Selasa, 29 Juli 2008

PITRA YADNYA (2)





TANGIS I Nyoman Anarta pecah. Tak kuat menahan sedih yang luar biasa, dia pun terduduk lemas di hadapan sesenden alias periuk yang menyimpan "jasad" anak keduanya I Kadek Puadi Giri (20) yang tewas tahun lalu akibat kasus tabrak lari.
Senin (14/7) malam pekan lalu, merupakan hari terakhir buat Nyoman memberikan penghormatan kepada anak lelakinya itu. Begitu juga bagi keluarga dan kerabat. Sebab, esok harinya Kadek dan 23 warga Banjar Kebon Jero, Tabanan lainnya yang sudah meninggal bakal diaben.
Karena itu, bale banjar yang menjadi tempat bersemayam ke-24 jasad tersebut penuh sesak oleh orang-orang yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Termasuk, sanak famili yang datang dari luar Pulau Bali. Soalnya, upacara ngaben mempunyai arti yang sangat penting.
Sebut saja, Ni Ketut Sukarni. Ibu tiga anak ini terbang dari Baras, Sulawesi Selatan untuk menghadiri upacara ngaben adik iparnya, Ni Made Miarti yang menghadap Sang Hyang Widi Wasa tahun lalu. "Ini bakti terakhir kepada adik saya," kata Ketut Sukarni yang transmigrasi ke Baras pada 1980-an silam.
Itu sebabnya, tak kurang dari 1.000 orang yang terdiri dari warga Kebon Jero dan keluarga almarhum ikut dalam Pitra Yadnya Massal yang digelar 15 Juli lalu. Dalam kepercayaan Hindu Bali penting sekali memilih hari untuk upacara. "Karena pengaruh hari menentukan baik buruknya upacara," jelas I Made Sana, Pembantu Pemangku.
Proses pembakaran mayat ini diawali dengan memindahkan "jasad" yang disimpan dalam tumpang salu ke peringkesan. Kain putih sepanjang 20 meter membentang dengan di kanan kirinya sudah berjajar rapih orang yang siap mengestafet "jenazah" ke peringkesan yang memiliki tinggi empat meter.
Made Sana bilang, makin tinggi peringkesan maka makin tinggi tingkatan upacara ngaben. Dan tentu saja, makin banyak mengeluarkan ongkos. "Untuk upacara ngaben kali ini kami memakai prosesi Utama Ning Madya atau tingkatan keenam dari sembilan tingkatan," ujarnya.
Peringkesan lalu digotong sekitar 50 orang menuju kuburan desa, tempat prosesi pembakaran mayat, yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer. Sesekali tempat membawa "jasad" itu digoyang-goyangkan mengikuti irama musik khas Bali yang dimainkan belasan warga Kebon Jero.
Begitu sampai di kuburan, "jasad" kemudian dipindahkan ke dua patung sapi berwarna hitam yang menjadi sarana pembakaran. Satu untuk "jenazah" perempuan, satu lagi buat lelaki. Ikut juga diaben benda-benda yang diminta almarhum.
Biasanya, tiga atau empat bulan sebelum upacara ngaben masing-masing keluarga almarhum melakukan ritual nurunin. Memanggil roh atau atma orang yang mau diaben lewat orang pintar. "Kami menanyakan benda-benda apa saja yang diminta untuk dibakar," kata Made Sana.
Setelah proses pembakaran selesai, keluarga akan mengambil abu jenazah yang akan dihanyutkan ke sungai yang membelah hutan lindung Pupuan yang jaraknya setengah jam berjalan kaki. Abu lainnya dilarung di Pantai Soka yang menjadi objek wisata andalan Kabupaten Tabanan.
Tak semua abu dilarung. Ada juga yang disimpan di sanggah atau pura keluarga. Prosesi ini dilakukan keesokan harinya setelah abu yang disimpan dalam sesenden dibawa ke lima pura Banjar Kebon Jero. Setelah itu, "Orang yang sudah diaben bergelar Hyang Betara untuk pria dan Hyang Betari untuk wanita. Satu tingkat di bawah Dewa," ungkap Made. (Selesai)

Tidak ada komentar: