Senin, 08 Juli 2013

MENGEREM KONSUMSI BBM

Di tingkat menteri, pemerintah sudah ketok palu: harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi naik untuk mobil pribadi, sedang untuk sepeda motor dan angkutan umum tetap di harga sekarang, Rp 4.500 per liter.
Tapi, pemerintah belum menetapkan harga premium dan solar khusus kendaraan pelat hitam. Cuma ancer-ancernya, pemilik mobil pribadi yang masih ingin membeli BBM bersubsidi harus merogoh kocek lebih dalam, Rp 6.500�Rp 7.000 seliter.
Kini, kebijakan mahapenting yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak itu � lantaran bisa menjadi pemecut laju inflasi � tinggal menunggu persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masih selalu bimbang. Dalam rapat kabinet, Rabu (17/4) lalu, Presiden belum memutuskan kebijakan dua harga BBM bersubsidi sebagai cara untuk mengendalikan konsumsi premium dan solar.
Kalau kebijakan ini berlaku mulai bulan depan, pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi BBM tahun ini sekitar Rp 21 triliun. Jika molor ke bulan-bulan berikutnya, tentu bujet subsidi yang bisa dihemat lebih kecil lagi.
Tapi, itu dengan catatan tebal: konsumsi BBM bersubsidi tidak lebih dari kuota tahun ini yang hanya 46,01 juta kiloliter (kl). Padahal, kebijakan dua harga BBM bersubsidi belum tentu mengerem pemakaian premium dan solar.
Kenapa? Tahun 2008, harga premium naik menjadi Rp 6.000 per liter berlaku untuk semua jenis kendaraan bermotor, tak terkecuali motor dan angkutan umum. Toh, konsumsi premium tahun itu mencapai 17,94 juta kl, di atas kuota yang cuma 16,97 juta kl. Penggunaan solar yang juga naik menjadi ?Rp 5.500 per liter juga over kuota. 
Semestinya, pemerintah tidak usah tanggung-tanggung dalam membuat kebijakan. Sekalian saja melarang sama sekali mobil pribadi menenggak BBM bersubsidi. Dana subsidi BBM yang bisa dihemat lebih gede dan bisa menahan laju konsumsi BBM bersubsidi yang dari tahun ke tahun terus menanjak. 
Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang merekomendasikan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil pribadi ke Presiden SBY menghitung, negara bisa menghemat subsidi BBM hingga Rp 80 triliun bila menerapkan kebijakan ini. Sebab, mobil pribadi menyedot 50% BBM bersubsidi dari total konsumsi tahunan. 
Kalau pemerintah ingin tetap memberi subsidi kepada para pemilik mobil pribadi, kan, tidak harus berupa subsidi harga BBM. Anggaran subsidi untuk orang kaya bisa dialihkan ke bentuk lain, seperti buat membangun dan memperbaiki jalan serta pengadaan transportasi massal yang nyaman, aman, dan murah. 
Ambil contoh, menambah armada busway dan kereta listrik serta mempercepat pembangunan mass rapit transit (MRT). Jadi, pemilik mobil pribadi mau beralih ke angkutan umum. 
Alhasil, tak hanya konsumsi BBM bersubsidi yang bisa direm, tapi juga kemacetan lalu lintas di Jakarta khususnya bisa berkurang. Kalaupun tidak mau beralih ke angkutan umum, mereka tetap bisa merasakan kenyamanan berkendara di jalan yang mulus tak berlobang. 
Idealnya, sebelum pembatasan konsumsi BBM bersubsidi diterapkan, transportasi massal yang nyaman, aman, dan murah sudah harus tersedia. Sehingga, golongan masyarakat yang terkena efek bisa langsung merasakan salah satu bentuk kompensasi dari kebijakan tersebut. 
Tapi, karena angkutan massal impian itu belum betul-betul tersedia sekarang, bukan berarti pemerintah terus menunda-nunda kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, yang sejatinya sempat akan dijalankan pada akhir kuartal ketiga 2010 silam. 
Untuk itu, pemerintah harus stop berwacana dan segera mengambil keputusan.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Keempat April 2013)

Tidak ada komentar: