Rabu, 09 Januari 2008

SATU SURO

Tak ada pesta kembang api walau malam ini tahun berganti. Apalagi lengkingan suara terompet yang saling bersautan. Sama seperti ketika melewati malam-malam yang lain. Tidak ada kemeriahan menyambut tahun baru yang dalam kalender Islam jatuh besok. Atau, dalam penanggalan Jawa populer dengan sebutan Malam Satu Suro.
Eit, tapi coba tengok ke Gunung Lawu. Keramaian ada di gunung yang mengiris Jawa Tengah dan Jawa Timur itu. Ribuan orang, mulai yang masih bocah sampai lanjut usia, pria dan wanita tumpah ruah di gunung yang dikeramatkan tersebut.
Jalur Cemoro Sewu yang terletak di Kabupaten Magetan, Jawa Timur menjadi rute favorit lantaran lebih pendek ketimbang Cemoro Kandang yang ada di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Keduanya hanya dipisahkan jarak sekitar 200 meter saja.
Enam tahun yang lalu, saya ikut dalam kemeriahan Malam Satu Suro di Gunung Lawu. Saya mendaki bersama tiga rekan lewat Cemoro Sewu. Dua pendakian sebelumnya selalu naik dan turun dari Cemoro Kandang, tapi bukan saat Malam Satu Suro.
Usai hujan mengguyur kaki Lawu, sekitar jam sepuluh malam kami memulai pendakian. Begitu juga dengan ratusan pendaki atau peziarah lainnya. Peziarah? Ya, sebab saat Malam Suro memang kebanyakan yang naik Lawu ada orang-orang yang mau mengalap berkah.
Banyak tempat yang dikeramatkan di Lawu terutama Argo Dalem yang dipercaya sebagai tempat mukso atau menghilangnya Prabu Brawijaya V. Trus ada Sendang Drajat, sumber mata air yang disebut-sebut sebagai tempat mandi Raja Majapahit itu.
Tapi, pendakian kali ini betul-betul crowded. Yang naik dan turun sama banyaknya. Lantaran jalurnya yang sempit kami harus bergantian. Memberi kesempatan buat yang turun dulu baru melangkah. Jadi agak melelahkan karena mesti banyak berhenti.
Uniknya, di setiap pos yang dilalui banyak orang yang membuka lapak buat berdagang makanan. Bahkan, di puncak Lawu yang dikenal dengan Argo Dumilah yang berada di ketinggian 3.654 meter sekalipun. Jadi, sebetulnya kalau mau mendaki saat Malam Satu Suro cukup lenggang kangkung saja. Tak perlu menggendong ransel yang gede-gede.
Kelelahan pun langsung menyergap saya. Maklum malam sebelumnya tidak bisa tertidur lelap di dalam kereta yang membawa saya dari Jakarta menuju Jogja. Istirahat sebentar, saya dan tiga teman yang sudah menunggu di Kota Gudeg itu langsung bertolak ke Lawu.
Tapi, tak ada sejengkal tanah pun buat kami buat mendirikan tenda. Semua pos yang memiliki tanah lapang sudah dikuasai lapak para pedagang. Nggak heran, banyak pendaki yang juga kelelahan memilih tidur di pinggir jalur pendakian. Begitu juga akhirnya dengan kami.
Sebetulnya, bukan Lawu saja yang ramai saat Malam Satu Suro. Gunung Merapi dan Gunung Sindoro juga. Tapi, tidak seramai di Lawu. Apalagi sampai ada pedagang yang rela memanggul dagangannya hingga puncak. Maklum, saya juga pernah mendaki Merapi saat Malam Satu Suro yang waktu itu bikin bulu kuduk bergidik.


malam di kebayoran lama

Tidak ada komentar: