Di tingkat menteri, pemerintah sudah ketok palu: harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi naik untuk mobil pribadi, sedang untuk sepeda
motor dan angkutan umum tetap di harga sekarang, Rp 4.500 per liter.
Tapi, pemerintah belum menetapkan harga premium dan solar khusus
kendaraan pelat hitam. Cuma ancer-ancernya, pemilik mobil pribadi yang
masih ingin membeli BBM bersubsidi harus merogoh kocek lebih dalam, Rp
6.500�Rp 7.000 seliter.
Kini, kebijakan mahapenting yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak
itu � lantaran bisa menjadi pemecut laju inflasi � tinggal menunggu
persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masih selalu
bimbang. Dalam rapat kabinet, Rabu (17/4) lalu, Presiden belum
memutuskan kebijakan dua harga BBM bersubsidi sebagai cara untuk
mengendalikan konsumsi premium dan solar.
Kalau kebijakan ini berlaku mulai bulan depan, pemerintah bisa menghemat
anggaran subsidi BBM tahun ini sekitar Rp 21 triliun. Jika molor ke
bulan-bulan berikutnya, tentu bujet subsidi yang bisa dihemat lebih
kecil lagi.
Tapi, itu dengan catatan tebal: konsumsi BBM bersubsidi
tidak lebih dari kuota tahun ini yang hanya 46,01 juta kiloliter (kl).
Padahal, kebijakan dua harga BBM bersubsidi belum tentu mengerem
pemakaian premium dan solar.
Kenapa? Tahun 2008, harga premium naik
menjadi Rp 6.000 per liter berlaku untuk semua jenis kendaraan bermotor,
tak terkecuali motor dan angkutan umum. Toh, konsumsi premium tahun itu
mencapai 17,94 juta kl, di atas kuota yang cuma 16,97 juta kl.
Penggunaan solar yang juga naik menjadi ?Rp 5.500 per liter juga over
kuota.
Semestinya, pemerintah tidak usah tanggung-tanggung dalam membuat
kebijakan. Sekalian saja melarang sama sekali mobil pribadi menenggak
BBM bersubsidi. Dana subsidi BBM yang bisa dihemat lebih gede dan bisa
menahan laju konsumsi BBM bersubsidi yang dari tahun ke tahun terus
menanjak.
Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang merekomendasikan pembatasan
konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil pribadi ke Presiden SBY menghitung,
negara bisa menghemat subsidi BBM hingga Rp 80 triliun bila menerapkan
kebijakan ini. Sebab, mobil pribadi menyedot 50% BBM bersubsidi dari
total konsumsi tahunan.
Kalau pemerintah ingin tetap memberi subsidi kepada para pemilik mobil
pribadi, kan, tidak harus berupa subsidi harga BBM. Anggaran subsidi
untuk orang kaya bisa dialihkan ke bentuk lain, seperti buat membangun
dan memperbaiki jalan serta pengadaan transportasi massal yang nyaman,
aman, dan murah.
Ambil contoh, menambah armada busway dan kereta listrik
serta mempercepat pembangunan mass rapit transit (MRT). Jadi, pemilik
mobil pribadi mau beralih ke angkutan umum.
Alhasil, tak hanya konsumsi
BBM bersubsidi yang bisa direm, tapi juga kemacetan lalu lintas di
Jakarta khususnya bisa berkurang. Kalaupun tidak mau beralih ke angkutan
umum, mereka tetap bisa merasakan kenyamanan berkendara di jalan yang
mulus tak berlobang.
Idealnya, sebelum pembatasan konsumsi BBM bersubsidi diterapkan,
transportasi massal yang nyaman, aman, dan murah sudah harus tersedia.
Sehingga, golongan masyarakat yang terkena efek bisa langsung merasakan
salah satu bentuk kompensasi dari kebijakan tersebut.
Tapi, karena
angkutan massal impian itu belum betul-betul tersedia sekarang, bukan
berarti pemerintah terus menunda-nunda kebijakan pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi, yang sejatinya sempat akan dijalankan pada akhir kuartal
ketiga 2010 silam.
Untuk itu, pemerintah harus stop berwacana dan segera mengambil
keputusan.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Keempat April 2013)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar