Selasa, 29 Juli 2008

PITRA YADNYA (1)




PURNAMA yang nyaris sempurna menggantung di langit Tabanan yang dingin. Sabtu malam dua pekan lalu, keriuhan membalut Bale Banjar Kebon Jero. Ratusan warga memadati balai desa yang berdiri kokoh di kawasan perbukitan Pupuan, Bali yang menggigil tersebut.
Ya, hari (12/7) itu, prosesi inti upacara ngaben massal di Banjar Kebon Jero, sekitar satu setengah jam perjalanan darat dari Kota Tabanan, dimulai, sebelum mencapai puncaknya pada 15 Juli. Tapi sejatinya, serentetan upacara pembakaran 24 "jasad" warga desa ini sudah dilakukan sejak sepekan sebelumnya.
Pengangkatan "jasad" dari liang kubur atawa ngringkes menjadi awal dari prosesi inti Pitra Yadnya. Maklum, ke-24 orang yang bakal diaben tersebut sudah lama meninggal. Tapi, "Menurut adat banjar kami yang diambil hanya tanahnya saja, tulang belulangnya tidak," kata I Made Sana, pembantu Pemangku Banjar Kebon Jero.
Setelah itu, ke-24 "jasad" warga Kebon Jero yang sudah meninggal dalam lima tahun terakhir dan dibungkus kain putih tersebut di semayamkan di bale banjar. Warga menyebutnya tumpang salu. Ada juga bagian tanah yang disimpan dalam periuk atau sesenden.
Itu sebabnya, ratusan warga Kebon Jero dan keluarga almarhum malam itu mengalir ke bale banjar. Tujuannya, untuk memberikan penghormatan terakhir kepada mereka-mereka yang sudah lebih dulu menghadap ke Sang Hyang Widi Wasa.
Made Sana bilang, upacara ngaben massal di desanya dilaksanakan saban lima tahun sekali atau menjelang upacara besar di Pura Kayangan. "Sebaiknya memang harus diaben langsung begitu meninggal, tapi bisa ditunda dengan alasan biaya," ujarnya.
Memang, proses mengantarkan roh atau atma menuju nirwana membutuhkan duit yang tidak sedikit. Contoh, untuk ngaben massal di Kebon Jero saja melahap uang tak kurang dari Rp 80 juta. Itu belum termasuk nilai ragam sumbangan, seperti beras, gula, dan sesajen, yang berasal dari warga.
Dan, mencari duit sebanyak itu jelas bukan perkara gampang bagi penduduk Kebon Jero yang mayoritas berprofesi sebagai pekebun kopi dan cokelat. Karena itu, Ni Wayan Pasti baru sekarang mengabenkan adik iparnya yang meninggal tahun lalu. "Dengan ngaben massal kami lebih ringan, hanya mengeluarkan biaya Rp 5 juta saja," ungkapnya.
Kepercayaan Hindu Bali, orang yang belum diaben, rohnya masih berada di alam buah alias tengah. Mereka masih dalam perjalanan menuju surga. Nah, "Upacara ngaben merupakan sarana mempercepat badan kasar yang terdiri dari unsur tanah, air, api, angin dan angkasa menyatu dengan alam nirwana," jelas Made Sana.
Sebelum dibakar, ada upacara lagi yang mesti dilakoni sehari setelah ngringkes yakni mebersih. Ini adalah proses memandikan "jasad" yang dilakukan di sungai. Ke-24 jasad tersebut diarak dengan berjalan kaki menuju kali, sekitar satu kilometer dari bale banjar. (Bersambung)

Tidak ada komentar: