoh, teknologi pengolahan hasil serta pengemasan produk standarisasi produk olahan.
Integrasi padi dan ternak? Ya, Bejiharjo merupakan penghasil indukan sapi putih atawa brahman terbaik di Yogyakarta. Populasi sapi di desa ini juga yang paling banyak di provinsi ini (lihat boks: Penghasil Brahman Top). “Satu indukan bisa melahirkan anak sapi hingga sembilan kali,” kata Karnoto, Ketua Kelompok Kerja Peternakan Tri Manunggal.

Budidaya lele

Air yang berlimpah tidak hanya warga Bejiharjo manfaatkan untuk bercocok tanam saja, tetapi juga buat budidaya ikan. Subagyo, Ketua Kelompok Kerja Perikanan Mina Lestari, menuturkan, saat ini, ada sekitar 40 warga yang membudidayakan lele jenis sangkuriang-piton, hasil kawin silang lele sangkuriang dan piton.
Masing-masing warga punya kolam seluas 600 meter persegi (m²). Setiap bulan, total mereka menghasilkan sekitar 200.000 benih lele ukuran 3 cm–4 cm dan 5 cm–6 cm. Harga jualnya, untuk benih lele ukuran 3 cm–4 cm Rp 45 per ekor. Sementara, benih lele ukuran 5 cm–6 cm Rp 90 seekor. “Pembelinya dari Yogyakarta dan luar Yogya seperti Klaten,” beber Subagyo.
Selain benih, warga juga menjual lele sangkuriang yang sudah besar. Rata-rata tiap dua bulan seorang pembudidaya bisa memproduksi 2.000–3.000 ekor setara dengan 160 kg–240 kg. “Harga jualnya Rp 10.000 per kilogram,” kata Wasio, salah satu pembudidaya lele.
Sebuah kisah indah di tengah kesumpekan berita korupsi.

(S.S. Kurniawan, Mingguan KONTAN Minggu Kedua Agustus 2011
)

Tidak ada komentar: