Rabu, 14 Maret 2012

NAFSU BESAR, TENAGA KURANG

Nafsu besar, tapi tenaga kurang. Mungkin kalimat ini pas untuk menggambarkan rencana pemerintah membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi secara bertahap mulai ?1 April 2012 nanti. Tengok saja, persiapan pemerintah dalam melarang mobil pribadi menenggak premium dan solar itu.
Di sisa waktu yang tinggal dua setengah bulan lagi, Peraturan Presiden (Perpres) tentang Harga Jual Eceran BBM di Dalam Negeri, yang menjadi landasan kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi belum juga terbit. Padahal, sebelumnya, pemerintah menjanjikan revisi Perpres Nomor 9 Tahun 2006 tersebut beres pekan kedua Januari lalu.
Itu yang pertama. Yang kedua, masih banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pertamina di Jawa dan Bali kecuali Jabodetabek yang belum memiliki dispenser BBM nonsubsidi. Bahkan, di jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) yang supersibuk, bisa dibilang jarang ditemui pom bensin yang menjual Pertamax. Padahal, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bukan rencana kemarin sore, tapi sudah pemerintah siapkan sejak 2010.
Nah, gara-gara persiapan yang belum matang ini, pemerintah yang di awal tahun sangat yakin pelarangan mobil pelat hitam meminum premium bisa serentak di Jawa-Bali, akhirnya, berubah pikiran. Mulai 1 April 2012 kebijakan berlaku di Jabodetabek dulu.
Tapi, naga-naganya, nasib program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tahun ini bakal sama dengan tahun lalu dan sebelumnya. Catatan saja, pemerintah pernah berencana melaksanakan kebijakan itu mulai September 2010, lalu mundur ke November 2010, mundur lagi ke Januari 2011, terus ke April serta Juni 2011. Dan, akhirnya batal sama sekali dengan alasan harga minyak turun.
Sinyal pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bakal molor lagi datang dari Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo. “Kalau belum siap masa dipaksakan, ya, mundur-mundur sedikit, kan, tidak masalah,” ungkap Widjajono.
Memang, molornya pelaksanaan program tersebut dari jadwal per 1 April 2012 jelas melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Tetapi, undang-undang itu masih bisa diubah seperti yang sudah-sudah, seiring dengan rencana pemerintah merevisi APBN 2012 lebih cepat dari jadwal tahun-tahun sebelumnya. Jadi, terbuka peluang bagi pemerintah untuk menunda.
Lantaran persiapan yang belum matang, banyak pihak yang lalu menyarankan, sebaiknya pemerintah mengerek dulu saja harga BBM bersubsidi. Cara ini tidak hanya bisa memangkas anggaran subsidi tapi juga ongkos pengawasan distribusi. Memang, pemerintah harus merogoh kocek lebih dalam untuk mengawasi pelaksanaan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi agar tidak terjadi penyelewengan.
Tapi, menaikkan premium dan solar hanya akan terus-terusan membuat subsidi BBM salah sasaran. Subsidi yang semestinya hanya menjadi hak warga miskin atau paling tidak masyarakat kelas menengah bawah, juga ikut dinikmati golongan menengah atas.
Jadi, rencana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi harus jalan terus. Dengan syarat, semua infrastruktur pendukungnya beres dulu. Sehingga, pelaksanaannya bisa serentak, tidak seporadis. Soalnya, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bisa membantu menekan anggaran subsidi dari ancaman lonjakan harga minyak sekaligus konsumsi. Sedangkan kenaikan harga premium dan solar yang hanya Rp 500 atau 1.000 per liter belum tentu mampu mengerem laju konsumsi BBM bersubsidi.
Nafsu besar, tenaga juga harus besar.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN, Minggu Ketiga Januari 2012)

Tidak ada komentar: