Jumat, 29 April 2016

MENGEJAR PAJAK

Meski banyak yang menatap dengan penuh optimisme, tahun 2016 masih jadi tahun yang berat buat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Buktinya, realisasi penerimaan pajak dalam tiga bulan pertama tahun ini baru sebesar Rp 188,1 triliun, lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 203,3 triliun. Hampir semua pos peneriman pajak turun, yakni pajak penghasilan (PPh) migas dan nonmigas serta pajak pertambahan nilai (PPN).
Mengejar pajak memang enggak gampang saat ekonomi masih lesu. Terlebih, dengan target penerimaan tahun ini yang mencapai Rp 1.318,7 triliun. Tambah lagi, mengejar pajak ternyata berisiko nyawa melayang. Dua petugas pajak dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sibolga, Selasa (12/4) lalu, meregang nyawa ditikam seorang pengusaha yang menunggak pajak hingga Rp 14 miliar saat akan menyita aset si penunggak.
Belum lagi, Ditjen Pajak kehilangan kesempatan mengejar pajak sekitar Rp 18 triliun gara-gara pemerintah mengerek batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) sebesar 50% jadi Rp 54 juta per tahun. Pekerjaan kantor pajak memburu upeti pun kian berat.
Memang, ada asa dari rencana pemerintah menerapkan kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty. Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro bilang, dari segi penerimaan, Rp 60 triliun menjadi angka minimum yang bisa masuk ke kantong pemerintah dari pelaksanaan kebijakan itu. Sebab, walau kehilangan penerimaan pajak dari penghapusan sanksi pajak, pemerintah mendapat pengganti dari yang namanya uang tebus.
Jadi, untuk mendapatkan pengampunan pajak, para peminta amnesty mesti membayar tebusan sebesar 2% dari nilai aset yang belum mereka laporkan. Nah, nilai uang tebus ini paling sedikit Rp 60 triliun. Tapi, menteri keuangan mengungkapkan, sejatinya potensi uang tebus di atas Rp 100 triliun.
Saat ini, pemerintah tinggal menunggu ketok palu DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak sebagai dasar hukumnya. Yang jelas, menteri keuangan menegaskan, kebijakan tax amnesty paling lama hanya berlangsung sampai akhir tahun 2016. Tentu dengan catatan, RUU Pengampunan Pajak segera disahkan.
Tapi, bagaimanapun juga, kebijakan ini bakal menimbulkan kecemburuan bagi wajib pajak yang selama ini jujur dalam melaporkan asetnya dan membayar pajak. Untuk itu, pemerintah tidak boleh mengerek tawaran pengampunan kepada para peminta amnesty. Jadi, pemerintah hanya memberikan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pelunasan pajak, tidak lebih.
Dan sebetulnya, kecemburuan ini juga akan sirna karena para peminta amnesty kelak masuk dalam sistem administrasi perpajakan. Maksudnya, mulai tahun depan mereka melaporkan aset-asetnya yang selama ini belum dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak. Itu berarti, ada pajak yang bakal mengalir ke kantong pemerintah.
Tapi, kalaupun tax amnesty jadi dilaksanakan, perburuan Ditjen Pajak tidak lantas berhenti. Sebab, masih banyak sumber-sumber penerimaan yang belum betul-betul tergali di dalam negeri, yang potensinya tidak sedikit. Misalnya, pajak usaha kecil menengah (UKM) dan profesi dengan penghasilan selangit, seperti artis, pengacara, serta dokter. Kalau tidak, pekerja yang penghasilannya Rp 5 juta per bulan tapi tertib bayar pajak karena langsung dipotong dari gajinya akan cemburu. 

(S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN Minggu III April 2016)

Tidak ada komentar: