Senin, 07 Januari 2008

TANDA ALAM

Kabar duka kembali menyelimuti dunia pendakian gunung Indonesia. Tiga pendaki asal Bandung hilang di Gunung Agung sejak mereka berusaha menaklukkan tanah tertinggi di Pulau Bali tersebut pada 26 Desember 2007 lalu. Satu di antaranya ditemukan dalam keadaan tewas, dua lainnya belum diketahui rimbanya.
Usut punya usut, mereka sempat dilarang mendaki lantaran cuaca yang tidak bersahabat sedang membalut gunung yang punya ketinggian 3.142 meter itu dan pernah saya capai puncaknya pada Juli 2000 lalu.
Entah kebetulan semata atau bukan, kejadian yang sama selalu menghiasi kisah pendaki yang berakhir tragis di gunung. Ambil contoh, tewasnya dua pendaki yang merupakan sepasang kekasih di Gunung Semeru beberapa tahun silam. Pasangan muda-mudi ini nekad mendaki, meski petugas sudah tegas-tegas melarangnya karena cuaca sedang buruk.
Saya pernah punya pengalaman yang tak mirip-mirip banget, sebetulnya. Pada 2000 lalu, saya lupa kapan persisnya, bersama lima teman melakukan pendakian Gunung Merbabu. Ada yang tak setuju dengan pendakian saya yang kedua ke gunung yang hidup berdampingan dengan Gunung Merapi tersebut.
Perasaan tak enak sebenarnya menyergap saya. Tapi, show must go on, sebab larangan itu datang beberapa jam sebelum kami bertolak dari Jogja. Itu sebabnya, saya berpesan ke rekan-rekan pendakian: tolong jaga saya.
Tanda-tanda bakal terjadi sesuatu makin jelas kami ketinggalan mobil terakhir yang akan membawa kami ke Selo, Boyolali—salah satu jalur favorite menuju puncak Merbabu yang dikenal dengan Kenteng Songo (3.142 m). Lantaran, kemalaman. Untung ada sopir truk yang bersedia mengantar kami ke sana.
Kami mulai mendaki mendekati tengah malam. Tak masalah karena jalur pendakian sangat jelas dan saya pernah mendaki gunung itu dua tahun sebelumnya. Bahkan, salah satu teman sudah berkali-kali.
Tapi, jalan yang bercabang membuat kami binggung. Keputusan salah kami ambil yang ternyata setelah berjalan 30 menit baru tersadar kami tersesat. Perasaan takut yang luar biasa langsung menyerang saya. Apalagi, seorang teman nekad mencari tahu apakah jalur ini bisa terus dilalui. Saya hanya berpesan: cepat kembali dan tiap lima menit meniup pluit agar kami tahu kamu baik-baik saja.
Saya lalu berdoa dalam hati: Tuhan lindungilah kami. Sekitar 15 menit kemudian teman saya kembali, dia bilang jalur makin tidak jelas di depan. Akhirnya, kami memutuskan kembali melewati rute yang sama. Kelelahan dan rasa kantuk mulai menyerang. Karena itu, begitu tiba di Pos I, kami memilih bermalam di sana.
Di sini, saya melihat sesuatu yang ganjil. Sekitar pukul tiga, saya melihat tiga orang lewat depan tenda. Saya tak punya perasaan apa-apa, sebab saya pikir mereka pendaki. Tapi, alangkah kagetnya karena lima teman sama sekali tidak melihat ada pendaki lewat. Jantung saya langsung bedetak kencang.
Saya berpikir apalagi yang nanti akan terjadi. Ternyata, Tuhan masih sayang kami semua. Bahkan, kami bisa mencapai puncak, walau malam lebih dulu tiba. Tapi, justru saya bisa melihat keindahan Kota Boyolali yang bermandikan cahaya.
Yang saya mau katakan, alam selalu punya tanda-tanda yang tak boleh kita lawan.


sore di kebayoran lama

Tidak ada komentar: