Selasa, 01 Januari 2013

KELAS MENENGAH DAN KEMACETAN

Negara kita saat ini sedang dilanda euforia kelas menengah. Banyak kalangan bicara soal kelas menengah Indonesia yang tumbuh luar biasa. Mulai dari presiden, menteri, pelaku usaha, pengamat ekonomi, sampai mahasiswa.
Ya, pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2000 melahirkan banyak masyarakat kelas menengah Indonesia. Data Bank Dunia menunjukkan, pada 2011 lalu, 56,5% dari 237 juta penduduk negara kita masuk kategori kelas menengah. Itu berarti, ada 134 juta warga kelas menengah. Padahal di tahun 2003, jumlah kelas menengah Indonesia baru 81 juta orang.
Memang, istilah kelas menengah masih mengandung perdebatan. Berdasarkan apa orang masuk kelas menengah? Cara berpakaian? Besar pengeluaran? Atau, pekerjaan? Cuma, Bank Pembangunan Asia (ADB) mendefinisikan kelas menengah dengan rentang pengeluaran per kapita per hari sebesar
US$ 2–US$ 20. Rentang inilah yang kini banyak dipakai untuk mengukur jumlah kelas menengah di Indonesia. Tapi, ada yang lebih suka menyebut orang yang masuk dalam rentang pengeluaran itu dengan kelas konsumen baru, bukan kelas menengah.
Apa pun definisi dari kelas menengah, yang jelas pertumbuhan kelas menengah kita memang luar biasa. Pertumbuhan kelas menengah sebagai bukti ekonomi berjalan baik bisa kita lihat pada pelbagai fenomena. Kita lihat orang antre di kasir Carrefour, orang nongkrong di 7-Eleven, orang menggenggam ponsel cerdas alias smartphone, tiket kereta api dan pesawat ludes saat musim libur, atau jumlah penumpang pesawat makin bertambah.
Betul. Kemajuan apa pun sekarang dikaitkan dengan kelas menengah. Sampai-sampai, jalanan macet pun dihubungkan dengan kelas menengah. Tak salah memang. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memperkirakan, penjualan mobil tahun ini bakal menembus angka 1,1 juta unit. Angka ini pastinya jauh di atas penjualan mobil tahun lalu yang hanya 894.000 unit.
Alhasil, “penyakit” bernama kemacetan lalulintas di kota-kota besar terutama Jakarta semakin akut saja. Inilah salah satu risiko sosial dari pertumbuhan kelas menengah kita yang cukup memukau. Dan, untuk mengurai kemacetan lalulintas yang kian parah di Ibukota RI, jelas butuh terobosan “gila”.
Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang belum genap 100 hari memimpin DKI Jakarta berencana menerapkan pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan pelat nomor ganjil genap. Yang lebih gila lagi, pasangan fenomenal ini bakal menghapus bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di seantero Jakarta. Lewat dua rencana itu, mereka berharap, pengguna kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor, beralih ke angkutan umum. Cara ini sesuai dengan jurus utama mereka untuk mengurai kemacetan: people mobilization, bukan car mobilization. Jadi, menggerakan orang, bukan mobil.
Rencana yang bukan tidak mungkin mengurai kemacetan akut di Jakarta. Tapi, sebelum kedua kebijakan itu berlaku, tentunya, Jokowi–Ahok harus merealisasikan dulu angkutan umum massal yang nyaman, aman, cepat, dan terjangkau ongkosnya. Kalau tidak, siapa juga yang mau beralih ke angkutan umum. Nah, jika benar Jokowi–Ahok melarang penjualan premium dan solar di stasiun pengisian bahan bakar umum di Jakarta, subsidi BBM bisa dialihkan untuk pengadaan angkutan umum dan pembangunan infrastrukturnya.
Bila Jakarta punya angkutan umum nyaman, aman, cepat, dan terjangkau ongkosnya, kelak kita akan melihat fenomena baru kelas menengah: naik angkutan umum.


(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Pertama Januari 2013)

Tidak ada komentar: