Rabu, 18 Mei 2011

MISI PENTING SANG MERPATI

Kabut duka kembali menyelimuti dunia penerbangan Indonesia. Sabtu (7/5) dua pekan lalu, pesawat Merpati Nusantara Airlines jenis MN-60 jatuh dan hancur berkeping-keping di perairan Kaimana, Papua. Seluruh penumpang dan awak kabin yang berjumlah 25 orang tewas. Kecelakaan tragis yang terjadi hanya 500 meter dari Bandara Utarom itu menambah panjang daftar kecelakaan pesawat di Indonesia.
Nasib yang sama tragis juga menimpa perusahaan penerbangan pelat merah ini. Sejak tahun 1970-an hingga kini, saban tahun, Merpati nyaris selalu merugi. Sampai-sampai utang maskapai itu menggunung sampai Rp 1,3 triliun di awal 2000-an, jauh di atas aset mereka yang cuma Rp 800 miliar. Memang, awal tahun 1990-an, Merpati boleh dibilang mencecap masa jaya. Saat itu, Merpati punya 86 pesawat yang juga menerbangi rute internasional. Toh, semua itu tetap tak mampu menyelamatkan perusahaan itu. Hampir tiap tahun terus saja mencetak kerugian.
Kejatuhan Merpati hingga ke tubir kebangkrutan tak lepas dari keputusan berani manajemen lama mengerek status maskapai dengan modal awal Rp 10 juta, dari penerbangan perintis menjadi penerbangan nasional bahkan internasional. Akibatnya, Merpati membeli dan menyewa beragam jenis pesawat termasuk yang menggendong mesin jet yang boros bahan bakar. Perusahaan yang sempat bergabung dengan Garuda Indonesia di tahun 1978 ini pun menjadi tidak efisien. Ditambah, jumlah karyawan yang mencapai 2.600 orang menjadi bom waktu di kemudian hari.
Toh, pemerintah tetap mempertahankan mati-matian Merpati yang terus-terusan merugi dan nyaris bangkrut, walau ada opsi melikuidasi maupun memailitkan maskapai ini. Alasannya, Merpati mengemban misi penting sebagai penerbangan perintis. Maklum, Indonesia sangat luas dan terdiri dari pulau-pulau serta daerah-daerah terpencil.
Itu sebabnya, pemerintah yang menyuntikkan modal tambahan Rp 350 miliar untuk biaya restrukturisasi di tahun 2007, termasuk ongkos mem-PHK separuh karyawannya atau 1.300 orang, mengembalikan tugas utama Merpati sebagai penerbangan perintis yang tidak banyak dilirik maskapai lainnya. Soalnya, menerbangi rute-rute ke daerah terpencil banyak ruginya ketimbang untungnya.
Saat ini, Merpati menjadi pasien Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) yang terus mendapat asupan modal demi melakoni tugas mahapenting itu. Tak berlebihan memang, lantaran penerbangan perintis juga bisa membangkitkan ekonomi di daerah-daerah terpencil. Yang juga tak kalah penting, ikut menjaga keutuhan bangsa. Pasalnya, masyarakat di daerah terpencil menjadi tidak merasa dianaktirikan dengan kehadiran Merpati di tempat mereka.
Tapi semestinya, pemerintah juga membantu Merpati dalam pengadaaan pesawat propeler atau baling-baling yang berkualitas. Jangan asal murah supaya dapat banyak kapal terbang. Karena, rute-rute perintis mengandung resiko yang sangat besar, tak jarang harus melintasi daerah pegunungan dengan cuaca yang tak menentu seperti di Papua. Butuh biaya besar memang. Mengutip pernyataan Jusuf Kalla: menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia itu ada ongkosnya dan gede.
Cuma, pemerintah juga harus memikirkan untuk mengalihkan sebagian beban Merpati sebagai penerbangan perintis ke maskapai swasta. Saat ini, baru segelintir perusahaan swasta yang mau melayani rute perintis. Pemerintah mesti memberikan insentif bagi maskapai swasta yang mau membuka rute perintis. Misalnya, pembebasan pajak selama jangka waktu tertentu (tax holiday).


(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Ketiga Mei 2011)

Tidak ada komentar: