Kamis, 19 Juni 2008

PUNCAK TOGA

Akhir pekan lalu, menjadi hari yang paling dinanti-nanti dengan rasa dag-dig-dug oleh ratusan ribu pelajar kelas tiga SMA. Ya, hari itu kelulusan mereka usai menempuh ujian nasional diumumkan. Begitu tahu lulus, banyak cara yang dilakukan untuk mengekspresikan kegembiraan. Ada yang doa massal di pura seperti yang dilakukan pelajar Bali. Lalu, ada yang konvoi keliling kota dengan menumpang motor. Tapi yang paling populer adalah aksi coret baju yang memang sudah menjadi tradisi.
Sebagai orang yang punya hobi naik gunung, saya punya cara yang beda dan unik sebagai wujud syukur setelah berhasil menyabet gelar sarjana komunikasi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta delapan tahun lalu. Sebetulnya, ini juga menjadi tradisi bagi sebagian pendaki: memakai toga di puncak gunung. Dan, saya memilih puncak Merbabu yang bernama Kenteng Songo. Gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut (dpl) memang menjadi favorit saya. Ini kali ketiga saya mendaki gunung tersebut
Perjalanan saya menuju puncak gunung yang hidup berdampingan dengan Merapi tersebut di awal 2001 yang masih diguyur hujan ditemani adik dan dua teman. Cuaca cerah menemani pendakian kami dari Selo yang menjadi salah satu kaki Merbabu. Menjelang tengah malam kami tiba di padang rumput alias savana Merbabu. Dan, kami bermalam di sana.
Cuaca yang tadinya cerah mendadak berubah mendekati subuh. Hujan turun dengan lebatnya disertai angin kencang. Bulir-bulir air pun menyusup masuk ke dalam tenda. Kantong tidur yang melindungi kami dari sergapan udara dingin akhirnya basah. Hujan baru reda ketika pagi sudah lewat tinggal menyisakan angin kencang dan kabut tebal yang menyerbu savana Merbabu.
Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian ke Kenteng Songo, meski rasa kecewa lantaran rencana memakai toga di puncak Merbabu batal. Tapi, kami boleh dibilang beruntung. Soalnya, seorang pendaki tewas karena nekad menerobos badai dan kabut tebal guna mencapai puncak Merbabu. Berita ini saya dapat seminggu setelah pendakian yang gagal tersebut.
Kabar duka juga melesat dari Gunung Slamet. Sejumlah mahasiswa UGM tewas di gunung paling tinggi di Jawa Tengah tersebut. Menyusul kemudian berita duka dari Gunung Lawu. Dua pecinta alam juga meregang nyawa di sana. Dua pendaki lainnya tewas di gunung yang ada di Sulawesi. Tahun ini memang menjadi tahun duka bagi dunia pendakian Indonesia. Lebih dari 10 pendaki tewas dalam waktu yang bersamaan. Penyebabnya, cuaca buruk. Memang betul kata orang tua: Alam Bukan Untuk Dilawan


siang di kebayoran lama

Tidak ada komentar: