Pengoperasian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
tinggal delapan bulan lagi. Mulai 1 Januari 2014 nanti, Indonesia akan
memasuki babak baru sistem jaminan kesehatan yang mengaver seluruh
masyarakat tanpa terkecuali, termasuk bayi orok yang baru lahir.
Saat ini, pemerintah terus menyiapkan tetek bengek yang berkaitan dengan
BPJS Kesehatan, mulai kepesertaan, premi hingga infrastruktur pelayanan
kesehatan. Maklum, masih banyak persiapan yang bolong di sana-sini.
Misalnya, besaran premi untuk peserta non-penerima bantuan iuran (PBI)
belum ditetapkan, lalu puskesmas, rumahsakit, dan dokter masih kurang.
Terlepas dari persiapan pelaksanaan BPJS Kesehatan yang belum 100%,
kelak semua peserta jaminan kesehatan, baik PBI maupun non-PBI akan
mendapat manfaat medis yang sama. Yang membedakan adalah manfaat
nonmedis berupa fasilitas rawat inap. Manfaat ini tergantung besaran
premi yang dibayarkan.
Contoh, peserta PBI akan memperoleh fasilitas
kamar perawatan kelas tiga. Kemudian, peserta non-PBI pekerja yang
mengantongi upah bulanan sampai dengan dua kali penghasilan tidak kena
pajak mendapat kamar kelas dua.
Cuma ternyata, untuk bisa berobat atau menikmati fasilitas rawat inap di
rumahsakit, semua peserta wajib mengantongi surat rujukan dari
fasilitas kesehatan tingkat pertama, yakni puskesmas atau praktik dokter
pribadi.
Artinya, peserta tidak bisa langsung berobat ke rumahsakit,
melainkan harus ke puskesmas atau praktik dokter terlebih dahulu.
Kecuali, peserta saat itu dalam kondisi gawat darurat.
Bagi pekerja yang sebelumnya ikut asuransi kesehatan yang bekerjasama
langsung dengan rumahsakit, jaminan kesehatan yang ditawarkan BPJS
Kesehatan jelas bikin ribet.
Dan, pekerja tidak bisa mengelak dari
kepesertaan BPJS Kesehatan karena bersifat wajib bagi seluruh pekerja
penerima upah.
Ketentuan ini jelas merugikan pekerja terutama bagi mereka yang
sebelumnya ikut asuransi kesehatan yang bekerjasama langsung dengan
rumahsakit.
Sudah gaji bulanan dipotong untuk membayar premi, manfaat
yang mereka dapat tidak maksimal. Padahal, sering kali jarak rumahsakit
dari rumah pasien lebih dekat ketimbang puskesmas terutama di kota-kota
besar.
Semestinya, BPJS harus memberi manfaat jaminan kesehatan yang tidak
merepotkan bagi pesertanya. Sehingga, peserta tidak terpaksa mengikuti
program BPJS.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN 20 April 2013)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar